Penghiburan Dalam Kedukaan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T460B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Guncangan akibat kehilangan orang yang dikasihi secara mendadak benar-benar membuat kita kehilangan keseimbangan dan terjatuh.Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan begitu kuat kecamuk sedih dan marah di dalam batin.Apakah yang harus dilakukan bila kita berada pada posisi ini—dalam sekejap mata kehilangan bukan satu, tetapi sekaligus beberapa orang yang dikasihi?Sudah tentu tidak ada jalan pintas atau rumus mutlak yang dengan manjur dapat melenyapkan derita akibat kehilangan yang begitu dalam dan mengagetkan itu.Sungguhpun demikian, ada beberapa pedoman yang dapat kita gunakan sebagai pertolongan dalam meniti jalan yang bermedan mahaberat ini.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Hidup bukanlah sebuah sirkuit balap. Hidup lebih mirip dengan sebuah perjalanan pendakian. Kita dapat melihat letak gunungnya namun kita tidak selalu tahu dengan pasti jalan untuk mendakinya. Kadang kita harus memutar, kadang menurun, kadang tersandung, kadang berlari dan kadang kita mesti merangkak. Pada intinya kita tidak tahu semulus atau sesulit apakah medan yang terbentang di depan. Itulah hidup.

Bagi para kerabat pesawat Air Asia QZ8501, hidup—setidaknya pada saat ini—mengharuskan mereka untuk merangkak agar dapat mendaki gunung kehidupan ini. Guncangan akibat kehilangan orang yang dikasihi secara mendadak benar-benar membuat mereka kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan begitu kuat kecamuk sedih dan marah di dalam batin.

Beberapa waktu yang lalu saya diundang untuk memimpin kebaktian penghiburan di sebuah rumah yang tadinya dihuni oleh sebuah keluarga—ayah, ibu, dan keempat putranya. Rumah itu sekarang tidak berpenghuni sebab seluruh keluarga turut lenyap bersama hilangnya pesawat Air Asia. Bukan hanya mereka, satu lagi kerabat mereka, juga telah tiada. Sewaktu saya berbicara dengan seorang kerabatnya, yang menjadi tuan rumah kebaktian tersebut, dengan sedih ia menceritakan bahwa dalam sehari ia kehilangan dua adiknya.

Apakah yang harus dilakukan bila kita berada pada posisinya—dalam sekejap mata kehilangan bukan satu, tetapi tujuh orang yang dikasihinya? Sudah tentu tidak ada jalan pintas atau rumus mutlak yang dengan manjur akan dapat melenyapkan derita akibat kehilangan yang begitu dalam dan mengagetkan itu. Sungguhpun demikian, ada beberapa pedoman yang dapat kita gunakan untuk menolong kita meniti jalan yang bermedan mahaberat ini.

Pertama, izinkanlah diri untuk berkabung, secara khusus berilah kesempatan kepada diri untuk menangis. Tidak ada yang salah atau kurang rohani dengan berduka. Tuhan menciptakan kantung air mata supaya kita dapat mencucurkan air mata sewaktu bersedih. Tuhan tahu bahwa menangis adalah sesuatu yang perlu untuk melepaskan tekanan derita yang mendalam. Jadi, jangan sampai kita beranggapan bahwa menangis adalah tanda bahwa kita lemah atau kurang beriman. Tidak! Menangis adalah sekadar tanda bahwa kita tengah bersedih. Berkaitan dengan itu, saya pun ingin menyampaikan, janganlah takut untuk menangis DAN menangis lagi. Jangan menghindar dari ingatan tentang orang yang kita kasihi itu. Jangan melenyapkan barang-barang peninggalannya—setidaknya jangan sekarang. Lihatlah dan hadapilah semua; jangan menghindar, meskipun sebagai akibatnya kita akan menangis lagi. Makin banyak air mata yang keluar, makin cepat kita keluar dari lembah kedukaan ini.

Kedua, ungkapkanlah kehilangan itu lewat perkataan kepada orang yang mengenal orang yang kita kasihi itu. Ungkapkanlah rasa kehilangan itu dan bagikanlah memori tentang orang yang kita kasihi itu semasa hidupnya. Dengan kita membicarakannya, seakan-akan kita tengah memasukkan potret-potret kenangan itu ke dalam sebuah album. Nah, album mental yang tidak kasatmata inilah yang akan kita simpan dan bawa di dalam hati kita selamanya.

Ketiga, berilah kesempatan kepada diri untuk menyendiri – jika kita memerlukannya – dan jangan ragu untuk meminta ditemani – bila kita membutuhkannya. Ada waktu di mana kita ingin menyendiri di dalam kesedihan. Ini bukanlah sebuah gejala yang tidak sehat. Ini hanyalah memperlihatkan bahwa adakalanya kita tidak ingin diganggu dan bahwa kita ingin "berdua" dengan orang yang kita kasihi itu. Namun kadang kala kita justru takut untuk ditinggal sendirian dan butuh ditemani. Jika itu yang dirasakan, jangan ragu untuk meminta kesediaan orang untuk menemani kita. Ini bukanlah pertanda bahwa kita tidak dapat hidup mandiri. Bukan! Ini hanyalah pertanda bahwa kita tengah lemah dan membutuhkan topangan agar kita dapat kembali menghadapi masa yang kelam ini.

Keempat, jangan tergesa-gesa mengubah kehidupan yang telah kita jalani bersama orang yang kita kasihi. Jangan cepat-cepat mengambil keputusan untuk menjual rumah atau pindah kota. Jangan menjalin relasi baru untuk menggantikan relasi yang lama, secara khusus relasi romantis. Jangan sampai kita salah mengambil keputusan dan membuat kehidupan kita malah bertambah amburadul. Pikirkan semua masak-masak dan dalam kondisi tenang. Pada masa berkabung, sebaiknya kita tidak membuat keputusan yang besar dulu.

Kelima, sedapatnya isilah waktu yang biasa dihabiskan bersama orang yang kita kasihi itu dengan kegiatan lain. Semasa hidup, orang yang kita kasihi itu telah menjadi bukan saja bagian dari jiwa, tetapi juga bagian dari kehidupan kita secara nyata. Ada sejumlah hal yang biasa kita lakukan, baik itu untuknya atau dengannya. Nah, kepergiannya menciptakan lubang kekosongan dan inilah yang sering kali menyulitkan kita untuk melanjutkan hidup. Itu sebab sedapatnya kita mengisi lubang-lubang waktu dan aktivitas itu dengan hal lain.

Keenam, jalanilah rutinitas kehidupan seperti biasanya walaupun hati sudah tidak lagi ingin. Biasanya kepergian orang yang kita kasihi membuat kita tidak lagi mempunyai keinginan untuk melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Bisa jadi, itu adalah hal-hal yang biasa kita lakukan bersama atau untuk orang yang kita kasihi, tetapi bisa jadi, itu adalah hal-hal yang biasa kita lakukan sendiri, terpisah darinya. Nah, jika itu terjadi, kita mesti melawan godaan untuk berhenti melakukan kegiatan rutin itu. Sedapat mungkin kita harus tetap melakukannya kendati kita tidak menginginkan atau menikmatinya lagi. Masa berkabung dapat diibaratkan dengan masa sakit. Pada masa sakit kita tidak begitu memunyai selera makan. Tidak jarang, citarasa pun berubah menjadi hambar. Namun kita tetap harus memaksa diri untuk makan sebab tanpa makanan, tubuh makin melemah dan makin sukar melawan penyakit yang diderita. Dan, bukankah sedikit demi sedikit citarasa itu akan kembali dan kita pun dapat menikmati makanan yang disantap? Jadi, paksakanlah untuk terus melakukan kegiatan rutin—apa pun perasaan kita. Jika kita berhenti, besar kemungkinan kita akan mengalami kesulitan memulainya lagi.

Ketujuh dan terakhir, jangan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mencari jawaban, mengapakah musibah ini terjadi. Sudah tentu kita tahu dan percaya bahwa Tuhan telah berkehendak dan bahwa Ia memunyai rencana yang tidak kita pahami. Namun yang kita butuhkan adalah sebuah jawaban yang spesifik —mengapa musibah ini terjadi pada diri kita. Saya mafhum bahwa ada rasa keingintahuan yang begitu besar untuk mengetahui mengapakah musibah ini terjadi. Kita beranggapan, jika saja kita mengetahuinya, maka kita akan dapat menerima kenyataan ini dan melanjutkan hidup. Saya tahu ada orang yang mendapatkan jawaban yang memuaskan dan ini menolong mereka untuk menerima kenyataan pahit ini. Namun, sering kali jawaban itu tidak ditemukan, melainkan DATANG kepada kita. Ya, sewaktu kita tidak mencari-cari, jawaban itu datang dan membuat kita mengerti rencana Tuhan yang lebih dalam dan besar.

Kesimpulan

Kehilangan orang yang kita kasihi menimbulkan, bukan saja kesedihan tetapi juga kerinduan. Kita merasa kehilangan dan ingin berjumpa dengannya, tidak soal bahwa orang itu telah pergi bertahun-tahun yang lalu. Tidak apa! Jangan memberi batas waktu pada kerinduan. Ingat pada saat ini—bertahun-tahun kemudian—kita tidak lagi berkabung, kita hanyalah merindukannya. Tidak apa merindukannya, bahkan setelah bertahun-tahun kemudian.

Satu hal lagi. Kematian juga mengingatkan bahwa hidup di dunia suatu hari kelak akan berakhir. Namun, akhir kehidupan di dunia bukanlah akhir dari kehidupan. Hidup akan berlanjut. Pertanyaannya adalah, apakah kita mengetahui dengan pasti di manakah kita akan menghabiskan sisa waktu hidup yang kekal itu?

Firman Tuhan di Yohanes 3:16 berkata, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Anak tunggal Allah, Yesus, telah datang dan menebus dosa kita. Dia pulalah yang akan menyambut kita dan membawa kita masuk ke rumah Bapa di surga. Jadi, datanglah kepada-Nya, percayalah kepada-Nya, dan hiduplah untuk-Nya. Di surga nanti kita pun akan hidup bersama-Nya. Inilah pengharapan dan penghiburan kita di dalam kedukaan