Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menunda-nunda". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, sebenarnya apa signifikansi dan urgensi kita untuk mengetahui topik mengenai menunda-nunda ini, Pak ?
SK : Ya, Pak Hendra. Menunda-nunda rupanya menjadi satu pergulatan yang dialami oleh beberapa orang dan sangat mungkin sebagian kita juga mengalami pergulatan ini. Memang pergulatan soal menunda-nunda ini sesungguhnya mengganggu hidup kita bahkan menciptakan serombongan masalah, mulai dari kehilangan peluang, kesempatan, sampai kepada kegagalan di dalam studi dan pekerjaan seseorang. Bahkan bisa sampai menyebabkan masalah keuangan.
H : Ada yang mengatakan kebiasaan menunda itu diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia. Bagaimana tanggapan Bapak ?
SK : Memang bisa dikatakan demikian, Pak Hendra. Jadi itu bersifat seperti karat yang menghancurkan sebuah media logam atau seperti asam yang membuat apa yang disentuhnya menjadi terbakar hangus dan tak berbekas. Seperti itulah suatu penundaan. Orang yang terbiasa menunda-nunda itu menghancurkan dan menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya. Baik mulai motivasi hidupnya, penghargaan dirinya, rasa percaya dirinya. Memang ini hal yang sangat mengganggu dan menggagalkan hidup kita.
H : Dalam istilah lain dapat juga disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok" ya, Pak ?
SK : Ya, memang "besok, besok, besok" akhirnya ya tidak melakukan apa-apa. Atau ketika mau melakukan, ternyata kesempatan itu sudah lenyap. Memang pergulatan dengan menunda ini perlu kita pahami karena kita tidak bisa mengatakan, "Aku steril dari pergulatan menunda-nunda" karena survei memperlihatkan pergulatan menunda-nunda itu tidak mengenal batas ras tertentu, etnis tertentu, jenis kelamin, tipe temperamen, usia, profesi, bahkan iman tertentu. Jadi pergulatan kebiasaan menunda-nunda ini meluas tanpa mengenal batas identitas dan ciri khas pada seseorang.
H : Boleh dikatakan universal, Pak ?
SK : Betul, pergulatan universal.
H : Sebenarnya apa pengertian penundaan itu sendiri, Pak ?
SK : Pengertian penundaan ini bisa kita mengerti dari beberapa kalimat penjelasan. Yang pertama, bisa kita mengerti sebagai tindakan yang sia-sia dalam menangguhkan suatu tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Disini memang bukan hanya menangguhkan suatu tugas tapi mulai muncul perasaan tidak nyaman pada diri yang melakukannya itu.
H : Maksudnya tidak nyaman itu bagaimana, Pak ?
SK : Mulai muncul rasa cemas, rasa bersalah, seperti itu. Ini juga bisa dimengerti dalam bentuk yang lain bahwa menunda ini seperti melakukan sebuah tugas aktifitas yang prioritasnya rendah, lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Dari sisi manajemen waktu ada pekerjaan yang mestinya, misalnya ada tugas kantor atau tugas sekolah yang harus diselesaikan dalam bulan depan. Kemudian ada persoalan di halaman rumah yang banyak rumput liar. "Itu 'kan masih satu bulan lagi. Kita kerjakan saja rumput liar ini." Dan itu dikerjakan berhari-hari. Dan atas nama mengerjakan rumput liar di halaman, akhirnya kita tidak memulai mengerjakan tugas yang berprioritas tinggi. Entah itu tugas sekolah, kuliah ataupun tugas pekerjaan kita.
H : OK, jadi kelihatannya aktif tapi sesungguhnya dia mengabaikan prioritas ?
SK : Ya, mengabaikan prioritas yang lebih tinggi. Kemudian dalam pengertian yang lain, penundaan itu kegagalan dalam memulai dan menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan.
H : Contohnya bagaimana ?
SK : Yang dimaksud di sini bukan hanya kegagalan dalam menyelesaikan tugas berdasarkan 'deadline' atau batas akhir. Tapi bukan hanya sekadar batas akhir yang dilewati, tapi kegagalan itu sudah terlihat di saat dia gagal untuk memulai di saat seharusnya memulai. Jadi bukan hasil akhirnya, tapi proses awalnya yang terlambat untuk dimulai, itu sudah menjadi indikator bahwa kita sedang melakukan penundaan dalam tugas ini.
H : Jadi jangan berharap hasil, mulai saja sudah gagal, begitu ?
SK : Iya, betul.
H : Ada lagi pengertiannya, Pak ?
SK : Pengertian terakhir yang ingin saya paparkan, penundaan bisa dimengerti sebagai tingkah laku seseorang yang sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan rasa bersalah akan tetapi tindakan ini dilakukan berulang-ulang. Inilah yang menjadi masalah. Mungkin kalau 1-2 kali dilakukan dan ada rasa bersalah, ya kita maklum pada diri sendiri, mungkin memang tidak memungkinkan untuk dikerjakan saat itu. Tapi ternyata sudah cemas dan merasa bersalah, kok terus diulangi, istilahnya kita kompulsif dengan tindakan ini. Inilah yang menjadi suatu pengertian penundaan yang perlu kita kenali dan kita waspadai.
H : Jadi kegagalan memulai bukan hanya sekali tapi berulang kali, begitu ?
SK : Ya, sekalipun ada sinyal atau alarm rasa cemas dan rasa bersalah, tapi kita abaikan dan kita tetap saja meneruskan pola penundaan itu.
H : Tadi 'kan pengertian penundaan. Kalau jenis-jenis penundaan, apakah ada yang membedakan penundaan jenis-jenis tertentu ?
SK : Dari sudut buah atau pengaruhnya, penundaan bisa dibedakan secara teknis menjadi penundaan yang fungsional dan penundaan yang tidak fungsional. Penundaan fungsional artinya penundaan yang memang beralasan dan ada gunanya. Misalnya, bagaimana mau membuat sebuah paper atau laporan bila datanya tidak ada sama sekali. Jadi kita tunda dulu, kita kumpulkan beberapa bahan, data, informasi, setelah itu baru kita garap proyek itu. Itu penundaan yang fungsional, yang masih bisa ditoleransi.
H : Bisa juga termasuk kategori "wait and see", menunggu, melihat keadaan, mengamati dan mencermati, barulah mengambil tindakan ?
SK : Ya, dalam artian masih proporsional dan tidak menimbulkan masalah besar. Masih dalam ruang toleransi.
H : Kalau penundaan yang tidak fungsional itu seperti apa, Pak ?
SK : Dalam hal ini penundaan yang tidak fungsional adalah penundaan yang mengakibatkan banyak masalah bagi pelakunya dalam pengertian yang saya ungkapkan di awal. Itu membuat akhirnya kegagalan dalam hidup orang itu untuk menyelesaikan dalam batas akhir dan itu bukan sekali tapi berkali-kali. Ini sudah disfungsional. Sudah tidak memiliki makna dan nilai guna. Penundaannya korosif, bersifat asam, menggerogoti kehidupan, mengganggu, bahkan menghancurkan diri si pelakunya.
H : Ini penundaan yang akhirnya menimbulkan masalah ya, Pak ? Apakah penundaan yang menimbulkan masalah hanya penundaan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan atau bagaimana, Pak ?
SK : Penundaan yang tidak fungsional ada dua jenis yaitu penundaan dalam pengambilan keputusan dan penundaan perilaku. Jadi dalam soal pengambilan keputusan, si pelaku ini tidak bisa mengambil keputusan pada saat yang seharusnya, jadi ditunda. Dan penundaan ini baru satu sisi dalam pengambilan keputusan. "Sudahlah, saya tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Nanti saja." Atau dalam bentuk yang lain adalah penundaan perilaku. Kecenderungan untuk menunda tugas sehari-hari yang kadang muncul dari cara kita memandang tugas dengan pesimis, perkiraan waktu yang melimpah padahal waktunya minim atau dikatakan dia memiliki optimisme yang berlebihan sehingga akhirnya perilaku menunda ini membuahkan masalah yang nyata. Penundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku itu kadang dilakukan bersamaan. Memang penundaan perilaku seringkali menjadi kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.
H : Jadi kedua jenis penundaan ini sangat berhubungan erat ya, Pak ? Bagaimana dia bisa memutuskan untuk bertindak kalau mengambil keputusan saja belum dia lakukan.
SK : Betul.
H : Apakah kebiasaan menunda-nunda ini mempunyai faktor-faktor penyebabnya, Pak ?
SK : Benar, paling tidak ada lima faktor yang menjadi awalan kenapa orang bisa terjerat dengan kebiasaan menunda-nunda ini.
H : Apa saja faktor itu, Pak ?
SK : Yang pertama adalah takut gagal. Dalam hal ini, si pelaku penundaan ini takut gagal karena dia cenderung menerjemahkan bahwa kegagalan dalam suatu tugas itu berarti kegagalannya sebagai manusia. Orang yang takut gagal memiliki asumsi dimana dia mengubah usaha penyelesaian tugas itu menjadi ketakutan untuk mengambil resiko. Asumsinya seperti ini. Pertama, apa yang saya hasilkan itu menunjukkan secara langsung kemampuan saya. Yang kedua, tingkat kemampuan saya itu menentukan seberapa bernilainya saya. Yang ketiga, apa yang saya hasilkan itu menunjukkan seberapa bernilainya saya. Jadi poin yang ketiga merupakan gabungan dari poin yang pertama dan kedua. Sehingga bisa digambarkan dengan lebih sederhana sebagai sebuah persamaan matematika, bahwa nilai diri saya sama dengan kemampuan saya, juga sama dengan hasil kerja atau kinerja saya. Dengan kata lain, kalau hasil kerja saya jelek, memang saya tidak becus dan saya tidak mampu. Kalau saya tidak mampu berarti saya tidak punya harga diri, saya tidak berharga. Makanya bagi orang dengan berkeyakinan seperti ini, orang itu berusaha selalu mengejar kesempurnaan, hasil yang terbaik. Karena kalau hasil kerjanya terbaik dan sempurna itu berarti dia menganggap dirinya mampu dan hebat, itu artinya "Aku orang yang berharga. Aku layak dihormati. Aku punya kehormatan ketika berhadapan dengan orang lain".
H : Karena punya sistem nilai diri yang salah itu membuatnya jadi menunda, Pak ?
SK : Dalam hal ini hubungannya dengan penundaan seperti ini, orang dengan asumsi ini maka ketika dia menerapkan atau menetapkan suatu standar hasil kerja satu standar penyelesaian tugas dengan hasil sempurna, akhirnya dia "Aduh aku tidak mampu, susah digapai kalau aku harus dapat A" daripada dia berusaha melakukannya tapi ternyata hasilnya gagal dan itu berarti, "Aku tidak berharga" akhirnya dia menunda. "Memang aku dianggap sebagai penunda, pemalas, tidak disiplin. Lebih baik dianggap sebagai orang seperti itu daripada dianggap sebagai orang yang gagal, pecundang dan tidak bernilai di hadapan orang lain." Jadi dia merasa lebih baik dianggap sebagai orang yang bermasalah dalam manajemen waktu daripada dianggap gagal sama sekali.
H : Jadi buat dia lebih baik dia tidak gagal pada akhirnya daripada gagal memulainya, Pak ?
SK : Bisa dikatakan begitu. Penundaan itu cara membuat ketidaksamaan. Tadi 'kan, nilai diri saya sama dengan kinerja saya. Dengan dia membuat penundaan, tanda "sama dengan" itu dicoret, jadi saya tidak sama dengan hasil kerja saya. Kenapa ? Faktornya bukan saya tidak mampu, tidak berharga, tapi memang ada faktor penundaan. "Saya mampu, saya bisa kalau saya mau. Masalahnya karena penundaan ini." Jadi penundaan itulah yang jadi kambing hitam. "Bukan saya yang jadi masalah tetapi faktor penundaan. Saya tetap berharga." Jadi penundaan ini dia kenapa melihat kegagalan dalam suatu tugas dia samakan sebagai diri yang gagal. Sehingga dia takut melakukan suatu proyek dan akhirnya melakukan penundaan.
H : Singkatnya dia menunda karena ingin menghindari kegagalan.
SK : Betul.
H : Kalau faktor kedua selain takut gagal ?
SK : Faktor yang kedua adalah takut sukses.
H : Kok bisa, Pak ?
SK : Jadi ini faktor yang unik dan kita rasa tidak masuk akal. Jadi orang yang takut sukses itu memang lebih khawatir kalau dirinya dianggap sukses oleh rekan-rekannya daripada khawatir dihakimi saat dirinya gagal. Lebih baik dianggap gagal daripada sukses. Kenapa ? Karena kalau aku sukses itu berarti ada teman-temanku yang akan tersinggung, tersakiti hatinya. Bagaimana kalau mereka sakit hati, mereka tidak mau jadi temanku. Lebih baik biasa-biasa saja, minimalis. Yang penting mengumpulkan tugas, tidak perlu hasil yang bagus-bagus. Lebih baik terlambat biar saya tidak dipromosikan. Kalau saya naik jabatan tinggi di antara mereka, mereka tidak mau lagi jadi teman saya. Ketika boss mempromosikan saya, akan saya buat terlambat dan saya tunda pengumpulan tugasnya supaya saya dianggap tidak layak naik jabatan. Dengan begitu pertemanan saya terpelihara dengan baik." Takut sukses.
H : Di sini titik beratnya di relasi ya, Pak. Dia lebih menitikberatkan relasi dengan rekannya daripada keberhasilan dirinya ?
SK : Betul. Karena bagi dirinya, rasa mantapnya, keberhargaan dirinya, ditentukan oleh penerimaan relasi dengan orang lain. Jadi penundaan ini merupakan metode yang membuatnya tersembunyi dari orang lain. Atau bahkan juga tersembunyi dari dirinya sendiri.
H : Kalau yang ketiga apa, Pak ?
SK : Faktor yang ketiga yaitu takut kalah.
H : Maksudnya ?
SK : Takut kalah. Disini menunda karena dia ingin mengendalikan sesuatu. Dia ingin merasa sedang mengendalikan sesuatu. Ini soal peperangan, menang kalah. Dalam hal ini dia ingin membuktikan, "Tidak ada seorang pun dapat memaksaku untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginanku." Jadi ini tentang "saya yang pegang kendali". Misalnya saya diberi tugas, "Ayo kamu kerjakan ini." Dalam hati dia berkata, "Enak saja kamu memerintah saya. Tidak bisa !" dia sengaja menunda-nunda. Dia sengaja mengeraskan hati tidak melakukan. Sengaja diperlambat atau hasilnya dibuat jelek. Dengan kata lain ini suatu tindakan agresif pasif. Karena bagi dia, penundaan itu merupakan suatu strategi pertempuran untuk meraih kendali kekuasaan, kehormatan, kemerdekaan dan otonomi. Jadi dengan cara inilah dia berjuang bukan sekadar untuk mendapatkan kendali, tapi kembali lagi tentang keberhargaan diri atau nilai diri. Kalau yang takut gagal, nilai dirinya diukur dari hasil kerja. Yang kedua, takut sukses, orang mengukur nilai dirinya dari relasinya dengan orang lain. Yang ketiga, dia mengukur nilai dirinya dari otonomi kemandiriannya dari diperintah-perintah oleh orang lain. Jadi "Aku penentu langkahku. Aku tidak mau disuruh-suruh atau diperintah orang lain. Kalau pun diperintah, aku lawan dengan menunda. Supaya membuktikan bahwa kamu tidak bisa menyuruh-nyuruh aku. Aku lebih tinggi dari dirimu."
H : Ini isu kontrol, ya Pak ?
SK : Tepat.
H : Nah, faktor yang keempat apa, Pak ?
SK : Faktor keempat adalah takut berpisah. Jadi orang melakukan penundaan karena merasa tidak benar-benar lengkap kalau dirinya tidak menjadi bagian dari seseorang dan seseorang menjadi bagian dari dirinya. Jadi dia takut terpisah dari orang lain. Dengan cara dia menunda, dia bisa tetap dekat dengan orang lain. "Tolong bantu aku, tolong temani aku ya. Kalau kamu tidak menolong aku, bagaimana aku melakukan tugas ini ?" Jadi dia kesulitan melakukan tugas-tugas yang membutuhkan fungsi kemandirian. Dan dia merasa tidak dapat bertindak tanpa pertolongan orang lain. Usaha terbesarnya adalah berusaha mengumpulkan informasi tetapi menunda dalam menganalisa dan mengambil keputusan. Dia bertanya pada banyak orang, tapi pada saat mengambil keputusan dia bingung karena mendapati ide-ide yang bertentangan. Akhirnya dia merasa paling nyaman berperan sebagai orang kedua dan orang lainlah yang bertanggung jawab atasnya. Kalau dia bisa menunda, dia melakukannya untuk mempertahankan hubungan kebergantungannya dengan seseorang yang dia harapkan selalu menjaga dan mempedulikannya. Penundaan disini menjadi cara untuk memastikan keterlibatan orang lain dan meredakan ketakutannya berpisah dengan orang lain. Dengan menunda dia akan menggerakkan belas kasihan. "Tolonglah aku, aku sudah terlambat, aku sudah mendekati deadline, bantu aku. Masa kamu tidak sayang sama aku ? Kita 'kan teman baik." Jadi cara untuk mengontrol supaya orang tetap dekat dengan dirinya.
H : Isu ketergantungan ?
SK : Ya.
H : Faktor yang terakhir apa, Pak ?
SK : Faktor kelima adalah takut melekat. Dalam hal ini berlawanan dengan takut berpisah. Jadi dia merasa lebih nyaman untuk menjaga jarak dengan orang lain. Dia cemas ketika orang lain mau mendekat dan mengajak berteman. "Ada apa ini ? Jangan-jangan orang ini ingin memanfaatkan saya. Jangan-jangan dia ingin memperalat saya." Makanya daripada orang makin mendekat kepadanya, dia meninggalkan pekerjaannya dan pindah ke kota yang baru. Dia takut dengan keakraban, takut dengan kelekatan. Dalam hal ini tidak heran ini kasus beberapa orang untuk menunda-nunda pernikahan. "Kapan menikah ?" dia takut. Mungkin salah satunya adalah latar belakang pernikahan orang tuanya yang buruk, mungkin bercerai. Sehingga dia sulit mengambil komitmen untuk menikah. Pacaran, pacaran, pacaran, tapi akhirnya lari dari pacarnya tanpa berita. Dia menunda karena dia takut melekat. Menunda merupakan cara untuk menjaga jarak yang aman terhadap orang lain.
H : Kalau yang ini lebih banyak terjadi dalam kasus komitmen, misalnya komitmen berelasi lebih mendalam atau komitmen untuk menikah, itu yang dia tunda. Tapi kalau dalam kinerja, apakah ada juga contohnya ?
SK : Bisa, ada kalanya dalam bekerja kita berhadapan dengan orang yang mau dekat. Misalnya dipromosikan menjadi asisten direktur. Itu berarti dekat dengan direktur. Dia tidak nyaman dengan kedekatan relasi, lebih suka pekerjaan yang 'solitaire' atau seorang diri. Jadi asisten direktur 'kan promosi, semulanya pegawai biasa. Tapi jadi asisten direktur membutuhkan kedekatan. Bagi dia kedekatan adalah ancaman. Maka lebih baik dia tunda-tunda. Pekerjaan yang biasanya lancar, sekarang dia tunda-tunda supaya dia tidak usah dipromosikan menjadi asisten direktur.
H : Unik sekali. Orang mengejar-ngejar promosi, dia malah menghindarinya.
SK : Betul.
H : Menarik sekali pembahasan Bapak mengenai faktor-faktor penundaan ini. Ternyata kalau diteliti ada faktor-faktor yang unik yang mungkin tidak kita sadari. Apa ada lagi yang ingin Bapak sampaikan terkait penundaan ini ?
SK : Saya ingin membagikan ayat firman Tuhan yang terkait dengan pembahasan ini. Yesaya 43:4, "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,.." Jadi beberapa isu yang telah kita bahas tadi tentang faktor-faktor penundaan itu berbicara tentang diri. Penundaan itu bukan sekadar faktor waktu, terlalu banyak tugas dan sekadar salah perhitungan waktu kita, sekadar soal mengerjakan tugas prioritas rendah daripada tugas prioritas tinggi. Itu memang yang nampak di depan mata, kajian-kajian yang manajerial, secara sistem kerja. Tapi rupanya kalau kita telisik lebih dalam, factor penundaan itu berhubungan dengan rasa aman di dalam diri kita, siapa kita di hadapan orang lain, siapa kita di hadapan Tuhan, siapa kita terhadap diri kita sendiri. Firman Tuhan berkata, "engkau berharga di mata-Ku dan mulia dan Aku mengasihi engkau." Inilah kebenaran yang perlu, bukan sekadar bacaan secara kognitif secara akal, tapi perlu merasuk ke dalam jiwa kita. Rata-rata kita mungkin berangkat dalam kondisi rasa tidak berharga, karena tidak dihargai secara cukup oleh orang tua kita, tidak dihargai oleh guru-guru kita, kurang dihargai oleh saudara-saudara kita. Ini yang jadi asal muasal orang mengalami takut gagal, takut sukses, takut dekat, takut keintiman, takut kelekatan, takut berpisah. Dalam hal ini mari kita kembali mengenali siapa kita. Kalau kita menemukan, "Aku punya salah satu bentuk ketakutan ini dan aku memiliki satu pergulatan tentang harga diriku", mari kita datang pada Tuhan, mengakui kerapuhan kita, menyerahkan strategi yang keliru ini dan coba tanamkan suatu penghayatan bahwa aku berharga bukan karena hasil kerjaku, bukan karena penerimaan persahabatanku, tapi aku berharga karena dalam kesendirianku pun aku tetap berharga. Karena Tuhan memandangku berharga, memandangku mulia, Tuhan mengasihiku bahkan menyerahkan diri-Nya untuk aku.
H : Terima kasih Pak Sindu untuk firman Tuhan yang sangat menguatkan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menunda-nunda" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melaui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.