Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Teladan Hidup". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS | : | Pak Paul, pada kesempatan yang lampau kita membicarakan tentang teladan hidup dan Pak Paul mengangkat tokoh Alkitab yang terkenal yaitu Abraham. Dari sepasang suami istri Abraham ini ternyata ada suatu karakter negatif yang diturunkan secara tidak langsung sampai ke generasi 3 dan 4 dan seterusnya. Masalah keteladanan hidup ini bisa terjadi juga dalam abad ini dan bisa menimpa pada keluarga kita juga. Ini menjadi suatu perbincangan yang sangat menarik, namun sebelum kita melanjutkan perbincangan ini pada bagian yang lain mungkin Pak Paul bisa mengulas sejenak apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau. |
PG | : | Pada dasarnya kita harus berhati-hati dengan kehidupan kita, sebab pada akhirnya kehidupan kita bisa berdampak pada kehidupan anak-anak kita. Saya mengangkat kisah Abraham sebab kita bisa menyaksikan bahwa apa yang dilakukan Abraham, yang menjadi kelemahannya ternyata itu dilakukan juga oleh putranya dan nantinya dilakukan oleh cucunya, Yakub dan nanti anak-anak Yakub melakukan hal yang sama dan semua adalah berkaitan dengan berbohong. Abraham berbohong kepada Raja Firaun bahwa istrinya bukanlah istrinya tapi saudaranya, putranya Ishak juga berbohong pada Raja Filistin mengatakan kalau istrinya adalah saudaranya. Kemudian Yakub berbohong kepada kakaknya Esau, berbohong pada ayahnya sendiri Ishak untuk mendapatkan berkat kesulungan dan akhirnya 10 putra Yakub juga berbohong kepada Yakub mengatakan kalau adik mereka Yusuf dimakan binatang buas padahalnya mereka menjual adiknya sebagai budak kepada pedagang Ismael. Dengan kata lain, kita melihat di sini adanya sebuah pola yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Jadi kita belajar ternyata ada 3 hal yang harus kita perhatikan, karena kalau tidak nanti bisa berdampak pada keturunan kita. Yang pertama bagaimana kita memerlakukan anak-anak kita sebab perlakuan orang tua kepada anak itu akan membentuk jiwa anak. Jadi kalau orang tua memerlakukan anak dengan penuh kasih sayang maka anak akan menumbuhkan sebuah diri yang penuh penghargaan dan kemampuan untuk mengasihi orang lain. Kalau anak misalkan justru menerima perlakuan kemarahan dan kebencian maka dia akan menumbuhkan kemarahan dan kebencian dalam dirinya baik terhadap dirinya maupun orang di sekitar dirinya. Yang kedua kita harus memerhatikan pula apa yang dilihat oleh anak. Jadi berhati-hatilah hidup di hadapan anak, karena anak akan mencontoh dan menyerap apa yang dilihatnya pada kita. Kalau kita berhubungan dengan pasangan kita secara mesra, harmonis, penuh damai sejahtera maka itu akan menjadi modal anak untuk berelasi dengan sesama seperti itu pula. Sebaliknya kalau kita sering bertengkar dan sedikit-sedikit kita marah, berkonfrontasi dengan pasangan kita, akhirnya anak-anak akan meniru perbuatan kita dan sedikit-sedikit dia akan marah dan berkonfrontasi dengan orang, tidak mudah mengalah dan sebagainya. Yang ketiga adalah kita harus memerhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa atau hati kita, kadang kita mau menunjukkan diri yang rohani pada anak-anak kita dan banyak membagikan hal rohani pada anak-anak maka sudah tentu itu baik dan itu berguna tapi kita harus awasi sesungguhnya apa yang penting bagi kita. Misalnya ada orang yang sebetulnya mementingkan sekali uang tapi sering bicara, "Kita harus memberi uang kepada Tuhan" tapi sebetulnya dia dengan uang sangat sayang, sebab kalau ada apa-apa misalnya mau menjual barang maka dia akan tahan dan dia terus menaikkan harganya karena memikirkan keuntungan. Perkataan dia tentang Tuhan mungkin saja ada dampaknya pada anak-anak, tapi hampir dapat dipastikan akan ada satu atau dua anak yang nanti akan menyerap nilai-nilai yang sesungguhnya terkandung pada dirinya, sehingga anak-anaknya nanti akan mengejar harta dan mementingkan harta. Jadi kita harus menjaga dan kalau kita tahu nilai-nilai dalam diri kita tidak sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki, maka berubahlah. |
GS | : | Ketiga hal itu begitu penting, sehingga kita akan mendalami dalam perbincangan kali ini, misalnya tadi tentang perlakuan kita kepada anak, apa yang bisa kita lakukan sebagai orang tua, Pak Paul ? |
PG | : | Secara umum kita harus memerlakukan anak dengan kasih dan disiplin. Jadi mesti ada keseimbangan di antara keduanya, kasih membuat anak tahu dengan pasti bahwa dia berharga, sedangkan disiplin yang sesuai membuat anak belajar menghargai apa yang dimilikinya dan orang-orang di sekitarnya. Maksud saya adalah kasih sebetulnya modal atau materi yang membangun diri yang positif dalam diri anak. Jadi kalau kita perlu semen dan pasir untuk membangun dinding maka anak itu memerlukan kasih sayang untuk membangun dirinya pula. Kalau anak-anak itu tidak mendapatkan kasih dan sayang dari orang tua maka dia tidak bisa membangun dirinya secara benar atau sehat. Tapi kasih sayang itu sendiri tidak cukup, kasih sayang juga harus disertai dengan disiplin artinya kita harus mengarahkan anak, kita harus memberikan sanksi tatkala anak melawan atau memberontak terhadap apa yang kita katakan, dengan cara itu kita membatasi perilaku anak supaya dia tidak berbuat semaunya. Ini penting, karena kalau hanya kasih sayang yang diberikan maka anak cenderung beranggapan kalau saya adalah orang yang berharga. Tapi dengan adanya disiplin maka si anak akan belajar menghargai dan bukan saja beranggapan dirinya berharga, tapi dia akan menghargai pengorbanan orang tua yang mengasihinya, apa yang diberikan oleh orang tua dan sekarang dimilikinya. Anak belajar menghargai itu semua maka kita bisa saksikan anak-anak yang luar biasa dimanja dan tidak menerima disiplin dari orang tua maka dia akan menganggap dirinya pusat dunia yang layak untuk terus-menerus diperhatikan dan dilayani, apa pun yang dimiliki tidak dihargainya dan anak yang seperti ini mudah membuang barangnya dan minta membeli yang baru dan tidak menghargai seseorang yang sudah susah payah bagi dirinya dan dia akan menuntut terus. Itu adalah akibat dari ketidakseimbangan antara kasih dan disiplin yang seharusnya diterima olehnya. |
GS | : | Memang yang sulit bagi orang tua justru menyeimbangkan antara kasih dan disiplin, bagaimana mereka bisa mempraktekkan itu secara bersama-sama, secara seimbang, yang sering terjadi adalah salah satu menjadi lebih berat daripada yang lain dan itu yang sering terjadi. |
PG | : | Ada orang tua yang takut anaknya ini egois dan melihat dirinya berharga, sehingga disiplinlah yang ditekankan dan kasih sayang kurang ditekankan sehingga anak menjadi tertekan dan jiwanya menjadi ciut dan mereka tidak melihat dirinya berharga, selalu berpandangan negatif terhadap dirinya. Ada juga orang tua yang tidak mengerti membesarkan anak, hanya memberikan kasih sayang, apa pun yang diminta anak diizinkan dengan alasan itulah yang anak perlukan. Tapi sekali lagi saya tekankan ketidakseimbangan itu akhirnya membuahkan masalah dalam diri si anak, itu sebabnya Ibrani 12:5-6 berkata, "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak." Tuhan mengasihi kita namun Ia tidak ragu menghajar kita sebab hanya dengan disiplin kita bisa menghargai apa yang diberikan Tuhan kepada kita yaitu kasih dan pengorbanan-Nya, demikian juga dengan anak, bila anak tidak dispilin maka mustahil dia bisa menghargai kasih dan pengorbanan orang tua untuknya dan dia hanya bisa berkaca mengagumi dirinya sebagai orang yang berharga tanpa menyadari harga yang dibayar orang tua untuk mengasihi dan merawatnya. |
GS | : | Ada anak yang punya kesan begini Pak Paul, kasih itu diperoleh dari ibunya, disiplin diperoleh dari ayahnya tapi sebenarnya tidak bisa kasih dan disiplin dipisahkan seperti itu, bukan ? |
PG | : | Betul. Ayah juga harus menunjukkan kasih sayang dan kelembutan kepada anaknya sekaligus juga bisa mendisiplin anaknya, demikian pula dengan ibu juga harus menunjukkan kasih sayang pada anaknya sekaligus mendisiplin anaknya. Kadang yang terjadi adalah pembagian peran secara tidak sadar. Jadi kalau ada apa-apa, kalau anak berbuat kesalahan ibu berkata, "Nanti ayahmu pulang dan kamu akan dihukum" itu tidak sehat, karena anak pertama-tama akan menantikan kedatangan ayahnya dengan ketakutan dan waktu ayahnya pulang dan diberitahukan oleh ibunya, akhirnya ayahnya langsung menghukum dia, maka dia akhirnya akan mengembangkan sebuah konsep bahwa ayah identik dengan hukuman, padahalnya bukan itulah yang si ayah juga inginkan. Tapi karena si ibu ada apa-apa berkata, "Nanti ayah pulang dan akan memukul kamu" jadi akhirnya si anak mengembangkan sebuah konsep ayah itu identik dengan hukuman, dan nantinya si anak akan berkata, "Saya tidak takut dengan mama sebab mama tidak berdaya dan tidak bisa memukul saya sehingga harus bergantung pada papa" maka siapa pun orang tua yang kebetulan berada di situ dan melihat kesalahan anak yang perlu mendapatkan sanksi maka dia harus menjalankannya, dia tidak bisa mendelegasikan kepada istri atau suaminya. |
GS | : | Bagaimana kita sebagai orang tua tahu kalau kasih dan disiplin sudah kita berikan pada porsi yang tepat pada anak kita, Pak Paul ? |
PG | : | Kita bisa memberikannya secara tepat kalau kita tahu bahwa anak kita tidak takut kepada kita dan berani untuk mendekati kita, berani untuk bicara, berani untuk berpelukan dengan kita, itu pertanda bahwa dia aman dengan kita sehingga dia tidak harus menjauh atau takut kepada kita sepertinya kita itu nanti akan menghukumnya, itu sebagai tanda bahwa anak tahu dia dikasihi dengan penuh oleh kita. Namun di pihak lain anak juga harus melihat kalau dia takut juga untuk berbuat kesalahan dan waktu dia berbuat kesalahan dia menunjukkan rasa takut, itu menandakan bahwa disiplin kita telah jalan. Kalau anak melakukan kesalahan dan dia bukannya takut malahan membangkang maka itu menunjukkan bahwa sistem disiplin kita mungkin sekali tidak jalan dan kita perlu mengevaluasi ulang. |
GS | : | Dan itu bisa saja tidak terjadi pada kedua orang tuanya. Ada pihak suami memberikan kasih dan disiplin secara seimbang tapi istrinya tidak, atau sebaliknya yang terjadi, itu bisa terjadi, Pak Paul ? |
PG | : | Bisa. Ada orang tua yang tidak memberikan keduanya dengan berimbang, misalnya yang sering terjadi adalah karena ayah terlalu sibuk maka akhirnya apa pun yang anak minta dia akan berikan untuk menunjukkan bahwa dia mengasihi anak. Namun masalahnya adalah dia menunjukkan kasih itu hanya dengan memberikan barang bagi si anak atau ada yang hanya bisanya meluluskan permintaan anak, apa pun yang anak minta akan dia luluskan karena dia perlu menebus kekurangannya, karena dia tidak memberikan cukup waktu kepada anaknya, sehingga apa pun yang diminta anak, dia akan luluskan maka dalam hal itu tidak lagi berimbang, karena dia hanya melakukan satu saja dan itu dilakukan dengan tidak bijaksana. |
GS | : | Selain itu hal lain apa yang harus diperhatikan dan yang harus dilakukan oleh orang tua, Pak Paul ? |
PG | : | Kita tahu bahwa anak melihat kita, jadi kita harus mengawasi bagaimanakah kita hidup. Kita harus hidup dalam damai sejahtera dengan satu sama lain, sewaktu anak melihat relasi kita yang harmonis dengan pasangan maka anak pun belajar untuk hidup harmonis dengan orang di sekitarnya, dia belajar misalnya untuk mengedepankan kepentingan orang ketimbang kepentingannya sendiri. Sebaliknya kalau anak tidak melihat kita hidup harmonis dengan satu sama lain, ada apa-apa ribut. Itulah nanti yang akan dicontoh oleh anak dan akan cepat sekali ribut dan belum lagi dampaknya pada anak, dia mudah sekali stres, sebab apa yang dilihatnya itu sangat menegangkan dia akibatnya suplai emosionalnya menurun dan daya tahannya menipis sehingga kalau ada tekanan diluar maka dia langsung goyang dan harus mengeluarkan unek-uneknya, kemarahannya, kekhawatirannya dengan begitu cepat. Jadi kita harus memerhatikan bagaimanakah kita hidup. |
GS | : | Seringkali yang dijadikan alasan orang tua adalah situasi yang tidak mendukung, bukannya mereka tidak mau hidup harmonis tapi situasinya misalnya di rumahnya ada banyak orang atau mereka sedang dililit hutang yang banyak sehingga itu membuat kehidupan mereka tidak harmonis dan itu dilihat anak dan itu berdampak besar juga. |
PG | : | Betul. Jadi anak-anak itu memerlukan damai sejahtera di rumah supaya dirinya itu bisa mengembangkan potensinya itu dengan lebih bebas. Anak yang dirundung oleh konflik, oleh ketegangan sehingga kehilangan damai sejahtera, susah sekali untuk mengembangkan dirinya. Apa yang tersimpan dalam dirinya akhirnya tidak bisa bertumbuh. Itu sebabnya secara alamiah kalau rumah tangganya itu tidak bahagia sering terjadi konflik, anak-anak hampir dapat dipastikan berusaha untuk lebih sering berada di luar rumah dan di luar rumah dia akan pergi dengan teman-teman, sebab sekali lagi secara alamiah memang anak memerlukan tempat atau lingkungan yang damai sejahtera untuk dia bisa mengembangkan potensinya. Kalau dia terus berada dalam ketakutan dan dirundung ketegangan maka dia tidak bisa mengembangkan apa yang ada dalam dirinya. |
GS | : | Apakah ada ayat firman Tuhan yang mengatakan tentang hal itu, Pak Paul ? |
PG | : | Ada di 2 Korintus 5:19 dikatakan disini, "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami." Berita pendamaian adalah berita yang berawal dari Allah sendiri dimana dia mendamaikan diri-Nya dengan kita manusia lewat kematian putra Allah, Yesus Kristus dan sekarang Dia memercayakan berita ini kepada kita bukan untuk didengar melainkan untuk diterapkan. Jadi kita harus mengerti bahwa kita adalah utusan Tuhan dan kita ini harus mewakili Tuhan membawa damai sejahtera kepada lingkungan atau sesama kita. Satu hal lagi yang saya mau tekankan adalah Allah itu tidak memerhitungkan pelanggaran kita manusia dengan kata lain, kita harus melihat hidup sebagai kelanjutan misi pendamaian kepada kita dan dari diri kita kepada sesama. Kita pun tidak boleh memerhitungkan pelanggaran pasangan, sebab selama kita memersoalkan kesalahannya maka tidak mungkin kita bersedia berdamai dengannya. Singkat kata, perdamaian dimulai dari pengampunan dan anak yang melihat pengampunan, anak melihat perdamaian dan inilah yang harus sering kita perlihatkan pada anak, bahwa kita saling mengampuni dan kita tidak memfokuskan pada kesalahan, tapi kita memfokuskan pada pengampunan, ini yang akan dilihat dan memengaruhi si anak pula. |
GS | : | Dampak yang paling besar ketika anak itu berbuat salah dan kita bisa mengampuni dia, Pak Paul. |
PG | : | Betul. Jadi dengan kata lain, dia bukan belajar secara rasional tapi dia mengalami sendiri bahwa dia diampuni. |
GS | : | Pengertian diampuni inilah yang akan dia terapkan kepada orang lain yang melakukan kesalahan kepadanya. |
PG | : | Betul sekali. Dan ini yang nantinya akan menolong dia juga melihat orang bukan hanya dari kelemahannya atau kesalahannya, jadi dia lebih fokuskan kepada pengampunan supaya nanti relasi itu kembali bisa disambung. |
GS | : | Jadi kalau kita melihat ada sekelompok orang yang mendendam dan suka melampiaskan dendamnya itu secara terang-terangan kemungkinan kita bisa melihat bahwa kehidupan rumah tangga mereka juga ada masalah-masalah seperti itu, Pak Paul ? |
PG | : | Bisa jadi sebab dia sendiri tidak mengalami pengampunan, dia merasakan apa yang diperbuatnya itu selalu salah, maka dia akan dihukum akhirnya dia terapkan itu dalam kehidupannya, kalau dia berbuat salah maka dia tidak akan mengampuni dan dia akan balas dulu, setelah itu mau mengampuni atau tidak terserah, yang penting dia membalas dulu dan merasa puas. |
GS | : | Dalam hal ini pengajaran kepercayaan atau agama dan sebagainya, itu besar pengaruhnya. Kalau yang diajarkan adalah Allah yang membalas yang menghukum manusia tanpa pengampunan, orang itu pun akan punya karakter seperti yang Pak Paul katakan yaitu tidak bisa mengampuni orang lain. |
PG | : | Karena kita ingin mengajarkan anak-anak untuk takut pada Tuhan akhirnya kita tidak berimbang dalam mengajarkan siapakah Tuhan itu, "jangan seperti itu nanti Tuhan marah dan menghukum". Sehingga anak memunyai konsep seperti itu yaitu Tuhan yang membalas dan Tuhan yang menghukum, takutnya itu yang dibawa oleh si anak dan nantinya diterapkan kepada sesamanya, pokoknya kalau orang berbuat yang dianggapnya salah maka dia harus turun tangan dan dia harus menghukumnya. Tapi kita sekarang sudah menyadari hal itu dan kita harus mengedepankan tentang Tuhan yang mengasihi. Memang Tuhan bisa menghukum dan kita jangan main-main dengan Tuhan, tapi Tuhan adalah Tuhan yang penuh kasih karunia dan Dia mau mengampuni, maka kita sebagai orang tua melakukan hal yang sama. Tidak selalu kesalahan anak mesti kita hukum, adakalanya kita berkata, "Tidak apa-apa kita mengampuni yang penting, tidak mengulang". Anak belajar untuk mengampuni dari pengampunan yang diterima. |
GS | : | Konsep seperti itu seringkali dikeluhkan banyak orang yang mengatakan, "Allah di Perjanjian Lama adalah Allah yang kejam, disiplinnya terlalu keras, sedang Allah di Perjanjian Baru adalah Allah yang mengasihi yang murah hati dan sebagainya". Menyeimbangkan hal ini juga sesuatu yang penting untuk kita terapkan untuk anak-anak kita. |
PG | : | Di Perjanjian Lama karena kebetulan Tuhan itu memulai rencana keselamatan-Nya lewat umat-Nya Israel dan juga kita bisa mengakui umat-Nya itu adalah umat yang tegar tengkuk seperti yang dikatakan Alkitab, terus-menerus membangkang dan melawan Tuhan, maka akhirnya Tuhan tidak bisa tidak harus menghukum mereka sebelum mereka sadar. Tapi sebetulnya Tuhan di Perjanjian Lama penuh dengan pemberitaan bahwa Tuhan adalah Allah yang penuh kasih setia, makanya di Mazmur, akhirnya banyak yang berkata bahwasanya kasih setia-Nya untuk selama-lamanya. |
GS | : | Hal lain yang perlu kita perhatikan, apa Pak Paul ? |
PG | : | Selain dari anak-anak itu harus melihat perbuatan atau kehidupan kita dan kita harus berhati-hati melakukannya, kita juga harus menjaga atau mengawasi nilai kehidupan kita dan kita harus menyusun ulang prioritas dalam hidup sedemikian rupa sehingga apa yang penting bagi Tuhan menjadi penting bagi kita dan apa yang tidak penting bagi Tuhan, tidak penting bagi kita pula. Tidak mudah bagi siapa pun untuk hidup benar di tengah dunia, itu sebabnya anak memerlukan contoh hidup lewat kehidupan pribadi kita agar dia mendapatkan kekuatan untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Sewaktu dia tidak melihat kita hidup dengan benar, maka dia pun tidak akan menerima dukungan untuk hidup benar. Kekuatannya untuk melawan dosa menjadi lemah dan keinginannya untuk menaati Tuhan akhirnya juga redup. |
GS | : | Ada orang tua yang mengatakan sebetulnya dia sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk memberikan teladan yang baik pada anak-anak mereka, tapi karena pengaruh lingkungan entah di sekolah atau pergaulan di dekat rumahnya, anak ini menjadi anak yang memberontak, maka ini bagaimana, Pak Paul ? |
PG | : | Kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa pada akhirnya anak-anak itu mulai besar, dia pun juga akan menerima bentukan dari lingkungan dan dia adalah manusia yang juga punya kelemahan dan sebagai manusia berdosa kita juga tahu kecenderungan kita adalah berbuat dosa, maka waktu lingkungan menawarkan dosa, ada kemungkinan dia juga tergiur dan jatuh ke dalam dosa. Ini adalah bagian pertumbuhan anak pula, sehingga kita harus mendoakannya dan memberikan teladan hidup yang baik, supaya anak melihat bahwa dia mendapatkan contoh yang baik itu sehingga dia bisa belajar seperti itu juga dan bahwa di dunia ini masih ada orang yang hidupnya benar dan bukan hanya di sana yang tidak bisa dilihatnya, tapi di sini di rumahnya masih ada yang bisa dilihat ada orang yang hidupnya benar di hadapan Tuhan. Akibatnya dia bisa termotivasi untuk hidup seperti itu pula. |
GS | : | Dalam hal ini tentu yang dibutuhkan adalah firman Tuhan baik oleh orang tua atau anak-anak. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan? |
PG | : | Mazmur 103:15-18 mengingatkan kita, "Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi. Tetapi kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia, dan keadilan-Nya bagi anak cucu, bagi orang-orang yang berpegang teguh pada perjanjian-Nya dan yang ingat untuk melakukan titah-Nya." Sebagai orang tua kita harus memunyai nilai rohani yang benar. Jadi janganlah kita mengutamakan uang dan harta sebab semuanya akan layu sebaliknya utamakanlah kehendak Tuhan dan pada akhirnya Tuhan akan memberkati bukan saja kita, tapi anak dan cucu kita. |
GS | : | Terima kasih Pak Paul, saya yakin sekali ketika kita sebagai orang tua berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi teladan kehidupan bagi anak-anak kita, maka Tuhan akan memakai kita sebagai saluran berkat-Nya. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Teladan Hidup" bagian yang kedua dan terakhir. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang. |