Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Sikap Dominan Dalam Keluarga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, apakah salah kalau ada di dalam sebuah keluarga, yang salah satunya menonjol atau bersikap dominan, kadang ada keluarga yang suaminya terlihat dominan tetapi di keluarga yang lain ada yang istrinya, atau di keluarga ada yang bahkan anak-anaknya bisa mengatur orang tuanya. Dan yang berbagai seperti ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Yang perlu kita sadari adalah sikap dominan itu sendiri bukanlah sebuah masalah. Jadi ini bukanlah problem yang harus dihilangkan, tapi ini adalah sebuah keunikan dalam diri. Jadi yang perlu kita lakukan adalah lebih menyadari kalau kita memunyai sikap dominan dan orang juga kadang-kadang memberikan tanggapan, Kamu terlalu dominan dan sebagainya, kita harus lebih sadar supaya sikap kita ini akhirnya tidak menimbulkan dampak buruk pada orang lain.
GS : Berarti satu keluarga tidak perlu mencontoh keluarga lain di dalam hal mengatur keluarganya, Pak Paul ?
PG : Tepat. Jadi setiap keluarga memang akan memunyai keunikannya masing- masing. Misalnya orang tua memunyai kepribadian yang berbeda-beda dan kemudian gaya hidup yang berbeda-beda, kebiasaan hidup yang berbeda-beda dan tidak mesti semuanya sama seragam, tidak. Jadi yang penting adalah kita mengetahui bagaimana masing-masing memberi dampak kepada anak atau kepada pasangannya.
GS : Sebenarnya pengertian dominan itu sendiri apa, Pak Paul ?
PG : Sebenarnya sikap dominan itu merupakan unsur memengaruhi satu sama lain.
Jadi kalau kita bicara tentang sikap dominan sebetulnya kita sedang membicarakan hal-hal yang memengaruhi orang-orang lain. Kita semua sudah tentu ingin dapat memengaruhi orang lain, baik itu untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan yang lebih luas. Pada umumnya kita akan disebut dominan apabila kita cenderung bukan saja memengaruhi secara halus, tapi kita ini cenderung memaksakan kehendak demi memengaruhi orang untuk melakukan yang kita harapkan. Jadi seringkali masalah kadarnya, semua orang ingin memengaruhi satu sama lain, tapi sikap yang dominan itu biasanya lebih ke arah memaksakan sehingga orang itu kurang begitu nyaman, Kok kamu memaksakan kehendakmu.
GS : Tapi kalau kita menanyakan Kamu begitu memaksakan maka orang seringkali menyangkali, Pak Paul.
PG : Dan salah satu alasan yang seringkali diucapkan adalah kita berkata, Saya tidak memaksakan sebab sebetulnya yang saya lakukan hanyalah memberitahukanmu kenapa dianggap memaksakan padahal ini hanya memberitahukanmu. Yang kedua, seringkali kita itu membicarakan tentang motivasi sebagai dasar kenapa kita mau memengaruhi orang untuk berbuat sesuatu dan biasanya kita berkata, Motivasi saya baik, saya bicara seperti ini untuk kepentinganmu, jadi coba dengarkan tapi sekali lagi kita harus peka kalau mungkin hanya mendengar ini sekali atau dua kali, mungkin kita masih bisa berkata, Siapa tahu orang lainlah yang terlalu peka sehingga saya dituduh dominan, tapi kalau berkali-kali kita mendengar komentar yang sama maka saya kira itu komentar yang tepat, Baiklah saya memang dianggap dominan dalam memengaruhi orang kita cenderung memaksakan orang untuk melakukan yang seperti kita kehendaki. Itu sebabnya perlu kita lebih menyadari hal ini.
GS : Biasanya ini di tahun awal-awal pernikahan, itu seringkali terjadi semacam perebutan kekuasaan di dalam sebuah rumah tangga, Pak Paul.
PG : Itu hal yang wajar karena pada awal pernikahan dua orang itu belum sungguh- sungguh mengerti posisinya dalam rumah tangga sehingga belum bisa menempatkan diri dengan tepat pula, jadi adakalanya yang satu merasa saya ini kepala keluarga maka apa yang saya katakan seharusnya dituruti, yang satunya berkata, Betul engkau kepala keluarga, tapi kita harus merundingkan segala sesuatu dan kalau aku tidak setuju tidak berarti engkau bebas melakukan apapun yang engkau kehendaki. Maka timbullah suatu pertengkaran, karena akhirnya kita harus menemukan titik tengah pada akhirnya, Baiklah, inilah yang kita rasa kita pernah terima dari satu sama lain.
GS : Dominan sendiri merupakan suatu sikap, itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Begini, jadi dominan itu adalah sebuah sikap dan yang kita perlu sadari adalah sikap dominan tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan salah satu jenis kepribadian. Jika kita membagi kepribadian dalam 4 tipe, yaitu : kolerik, melankolik, sanguin dan plegmatik. Sesungguhnya sifat dominan itu bisa berada pada semua tipe, memang kita cenderung mengaitkan sikap dominan dengan kepribadian kolerik, tapi pada kenyataannya orang dengan tipe melankolik atau plegmatik sekalipun dapat memunyai sikap dominan pula. Jadi sekali lagi kita mau menyadari bahwa sikap dominan ini bisa ada pada setiap atau semua tipe kepribadian.
GS : Jadi ada orang-orang tertentu yang menggunakan kelemahannya untuk menguasai orang yang lain, begitu Pak Paul ?
PG : Ada orang yang seperti itu, jadi karena dia tahu orang ini lemah maka dia manfaatkan dengan sifat dominannya, dia menyuruh akhirnya menjadikan orang itu seperti objeknya. Ada orang yang sampai begitu. Jadi sekali lagi sifat dominan tidak mesti menjadi masalah, tapi kalau kita tidak hati-hati bisa menjadi masalah.
GS : Itu tidak mungkin di dalam sebuah rumah itu, ada dua orang atau lebih yang bersikap dominan, Pak Paul ?
PG : Tidak bisa. Kalau dua-dua memunyai sikap dominan, susah sekali mengalah cenderung memaksakan kehendak, tidak bisa tidak rumah tangganya akan sarat dengan pertentangan.
GS : Berarti salah satunya harus mengalah, begitu Pak Paul ?
PG : Pada akhirnya ya, yang penting dalam keluarga jangan sampai satu orang selalu mengalah dan yang satunya lagi selalu mendapatkan yang dia inginkan, itu tidak benar. Jadi dalam pernikahan seyogianyalah ada waktunya kita mendapatkan yang kita inginkan adakalanya kita mengalah, dan dua-dua harus berkata seperti itu bahwa adakalanya saya mendapatkan yang saya inginkan tapi adakalanya tidak. Tapi kalau hanya satu yang mendapatkan yang dia inginkan dan satunya mengalah maka tidak benar. Kalau dua-duanya tidak bisa mengalah sudah pasti akan seperti kapal perang.
GS : Kalau begitu sikap dominan tidak harus tertuju kepada seseorang misalnya
pada ayah atau ibu saja.
PG : Tidak, jadi bisa pada siapa saja karena kenyataannya ada ayah yang tidak dominan, ibunya dominan ada yang kebalikannya, ayahnya dominan ibunya tidak dominan. Jadi tidak mesti satu orang itu atau jenis kelamin itu dikaitkan dengan sikap dominan.
GS : Apakah itu akan semacam permanen di dalam keluarga itu, misalnya sang ayah yang dominan pada suatu saat, tadi Pak Paul katakan tidak boleh kalau ayahnya dominan, tapi istrinya juga harus memunyai kesempatan untuk menjadi yang dominan.
PG : Artinya yang ideal adalah kalau memang kita tahu kita punya kecenderungan sikap yang dominan itu karena kita terbiasa sejak kecil pendapat kita didengarkan dan misalkan kita sejak kecil dipercayakan tanggung jawab sehingga akhirnya kita agak cenderung dominan. Kita penting sensitif terutama dalam berumah tangga atau bekerjasama dengan orang, sehingga kita akhirnya tidak memaksakan kehendak kita.
GS : Berarti ada latar belakang yang menyebabkan seseorang bisa menjadi dominan,
Pak Paul ?
PG : Benar sekali. Acapkali sikap dominan terkait dengan pengalaman tertentu, atau latar belakang keluarga kita sendiri. Secara khusus dengan bagaimanakah kita dibesarkan. Memang ada beberapa pengalaman dan latar belakang yang berpotensi mengembangkan sikap dominan. Jadi kita mau melihat hal-hal ini.
GS : Ini misalnya seperti apa, Pak Paul ?
PG : Misalnya anak yang dipercayakan dengan banyak tanggung jawab terutama untuk mengawasi adik-adiknya. Anak-anak seperti ini setelah besar cenderung dominan dan dia biasa mengatur dan adik-adiknya cenderung mendengarkan apa yang dikatakannya. Yang berikut misalnya adalah anak yang terpaksa dinaikkan pangkat, menjadi pengganti ayah atau ibu karena ayah atau ibunya tidak ada. Anak ini juga cenderung mengembangkan sikap dominan, karena dia dianggap sebagai ayah atau ibu dan kalau ada apa-apa dia yang diajak konsultasi, diajak bicara, dimintai pendapat. Maka cenderung dia
mengembangkan sikap dominan. Yang lainnya lagi anak yang menunjukkan kecerdasan atau keterampilan yang di atas rata-rata. Anak ini akhirnya sering mendapat penghargaan, kepercayaan untuk memimpin, di kelas seringkali dijadikan ketua kelas dan ini juga berpotensi mengembangkan sikap dominan. Yang lainnya lagi adalah anak yang mengalami perlakuan buruk atau penghinaan dari kecilnya, dilecehkan, dianggap anak bawang. Kemudian anak ini berhasil keluar dari kondisi tersebut dan dia tidak lagi menjadi anak bawang atau anak yang dihina, kepercayaan dirinya bertumbuh dan dia tidak mau menjadi anak yang dihina atau dianak bawangkan kemudian dia menggunakan sikap yang berkebalikan yaitu sikap dominan untuk memertahankan pendapatnya atau dirinya. Yang berikut adalah apabila kita memiliki rasa tidak aman dan kita ini sarat dengan kecemasan, kita juga cenderung mengembangkan sikap dominan untuk memastikan semua berjalan sesuai dengan harapan. Jadi kalau kita penuh dengan ketakutan kita akan tuntut pasangan kita untuk membuat kita tenang untuk jangan begini dan begitu akhirnya kita jadi dominan. Dan yang terakhir sebagai kepala keluarga yang diharapkan untuk memimpin, kadang kita berlaku berlebihan guna memeroleh respek dan kepatuhan. Jadi sebagai suami misalnya kita tuntut istri kita harus begini dan begitu, kalau tidak maka kita marah dan kita katakan kita kepala keluarga, akhirnya sikap dominanlah yang lahir dari diri kita.
GS : Biasanya anak sulunglah yang memunyai sikap dominan, Pak Paul.
PG : Karena biasanya anak sulung adalah anak yang diserahi tanggung jawab. Jadi akhirnya mengembangkan sikap dominan namun ada juga dalam keluarga dimana anak sulung itu dianggap kurang bisa dan adiknya lebih mampu. Akhirnya orang tua lebih memberikan tanggung jawab kepada adiknya dan si adik yang lebih dominan dan justru memerintah kakaknya.
GS : Berarti sikap dominan itu sudah bisa dilihat sejak anak-anak, Pak Paul ?
PG : Ada yang bisa. Tapi ada juga yang justru kebalikannya sewaktu kecil dianak bawangkan kemudian dia berhasil keluar misalkan dia bisa sesuatu, dihargai pendapatnya maka bisa jadi kebablasan, dia tidak mau lagi menjadi anak yang dianak bawangkan sehingga akhirnya mengembangkan sikap dominan dan sedikit-sedikit mengikuti kehendak saya karena rasanya dia seolah-olah jera menjadi anak bawang dan sekarang tidak mau lagi dihina orang. Jadi kebablasan menjadi orang yang dominan.
GS : Dan biasanya mereka ini akan memilih pasangan yang bisa dikuasai, begitu Pak
Paul ?
PG : Cenderungnya begitu, Pak Gunawan. Jadi orang dengan sikap dominan tidak begitu nyaman dengan orang lain yang seperti dia. Akhirnya dia cenderung menikah dengan orang yang kebalikannya dari dia.
GS : Kalau karier seseorang apakah itu bisa membentuk seseorang menjadi orang yang bersikap dominan di dalam rumahnya, Pak Paul ?
PG : Bisa. Jadi kita sudah singgung misalkan dia ini di tempat pekerjaan dipercaya, diberikan tanggung jawab dan kepemimpinannya teruji, dari memimpin 5 orang menjadi pemimpin 50 orang dan akhirnya pemimpin 500 orang dan dia terbiasa memerintah dan memaksakan kehendak, semuanya mengikuti dia. Di
rumah akhirnya dia membawa kebiasaan yang sama itu. Jadi memang betul lingkungan pekerjaan yang kita lakukan juga dapat turut membentuk sikap dominan itu.
GS : Kalau kita sudah berkeluarga pengaruhnya apa, Pak Paul ?
PG : Bisa positif dan bisa negatif, yang positif adalah sikap dominan bisa memberikan rasa aman, sebab di bawah kepemimpinan yang dominan anak dan pasangan tidak perlu repot-repot memikirkan apa-apa, sebab semua telah dipersiapkan dan ditentukan. Jadi kita ini yang dominan akhirnya mengatur semuanya dan pasangan kita atau anak-anak hanya tinggal mengikuti saja. Justru kalau mereka memberi pendapat, kita merasa direpotkan, jadi kita tidak suka, Yang penting tahu beres saya akan memberikan yang terbaik. Kadang- kadang anak, istri atau suami kita, mereka akan merasa aman karena tahu semua akan beres.
GS : Walaupun tidak bisa dikerjakan akan tetap dikerjakan sendiri oleh orang yang dominan ini.
PG : Biasanya begitu. Yang berikut secara positif sikap dominan memberikan kejelasan kepada orang di sekitar kita oleh karena kita tidak memiliki masalah dalam mengutarakan pendapat dan kehendak, kita tidak suka maka kita katakan tidak suka, kita tidak suka begini dan kita katakan begini, akhirnya orang di sekitar kita misalnya pasangan kita atau anak-anak kita tahu jelas apa yang kita inginkan dan harapkan. Singkat kata, orang tidak harus bingung menebak-nebak apa yang kita pikirkan. Jadi ini salah satu hal positif hidup dengan orang yang bersikap dominan dan jelas tidak ada pertanyaan. Memang bisa jadi kita tidak suka dengan apa yang dia katakana, tapi setidak-tidaknya jelas.
GS : Dan ini kadang-kadang membuat keluarga lain menjadi apatis karena tidak dilibatkan di dalam perencanaan atau masa depan. Apakah ada juga hal-hal yang negatif selain yang positif yang tadi Pak Paul katakana ?
PG : Ada, Pak Gunawan, sekurang-kurangnya ada tiga, yang pertama sikap dominan dapat memadamkan kreatifitas dan spontanitas. Orang-orang yang mau berbuat sesuatu, mau memunculkan ide tertentu secara kreatif dan spontan, tidak bisa sebab semua sudah diatur. Jadi anak-anak atau pasangan kita akhirnya berkata, Sudah tidak usah kenapa ? Sebab apapun yang kami munculkan tidak akan dituruti. Akhirnya lingkungan atau anak-anak atau pasangan kita tidak lagi kreatif, spontan sebab mereka akan merasa percuma dan tidak akan didengarkan oleh kita. Yang berikut adalah sikap dominan dapat melemahkan kemandirian dan malah mengokohkan kebergantungan. Memang orang jelas tidak usah memikir apa-apa semua sudah diatur, masalahnya adalah kita malahan bisa justru menyuburkan kebergantungan, akhirnya pasangan dan anak merasa nyaman diatur sehingga tidak lagi berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang baru, mereka kurang bertanggung jawab dan akhirnya berharap kita melakukan semua bagi mereka. Jadi kita harus mengawasi sifat dominan yang bisa berdampak buruk. Yang terakhir secara negatif, sikap dominan dapat melahirkan pemberontakan, pasangan dan anak yang tidak nyaman dengan sikap kita yang dominan akhirnya melawan
dengan keras sebab mereka tahu mereka tidak dapat meyakinkan kita untuk mengubah pendapat dengan kita. Jadi daripada bicara tidak didengarkan akhirnya mereka gempur melawan dan berontak, bertengkar sebab mereka berkata, Percuma bicara baik-baik karena tidak akan didengarkan. Jadi ada dampak negatifnya dari sikap dominan bisa-bisa kita mengundang lahirnya pemberontakan.
GS : Di dalam sebuah keluarga yang dominan misalnya ayah, kemudian sang ayah ini tiba-tiba sakit lalu tidak bisa berfungsi lagi, apakah ini tidak mengacaukan kehidupan rumah tangga itu yang selama itu sangat bergantung kepada si ayah itu tadi, Pak Paul ?
PG : Bisa. Dan ini bukannya jarang terjadi tapi cukup sering terjadi karena semua biasanya ditangani oleh si ayah dan sewaktu ayah sakit dan yang terburuk terjadi si ayah meninggal dunia maka akan berantakan, karena pasangannya tidak mengerti apa-apa bahkan anak-anak yang mulai besar juga tidak mengerti apa-apa, karena semua biasa bergantung pada si ayah, memang orang bisa menyalahkan, Kenapa istrinya tidak bisa apa-apa, kenapa anaknya juga tidak bisa apa-apa mungkin harus dilihat apakah memang diberikan kesempatan untuk mengatur atau berpendapat, kalau tidak maka mereka menjadi orang-orang yang cenderung pasif.
GS : Biasanya kalau ayah yang dominan, istri atau anak itu melakukan dengan cara seperti yang ayahnya lakukan dan ini yang sulit, istrinya berkata, Saya bisa melakukan itu sebenarnya tapi dengan cara saya dan ini dilarang oleh si ayah ini tadi.
PG : Tepat. Jadi seringkali orang yang bersikap dominan bukan hanya memaksakan kehendaknya tapi juga memaksakan caranya, harus sesuai dengan cara dia akhirnya waktu si istri memunculkan cara yang berbeda tidak diterima, jadi harus dengan caranya sebab anggapannya, caranya adalah cara yang terbaik.
GS : Dan ini lebih banyak negatifnya, sebenarnya Pak Paul ?
PG : Saya kira lebih banyak negatifnya maka kita lebih bisa lebih berhati-hati.
GS : Kalau kita bisa menyadari dampak positif dan negatif dari sikap dominan ini, apa yang bisa kita kerjakan, Pak Paul ?
PG : Ada tiga saran yang bisa saya berikan. Yang pertama, kita harus lebih bersedia mendengarkan dan lebih terbuka untuk belajar atau berubah, jadi setelah kita akui kita cenderung dominan dan memang kita tidak bisa mengubahnya dengan cepat dan tidak apa-apa, tapi ingat nasehat yang pertama yaitu kalau orang bicara memberikan pendapat jangan buru-buru menyetop dan berkata, Ya saya sudah tahu, saya mengurus semuanya tapi dengarkan dulu dan tahan diri. Juga belajar terbuka, Baiklah saya harus mendengarkan ini dan mungkin saya harus ubah di sana dan di sini. Paksa diri untuk mendengarkan dan untuk belajar berubah.
GS : Tapi akan sulit Pak Paul, karena orang itu menikmati dengan kedominannya itu.
Kalau dia menyangkali hal itu berarti dia menyangkali dirinya sendiri.
PG : Benar dan tidak gampang. Apalagi tidak gampangnya sebab di tahap-tahap awal sewaktu dia mulai mau menyerahkan tanggung jawab kepada pasangannya atau anak-anaknya, sudah tentu karena dia lebih berpengalaman
maka pengaturannya akan lebih baik dan seringkali dia lebih berhikmat dan lebih tahu dengan lebih tepat apa yang harus dikerjakan dan caranya juga lebih efisien. Dia bisa jengkel dan dia serahkan kepada anaknya dan pasangannya tapi tidak efisien dan tidak mencapai target, jadi kecenderungannya adalah mengambil alih. Namun saya sarankan di tahap awal ini jangan, tapi coba berikan kesempatan, dengar pendapat apa yang bisa kita ubah maka kita ubah. Yang kedua adalah kalau kita sadar kita ini dominan, kendati kita beranggapan bahwa pendapat kita lebih baik daripada pendapat pasangan atau anak, kadang-kadang kita harus berkata, Ya sudah tidak apa-apa dan tidak selalu pendapat kita harus didengarkan. Ini penting kita harus mengingatkan diri sendiri. Kadang kita kebalikannya, kita justru berkata, Tidak, pendapat saya layak dan seharusnya didengarkan justru tidak. Tidak apa-apa orang tidak mau terima meskipun kita yakin pendapat kita jauh lebih baik. Yang ketiga yang terakhir adalah kalau kita sadar kita cenderung dominan maka mintalah maaf jika selama ini kita telah menggilas pendapat mereka. Jadi ingat mengarahkan tidak sama dengan memaksakan, boleh mengarahkan, Kenapa ini rasanya lebih baik, beritahukan faktor positif dan negatifnya kalau memilih yang lain. Boleh mengarahkan, tapi jangan memaksakan kecuali ini masalah yang berkaitan dengan bahaya dan kita bicara dengan anak yang masih kecil itu lain perkara. Tapi kalau bicara dengan anak yang sudah besar, dengan istri atau suami kalau bisa terapkan prinsip ini, jangan sampai kita menggilas pendapat mereka dan kita arahkan saja tapi jangan paksakan.
GS : Pak Paul, ada beberapa etnis tertentu dimana memang laki-laki itu ditempatkan harus dominan di dalam keluarga itu, ini bagaimana ? Karena dari dulunya mereka seperti itu.
PG : Saya mau menukar kata dominan dengan kata mengarahkan, kita ini sebagai kepala keluarga, laki-laki harus berfungsi sebagai pemimpin, pemimpin adalah orang yang memberikan arahan, kita sepatutnya juga bertugas memberikan arahan kepada keluarga kita, namun kita tidak harus menjadi pemimpin yang dominan sehingga menimbulkan dampak negatif memaksakan kehendak dan sebagainya. Jadi arahkan saja, setelah itu biarkan mereka juga memikirkannya dan beri mereka kebebasan juga untuk bersilang pendapat dengan kita.
GS : Untuk suatu keluarga dimana suami atau ayah itu sering melakukan perjalanan
keluar kota, mungkin itu lebih baik dia tidak perlu dominan di keluarga itu, Pak
Paul ?
PG : Jadi kalau ayahnya atau kepala keluarga sering absen, ini tidak perlu dominan tapi masih bisa juga dari jauh dia mengatur, semua dilaporkan kepadanya dan kalau tidak dituruti dia pulang bisa marah dan sebagainya, bisa juga dia bersikap dominan.
GS : Di dalam hal ini kadang-kadang orang salah menafsirkan ayat Alkitab yang mengatakan bahwa suami itu kepala keluarga sehingga dia mengatur segalanya, kalau hal ini agak dinetralisir apakah ada ayat firman Tuhan yang lain, Pak Paul ?
PG : Kolose 3:12 firman Tuhan berkata, Karena itu, sebagai orang-orang pilihan
Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan,
kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Jelas disini firman Tuhan sangat mementingkan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan dan kesabaran. Bayangkan seorang pemimpin atau kepala rumah tangga memunyai belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan dan kesabaran. Bukankah dia akan menjadi kepala keluarga yang justru lebih baik lagi maka kita harus berhati-hati jangan sampai terlalu memaksakan kehendak.
GS : Kadang-kadang orang mengatakan, Itu adalah sifatnya orang perempuan dan bukan orang laki-laki, orang laki-laki sebaliknya dari ini.
PG : Saya mengerti dalam budaya kita cenderungnya ada anggapan laki-laki harus lebih keras, tidak harus terlalu sabar, laki-laki harus bisa marah dan sebagainya, tapi kenyataannya tidak harus seperti itu orang yang tegas tetap bisa dihormati tapi dia tidak harus menjadi orang yang ganas atau brutal. Dengan kesabaran dia tetap bisa memimpin juga.
GS : Jadi seseorang harus menggunakan dominasinya itu untuk membangun
keluarganya dan bukan malah menghancurkan keluarganya, begitu Pak Paul. PG : Betul sekali.
GS : Baik suami atau istri yang dominan di dalam keluarga itu sebenarnya tidak ada masalah kalau masing-masing menyadari Kolose 3:12 tadi.
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Sikap Dominan Dalam Keluarga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Setiap keluarga unik. Salah satu unsur yang menentukan keunikan sebuah keluarga adalah campuran kepribadian ayah dan ibu atau suami dan istri itu sendiri. Pada umumnya kepribadian turut memengaruhi kebiasaan dan gaya hidup yang akhirnya memengaruhi bagaimana anak dibesarkan.
Berikut akan dipaparkan dampak sikap dominan pada keluarga.
Hal pertama yang mesti kita ketahui adalah definisi sikap dominan. Pada dasarnya kita semua berharap bahwa kita dapat memengaruhi orang. Pada umumnya kita akan disebut dominan apabila kita cenderung memaksakan kehendak demi memengaruhi orang untuk melakukan apa yang kita harapkan.
Hal kedua adalah sikap dominan itu sendiri yang sesungguhnya tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan salah satu jenis kepribadian. Jika kita membagi kepribadian dalam empat tipe--kolerik, melankolik, sanguin, dan flegmatik--sesungguhnya sifat dominan bisa berada pada semua jenis.
Hal ketiga adalah acap kali sikap dominan lebih terkait dengan pengalaman tertentu dan latar belakang keluarga kita sendiri, secara khusus dengan bagaimanakah kita dibesarkan.
Contohnya sebagai berikut :
• Anak yang dipercayakan dengan banyak tanggung jawab, terutama untuk mengawasi adik-adiknya, cenderung mengembangkan sikap dominan.
• Anak yang terpaksa dinaikkan pangkat menjadi pengganti ayah atau ibu, cenderung mengembangkan sikap dominan.
• Anak yang menunjukkan kecerdasan atau keterampilan yang di atas rata-rata kerap menerima penghargaan dan kepercayaan untuk memimpin dan ini berpotensi mengembangkan sikap dominan.
• Anak yang mengalami perlakuan buruk atau penghinaan, kemudian berhasil keluar dari kondisi tersebut, cenderung mengembangkan sikap dominan untuk memertahankan dirinya.
• Apabila kita memiliki rasa tidak aman dan sarat kecemasan, kita pun cenderung mengembangkan sikap dominan untuk memastikan semua berjalan sesuai harapan.
• Sebagai kepala keluarga yang diharapkan untuk memimpin, kadang kita pun berlaku berlebihan guna memperoleh respek dan kepatuhan. Alhasil kita bersikap dominan.
Hal keempat yang perlu kita sadari adalah bahwa sikap dominan memberi dampak tertentu pada anggota keluarga yang lain, baik positif maupun negatif, seperti:
• Secara positif, ada 2 hal, yaitu (1) sikap dominan dapat memberi rasa aman. Di bawah kepemimpinan yang dominan, anak dan pasangan tidak perlu repot-repot memikirkan apa-apa sebab semua telah dipersiapkan dan ditentukan.
(2) Sikap dominan juga memberi kejelasan. Singkat kata, orang tidak harus bingung menebak-nebak apa yang kita pikirkan.
• Secara negatif, ada 3 hal yaitu, (1) sikap dominan dapat memadamkan kreativitas dan spontanitas.
Oleh karena semua telah diatur, pasangan dan anak tidak bebas berkreasi dan memunculkan gagasan secara spontan. (2) Sikap dominan dapat melemahkan kemandirian dan malah
mengokohkan kebergantungan. (3) Sikap dominan dapat melahirkan pemberontakan. Pasangan dan anak yang tidak nyaman dengan sikap kita yang dominan akhirnya melawan dengan keras sebab
mereka tahu mereka tidak dapat meyakinkan kita untuk berubah pendapat dengan mudah.
Setelah menyadari, baik dampak positif maupun negatif dari sikap dominan, jelas terlihat bahwa kita mesti menjaga agar sikap dominan tidak membuahkan akibat buruk. Tidak bisa tidak, kita harus mengendalikannya sehingga sikap dominan tidak menguasai kita dan orang di sekitar kita. Caranya sederhana:
• Kita harus lebih bersedia mendengarkan dan lebih terbuka untuk belajar atau berubah.
• Kendati kita beranggapan bahwa pendapat kita lebih baik daripada pendapat pasangan atau anak, biarkanlah. Tidak selalu pendapat kita mesti didengarkan.
• Mintalah maaf bila selama ini kita telah menggilas pendapat mereka. Ingatlah bahwa mengarahkan tidak sama dengan memaksakan.
Pada akhirnya ingatlah Firman Tuhan yang berkata, Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran.
Relasi yang Tidak Direstui|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T437B|T437B|Suami-Istri|Audio|Tidak semua pernikahan direstui orangtua namun ini tidak berarti pernikahan yang tidak direstui orangtua identik dengan tidak direstui Tuhan. Apa yang harus dilakukan pasangan kepada orangtua setelah pernikahan?|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T437B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Relasi yang Tidak Direstui Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Ada cukup banyak yang bisa kita dengar akhir-akhir ini tentang istilah kawin lari, jadi mereka memaksa menikah walaupun kedua orangtua mereka bahkan mertua mereka pun tidak setuju. Tetapi karena mereka berkata saling mencintai maka mereka tetap saja menikah. Nah bagi kita orang-orang yang percaya kepada Tuhan ini bagaimana Pak Paul?
PG : Sudah tentu kita harus melihat sebetulnya apa alasan orangtua tidak merestui
hubungan anaknya dengan calon menantunya itu. Sebab adakalanya memang orangtua berada di pihak yang benar, yaitu misalkan orangtua sungguh- sungguh melihat pasangannya ini tidak cocok, berperangai buruk, melakukan hal-hal yang buruk, tidak jujur dan sebagainya. Tapi entah mengapa si anak seperti buta, dia tidak melihat semua itu, sudah tentu orangtua harus dengan tegas memberitahukan kepada si anak, ini masalah-masalah yang sudah terjadi. Adakalanya hubungan itu tidak direstui bukan saja oleh orangtua tetapi oleh Tuhan yaitu dalam kasus orang menikah dengan yang tidak seiman. Jelas-jelas Than sudah meminta kita menikah dengan sesama orang percaya, percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita dan Tuhan kita, tapi ada orang yang berkata tidak apa-apa saya menikah dengan yang lain, sebab saya cocok dengan dia. Tetap ini adalah pernikahan yang tidak diperkenan oleh Tuhan, jadi akhirnya orangtua juga bersikap menentang tidak menyetujui pernikahan ini. Jadi dalam hal seperti ini, kita mesti melihat kebenaran siapakah yang memihak pada kebenaran itu. Kita tidak membela orangtua atau si anak sebab yang penting bukanlah apakah orangtua atau si anak tapi yang penting adalah yang manakah berada di pihak yang benar. Jadi kalau misalnya setelah kita tilik masalahnya dan akhirnya kita menarik kesimpulan yang benar adalah si anak. Ada orangtua yang memang tidak realistik, terlalu peka, sehingga tindakan si menantu yang sederhana dan kecil namun disoroti sebagai sesuatu yang bermasalah dan dijadikan alasan. Tidak boleh menikah dengan dia sebab orang ini berniat jahat, mau kurang ajar dan sebagainya. Padahalnya juga tidak, kalau memang itu yang terjadi saya kira si anak harus meminta konsultasi, pendapat dari banyak orang. Jangan mereka berdua langsung memutuskan bahwa yang salah orangtua, mintalah masukan dari anak-anak Tuhan yang lebih matang, yang bisa memberikan pada mereka penilaian, sebetulnya yang berada pada pihak yang benar itu siapa. Biarlah
nasihat-nasihat dari banyak orang ini kita kumpulkan sehingga kita bisa objektif menilai sebetulnya siapa yang berada di pihak yang benar. Nah kalau benar-benar anak-anak Tuhan yang lebih matang, semua berkata, tidak ada yang salah dengan relasi kamu dan memang orangtua di sini yang bersikap terlalu berlebihan saya kira ujung-ujungnya si anak dapat dan boleh melakukan pernikahan itu meskipun orangtuanya tidak merestui.
GS : Berarti apa yang tidak direstui orangtua tidak secara otomatis baha Tuhan tidak merestui pernikahan mereka juga Pak Paul?
PG : Meskipun ada sebagian orangtua yang mau mensejajarkan restu orangtua dengan restu Tuhan. Tidak, sebab orangtua bukanlah Tuhan, orangtua adalah manusia yang kadangkala bisa dipengaruhi oleh hal-hal yang sangat subjektif pada dirinya, itu yang akhirnya menelurkan sikapnya yang membenci si calon menantu itu. Jadi kita tidak samakan restu orangtua dengan restu Tuhan. Yang kita utamakan adalah restu Tuhan, namun kita juga mesti terbuka mendengarkan masukan orangtua sebab mereka sesekali dapat melihat sesuatu dengan jelas hal-hal yang mungkin kita luput melihatnya.
GS : Tetapi biasanya muda-mudi yang sedang jatuh cinta, menanyakan pendapat
orang lain pun dia tidak bisa menyimpulkan secara objektif, ini yang sulit Pak
Paul?
PG : Betul, makanya saya berharap kalau dua orang ini calon suami-istri sudah mendapatkan tantangan dari orangtua, dia harus mencari masukan sebanyak mungkin dari anak-anak Tuhan yang matang, dari orang-orang yang berhikmat, mintalah pendapat mereka, ceritakan semuanya, sejujur mungkin, jangan hanya ceritakan sisi yang baik, tapi ceritakan semuanya. Kenapa orangtuanya bersikap begini, apa yang pernah pasangannya lakukan dan sebagainya bukakan semua itu sehingga akhirnya orang-orang ini bisa melihat dengan lebih jelas dan memberi masukan yang lebih tepat pula.
GS : Dan bagi orangtua juga sulit untuk menyadarkan bahwa sebenarnya dia salah. PG : Sering kali ini menjadi perangkap Pak Gunawan, orangtua sekali berkata tidak,
mereka kesukaran menarik kata-kata itu, karena akhirnya ini menyangkut harga diri. Rasanya mereka harus merendahkan diri kalau mereka berkata oya saya dulu keliru. Belum lama ini saya bertemu dengan seseorang yang sewaktu berpacaran dengan suaminya ditentang mati-matian oleh orangtuanya. Tapi akhirnya mereka bersabar dan akhirnya mendapatkan restu walaupun tidak
100% dari orangtua untuk menikah. Setelah bertahun-tahun menikah dan bertemu dengan saya dia mengatakan orangtua saya itu di dalam pertemuan keluarga berkata dengan jujur bahwa Saya dulu keliru, menilai calon menantu saya ini, ternyata dia tidak seperti yang saya duga dan saya salah. Nah itu indah sekali kalau ada orangtua yang dengan berani mengakui kekeliruannya. Namun kita sering kali dipengaruhi oleh unsur budaya yang seolah-olah berkata kepada kita kalau ada pertentangan di antara yang tua dan yang muda, yang muda harus mengalah. Menurut saya prinsip ini tidak alkitabiah, sebab selalu dalam prinsip Alkitab tidak ada hal-hal seperti itu, gara-gara kita muda maka kita harus mengalah meskipun yang tua itu salah. Siapa yang berada di pihak yang salah itu yang mengalah dan mengakui kesalahannya, siapa berada
di pihak yang benar, dialah yang benar. Jadi dalam hal ini saya kira orangtua juga mesti belajar objektif dan melihat dengan lebih terbuka, tanya pendapat orang. Kadang-kadang orangtua tidak mau tanya pendapat orang lain, malah mencoba mempengaruhi pendapat orang-orang lain untuk mendukung dia dan melawan menantu. Tidak mau terbuka mendengarkan masukan dari orang lain yang berkata, Pa, Ma, tidak apa-apa, tidak seperti yang papa-mama pikirkan. O....tidak mau dia pasti benar. Nah itu memang susah.
GS : Dalam hal ini orangtua pun tidak memberikan kriteria sebenarnya menantu yang bagaimana yang dia kehendaki. Si muda-mudi ini juga kebingungan, pokoknya mereka cocok dan memulai menjalin cinta ternyata orangtuanya tidak setuju, ini yang sulit.
PG : Dan ada orangtua yang tukar kriteria setiap kali anaknya berpasangan, ada
juga yang seperti itu. Jadi si anak berpacaran dengan yang seperti ini berpikir orangtua pasti setuju, orangtua berkata, Tidak, dia begini-begini. Si anak akhirnya berkata ok-lah tidak seperti yang orangtua inginkan. Bersama lagi dengan orang lain, O.........tidak sebab begini-begini. Ada orang yang seperti itu sampai berkali-kali pacaran tapi orangtua senantiasa berkata, Bukan, ini salah, ini banyak kelemahannya begini-begini. Saya kira itu tidak benar. Orangtua mesti mendasari kriteria dari firman Tuhan. Firman Tuhan memberikan kita kriteria hanya dua, yaitu menikahlah dengan sesama orang percaya, itu kriteria yang harus dipenuhi karena itu yang Tuhan kehendaki. Dan yang kedua kriterianya adalah Tuhan menginginkan kita menikah dengan yang sepadan dengan yang cocok, jadi kalau kita melihat mereka sudah seperti kucing dan anjing sejak berpacaran ya orangtua seyogianya memberitahukan anak, Ini tidak cocok, kamu sering kali berkelahi, kami sering kali melihat kalian pulang murung, bukannya pulang bergembira setelah bertemu dengan pacarmu malah murung, malah berantem lagi. Tugas orangtualah memberitahukan, firman Tuhan meminta kamu menikah dengan yang sepadan. Ingatkan dua kriteria itu, kalau ada sifat-sifat jelek coba munculkan sehingga si anak bisa melihat memang seperti inilah pacarnya itu.
GS : Memang sering kali yang terjadi adalah cara mengkomunikasikan, orangtua yang tidak setuju anaknya berpacaran dengan si A atau si B mengkomunikasikan dengan cara yang tidak enak, sehingga muda-mudi ini malah bersikeras, dan sebaliknya juga pasangan muda-mudi ini tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik terhadap orangtuanya.
PG : Kadang-kadang orangtua itu sudah termakan oleh rasa takut Pak Gunawan, karena rasa takut itulah maka orangtua itu akhirnya cepat menghakimi, itu saya harus akui. Kita cepat mengaitkan sebuah perbuatan dengan sebuah kesimpulan akan karakternya orang tersebut. Karena dia berbuat ini maka karakternya seperti ini. Maka yang sederhana karena waktu dia ingin pulang, dia lupa permisi (sekali saja dia lupa permisi) si orangtua langsung beranggapan si anak ini tidak sopan kepada orangtua. Anak yang tidak sopan kepada orangtua berarti anak ini memang berniat buruk, hanya mau anaknya tidak mau mempedulikan orangtuanya, orang seperti ini jangan kamu nikahi. Terlalu cepat memberikan kesimpulan, jadi orangtua mesti berhati-hati jangan
terlalu cepat memberikan kesimpulan sebab itu yang akan dilawan oleh si anak. Jadi kalau orangtua menemukan hal yang tidak baik pada calon menantunya, munculkan buktinya setelah itu katakan pada si anak, Biasanya orang yang begini, dia begini, tapi saya tidak tahu apakah pacar kamu seperti itu, kamu lihat saja asal engkau perhatikan. Saya kira sikap itu lebih baik daripada langsung menuding-nuding, pasti anak itu begini.
GS : Ada muda-mudi yang beranggapan, dengan kawin lari nanti suatu saat orangtuanya pasti akan luruh juga dan akan menerima juga, maka mereka bersikeras untuk kawin lari saja.
PG : Sudah tentu awal-awalnya tadi saya sudah singgung kita mesti melihat kenapa orangtua kita tidak menyetujui dan akhirnya kita sadari apakah orangtua kita berada di pihak yang benar atau kita. Kalau dari nasihat-nasihat banyak anak Tuhan yang telah kita dengar mengatakan kita ada di sisi yang benar, silakan langsungkan pernikahan. Menurut saya tidak usah kawin lari. Bagaimana kalau orangtua marah, tidak mau datang dan sebagainya; terpaksa kita terima itu, kita mungkin minta perwakilan dari orang lain yang bisa mendukung kita. Apa yang akan terjadi? Sudah tentu ini akan menyakitkan hati orangtua dan tindakan ini dinilai sebagai tindakan kurang ajar, tidak hormat dan tidak menghargai orangtua, tidak berterima kasih, maka muncul komentar orangtua Ini anak berpuluhan tahun saya kasih makan, baru dikasih makan setahun sama orang ini sudah langsung berbalik melawan kami. Ini yang biasanya menimbulkan rasa sakit hati yang dalam, orangtua merasa dibuang, diangap tidak bernilai, si anak kok lebih mementingkan pasangan, ini yang membuat si orangtua benar-benar terluka. Kami berpuluhan tahun merawat dia, dalam sekejap langsung dibuang, kami tidak penting yang penting adalah si pasangan ini. Jadi yang mau saya sarankan adalah setelah pernikahan penting bagi anak untuk tetap menujukkan hormat dan kasih kepada orangtua, kendati orangtua berusaha menolak. Lihatlah penolakan ini sebagai upaya orangtua untuk menyembuhkan lukanya dan sekaligus balas memukul anak, mereka merasa dilukai mereka memang ingin mengganjar si anak dan ganjarannya adalah penolakan itu jadi biarkan. Namun orangtua perlu melihat si anak itu tetap memelihara hubungan, tetap menegur, menyapanya, menyakan kondisinya dan sebagainya. Biarkanlah sebab orangtua membutuhkan waktu untuk sembuh dan membalas. Selang beberapa waktu setelah kemarahan reda dan mereka sudah cukup puas membalas itu biasanya mereka akan menerima anak kembali kalau memang pada akhirnya mereka melihat bukankah memang anak saya itu menikah dengan orang yang tepat.
GS : Pasangan muda ini memang harus membuktikan, apa yang mereka lakukan itu tidak salah, Pak paul?
PG : Betul, kalau kebalikan yang terjadi memang itu runyam. Sebab kadang-kadang ini terjadi dan saya saksikan, jadi orangtua sudah berkata jangan, tetap bersikeras. Akhirnya setelah menikah, benar-benar pernikahan itu buruk sekali, akibatnya si anak pun tidak berani datang kepada orangtua menceritakan persoalannya sebab dia sudah tahu orangtua akan berkata, Kan dari dulu kami sudah katakan tapi kamu tidak mau dengarkan, nah ini
sekarang akibatnya. Kalau memang benar orangtua dan si anak itu keliru, memang akan menimbulkan masalah. Maka saya dalam pembimbingan Pak Gunawan, senantiasa mengingatkan anak-anak yang mau menikah dalam kasus tidak direstui untuk berjaga-jaga soal ini. Sebab setelah mereka menikah sudah tentu mereka akan menemukan ketidaksempurnaan pada pasangannya. Kalau ketidaksempurnaan ini kebetulan yang sudah disebut- sebut oleh orangtua dan terus dilihat, si anak ini nanti setelah menikah bisa akan bereaksi lebih keras terhadap pasangannya. Meskipun ini ketidaksempurnaan dalam batas kewajaran, tapi karena si anak ingat dulu orangtua saya sudah katakan memang suamimu itu orangnya egois, nah dia melihat benar ada egoisnya, bisa-bisa reaksi si anak terlalu keras memarahi dan mengancam si suami. Dan kalau tidak bijaksana dia katakan, Dari dulu mama-papa saya sudah katakan kamu orangnya egois, ternyata benar. Jadi sering kali memang ini bisa mewarnai relasi nikah, makanya kalau tidak direstui orangtua, perlu benar-benar kesabaran untuk benar-benar menilik apa yang terjadi, kenapa tidak disetujui, jangan cepat-cepat berkata pasti orangtua yang salah dan sebagainya.
GS : Dalam kasus seperti itu biasanya orangtua malah lebih gampang menerima anaknya kembali sehingga rumah tangga itu terancam pecah.
PG : Betul Pak Gunawan, ya karena si orangtua akhirnya berkata ini anak saya, bahkan dalam kasus-kasus tertentu orangtua menganjurkan anaknya meninggalkan pasangannya. Cepat-cepatlah kamu tinggalkan memang dia orangnya seperti ini, jadi meskipun problemnya belum terlalu parah, orangtua bisa menjadi pemotivasi untuk anak meninggalkan pasangannya.
GS : Memang dalam banyak hal orangtua sering kali yang disalahkan itu malah menantunya bukan anaknya. Itu bagaimana Pak?
PG : Saya kira ini reaksi alamiah, kita mengerti orangtua itu bagaimana pun cenderung membela anaknya, jadi akhirnya menimpakan semua kesalahan kepada menantu. Wah gara-gara dia, anak saya sekarang melawan saya. Dulu dia tidak pernah kurang ajar, dia tidak pernah melawan kami, gara-gara bertemu dengan (dia sebut menantunya) dia menajdi berani, kurang ajar dan sebagainya. Jadi kebencian orangtua yang sebetulnya kemarahan itu tertuju kepada si anak sekarang dikonfersi semua, diubah semua menjadi kemarahan terhadap si menantu. Itu sebabnya kita dapat simpulkan, biasanya kemarahan dan penolakan orangtua terhadap menantu jauh lebih lama dan dalam ketimbang terhadap anak sendiri. Mungkin dalam beberapa lama orangtua bisa kembali baik dengan anak, tapi terhadap menantu tidak. Apa yang harus dilakukan? Sebaiknya menantu tidak agresif menjahit kembali relasi yang telah robek ini, karena sikap yang agresif akan membuat orangtua menjauh dan menimbulkan rasa tidak suka. Sebab mereka akan menuduh tindakan menantu sebagai tindakan mencari muka belaka. Jadi meskipun si menantu baik hati, mau merendahkan diri, jangan berlebihan, seperlunya saja. Sebab mudah sekali nanti dilabelkan mau mencari muka, dan orangtuanya makin benci bukan makin menerima si menantu.
GS : Memang dalam hal ini sering kali yang sulit adalah pada awalnya sebenarnya orangtua merestui hubungan mereka bahkan sampai ke pernikahan mereka merestui. Tapi setelah berjalannya waktu, lalu orangtua menyadari bahwa menantunya ini tidak cocok buat anaknya. Lalu mereka tidak merestui lagi hubungan ini, jadi menantunya dijelek-jelekkan di hadapan anaknya maupun di hadapan orang lain.
PG : Itu sering terjadi Pak Gunawan, apa yang dilakukan oleh mertua? Biarkan, orangtua itu jangan terlalu aktif dan agresif mencampuri urusan anaknya. Kalau si anak yang datang meminta masukan, berilah masukan, tapi kalau tidak jangan orangtua itu terlalu agresif menyerang si menantu dengan mengatakan, aduh kamu kok mau menikah dengan orang yang seperti ini. Lebih baik jangan, lebih baik orangtua bersikap lebih pasif terhadap hal-hal seperti ini, karena kalau tidak ini sering kali memperluas masalah.
GS : Tapi orangtua juga berdalih, saya melindungi anak saya.
PG : Kalau memang masalah pemukulan, pengancaman jiwa, seharusnya orangtua turun tangan melindungi anak dari bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh menantunya. Tapi kalau tidak seperti itu, hanya masalah ketidakcocokkan, cekcok, sebaiknya orangtua jangan ikut-ikutan. Masalah dua orang untuk diselesaikan sudah cukup susah, kalau melibatkan mertua ya tambah susah, jadi sebaiknya jangan ikut campur biarkan anak kita berusaha menyelesaikannya. Kalau meminta bantuan kita, berikan masukan-masukan, tapi biarkan anak kita yang menyelesaikan.
GS : Sering kali yang dipersoalkan misalkan masalah keuangan Pak Paul, jadi karena orangtua khawatir uang atau harta anaknya yang notabene adalah harta bapaknya ini dihabiskan oleh menantunya. Maka dia cepat-cepat turun tangan.
PG : Kalau memang kita melihat perangai si menantu yang buruk, benar-benar buruk kelihatan mau menghabiskan uang mertuanya dan sebagainya, sudah tentu harus bijaksana, untuk orangtua bersikap lebih preventif menjaga jangan sampai nanti memang semua akan dimakan oleh si menantu. Tapi sekali lagi dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti itulah orangtua turun tangan lebih aktif, kalau tidak sebaiknya jangan terlalu aktif, nanti ditafsir berbeda dan negatif oleh si menantu.
GS : Kalau seandainya orangtua sudah mengakui bahwa dia salah dan mau
menerima kembali atau merestui hubungan anak dan menantunya itu, bagaimana seharusnya sikap anak dan menantu terhadap orangtua mereka.
PG : Harus memaafkan Pak Gunawan, ini kadang-kadang menjadi masalah sebab si anak akan berkata sakit hati saya sudah terbalas, tidak bisa memaafkan. Berdoalah kepada Tuhan, meminta Tuhan memberikan pengampunan itu. biarkan Tuhan mengisi hatinya dengan pengampunan sehingga dia bisa mengampuni mertuanya yang telah melukai hatinya itu. Kalau misalkan kasusnya kebalikannya yaitu si anak melihat sebetulnya istri saya itu baik tapi orangtuanya tidak mau menerima. Nah misalkan si anak berusaha meyakinkan orangtuanya, saya kira itu juga kurang bijaksana. Sering kali orangtuanya kurang bisa terima kenapa dia dipaksa-paksa harus menerima si menantunya, dan dia memang kurang suka. Jadi menurut saya jangan terlalu menggebu-
gebu membangga-banggakan istrinya atau suaminya, Tidak seperti yang papa-mama pikir, dia begini, begini, nah kuping orangtua makin panas, bukan menerima tapi makin marah terhadap si anak dan kepada si menantu, jadi lebih baik anak juga jangan terlalu agresif menawarkan kebaikan pasangannya kepada orangtua. Biarkan orangtua melihat sendiri, itu kuncinya, bahwa menantunya tidak seperti yang mereka duga ini yang lebih penting.
GS : Memang di pihak menantu terasa akan lebih menyakitkan kalau sejak awal tidak direstui kemudian mereka diterima kembali, itu biasanya terjadi penolakan di pihak menantunya. Walaupun anaknya mau, misalkan orangtuanya berkata, kalau mau datang ke sini, tapi menantu yang tidak mau datang ke rumah mertuanya itu karena sudah diperlakukan seperti itu.
PG : Ini bisa terjadi di kedua belah pihak Pak Gunawan, ada juga calon menantu
yang sebelum menikah karena pernah ditolak, marah dan mengeluarkan kata- kata yang kasar terhadap mertuanya. Nah ini menjadi luka yang dalam, si mertua akhirnya tidak bisa terima dan tidak bisa lupakan perkataan menantunya ini kepada dia. Jadi saya kira baik menantu maupun orangtua, kalau pernah mengalami luka dan sakit hati, dua-dua mesti datang kepada Tuhan, dua-dua mesti meminta Tuhan tolong saya mengampuni. Sebab bukankah ini perintah Tuhan, kalau kita tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita, maka kata Tuhan Yesus Bapa-Ku yang di sorga pun tidak akan mengampuni kamu. Tuhan pengampun dan Tuhan menginginkan kita anak-anak-Nya mempunyai roh pengampun yang sama.
GS : Sifat pendendam itu yang mungkin dihilangkan Pak Paul?
PG : Betul sekali, jadi tidak ada untungnya dan tidak ada kebaikannya memelihara dendam seperti itu. Malahan makin memperkeruh masalah, kenapa tidak bisa mengampuni. Kadang-kadang kita agak bingung melihat hal seperti ini, sebab si orang yang sama ini dengan orang lain lebih bisa mengampuni, terhadap menantunya atau mertuanya tidak bisa mengampuni.
GS : Jadi kita kembali lagi pada apa yang firman Tuhan katakan untuk memperbaiki hubungan seperti ini Pak Paul.
PG : Saya akan kutib Matius 5:44 dan 45, Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah
musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan
demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga... Kita tidak
punya musuh kalau kita mendoakan dia Pak Gunawan, begitu kita mulai
mendoakan musuh kita tiba-tiba orang itu berhenti menjadi musuh kita karena kita tidak bisa menggabungkan keduanya. Jadi langkah pertama adalah siapapun yang merasa dilukai datanglah kepada Tuhan, berdoalah bagi orang yang telah melukai itu, begitu kita mendoakan dia luluhlah kemarahan- kemarahan dan dendam kita.
GS : Tentunya yang dimaksud Tuhan di sini adalah berdoa untuk kebaikan orang itu
Pak Paul, bukan mendoakan untuk kecelakaannya.
PG : Bukan menyumpahi tapi berdoa agar memang Tuhan menolong, memberkati orang tersebut dan memperbaiki relasi kita berdua.
GS : Terima kasih seklai Pak Paul untuk perbincangan kali ini, dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti
perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Relasi yang tidak Direstui, bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristesn (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Tidak semua pernikahan direstui orangtua namun ini tidak berarti pernikahan yang tidak direstui orangtua identik dengan tidak direstui Tuhan. Adakalanya orangtua tidak merestui pernikahan anak karena alasan yang salah dan jika ini yang terjadi, setelah berdoa dan meminta banyak nasihat dari anak-anak Tuhan yang dewasa, pasangan bebas untuk melangsungkan pernikahannya. Pertanyaannya, apakah yang harus dilakukan pasangan kepada orangtua setelah pernikahan? Berikut ini ada beberapa masukan.
• Apa pun alasannya, keputusan anak untuk tetap menikah tanpa restu akan menyakitkan hati orangtua. Tindakan itu dinilai sebagai tindakan kurang ajar (tidak hormat) dan tidak menghargai orangtua (tidak berterima kasih). Orangtua merasa dibuang dan dianggap tidak bernilai sebab anak lebih mementingkan pasangannya. Setelah pernikahan, penting bagi anak untuk tetap menunjukkan kasih dan hormat kepada orangtua, kendati orangtua berusaha menolak. Lihatlah penolakan ini sebagai upaya orangtua untuk menyembuhkan lukanya dan sekaligus balas memukul anak. Biarkanlah sebab mereka membutuhkan waktu untuk sembuh dan membalas. Selang beberapa waktu setelah kemarahan reda dan mereka merasa cukup puas membalas, biasanya mereka akan menerima anak kembali.
• Pada umumnya orangtua akan menimpakan semua kesalahan kepada menantu, seolah-olah gara-gara dialah anak melawan orangtua. Jadi, dapat diduga kemarahan dan penolakan orangtua terhadap menantu akan bertahan jauh lebih lama dan dalam ketimbang terhadap anak sendiri. Sebaiknya menantu tidak agresif mencoba menjahit kembali relasi yang telah robek ini. Sikap yang agresif akan membuat orangtua menjauh dan menimbulkan rasa tidak suka sebab mereka akan menuduh tindakan menantu sebagai tindakan mencari muka belaka. Sebaliknya, jangan mendiamkan mertua sama sekali, tetap kirimkan kartu ucapan selamat dan foto keluarga kepada mertua. Mendiamkan orangtua akan membuatnya merasa tidak dihormati. Biarkan orangtua menilai siapa diri kita lewat anaknya sendiri, artinya mereka melihat betapa bahagianya anak menikah dengan menantu yang baik. Dengan kata lain, orangtua melihat kebaikan menantu lewat anaknya sendiri.
• Berdoa dan terus mengasihi mereka. Tuhan Yesus berkata, Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga. (Matius 5:44-45)
Berbicara dengan Anak Remaja Kita|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T438A|T438A|Remaja/Pemuda|Audio|Anak remaja cenderung menyempitkan lingkungan mereka karena ini merupakan pembentukan jati dirinya. Dan dalam hal ini orangtua harus benar-benar dapat memahami dan mengerti bagaimana orangtua harus bersikap dan berperan dengan tepat.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T438A.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling dan juga seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang masalah bagaimana Berbicara dengan Anak Remaja Kita atau para remaja kita. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Pak Paul Gunadi, sebagai ayah dari 2 orang anak remaja saya merasa/menyadari sebenarnya ada suatu perubahan besar yang terjadi di dalam anak-anak saya dalam pola mereka makan, dalam pola mereka itu berpakaian dan sebagainya. Tetapi yang saya rasa sulit sekali itu adalah masalah berkomunikasi, berbicara dengan mereka itu Pak Paul, saya merasa tidak seperti dulu lagi. Dulu waktu masih anak-anak saya ngomong bisa didengarkan dengan baik dan sebagainya, tanpa memberikan alasan-alasan atau bahkan meninggalkan, nah ini yang terjadi bisa seperti itu. Kadang-kadang dia tetap duduk di depan seolah-olah mendengarkan, tapi saya juga yakin bahwa dia tidak sedang mendengarkan saya berbicara, jadi apakah memang ada pola perubahan di dalam gaya atau pengertian mereka berkomunikasi sejak mereka memasuki usia remaja Pak Paul?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi anak-anak remaja cenderung memang berdiam diri lebih banyak di hadapan orangtua dibandingkan pada masa kecilnya. Karena apa? Karena pada masa remaja anak-anak mulai melihat tempat dia, bahwa tempat dia adalah di dalam lingkungan remaja. Anak kecil masih belum mempunyai perasaan tempat itu, jadi anak kecil diajak ngomong oleh orang dewasa, ya dia jawab, diajak ngomong oleh êmpek- êmpek, kakek-kakek dia jawab, diajak main oleh tante-tante umur 50 dia juga main tapi begitu anak-anak remaja diajak main oleh tante-tante umur 50 dia tidak main lagi, malu dia. Diajak pergi oleh orang tuanya, dia juga enggan, jadi perasaan tempat saya itu di sini mulai muncul pada masa remaja.
GS : Jadi kesadaran akan identitasnya itu mulai timbul.
PG : Betul mulai terbentuk di situ, akibatnya memang dia itu akan merasa lebih nyaman bicara dengan yang sebaya, bahkan yang lebih sempit lagi adalah anak-anak remaja karena dalam proses ini dia memang sedang membentuk jati dirinya, dia akan lebih diam dengan orang yang dianggapnya tidak sama dengan dia. Tidak sama bukan saja menyangkut masalah usia, kadang kala juga ini berkaitan dengan cara hidup, misalnya anak remaja yang baik, yang alim disuruh main dengan anak-anak yang lebih
badung/lebih nakal misalnya tidak mau. Kebalikannya anak-anak yang merasa dirinya itu badung/dianggap anak nakal di sekolah, disuruh main dengan anak-anak yang lain yang alim, tidak mau. Jadi sering kali anak remaja itu akan menyempitkan lingkup mereka dan memang itu adalah gejala yang wajar. Karena pada tahap inilah mereka membentuk jati diri itu dan jati diri dibentuk secara spesifik bahwa saya ini termasuk anak baik/anak nakal, saya termasuk orang yang suka ngebut naik motor atau naik motornya perlahan- lahan, saya anak yang merokok atau saya anak yang tidak merokok, saya anak yang
berani terhadap otoritas sekolah, saya anak yang tidak berani, itu adalah sebetulnya guntingan-guntingan untuk akhirnya mencetak siapa dia itu. Maka orangtua merasa kesulitan berkomunikasi dengan anak remaja karena orangtua itu benar-benar tiba-tiba menjadi orang lain bagi si anak remaja.
(2) IR : Nah bagaimana menyikapi anak yang seperti itu, Pak Paul?
PG : Nomor satu kita mesti menerima Bu Ida, bahwa inilah proses dia menjadi seorang dewasa. Bahwa dia ini bukannya sedang melenceng pergi dan akan menjadi seperti penduduk planet Mars gara-gara dia bersikap seperti ini, tidak! Semua yang dilakukannya ini merupakan bagian proses pendewasaan dia dan memang harus dilangkahi semuanya ini. Nah yang paling penting adalah kita memantaunya, jadi peranan kita yang paling-paling krusial saya kira adalah bagaimana bisa melihat dia dengan jelas. Ke mana dia pergi, dengan siapa dia pergi dan apa yang dia terima dari
lingkungannya, setelah itu baru kita juga pantau apa yang dia lakukan kepada orang lain, nah hal-hal itu perlu kita pantau dengan teliti sekali. Kalau kita melihat memang dia mulai bergaul dengan orang-orang yang tidak benar, nah kita mesti memberikan batas meskipun dilawan olehnya. Nah jadi adakalanya masa remaja memang masa pertempuran antara orangtua dan anak, karena anak tidak akan dengan mudah tunduk. Di sini memang anak-anak mulai membentuk juga kehendak diri, pilihan. Manusia adalah manusia yang memang memiliki pilihan dan anak remaja saat-saat ini mulai menyadari dia punya pilihan dalam pengertian dia tidak harus tunduk kepada orangtuanya. Waktu masih kecil anak- anak tidak mempunyai pilihan untuk melawan, sebab dia melawanpun orangtua bisa angkat dia dan langsung memaksakan kehendak orangtua padanya. Waktu anak remaja dia baru sadar o.....saya punya pilihan melawan, begitu Ibu Ida.
GS : Tapi kalau tadi Pak Paul katakan kita memantau kegiatan anak-anak, dan mereka tahu bahwa kita memantau 'kan mereka merasa dimata-matai terus. Apakah tidak menimbulkan kesenjangan antara kita dan anak-anak remaja kita itu?
PG : OK! Bagus sekali Pak Gunawan, yang saya maksud dengan memantau adalah bukan secara aktif memata-matai, bukan secara aktif dan terus-menerus dengan sering kali menanyakan dengan siapa engkau pergi? Di mana? Apa saja yang kamu lakukan? Nah anak-anak pasti akan akhirnya terlatih memberikan jawaban klise alias bohong, supaya mereka lepas, dan orangtuanya senang. Jadi yang perlu kita lakukan adalah sebisanya membuka pintu rumah, jangan setiap hari, kita juga pusing tapi ijinkan anak-anak membawa teman-teman ke rumah. Ada orangtua yang tidak suka anak-anak main-main di rumah, justru yang paling penting adalah pada usia remaja kita menyadari atau mengetahui jelas dengan siapa dia berteman. Nah waktu anak-anak di rumah sebetulnya kita bisa tahu banyak hal, sebab kita bisa melihat cara mereka menyapa kita (yang saya maksud teman-temannya itu) cara mereka makan, cara mereka bercakap-cakap dengan kita, kita bisa ajak mereka bicara juga, ngobrol-ngobrol dengan mereka. Dan kadang- kadang kita bisa sedikit banyak nguping/mendengar, kita tidak usah taruh kuping kita di pintu kamarnya tapi kadang-kadang dari percakapan mereka di pelataran rumah dan sebagainya kita mulai bisa mendengar apa yang mereka percakapkan. Nah informasi inilah yang saya maksud dengan pantauan itu Pak Gunawan.
GS : Ya jadi kalau sebatas itu memang mungkin mereka bisa menerima Pak Paul. Tapi masalah
berbicara dengan anak-anak sering kali mereka merasa pembicaraan itu tidak menarik buat mereka, misalnya tentang masa depan, tentang mesti giat belajar dan sebagainya
nah itu sangat berpengaruh dengan komunikasi-komunikasi yang selanjutnya, begitu Pak
Paul.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, karena komunikasi itu sangat bergantung pada pengalaman hidup, semakin banyak kesamaan antara pengalaman si pihak yang satu dengan pihak
yang satunya makin lebih memudahkan terjadinya komunikasi. Kalau pengalaman hidup sangat berbeda berarti tidak ada lagi yang bisa dipercakapkan, hilanglah titik kesamaan itu. Nah orangtua di sini yang memang harus proaktif untuk mencari titik kesamaan ini, anak remaja kalau dipaksa untuk memahami pikiran kita dan dia yang disuruh harus berubah supaya sama dengan kita dia kehilangan hal yang paling penting yaitu dia kehilangan kesempatan membentuk jati dirinya. Yang memang seperti tadi saya singgung harus melalui tahapan tadi Pak Gunawan, jadi kitalah yang seharusnya terjun ke dalam dunia dia. Hal-hal kecil yang bisa kita lakukan yang sebetulnya tidak terlalu susah Pak Gunawan misalkan sekarang anak saya sudah menginjak remaja, dia mendengarkan kaset-kaset yang juga modern dan saya belikan. Nah saya belikan tapi waktu beli mendengarkan sama-sama dengan dia, saya berikan juga ini bagus, ini tidak bagus, nah bagi saya bagus tidak bagusnya terus-terang bukan dari kata-kata atau liriknya karena saya kira anak-anak juga tidak begitu perhatikan lirik saat-saat ini. Kecuali mereka itu memang berbahasa Inggris terus-menerus baru perhatikan liriknya kalau tidak, anak-anak remaja itu biasanya mendengarkan musik atau memilih musik karena lagunya atau nadanya. Nah waktu saya mendengar lagu-lagu misalnya seperti saya juga sering dengarkan juga misalnya New Kids on the Block, Michael Learns to Rock, nah bagi saya misalnya Michael Learns to Rock saya cukup senang, meskipun itu bukan lagi selera musik saya, tapi saya senang sebab saya melihat musik ini bagus, dinyanyikan dengan 3, 4 suara secara harmonis waktu saya melihat di video clipnya di televisi juga cukup sopan. Nah jadi waktu anak-anak saya ingin membeli saya ijinkan dan saya tawarkan bagaimana kalau membeli Michael Learns to Rock atau misalnya yang sekarang dia suka dengarkan adalah Barbie Doll ya tidak apa-apa. Waktu dia mendengar kita juga dengar, sehingga dia tahu ada yang sama antara dia dengan kita.
GS : Itu memudahkan kita berkomunikasi, jadi mau tidak mau harus belajar dengan apa yang mereka sukai artinya berbicara dalam bahasa mereka.
PG : Betul Pak Gunaawan.
GS : Dan itu memang membutuhkan pengorbanan kita sebagai orangtua untuk bisa berbicara dengan mereka dalam bahasa mereka, dan dengan gaya mereka Pak Paul. Kita 'kan lebih condong untuk gengsi Pak Paul supaya mereka itu mendengarkan kita. Tapi memang ada beberapa remaja itu yang senang ngomong, jadi gampang sekali dia ngomong tapi ada
juga remaja yang sulit untuk berkomunikasi, juga dengan temannya pun kadang-kadang sulit berkomunikasi, dasarnya memang pendiam. Bagaimana menghadapi kalau berbeda seperti itu, Pak?
PG : Dalam prinsip komunikasi, salah satu prinsip yang penting adalah bukan berapa banyak kata yang diucapkan tapi berapa terbukanya si pembicara itu. Jadi keterbukaan melebihi berapa banyak kata-kata yang diucapkan. Nah bagi anak yang memang dasarnya pendiam, yang kita mau arahkan adalah atau yang kita mau cari adalah keterbukaannya. Kalau anak itu terbuka, kalau kita tanya dia jawab jujur, bagi saya itu sudah penting. Sebab ada anak-anak yang begini, cerita dengan mamanya atau papanya, ngomong banyak, tapi dia juga melakukan hal-hal lain yang dia tidak pernah cerita kepada orangtuanya. Jadi dia hanya cerita hal-hal yang ingin dia ceritakan saja tapi di
samping itu dia melakukan hal-hal yang tersembunyi dari mata orangtua, itu lebih berbahaya.
GS : Jadi orangtua itu terkelabui oleh banyaknya kata-kata yang diucapkan oleh remaja itu tadi.
PG : Betul, dan mungkin orangtua merasa sangat senang anak-anak sering cerita dengan saya, baik dengan saya, terbuka dengan saya padahalnya banyak hal lain yang dia tidak ketahui.
GS : Yang ditutupi jauh lebih banyak mungkin. PG : Betul.
IR : Nah anak-anak itu cenderung bebas dalam bergaul seperti tadi yang dikatakan Pak Paul bahwa anak-anak itu sebaiknya terbuka. Tapi kenyataannya anak-anak itu sering di dalam pergaulan dengan teman-temannya itu seolah-olah orangtua itu tidak perlu tahu bahkan kalau sudah cocok dengan teman, sekalipun teman itu tidak baik, si orangtua tidak bisa mencegah untuk tidak bergaul dengan anak itu, dia itu begitu fanatik dengan temannya, nah begitu itu bagaimana Pak Paul?
PG : OK! Memang sangat sulit mengharapkan anak remaja itu jujur, terbuka sepenuhnya
kepada kita, sulit sekali. Karena ada kecenderungan anak remaja akan melakukan hal yang dilarang oleh kita, jadi salah satu ciri remaja adalah bereksperimen pasif, mencoba hal-hal yang baru. Sebab apa, anak remaja itu sebetulnya ingin tahu berapa jauh saya bisa melangkah, berapa jauh saya melakukan hal yang dilarang oleh orangtua
saya, begitu. Jadi dia akan melakukan atau cenderung melakukan hal-hal yang dia tahu tidak diijinkan oleh orangtuanya, maka hal bohong menjadi hal yang cukup sering terjadi pada anak-anak remaja. Tujuannya adalah untuk membuat orangtua itu tetap mengijinkan dia keluar karena kalau dia jujur dia tidak bisa lagi mendapatkan yang dia inginkan itu. Nah jadi kita mesti sadari anak-anak remaja akan cenderung menutupi yang kita sebetulnya larang tapi dia akan tetap lakukan. Nah kembali lagi pada yang tadi Ibu tanyakan bagaimana kita menyikapi kalau misalnya anak kita ini berteman dengan orang yang keliru, kita sadari ini keliru tapi dia tetap ngotot mau main dengan anak itu. Nah saya kalau sudah mencoba bicara dan dia melawan, OK! Saya tahu dia memang tidak mau dengar, selanjutnya yang saya akan lakukan adalah saya tidak akan sebut nama orang itu lagi, sebisanya saya akan justru lebih menyodorkan kepada dia karakteristik orang yang baik, teman yang baik atau karakteristik manusia yang berkenan kepada Tuhan dan sebagainya, itu yang menjadi tekanan utama saya. Sebab kalau saya sodorkan atau saya sebut-sebut nama temannya itu dia akan bereaksi membela diri dan malah menyalahkan kita. Jadi saya akan hindarkan menyebut-nyebut nama temannya itu tapi lebih berbicara tentang karakteristik teman yang baik, orang yang benar dan sebagainya dengan harapan melalui semua itu si anak perlahan-lahan mulai sadar bahwa temannya itu tidak baik. Namun kalau kita tahu bahwa anak kita sedang berteman dengan orang yang sangat tidak baik, sangat berbahaya saya akan ambil tindakan yang lebih tegas, saya akan melarang dia keluar, saya akan pantau dia baik-baik supaya dia jangan bermain lagi dengan orang tersebut. Jadi kita memang harus menilai berapa seriusnya keburukan tersebut.
GS : Ya hal itu berarti bahwa kita itu sebagai orangtua kadang-kadang harus berbicara
secara tegas kepada anak remaja kita seperti yang tadi Pak Paul katakan, tapi ada saat- saat tertentu di mana kita itu bisa lebih rileks, lebih santai berbicara dengan mereka dalam bentuk-bentuk yang mungkin tidak terlalu formal.
PG : Misalnya dengan teman yang tidak baik tersebut, kita bisa mulai mencari titik temu yaitu kita mulai dengan menanyakan apa yang baik tentang teman tersebut. Sebab ada yang dia sukai dari teman tersebut, nah, kita mulai dari situ. Titik pijaknya kalau sudah mulai terbentuk kita bisa mulai menjalin komunikasi, kita misalnya bisa berkata o....dia itu orangnya setia kawan ya, itu sebabnya kamu senang berteman dengan dia misalnya anak kita bilang Ya, sebab saya percuma berteman dengan si A, si B yang di luarnya baik tapi padahalnya orangnya tidak setia kawan, tidak membela saya waktu saya ada masalah di sekolah dengan teman saya yang lain mereka diam-diam saja, justru teman saya yang ini yang membela saya. Nah hal-hal itu kita komentari, kita bisa beritahu dia Ya, dia anaknya baik ya, dia itu bisa membela kamu seperti itu, nah kalau bisa kalau memungkinkan memang kita ajak orang itu ke rumah kita, ajak ngomong, ajak bicara- bicara dengan kita supaya kita juga bisa komunikasi langsung dengan dia, lebih mengenal teman anak kita. Nah perlahan-lahan kalau anak itu sudah sadar bahwa kita di pihak dia mungkin dia akan lebih terbuka melihat dengan jelas temannya itu, sisi negatif dan sisi positifnya. Sebab tidak ada persahabatan yang murni 100% menyenangkan hati anak atau hati kita tidak ada. Mungkin hari ini tidak, tapi mungkin minggu depan akan muncul hal-hal yang si anak tidak sukai tentang temannya itu, nah di situ baru kita bisa mengajarkan dia karakteristik teman yang baik atau orang yang berkenan kepada Tuhan. Misalnya teman kita itu membohongi orang lain, meskipun dia tidak membohongi kita, nah kita bisa beritahu dia bahwa berbohong kepada orang lain tidak diperkenankan oleh Tuhan, maksudnya begitu.
GS : Bagaimana Pak Paul dengan remaja pria dan remaja wanita, apakah ada perbedaan di dalam mereka mendekati kita sebagai orang tua, artinya yang saya tanyakan itu apakah memang kalau remaja pria itu lebih gampang bicara dengan ayahnya atau sebaliknya ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?
PG : Sebetulnya tidak ada pengaruhnya, pada usia remaja sebetulnya anak-anak itu memberikan kesempatan yang sama kepada orang tua untuk mengenalnya. Sebab pada masa-masa remaja, anak-anak itu biasanya pulang sekolah sudah jam 03.00 sekarang ini. Jam 03.00 mungkin dia les atau apa, jam 04.00, jam 05.00 jadi sebetulnya anak-anak remaja baru bersama-sama orang tua pada malam hari setelah PR selesai dan sebagainya. Nah justru pada usia remaja, suami dan istri sudah memiliki kesempatan yang sama sebetulnya, nah siapa yang bisa lebih dianggap dekat oleh anak adalah dia yang mencoba mengerti si anak dengan lebih baik. Kalau si anak merasa berbicara dengan papa kena/nyambung dia akan berbicara dengan Papanya. Kalau berbicara dengan papa justru dimarahi, dikoreksi, dipersalahkan, dia tidak berbicara lagi dengan Papanya. Kalau dia berbicara dengan Mamanya justru diterima, diberikan nasihat yang baik, dia akan berbicara lagi, begitu.
GS : Dan itu kalau tidak didapatkan dari kedua orangtuanya dia akan lari ke temannya begitu
Pak Paul?
PG : Ke temannya betul, bahkan didengarkan pun oleh orangtua tetap akan berbicara dengan teman juga. Jadi kita mesti menyadari kebanyakan anak-anak remaja akan lebih percaya pada temannya dibanding dengan kita.
GS : Tapi dengan dia berbicara dengan temannya kalau masih memakai telepon misalnya kita bisa agak mengerti apa yang dia bicarakan. Tapi kalau dia sudah mulai keluar rumah Pak Paul, jadi untuk bisa berbicara dengan temannya itu dia memerlukan keluar rumah, dia
cuma bilang kepada kita Pa mau pergi ke sana, Pa mau pergi ke sana itu habis waktu kita Pak Paul.
PG : Saya akan sarankan agar kita menetapkan hukum atau aturan dalam rumah tangga kita, misalkan hari-hari biasa kita larang anak kita keluar, pokoknya pulang sekolah pulang ke rumah sebab tugasmu adalah belajar. Nah akhir pekan, Sabtu dan Minggu baru kita ijinkan dia keluar, ada jam-jam tertentu dia boleh keluar.
GS : Itu dalam rangka mendisiplin tapi juga di dalam kita punya kesempatan lebih banyak Pak
Paul untuk berkomunikasi dengan anak-anak remaja ini.
PG : Dan saya pikir komunikasi dengan remaja lebih tepat secara informal dibandingkan formal. Ada orang yang berkata begini, ya saya akan ajak anak saya makan, saya khawatir si orang tua merasa senang seolah-olah telah melakukan tanggung jawabnya bersama-sama dengan keluarga makan, namun tujuan akhirnya tidak tercapai. Jadi
informal yang saya maksud adalah dengan ngobrol-ngobrol, ketok pintu anak kita, masuk ke kamarnya ngobrol-ngobrol, cerita-cerita sedikit. Contoh yang gampang adalah misalkan kita melihat anak kita sendu, sedih, nah kita hampiri dia kita tanya: Kok engkau nampaknya sendu hari ini, ada yang membuat kau sedih? Nah perhatian kecil seperti itu membawa anak akhirnya sadar bahwa dia diperhatikan. Nah mungkin hari ini kita tanya dia, dia tidak menjawab, tapi mungkin minggu depan waktu dia sangat tertekan dan kita tanya, dia menjawab begitu.
GS : Apakah hal itu berarti juga bahwa kita itu boleh membicarakan apa saja dengan anak remaja kita sebagai topik pembicaraan itu, Pak Paul?
PG : Apa saja dalam pengertian hal yang memang relevan untuk kehidupan dia, selama itu
relevan dan bisa membantu dia kita ceritakan. Salah satu asset ya, harta kekayaan yang bisa kita bagikan kepada dia adalah pengalaman hidup kita. Kalau kita membagikannya dengan cara yang bisa dia terima, sangat bermanfaat, yang tidak bisa dia terima adalah kalau kita membagikannya seperti seorang guru. Saya dulu waktu masih muda harus kerja keras makanya kamu juga harus kerja keras, itu tidak akan didengar oleh si anak. Tapi misalkan kita menceritakan kegagalan kita Saya dulu juga pernah patah
hati, dia akan kaget O....Mama pernah patah hati? Sebab dia tidak menyangka mamanya itu juga sama seperti dia dulu. Jadi kalau Mamanya dulu berkata: Mama dari dulu hati-hati pilih teman, Mama tidak mau pria yang seperti begini, seperti begini, seperti begini, nah si anak justru tidak bisa dekat dengan si Mama, nah itu boleh disambung, itu boleh diberitahukan kepada si Mama. Tapi bukan berarti melulu itu saja yang diberitahu.
IR : Tapi biasanya Pak Paul, anak-anak itu berkomunikasi kalau dengan ibu, sekali waktu mereka itu bisa terbuka sekali. Nah bagaimana kita itu bisa memberikan masukan kepada para Papa, seorang ayah untuk bisa berkomunikasi dengan lebih dekat pada anak ya Pak Paul?
PG : OK! Saya anjurkan begini, kalau Papa itu cenderungnya memang berorientasi pada
program aktifitas. Ajak anak untuk pergi berdua, misalkan ajak kencan, misalnya waktu itu saya ajak anak saya yang paling besar untuk saya bilang kencan. Kami berdua pergi makan es, ngobrol-ngobrol, terus setelah pulang saya bilang saya tadi berkencan denganmu saya bilang, sebab saya ingin mengajarkan kamu berkencan itu seperti apa.
Dan supaya nanti lain kali waktu kamu berkencan dengan teman kamu, kamu tahu itulah yang kamu lakukan. Jadi saya pikir itu bisa dilakukan, ajak anak itu pergi berdua misalkan anak perempuan dengan si ayah bisa atau anak laki dengan si ayah juga tidak
apa-apa pergi berdua, terus di sana bisa ngobrol-ngobrol, tukar pikiran tentang film yang ditonton misalnya. Bagaimana menurut pandanganmu, ajak dia ngomong nah anak- anak biasanya apalagi anak laki kalau ditanya tentang hal-hal pribadi dia tidak mau ngomong, akhirnya ya film itu menjadi jembatan, bahan percakapan nah itu bisa juga menolong ayah akhirnya dekat dengan si anak begitu. Dan si anak pun belajar mengenal si ayah, karena mungkin di rumah dia dimarahi, ditegur dia tidak begitu kenal si ayah siapa, tapi waktu dia bicara tentang film yang ditontonnya itu o....dia sadar ayahnya itu pikirannya luas dan sebagainya.
(3) GS : Ya memang salah satu topik yang agak sulit dibicarakan dengan remaja itu justru masalah-masalah seks Pak Paul, yang bersifat pribadi tadi. Jadi kami mengatasinya dengan cara seperti apa Pak Paul?
PG : Kalau seks, saya punya prinsip ya kita ini secara proaktif memberitahu dia, sebab kalau kita menunggu dia bertanya pada usia remaja tidak bakalan terjadi. Anak hanya bertanya tentang seks pada masa dia kecil, setelah itu dia stop bertanya, sudah remaja kita yang mesti beritahu dia.
GS : Jadi mungkin itu satu topik menarik yang lain kali atau lain kesempatan kita bisa coba
akan angkat di dalam perbincangan kita bagaimana berbicara masalah seks dengan anak-anak remaja kita.
PG : Baik topik yang penting sekali Pak Gunawan.
GS : Jadi para pendengar sekalian, demikianlah tadi telah kami persembahkan sebuah
perbincangan seputar masalah keluarga khususnya masalah berbicara dengan para remaja kita. Anda tadi telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58
Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Ada kecenderungan di dalam diri remaja lebih banyak berdiam diri di hadapan orangtua dibandingkan pada masa kecilnya.
1. Karena pada masa remaja anak-anak mulai melihat tempat dia, bahwa dia adalah di dalam lingkungan remaja, kesadaran akan identitasnya mulai terbentuk. Sehingga dia akan lebih nyaman kalau dia bicara dengan sebaya.
2. Dalam proses ini anak remaja sedang membentuk jati dirinya, dia akan lebih diam dengan orang yang dianggapnya tidak sama dengan dia. Tidak sama di sini bukan saja menyangkut masalah usia, kadangkala juga berkaitan dengan cara hidup. Misalnya anak remaja yang baik, yang alim disuruh main dengan anak-anak yang lebih badung, lebih nakal misalnya dia tidak mau, begitu juga kebalikannya anak-anak yang merasa dirinya itu badung, dianggap anak nakal di sekolah, disuruh main dengan anak-anak yang lain yang alim tidak mau. Jadi sering kali anak remaja itu akan menyempitkan lingkup mereka dan memang itu adalah gejala yang wajar.
Sikap kita sebagai orangtua dalam menghadapi remaja adalah:
1. Menerima, menerima bahwa inilah proses dia menjadi seorang dewasa. Semua yang dilakukannya ini merupakan bagian dari pendewasaan dia dan memang harus dilaluinya.
2. Memantaunya, jadi peranan kita yang paling-paling krusial adalah bagaimana kita bisa melihat dengan jelas di mana dia pergi, dengan siapa dia pergi, apa yang dia terima dari lingkungannya. Kita juga pantau apa yang dia lakukan kepada orang lain. Kalau kita memang melihat dia mulai bergaul dengan orang-orang yang tidak benar kita mesti memberikan batas meskipun dilawan olehnya. Memantau di sini dalam artian bukan secara aktif memata-matai, namun yang perlu kita lakukan adalah sebisanya membuka pintu rumah, izinkan anak-anak membawa teman-teman ke rumah.
3. Komunikasi, di sini orang tua yang harus proaktif untuk mencari titik kesamaan dengan remaja tersebut, jadi kitalah yang seharusnya terjun ke dalam dunia dia. Salah satu prinsip yang penting dalam berkomunikasi bukan berapa banyak kata yang diucapkan tapi berapa terbukanya si pembicara itu. Jadi keterbukaan melebihi berapa banyak kata-kata yang diucapkan.
Berkomunikasi dengan remaja lebih tepat secara informal dibandingkan formal. Informal maksudnya adalah dengan ngobrol-ngobrol, cerita-cerita sedikit dan sebagainya. Misalnya kita lihat anak kita sendu, sedih, kita hampiri dia dan kita tanya: Engkau nampak sendu hari ini, ada yang membuat kau sedih? Nah perhatian kecil seperti itu membuat anak akhirnya sadar bahwa dia diperhatikan.
Kita bisa membicarakan hal yang relevan untuk kehidupan dia, selama itu relevan dan bisa membantu dia kita ceritakan. Salah satu aset atau harta kekayaan yang bisa kita bagikan kepada dia adalah pengalaman hidup kita. kalau kita bisa bagikan dengan cara yang dia bisa terima akan sangat bermanfaat. Dan yang tidak bisa dia terima adalah apabila kita membagikannya seperti seorang guru.