TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Menunda-nunda 1

Menunda-nunda 1

Kode Kaset: 
T374A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Pengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen. Penting untuk mengenali apa saja akar masalahnya dan menangani siklus penundaan ini dengan tepat.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan bapak penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menunda-nunda". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, sebenarnya apa signifikansi dan urgensi kita untuk mengetahui topik mengenai menunda-nunda ini, Pak ?

SK : Ya, Pak Hendra. Menunda-nunda rupanya menjadi satu pergulatan yang dialami oleh beberapa orang dan sangat mungkin sebagian kita juga mengalami pergulatan ini. Memang pergulatan soal menunda-nunda ini sesungguhnya mengganggu hidup kita bahkan menciptakan serombongan masalah, mulai dari kehilangan peluang, kesempatan, sampai kepada kegagalan di dalam studi dan pekerjaan seseorang. Bahkan bisa sampai menyebabkan masalah keuangan.

H : Ada yang mengatakan kebiasaan menunda itu diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia. Bagaimana tanggapan Bapak ?

SK : Memang bisa dikatakan demikian, Pak Hendra. Jadi itu bersifat seperti karat yang menghancurkan sebuah media logam atau seperti asam yang membuat apa yang disentuhnya menjadi terbakar hangus dan tak berbekas. Seperti itulah suatu penundaan. Orang yang terbiasa menunda-nunda itu menghancurkan dan menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya. Baik mulai motivasi hidupnya, penghargaan dirinya, rasa percaya dirinya. Memang ini hal yang sangat mengganggu dan menggagalkan hidup kita.

H : Dalam istilah lain dapat juga disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok" ya, Pak ?

SK : Ya, memang "besok, besok, besok" akhirnya ya tidak melakukan apa-apa. Atau ketika mau melakukan, ternyata kesempatan itu sudah lenyap. Memang pergulatan dengan menunda ini perlu kita pahami karena kita tidak bisa mengatakan, "Aku steril dari pergulatan menunda-nunda" karena survei memperlihatkan pergulatan menunda-nunda itu tidak mengenal batas ras tertentu, etnis tertentu, jenis kelamin, tipe temperamen, usia, profesi, bahkan iman tertentu. Jadi pergulatan kebiasaan menunda-nunda ini meluas tanpa mengenal batas identitas dan ciri khas pada seseorang.

H : Boleh dikatakan universal, Pak ?

SK : Betul, pergulatan universal.

H : Sebenarnya apa pengertian penundaan itu sendiri, Pak ?

SK : Pengertian penundaan ini bisa kita mengerti dari beberapa kalimat penjelasan. Yang pertama, bisa kita mengerti sebagai tindakan yang sia-sia dalam menangguhkan suatu tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Disini memang bukan hanya menangguhkan suatu tugas tapi mulai muncul perasaan tidak nyaman pada diri yang melakukannya itu.

H : Maksudnya tidak nyaman itu bagaimana, Pak ?

SK : Mulai muncul rasa cemas, rasa bersalah, seperti itu. Ini juga bisa dimengerti dalam bentuk yang lain bahwa menunda ini seperti melakukan sebuah tugas aktifitas yang prioritasnya rendah, lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Dari sisi manajemen waktu ada pekerjaan yang mestinya, misalnya ada tugas kantor atau tugas sekolah yang harus diselesaikan dalam bulan depan. Kemudian ada persoalan di halaman rumah yang banyak rumput liar. "Itu 'kan masih satu bulan lagi. Kita kerjakan saja rumput liar ini." Dan itu dikerjakan berhari-hari. Dan atas nama mengerjakan rumput liar di halaman, akhirnya kita tidak memulai mengerjakan tugas yang berprioritas tinggi. Entah itu tugas sekolah, kuliah ataupun tugas pekerjaan kita.

H : OK, jadi kelihatannya aktif tapi sesungguhnya dia mengabaikan prioritas ?

SK : Ya, mengabaikan prioritas yang lebih tinggi. Kemudian dalam pengertian yang lain, penundaan itu kegagalan dalam memulai dan menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan.

H : Contohnya bagaimana ?

SK : Yang dimaksud di sini bukan hanya kegagalan dalam menyelesaikan tugas berdasarkan 'deadline' atau batas akhir. Tapi bukan hanya sekadar batas akhir yang dilewati, tapi kegagalan itu sudah terlihat di saat dia gagal untuk memulai di saat seharusnya memulai. Jadi bukan hasil akhirnya, tapi proses awalnya yang terlambat untuk dimulai, itu sudah menjadi indikator bahwa kita sedang melakukan penundaan dalam tugas ini.

H : Jadi jangan berharap hasil, mulai saja sudah gagal, begitu ?

SK : Iya, betul.

H : Ada lagi pengertiannya, Pak ?

SK : Pengertian terakhir yang ingin saya paparkan, penundaan bisa dimengerti sebagai tingkah laku seseorang yang sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan rasa bersalah akan tetapi tindakan ini dilakukan berulang-ulang. Inilah yang menjadi masalah. Mungkin kalau 1-2 kali dilakukan dan ada rasa bersalah, ya kita maklum pada diri sendiri, mungkin memang tidak memungkinkan untuk dikerjakan saat itu. Tapi ternyata sudah cemas dan merasa bersalah, kok terus diulangi, istilahnya kita kompulsif dengan tindakan ini. Inilah yang menjadi suatu pengertian penundaan yang perlu kita kenali dan kita waspadai.

H : Jadi kegagalan memulai bukan hanya sekali tapi berulang kali, begitu ?

SK : Ya, sekalipun ada sinyal atau alarm rasa cemas dan rasa bersalah, tapi kita abaikan dan kita tetap saja meneruskan pola penundaan itu.

H : Tadi 'kan pengertian penundaan. Kalau jenis-jenis penundaan, apakah ada yang membedakan penundaan jenis-jenis tertentu ?

SK : Dari sudut buah atau pengaruhnya, penundaan bisa dibedakan secara teknis menjadi penundaan yang fungsional dan penundaan yang tidak fungsional. Penundaan fungsional artinya penundaan yang memang beralasan dan ada gunanya. Misalnya, bagaimana mau membuat sebuah paper atau laporan bila datanya tidak ada sama sekali. Jadi kita tunda dulu, kita kumpulkan beberapa bahan, data, informasi, setelah itu baru kita garap proyek itu. Itu penundaan yang fungsional, yang masih bisa ditoleransi.

H : Bisa juga termasuk kategori "wait and see", menunggu, melihat keadaan, mengamati dan mencermati, barulah mengambil tindakan ?

SK : Ya, dalam artian masih proporsional dan tidak menimbulkan masalah besar. Masih dalam ruang toleransi.

H : Kalau penundaan yang tidak fungsional itu seperti apa, Pak ?

SK : Dalam hal ini penundaan yang tidak fungsional adalah penundaan yang mengakibatkan banyak masalah bagi pelakunya dalam pengertian yang saya ungkapkan di awal. Itu membuat akhirnya kegagalan dalam hidup orang itu untuk menyelesaikan dalam batas akhir dan itu bukan sekali tapi berkali-kali. Ini sudah disfungsional. Sudah tidak memiliki makna dan nilai guna. Penundaannya korosif, bersifat asam, menggerogoti kehidupan, mengganggu, bahkan menghancurkan diri si pelakunya.

H : Ini penundaan yang akhirnya menimbulkan masalah ya, Pak ? Apakah penundaan yang menimbulkan masalah hanya penundaan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan atau bagaimana, Pak ?

SK : Penundaan yang tidak fungsional ada dua jenis yaitu penundaan dalam pengambilan keputusan dan penundaan perilaku. Jadi dalam soal pengambilan keputusan, si pelaku ini tidak bisa mengambil keputusan pada saat yang seharusnya, jadi ditunda. Dan penundaan ini baru satu sisi dalam pengambilan keputusan. "Sudahlah, saya tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Nanti saja." Atau dalam bentuk yang lain adalah penundaan perilaku. Kecenderungan untuk menunda tugas sehari-hari yang kadang muncul dari cara kita memandang tugas dengan pesimis, perkiraan waktu yang melimpah padahal waktunya minim atau dikatakan dia memiliki optimisme yang berlebihan sehingga akhirnya perilaku menunda ini membuahkan masalah yang nyata. Penundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku itu kadang dilakukan bersamaan. Memang penundaan perilaku seringkali menjadi kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.

H : Jadi kedua jenis penundaan ini sangat berhubungan erat ya, Pak ? Bagaimana dia bisa memutuskan untuk bertindak kalau mengambil keputusan saja belum dia lakukan.

SK : Betul.

H : Apakah kebiasaan menunda-nunda ini mempunyai faktor-faktor penyebabnya, Pak ?

SK : Benar, paling tidak ada lima faktor yang menjadi awalan kenapa orang bisa terjerat dengan kebiasaan menunda-nunda ini.

H : Apa saja faktor itu, Pak ?

SK : Yang pertama adalah takut gagal. Dalam hal ini, si pelaku penundaan ini takut gagal karena dia cenderung menerjemahkan bahwa kegagalan dalam suatu tugas itu berarti kegagalannya sebagai manusia. Orang yang takut gagal memiliki asumsi dimana dia mengubah usaha penyelesaian tugas itu menjadi ketakutan untuk mengambil resiko. Asumsinya seperti ini. Pertama, apa yang saya hasilkan itu menunjukkan secara langsung kemampuan saya. Yang kedua, tingkat kemampuan saya itu menentukan seberapa bernilainya saya. Yang ketiga, apa yang saya hasilkan itu menunjukkan seberapa bernilainya saya. Jadi poin yang ketiga merupakan gabungan dari poin yang pertama dan kedua. Sehingga bisa digambarkan dengan lebih sederhana sebagai sebuah persamaan matematika, bahwa nilai diri saya sama dengan kemampuan saya, juga sama dengan hasil kerja atau kinerja saya. Dengan kata lain, kalau hasil kerja saya jelek, memang saya tidak becus dan saya tidak mampu. Kalau saya tidak mampu berarti saya tidak punya harga diri, saya tidak berharga. Makanya bagi orang dengan berkeyakinan seperti ini, orang itu berusaha selalu mengejar kesempurnaan, hasil yang terbaik. Karena kalau hasil kerjanya terbaik dan sempurna itu berarti dia menganggap dirinya mampu dan hebat, itu artinya "Aku orang yang berharga. Aku layak dihormati. Aku punya kehormatan ketika berhadapan dengan orang lain".

H : Karena punya sistem nilai diri yang salah itu membuatnya jadi menunda, Pak ?

SK : Dalam hal ini hubungannya dengan penundaan seperti ini, orang dengan asumsi ini maka ketika dia menerapkan atau menetapkan suatu standar hasil kerja satu standar penyelesaian tugas dengan hasil sempurna, akhirnya dia "Aduh aku tidak mampu, susah digapai kalau aku harus dapat A" daripada dia berusaha melakukannya tapi ternyata hasilnya gagal dan itu berarti, "Aku tidak berharga" akhirnya dia menunda. "Memang aku dianggap sebagai penunda, pemalas, tidak disiplin. Lebih baik dianggap sebagai orang seperti itu daripada dianggap sebagai orang yang gagal, pecundang dan tidak bernilai di hadapan orang lain." Jadi dia merasa lebih baik dianggap sebagai orang yang bermasalah dalam manajemen waktu daripada dianggap gagal sama sekali.

H : Jadi buat dia lebih baik dia tidak gagal pada akhirnya daripada gagal memulainya, Pak ?

SK : Bisa dikatakan begitu. Penundaan itu cara membuat ketidaksamaan. Tadi 'kan, nilai diri saya sama dengan kinerja saya. Dengan dia membuat penundaan, tanda "sama dengan" itu dicoret, jadi saya tidak sama dengan hasil kerja saya. Kenapa ? Faktornya bukan saya tidak mampu, tidak berharga, tapi memang ada faktor penundaan. "Saya mampu, saya bisa kalau saya mau. Masalahnya karena penundaan ini." Jadi penundaan itulah yang jadi kambing hitam. "Bukan saya yang jadi masalah tetapi faktor penundaan. Saya tetap berharga." Jadi penundaan ini dia kenapa melihat kegagalan dalam suatu tugas dia samakan sebagai diri yang gagal. Sehingga dia takut melakukan suatu proyek dan akhirnya melakukan penundaan.

H : Singkatnya dia menunda karena ingin menghindari kegagalan.

SK : Betul.

H : Kalau faktor kedua selain takut gagal ?

SK : Faktor yang kedua adalah takut sukses.

H : Kok bisa, Pak ?

SK : Jadi ini faktor yang unik dan kita rasa tidak masuk akal. Jadi orang yang takut sukses itu memang lebih khawatir kalau dirinya dianggap sukses oleh rekan-rekannya daripada khawatir dihakimi saat dirinya gagal. Lebih baik dianggap gagal daripada sukses. Kenapa ? Karena kalau aku sukses itu berarti ada teman-temanku yang akan tersinggung, tersakiti hatinya. Bagaimana kalau mereka sakit hati, mereka tidak mau jadi temanku. Lebih baik biasa-biasa saja, minimalis. Yang penting mengumpulkan tugas, tidak perlu hasil yang bagus-bagus. Lebih baik terlambat biar saya tidak dipromosikan. Kalau saya naik jabatan tinggi di antara mereka, mereka tidak mau lagi jadi teman saya. Ketika boss mempromosikan saya, akan saya buat terlambat dan saya tunda pengumpulan tugasnya supaya saya dianggap tidak layak naik jabatan. Dengan begitu pertemanan saya terpelihara dengan baik." Takut sukses.

H : Di sini titik beratnya di relasi ya, Pak. Dia lebih menitikberatkan relasi dengan rekannya daripada keberhasilan dirinya ?

SK : Betul. Karena bagi dirinya, rasa mantapnya, keberhargaan dirinya, ditentukan oleh penerimaan relasi dengan orang lain. Jadi penundaan ini merupakan metode yang membuatnya tersembunyi dari orang lain. Atau bahkan juga tersembunyi dari dirinya sendiri.

H : Kalau yang ketiga apa, Pak ?

SK : Faktor yang ketiga yaitu takut kalah.

H : Maksudnya ?

SK : Takut kalah. Disini menunda karena dia ingin mengendalikan sesuatu. Dia ingin merasa sedang mengendalikan sesuatu. Ini soal peperangan, menang kalah. Dalam hal ini dia ingin membuktikan, "Tidak ada seorang pun dapat memaksaku untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginanku." Jadi ini tentang "saya yang pegang kendali". Misalnya saya diberi tugas, "Ayo kamu kerjakan ini." Dalam hati dia berkata, "Enak saja kamu memerintah saya. Tidak bisa !" dia sengaja menunda-nunda. Dia sengaja mengeraskan hati tidak melakukan. Sengaja diperlambat atau hasilnya dibuat jelek. Dengan kata lain ini suatu tindakan agresif pasif. Karena bagi dia, penundaan itu merupakan suatu strategi pertempuran untuk meraih kendali kekuasaan, kehormatan, kemerdekaan dan otonomi. Jadi dengan cara inilah dia berjuang bukan sekadar untuk mendapatkan kendali, tapi kembali lagi tentang keberhargaan diri atau nilai diri. Kalau yang takut gagal, nilai dirinya diukur dari hasil kerja. Yang kedua, takut sukses, orang mengukur nilai dirinya dari relasinya dengan orang lain. Yang ketiga, dia mengukur nilai dirinya dari otonomi kemandiriannya dari diperintah-perintah oleh orang lain. Jadi "Aku penentu langkahku. Aku tidak mau disuruh-suruh atau diperintah orang lain. Kalau pun diperintah, aku lawan dengan menunda. Supaya membuktikan bahwa kamu tidak bisa menyuruh-nyuruh aku. Aku lebih tinggi dari dirimu."

H : Ini isu kontrol, ya Pak ?

SK : Tepat.

H : Nah, faktor yang keempat apa, Pak ?

SK : Faktor keempat adalah takut berpisah. Jadi orang melakukan penundaan karena merasa tidak benar-benar lengkap kalau dirinya tidak menjadi bagian dari seseorang dan seseorang menjadi bagian dari dirinya. Jadi dia takut terpisah dari orang lain. Dengan cara dia menunda, dia bisa tetap dekat dengan orang lain. "Tolong bantu aku, tolong temani aku ya. Kalau kamu tidak menolong aku, bagaimana aku melakukan tugas ini ?" Jadi dia kesulitan melakukan tugas-tugas yang membutuhkan fungsi kemandirian. Dan dia merasa tidak dapat bertindak tanpa pertolongan orang lain. Usaha terbesarnya adalah berusaha mengumpulkan informasi tetapi menunda dalam menganalisa dan mengambil keputusan. Dia bertanya pada banyak orang, tapi pada saat mengambil keputusan dia bingung karena mendapati ide-ide yang bertentangan. Akhirnya dia merasa paling nyaman berperan sebagai orang kedua dan orang lainlah yang bertanggung jawab atasnya. Kalau dia bisa menunda, dia melakukannya untuk mempertahankan hubungan kebergantungannya dengan seseorang yang dia harapkan selalu menjaga dan mempedulikannya. Penundaan disini menjadi cara untuk memastikan keterlibatan orang lain dan meredakan ketakutannya berpisah dengan orang lain. Dengan menunda dia akan menggerakkan belas kasihan. "Tolonglah aku, aku sudah terlambat, aku sudah mendekati deadline, bantu aku. Masa kamu tidak sayang sama aku ? Kita 'kan teman baik." Jadi cara untuk mengontrol supaya orang tetap dekat dengan dirinya.

H : Isu ketergantungan ?

SK : Ya.

H : Faktor yang terakhir apa, Pak ?

SK : Faktor kelima adalah takut melekat. Dalam hal ini berlawanan dengan takut berpisah. Jadi dia merasa lebih nyaman untuk menjaga jarak dengan orang lain. Dia cemas ketika orang lain mau mendekat dan mengajak berteman. "Ada apa ini ? Jangan-jangan orang ini ingin memanfaatkan saya. Jangan-jangan dia ingin memperalat saya." Makanya daripada orang makin mendekat kepadanya, dia meninggalkan pekerjaannya dan pindah ke kota yang baru. Dia takut dengan keakraban, takut dengan kelekatan. Dalam hal ini tidak heran ini kasus beberapa orang untuk menunda-nunda pernikahan. "Kapan menikah ?" dia takut. Mungkin salah satunya adalah latar belakang pernikahan orang tuanya yang buruk, mungkin bercerai. Sehingga dia sulit mengambil komitmen untuk menikah. Pacaran, pacaran, pacaran, tapi akhirnya lari dari pacarnya tanpa berita. Dia menunda karena dia takut melekat. Menunda merupakan cara untuk menjaga jarak yang aman terhadap orang lain.

H : Kalau yang ini lebih banyak terjadi dalam kasus komitmen, misalnya komitmen berelasi lebih mendalam atau komitmen untuk menikah, itu yang dia tunda. Tapi kalau dalam kinerja, apakah ada juga contohnya ?

SK : Bisa, ada kalanya dalam bekerja kita berhadapan dengan orang yang mau dekat. Misalnya dipromosikan menjadi asisten direktur. Itu berarti dekat dengan direktur. Dia tidak nyaman dengan kedekatan relasi, lebih suka pekerjaan yang 'solitaire' atau seorang diri. Jadi asisten direktur 'kan promosi, semulanya pegawai biasa. Tapi jadi asisten direktur membutuhkan kedekatan. Bagi dia kedekatan adalah ancaman. Maka lebih baik dia tunda-tunda. Pekerjaan yang biasanya lancar, sekarang dia tunda-tunda supaya dia tidak usah dipromosikan menjadi asisten direktur.

H : Unik sekali. Orang mengejar-ngejar promosi, dia malah menghindarinya.

SK : Betul.

H : Menarik sekali pembahasan Bapak mengenai faktor-faktor penundaan ini. Ternyata kalau diteliti ada faktor-faktor yang unik yang mungkin tidak kita sadari. Apa ada lagi yang ingin Bapak sampaikan terkait penundaan ini ?

SK : Saya ingin membagikan ayat firman Tuhan yang terkait dengan pembahasan ini. Yesaya 43:4 [2], "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,.." Jadi beberapa isu yang telah kita bahas tadi tentang faktor-faktor penundaan itu berbicara tentang diri. Penundaan itu bukan sekadar faktor waktu, terlalu banyak tugas dan sekadar salah perhitungan waktu kita, sekadar soal mengerjakan tugas prioritas rendah daripada tugas prioritas tinggi. Itu memang yang nampak di depan mata, kajian-kajian yang manajerial, secara sistem kerja. Tapi rupanya kalau kita telisik lebih dalam, factor penundaan itu berhubungan dengan rasa aman di dalam diri kita, siapa kita di hadapan orang lain, siapa kita di hadapan Tuhan, siapa kita terhadap diri kita sendiri. Firman Tuhan berkata, "engkau berharga di mata-Ku dan mulia dan Aku mengasihi engkau." Inilah kebenaran yang perlu, bukan sekadar bacaan secara kognitif secara akal, tapi perlu merasuk ke dalam jiwa kita. Rata-rata kita mungkin berangkat dalam kondisi rasa tidak berharga, karena tidak dihargai secara cukup oleh orang tua kita, tidak dihargai oleh guru-guru kita, kurang dihargai oleh saudara-saudara kita. Ini yang jadi asal muasal orang mengalami takut gagal, takut sukses, takut dekat, takut keintiman, takut kelekatan, takut berpisah. Dalam hal ini mari kita kembali mengenali siapa kita. Kalau kita menemukan, "Aku punya salah satu bentuk ketakutan ini dan aku memiliki satu pergulatan tentang harga diriku", mari kita datang pada Tuhan, mengakui kerapuhan kita, menyerahkan strategi yang keliru ini dan coba tanamkan suatu penghayatan bahwa aku berharga bukan karena hasil kerjaku, bukan karena penerimaan persahabatanku, tapi aku berharga karena dalam kesendirianku pun aku tetap berharga. Karena Tuhan memandangku berharga, memandangku mulia, Tuhan mengasihiku bahkan menyerahkan diri-Nya untuk aku.

H : Terima kasih Pak Sindu untuk firman Tuhan yang sangat menguatkan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menunda-nunda" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melaui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [3] kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [4]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Kebiasaan menunda-nunda mengganggu hidup kita dan menciptakan serombongan masalah dari kehilangan peluang sampai ke kegagalan dalam bekerja dan masalah keuangan. Kebiasaan menunda dapat diibaratkan sebagai asam yang menggerogoti mutu kehidupan manusia: menurunkan segala kualitas kehidupan yang dikenainya, mulai dari motivasi hingga penghargaan diri dan kepercayaan diri seseorang. Dalam istilah lain, bisa disebut sebagai sindrom "saya akan melakukan besok". Pergulatan dengan kebiasaan menunda ini tidak mengenal batas ras, etnis, jenis kelamin, usia dan profesi maupun iman keyakinan seseorang.

Penundaan berarti: menangguhkan untuk mengerjakan sesuatu hingga akhirnya terlambat. Dari segi manajemen waktu, mengerjakan tugas atau aktivitas berprioritas rendah lebih daripada tugas atau aktivitas yang berprioritas tinggi. Kegagalan untuk memulai atau menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas dalam rentang waktu yang ditetapkan. Respons atau tanggapan terhadap:

  1. Tugas yang tidak menyenangkan.
  2. Penguatan yang tidak memadai untuk memulai atau menyelesaikan tugas.
  3. Hambatan kinerja yang muncul akibat keyakinan yang irasional.

Tindakan sia-sia menangguhkan tugas yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada diri pelaku. Perilaku atau tingkah laku saat seseorang dengan sengaja menangguhkan hingga muncul perasaan cemas dan perasaan bersalah; akan tetapi, tindakan ini dilakukan secara berulang-ulang (kompulsif).

JENIS PENUNDAAN
  1. Penundaan Fungsional, misalnya menunda mengerjakan sebelum memperoleh informasi yang memadai (beralasan dan bisa ditoleransi).
  2. Penundaan Tidak Fungsional adalah penundaan yang banyak menimbulkan masalah bagi pelakunya. Ada 2 macam yaitu penundaan pengambil keputusan dan penundaan perilaku.

Penundaan pengambilan keputusan dan penundaan perilaku terkadang dilakukan bersama-sama. Penundaan perilaku sering merupakan kelanjutan dari penundaan pengambilan keputusan.

FAKTOR-FAKTOR PENUNDAAN
Penundaan sering digunakan sebagai strategi untuk melindungi diri dari ketakutan yang bersifat mendasar, yakni:
  1. Takut Gagal

  2. Penunda yang takut gagal cenderung mendefinisikan kegagalan dalam suatu tugas sebagai kegagalannya sebagai manusia. Orang yang takut gagal memiliki asumsi atau anggapan yang mengubah usaha menyelesaikan tugas menjadi ketakutan mengambil risiko. Kinerja yang sangat bagus mencerminkan dirinya adalah seorang yang hebat dan pandai. Kinerja yang biasa saja mencerminkan bahwa dirinya seorang yang biasa saja.
  3. Takut Sukses

  4. Orang dapat lebih khawatir ketika dirinya dinilai sukses oleh rekan-rekannya, daripada khawatir dihakimi saat dirinya gagal. Ia menghindari pekerjaan-pekerjaan yang dinilainya sebagai sebuah persaingan karena takut menang. Bila ia sukses, berarti akan melukai orang lain. Ia percaya bahwa ia harus memilih antara menjadi sukses atau dikasihi dan diterima. Takut sukses timbul pula karena menganggap kesuksesan akan membuatnya gila kerja atau kecanduan kerja. Maka, di sini menunda-nunda menjadi metode baginya untuk membatasi aspirasi atau dorongan yang dirasakan dapat mendatangkan hukuman atas dirinya. Penundaan merupakan metode untuk membuatnya tersembunyi dari orang lain bahkan kadang-kadang dari dirinya sendiri.
  5. Takut Kalah

  6. Menunda karena ingin merasa dirinya sedang mengendalikan sesuatu. Penunda ingin membuktikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat memaksanya bertindak bertentangan dengan keinginannya. Penundaan menjadi strategi pertempuran untuk meraih kendali, kekuasaan, kehormatan, kemerdekaan dan otonomi.
  7. Takut Berpisah

  8. Orang dapat menunda karena merasa tidak benar-benar lengkap jika dirinya tidak menjadi bagian seseorang dan orang tersebut bagian dirinya. Penundaan menjadi alat untuk tetap dekat dengan orang lain. Ia mengalami kesulitan untuk melakukan usaha-usaha yang membutuhkan fungsi independen. Ia tidak merasa diri dan tidak dapat bertindak tanpa mencari pertolongan orang lain. Usaha terbesarnya terletak pada pengumpulan masukan dan informasi tetapi menunda untuk mensintesisnya.
  9. Takut Melekat

  10. Berkebalikan dengan mereka yang takut terpisah, mereka merasa lebih nyaman dengan menjaga jarak dengan orang lain. Kecemasan mereka segera diaktifkan saat seseorang terlihat mendekatinya dan memasuki teritorinya. Mereka segera memobilisasi diri untuk mundur secara fisik, emosional atau pun secara mental.

Yesaya 43:4a [5], "Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau".

Kepercayaan yang membangun Komitmen-Bawah-Sadar Penunda mencerminkan cara berpikir yang menjauhkan pelaku penunda dari membuat kemajuan. Menyadari diri berpikir tidak realistik merupakan langkah yang dibutuhkan dalam mengatasi penundaan tetapi tidaklah cukup. Penundaan memiliki akar emosional yang kompleks.

SIKLUS PENUNDAAN

Pengalaman menunda-nunda bagaikan hidup di kereta luncur (roller coaster) emosi. Suasana hati naik turun setiap kali mencoba untuk membuat kemajuan dan cenderung surut setiap kali ingin bergerak ke arah kemajuan. Siklus ini dapat berlarut-larut selama berminggu-minggu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Dapat pula bergerak dengan begitu cepat dalam suatu momen.

Berikut komentar-komentar yang muncul sejalan dengan siklus tersebut beserta dinamikanya.
  1. Saya akan mulai lebih awal kali ini

  2. Biasanya pada awalnya pelaku sangat penuh dengan harapan. Ketika suatu pekerjaan diberikan pertama kali, akan muncul kemungkinan: kali ini akan dikerjakan secara sistematis dan bijaksana. Walaupun merasa tidak sanggup atau tidak ingin memulainya saat sekarang, pelaku sering memercayai bahwa langkah pertama untuk memulai, bagaimana pun akan terjadi secara spontan dan tanpa usaha terencana.
  3. Saya harus segera memulainya

  4. Saat untuk memulai lebih awal, telah berlalu. Ilusi mengerjakan-saat-ini menghilang. Kecemasan dan tekanan menguat. Pelaku mulai merasa terdorong membuat usaha-usaha untuk segera mengerjakan. Akan tetapi, batas akhir penyelesaian belum di depan mata. Berarti, masih ada harapan.
  5. Apa yang terjadi seandainya saya tidak memulai?

  6. Waktu terus bergulir dan pelaku masih belum memulai. Sikap yang optimistik digantikan oleh ramalan. Pelaku membayangkan, seandainya tidak memulai, dirinya akan menghadapi konsekuensi mengerikan karena akan merusak kehidupan selamanya. Pada kondisi ini penunda merasa lumpuh karena merasa cemas.
    Ada beberapa pernyataan yang bisa muncul, yaitu :
    1. Saya seharusnya memulai lebih awal.
    2. Saya mengerjakan apa saja tetapi ...
    3. Saya tidak dapat menikmati apa pun
    4. Saya berharap tidak seorang pun mengetahuinya.
  7. Masih ada waktu.

  8. Meskipun merasa bersalah dan malu, pelaku tetap berharap bagaimana pun masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Mereka berusaha tetap optimis sambil menunggu keajaiban penangguhan sanksi yang sebenarnya langka terjadi.
  9. Ada yang salah dengan diri saya ?

  10. Saat ini pelaku merasa putus asa. Ide bagus untuk memulai lebih awal tidak terwujud. Rasa malu, perasaan bersalah dan rasa menderita tidak menambah apa-apa. "Iman" atas keajaiban juga tidak mengubah situasi. Kekhawatiran atas penyelesaian tugas digantikan oleh rasa takut yang lebih besar.
  11. Pilihan terakhir: Kerjakan atau Tidak Mengerjakan.

  12. Pada titik ini penunda mengambil keputusan: meneruskan sampai ke akhir sekalipun pahit atau meninggalkan kapal yang tenggelam. Mereka mengambil salah satu dari dua jalur berikut: Jalur I: Tidak Mengerjakan
    1. "Saya tidak dapat mengerjakan.".
    2. "Mengapa terganggu?"
    Jalur 2: Mengerjakan—dengan akhir yang pahit
    1. "Saya tidak dapat menunggu lebih lama lagi."
    2. "Ternyata tidak susah. Mengapa saya tidak mengerjakan lebih awal."
    3. "Pokoknya kerjakan saja."
  13. "Saya tidak akan pernah menunda-nunda lagi"

  14. Ketika tugas akhirnya ditinggalkan atau diselesaikan, penunda biasanya menghela nafas dengan penuh rasa lega dan letih. Benar-benar siksaan yang berat. Setelah akhir yang panjang, mereka dapat kembali beristirahat dan menikmati hidup, Pikiran untuk mengulangi kembali proses ini benar-benar bikin muak sehingga pelaku penundaan berketetapan hati untuk tidak akan pernah lagi terjebak dalam siklus semacam ini. Lain waktu mereka akan memulai lebih awal, lebih terorganisasi, setia pada jadwal, kecemasan dikontrol. Pendirian ini begitu mantap—sampai di waktu berikutnya.

Amsal 6:10-11 [6], "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring". Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.

Penundaan tidaklah ringan dampaknya !
Seorang yang suka menunda-nunda mempunyai keyakinan tertentu yang sifatnya tidak disadari sepenuhnya atau komitmen bawah sadar, misalnya :
  1. Saya harus sempurna
  2. Segala sesuatu seharusnya dikerjakan dengan mudah dan tanpa usaha
  3. Lebih aman tidak mengerjakan apa-apa daripada mengambil resiko dan gagal.
  4. Seharusnya bisa dilakukan seperti yang dikehendaki
  5. Jika tidak mengerjakan dengan benar, maka semua yang dikerjakan tidak ada artinya sama sekali.
  6. Jika saya sukses maka ada seseorang yang terluka
  7. Jika kali ini saya kerjakan dengan baik, saya harus selalu mengerjakan dengan baik.
  8. Mengikuti aturan seseorang sama saja dengan menyerah dan tidak mempunyai kendali.
  9. Ada jawaban yang benar atau sempurna dan saya akan menunggu sampai mendapatkannya.

Pelakunya tidak menyadari hal tersebut. Penundaan bukan semata-mata aspek perilaku, tapi pikiran (kognitif) dan juga ada aspek emosi (afeksi). Berbicara tentang penundaan cukup kompleks, menyangkut pengalaman di masa lalu. Dari faktor eksternal juga cukup berpengaruh, seperti :

  1. BERKENAAN BATAS AKHIR

  2. Beberapa orang mendapati absennya batasan eksternal membuat mereka membuang waktu untuk menggali berbagai kemungkinan dan ide-ide yang bersinggungan. Mereka dapat bekerja dengan efektif dan efisien hanya di bawah tekanan batas akhir. Beberapa lainnya mendapati tanpa batasan eksternal, mereka kurang termotivasi untuk menampilkan kinerja yang optimal. Batas akhir menjadi bentuk motivasi ekstrinsik yang penting. Ketidakhadiran motivasi intrinsik membuat batas akhir menjadi motivator utama dan satu-satunya. Klaim penunda bahwa dirinya terbaik saat bekerja di bawah tekanan, seperti mendapat pembenaran. Studi yang dilakukan, tidak mendukung klaim bahwa penundaan melakukan pekerjaan dengan lebih baik karena adanya konsekuensi batas akhir. Penundaan merupakan bentuk manajemen waktu yang tidak netral dan merusak. Beberapa orang yang terbiasa menunda-nunda membela diri: "Jika dapat menyelesaikan pekerjaan dalam jumlah yang sama, maka tidak menjadi soal apakah dikerjakan lebih awal atau terlambat. Beberapa bahkan berpendapat bahwa penundaan menciptakan gairah dan tekanan untuk menghasilkan kinerja puncak: "Saya bekerja terbaik di bawah tekanan." Dalam studi longitudinal ditemukan bahwa pada awal semester penunda mengalami stres dan keluhan fisik lebih rendah daripada yang bukan penunda. Sebaliknya, pada akhir semester penunda mengalami stres dan keluhan fisik, lebih banyak daripada bukan penunda. Jika dijumlahkan kondisi awal dan akhir semester, maka akan ditemukan bahwa stres dan keluhan fisik penunda lebih banyak. Penunda umumnya menikmati kehidupan yang bebas stres dan sehat saat batas akhir masih jauh. Saat batas akhir sudah dekat, keuntungan jangka pendek ini digantikan oleh kerugian jangka panjang mereka lebih menderita daripada orang lain. Dengan kata lain, keuntungan awal yang didapatkan penunda tidak sebanding dengan kerugian yang muncul kemudian. .
  3. BERKENAAN DENGAN KESEMPURNAAN

  4. Beberapa studi tentang penundaan mengindikasikan bahwa penundaan yang terus menerus, bukanlah pendekatan yang efektif untuk memberi hasil kerja atau kinerja yang sempurna. Penunda menghabiskan jumlah waktu yang tidak proporsional untuk suatu proyek dibandingkan proyek-proyek lainnya. Orang yang sangat terbiasa menunda-nunda menghabiskan waktu persiapan yang kurang untuk proyek yang berpeluang berhasil dan lebih banyak waktu untuk proyek-proyek yang berpeluang gagal. Bahkan beberapa penunda tidak pernah berhasil menyelesaikan tugas karena terus-menerus berkonsentrasi pada satu bagian dalam usahanya menghasilkan karya sempurna. Kegagalan, kebalikan dari sukses, terjadi sejak suatu bagian dikerjakan secara berlebihan dengan mengorbankan bagian-bagian tugas lainnya. Di sini kita bisa melihat bahwa justru ketika mengejar kesempurnaan, malah benar-benar hasil yang tidak sempurna, yakni kegagalan menyelesaikan tugas maupun hasil kerja yang buruk. Ketika kita mengejar kesempurnaan, kita menjadi cenderung berfokus pada satu hal dan mengabaikan gambar besarnya, bahwa masih ada bagian-bagian lain yang perlu dikerjakan.
  5. BERKENAAN DENGAN PEMBENTUKAN KEYAKINAN ATAU KEPERCAYAAN DIRI

  6. Ditemukan dalam sebuah penelitian lapangan bahwa seorang yang sangat terbiasa menunda-nunda tumbuh keyakinan bahwa kinerja atau hasil kerja mereka lebih banyak dipengaruhi faktor keberuntungan dan faktor yang bersifat situasional–eksternal, kurang dalam aspek pemotivasian diri dari dalam, kontrol terhadap reaksi emosi dan penundaan kepuasan. Seorang pelajar dan mahasiswa yang sangat terbiasa menunda-nunda, lebih mengaitkan keberhasilan saat menghadapi ujian sekolah, pada faktor yang bersifat temporer dan eksternal daripada pada kemampuan dan usaha mereka sendiri. (misalnya masih bisa lulus ujian satu mata pelajaran atau kuliah karena pas kebetulan, gurunya sakit dan ujian ditunda, kebetulan soal-soalnya mudah, kebetulan hafal benar di soal-soal yang ditanyakan, padahal masih banyak hal yang tidak dikuasai dengan baik. Sementara pelajar dan mahasiswa yang sangat jarang menunda, lebih mengaitkan keberhasilan dalam ujian sekolah pada faktor yang bersifat stabil dan internal. (seperti, pada faktor kerajinan, ketekunan, disiplin diri dalam belajar dan mengerjakan tugas, pola hidup yang teratur).
    Efesus 5:15 [7], "Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif". Kita perlu mengenali dan mengkritisi kebiasaan kita, karena hal itu membentuk pola pikir kita. Jangan pandang remeh kebiasaan menunda-nunda ! Jadilah orang yang arif.
PENANGANAN ATAU SOLUSI TERHADAP KEBIASAAN MENUNDA-NUNDA :
  1. Observasi diri sendiri, dalam hal apa kita menunda-nunda.
  2. Menunda dalam bentuk bagaimana ? Misalnya nonton sinetron, mencari berita di internet. Kenali bentuk pelarian kita. Pembenaran apa yang kita ucapkan ?
  3. Pecahlah tugas itu menjadi kecil-kecil. Dari rasa meraksasa, menjadi pecahan yang realistik.
  4. Kerjakan hal-hal yang terasa kurang menyenangkan di pagi hari saat energi masih maksimal.
  5. Jangan tunggu 'mood' atau suasana hati. Awali dulu. Persoalan menunda adalah bukan kegagalan menyelesaikan tugas, tapi kegagalan memulai tugas. Suasana hati bisa diciptakan, awali dengan tindakan mendisiplin diri.
  6. Mulailah dalam ketidaksempurnaan. Jangan mengejar kesempurnaan pada awalnya. Tidak perlu menunggu buku lengkap, tak perlu menunggu segala sesuatu sudah siap, baru memulai. Alasan mencari semua bahan lengkap dulu terkumpul, sudah menjadi indikator bahwa kita mulai masuk dalam siklus penundaan, yang jika dibiarkan berlama-lama, kita akan terperangkap dalam pusaran yang makin dalam. Ironisnya, ketika semua bahan dan data lengkap, bisa jadi malah merasa lumpuh dan tidak berdaya, karena merasa seperti berhadapan dengan raksasa.
  7. Ciptakan reward atau hadiah kecil, imbalan penghargaan pada diri sendiri. Sukses kecil apa pun patut dihargai.
  8. Buatlah target yang realistik dan terasa tidak membebani. Misalnya, pagi ini baca 2 halaman saja. Selesaikan 1 laporan saja. Jalan pagi 10 menit saja. Pikirkan apa yang ringan dan terasa mudah. Katakan pada diri: cukup 2 halaman saja, nanti bisa disudahi. Renang cukup 2 putaran saja setelah selesai.
  9. Ciptakan pola pikir: tidak perlu dalam semua hal harus menjadi 'masterpiece.' Pikiran harus selalu menghasilkan 'masterpiece' kadang mengarahkan kita untuk takut gagal atau takut sukses. Lebih baik pikirkan masalah produktifitas. Kerjakan segala sesuatu dengan sukacita, bukan dengan tertekan.
  10. Daftarkan dukungan dari beberapa orang lain. Berbagi cerita pada orang lain, libatkan orang lain. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
AKAR MASALAH :
  • Akar Takut Sukses

  • Orang dapat lebih khawatir ketika dirinya dinilai sukses oleh rekan-rekannya, daripada khawatir dihakimi saat dirinya gagal. Ia menghindari pekerjaan-pekerjaan yang dinilainya sebagai sebuah persaingan karena takut menang. Bila ia sukses, berarti akan melukai orang lain. Ia percaya bahwa ia harus memilih antara menjadi sukses atau dikasihi dan diterima.
  • Akar Takut Kalah?perilaku agresif pasif

  • Penundaan menjadi strategi pertempuran untuk meraih kendali, kekuasaan, kehormatan, kemerdekaan dan otonomi. Nilai utama perjuangan memenangkan pertempuran ini menjadi lebih jelas lewat pemahaman bahwa mereka berjuang untuk hal yang lebih dari sekadar kendali. Ini adalah pertempuran untuk keberhargaan diri atau nilai diri.
  • Akar Takut Berpisah

  • Orang dapat menunda karena merasa tidak benar-benar lengkap jika dirinya tidak menjadi bagian seseorang dan orang tersebut bagian dirinya. Ia juga dapat menunda untuk memertahankan hubungan dependennya dengan seseorang yang mereka harap selalu menjaga dan mempedulikannya. Penundaan menjadi cara mereka untuk memastikan keterlibatan orang lain dan meredakan ketakutan berpisah dengan orang lain.
  • Akar Takut Melekat

  • Penundaan dapat memainkan peran penting dalam menjaga orang terhadap jarak yang aman. Mereka takut orang lain tidak akan pernah puas dan meminta lebih banyak lagi sampai menghabiskan setiap hal dalam diri mereka. Mereka juga dapat berpikir bahwa jika ia bekerja keras, orang lainlah yang memperoleh keuntungan. Hal ini membuatnya lebih suka menunda pekerjaannya. Beberapa orang telah menyaksikan hubungan yang bersifat destruktif dan menyakitkan sehingga tidak ingin hal ini terjadi atas dirinya. Contoh yang umum terjadi adalah orang yang ragu-ragu memasuki hubungan dengan lawan jenis yang dilandasi sebuah komitmen karena permasalahan yang dialami dalam keluarganya.

Menghadapi semua akar masalah tersebut, akui di hadapan Tuhan atau datang kepada hamba Tuhan atau konselor yang akan menolong kita membereskan akar masalah tersebut.

Roma 12:2a [8] "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu". Hadapilah semua ini bersama dengan Tuhan, bersama dengan saudara-saudara seiman dan orang-orang yang mengasihi kita.

Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [9]
Audio [10]
Pengembangan Diri [11]
T374A [12]

URL sumber: https://telaga.org/audio/menundanunda_1

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T374A.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=yesaya&chapter=43&verse=4
[3] mailto:telaga@telaga.org
[4] http://www.telaga.org
[5] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=yesaya%2043:4a
[6] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=amsal%206:10-11
[7] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=efesus&chapter=5&verse=15
[8] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=roma%2012:2a
[9] https://telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[10] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[11] https://telaga.org/kategori/pengembangan_diri_0
[12] https://telaga.org/kode_kaset/t374a