Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Sabat dan Kesehatan Jiwa". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Membicarakan tentang Sabat, Pak Paul. Ada banyak orang yang sudah tidak lagi menghiraukan aturan-aturan Sabat. Karena mereka berpikir bahwa Sabat adalah peninggalan Perjanjian Lama dan ini sudah terlalu kuno, tidak cocok lagi dengan dunia modern. Apakah masalah Sabat masih relevan untuk kita bicarakan saat ini, Pak Paul ?
PG : Sangat relevan, Pak Gunawan. Sebab kalau kita menilai dari Firman Tuhan yaitu sepuluh titah Tuhan yang Tuhan turunkan melalui hamba-Nya Musa ialah sepuluh perintah Tuhan yang diharapkan untuk kita semua. Kalau kita tetap menaati perintah pertama yaitu, "Tidak ada ilah lain dihadapan-Nya", kalau kita menaati perintah kelima yaitu "Hormatilah ayah dan ibumu", kalau kita menghormati perintah yang kesepuluh, "Tidak menginginkan harta milik orang lain" dan sebagainya. Mengapakah perintah yang keempat ini justru kita abaikan, bukankah Firman Tuhan sendiri yang berkata di Keluaran 20: 8-11, "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya." Jadi Tuhan meminta kita untuk menghormatinya, menghormati perintah-Nya yaitu untuk memelihara hari Sabat. Sudah tentu kita harus lebih masuk pada esensi perintah itu sendiri yang lebih penting daripada tidak melakukan apa-apa, sebagaimana yang dilakukan oleh umat Israel. Yang lebih Tuhan tekankan adalah sebuah gaya hidup yang mengikut sertakan Tuhan di dalam setiap tindakan kita dan menunggu Tuhan sehingga kita tidak menjadi orang yang berjalan di depan Tuhan, tapi justru menjadi orang yang berjalan di belakang Tuhan dan bersandar sepenuhnya kepada Dia.
GS : Sekarang ada banyak yang mengatakan bahwa kita tidak lagi libur pada hari Sabtu dalam pengertian Sabat seperti ini, tapi hari Minggu. Dan ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Nanti yang akan kita angkat adalah bukannya memfokuskan pada hari itu sendiri, sebab sudah tentu kita tidak lagi memegang hari Sabat seperti yang dijalankan oleh orang Israel. Tapi kita mau memunyai sebuah gaya hidup yang tidak senantiasa dikejar-kejar oleh target atau oleh produktifitas, sehingga kita melupakan waktu untuk kita berhenti.
GS : Berarti hari apa pun boleh, yang penting ada hari dimana kita bisa libur. Seperti itu, Pak Paul ?
PG : Betul, mesti ada satu hari dimana kita harus berhenti bekerja. Sebetulnya kata Sabat itu sendiri berasal dari kata yang berarti berhenti dan dalam terjemahan yang lainnya misalkan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan beristirahat, tapi sebetulnya kata itu sendiri berarti berhenti. Artinya berhenti yaitu tidak melakukan pekerjaan. Sudah tentu yang Tuhan inginkan di sini adalah sebuah gaya hidup dimana kita tidak hanya mengisi kehidupan dengan bekerja tapi juga harus diselingi sebuah hari untuk kita berhenti bekerja atau beristirahat.
GS : Justru sekarang ini yang rasanya kurang cocok dengan kondisi sekarang dimana orang dikejar-kejar target dan hari apa pun dia harus bekerja ?
PG : Betul sekali. Memang kalau kita melihat di sekeliling kita, makin hari makin banyak yang menekankan produktifitas, kita harus menghasilkan sebanyak-banyaknya. Itu sebabnya hampir-hampir tidak ada hari libur, bahkan hari dimana kita harus berlibur pun seringkali kita pergunakan untuk bekerja atau menemui misalnya rekan-rekan kerja atau menemui prospek bisnis dan sebagainya, dan ini bukanlah desain Tuhan. Namun desain Tuhan adalah kita harus bekerja tapi disamping itu kita juga harus berhenti bekerja. Dari desain Tuhan, kita bisa melihat enam hari harus bekerja dan satu hari berhenti bekerja. Itu menunjukkan bahwa hidup baru bermakna kalau diisi dengan bekerja. Kita tidak bisa membalikkannya yaitu enam hari beristirahat dan sehari bekerja, itu salah. Jadi hidup baru bermakna jika diisi dengan bekerja. Tapi untuk kita bisa hidup secara efektif dan baik, maka mesti ada satu hari yang kita panggil hari Sabat atau hari tidak bekerja.
GS : Berarti ketika Tuhan menurunkan 10 perintah Allah ini dan mencantumkan, "hormatilah hari Sabat", tentu itu ada suatu tujuan tertentu, Pak Paul ? Tujuan ini apa, Pak Paul ?
PG : Sekurang-kurangnya ada dua. Dan sekarang kita lihat terlebih dahulu, saya percaya Tuhan menurunkan perintah-Nya kepada kita agar kita bukan saja mengingat Tuhan, menyembah-Nya pada hari itu tapi kita juga menjalankan sebuah kehidupan yang berimbang. Tuhan berhenti bekerja bukan karena Tuhan perlu berhenti bekerja karena terlalu letih, karena kita tahu bahwa Tuhan adalah Roh dan Tuhan tidak bisa letih. Tapi kenapa pada hari ketujuh Tuhan harus berhenti bekerja atau digunakan untuk beristirahat? Sudah tentu ini dilakukan untuk kita dan untuk ditiru oleh kita, bahwa seharusnyalah manusia menjalankan hidup seperti ini. Kita melihat kalau orang tidak memunyai konsep hidup seperti ini, maka kehidupannya pasti tidak berimbang. Misalnya karena dia terlalu letih akhirnya hal-hal lain yang penting yang harus dia kerjakan tidak dikerjakannya atau tidak lagi diperhatikannya. Misalnya kalau kita terlalu capek sudah tentu kita tidak punya waktu dan tenaga mengurus hal-hal dalam keluarga kita, misalnya waktu suami atau istri kita sedang menceritakan masalah dalam keluarga kita, kita sudah tidak bisa lagi mendengarkannya karena otak kita sudah terlalu penuh dan tubuh kita sudah terlalu penat, akhirnya kita berkata, "Kalau begitu kamu saja yang mengurus semuanya." Atau misalkan kita dituntut dan diminta untuk ambil bagian melakukan sesuatu dalam keluarga, karena kita sudah terlalu letih, akhirnya kita malah tersinggung dan marah kemudian kita berkata, "Kenapa kamu tidak mengerti saya bahwa saya sedang sibuk, apa kamu tidak sadar kalau saya ini banyak pekerjaan." Yang menjadi masalah adalah hidup kita tidak lagi berimbang, sehingga kita memberi terlalu banyak di satu tempat dan memberi terlalu sedikit di tempat yang seharusnya kita berikan sama banyaknya.
GS : Pak Paul, banyak orang yang mengatakan di tengah-tengah pekerjaan ini dia sudah beristirahat, jadi ada waktu-waktu senggangnya. Jadi dia tidak memerlukan waktu lagi untuk istirahat secara khusus yaitu satu hari tidak bekerja.
PG : Sudah tentu kalau dalam pekerjaannya itu ada waktu-waktu dimana dia bisa santai dan beristirahat maka itu akan sangat menolong sehingga kehidupan dia sedikit banyak terjaga atau lebih berimbang. Tapi kalau bisa memang harus ada waktu dimana dia terpisah dari pekerjaannya, dia benar-benar berhenti dan tidak senantiasa berjaga-jaga, berada di sekitar pekerjaannya. Kita mau memunyai dedikasi dan seharusnyalah kita memunyai dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan kita, tapi tidak seharusnya juga kehidupan kita senantiasa dipenuhi oleh pekerjaan kita. Jadi perlu ada jarak antara kita dan pekerjaan, kalau tidak maka kita akan terlilit oleh pekerjaan sehingga apa pun yang kita lakukan semua terkait dengan pekerjaan. Sebagai contoh Pak Gunawan, kadang-kadang waktu saya jalan pagi, saya melihat orang berolahraga pagi, kakinya jalan namun tangannya memegang handphone dan ngobrol, mungkin itu sanak keluarganya atau temannya tapi bisa jadi itu urusan bisnisnya. Karena dia tahu kalau dia harus menjawab telepon dari rekan bisnisnya sehingga teleponnya dibawa kemana-mana. Jadi akhirnya hidupnya menjadi terikat sekali oleh pekerjaannya, dan seolah-olah di luar pekerjaan tidak ada lagi kehidupan dia. Dan kita tahu bahwa ini tidak sehat, kalau nantinya orang ini tidak ada pekerjaan maka dia akan kehilangan dirinya atau kehilangan pegangan dalam hidup, kehilangan arah dalam hidupnya sebab pekerjaan itu sudah menjadi segalanya dalam hidup dia.
GS : Tapi sebenarnya alasan yang utama itu adalah kekhawatiran, entah dia khawatir tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya atau dia khawatir bahwa kesempatan bisnisnya akan diambil orang lain, seperti itu Pak Paul.
PG : Ada orang yang seperti itu, saya tahu ada seorang dokter yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Kalau diminta untuk berlibur dia tidak bisa, karena kalau dia berlibur misalkan 2 minggu atau 3 minggu dalam setahun, maka dia harus alihkan pasiennya ke dokter lain supaya nanti kalau ada pasien yang mencari dia maka dia akan dialihkan ke dokter yang lain. Dan dia takut kalau-kalau nanti pasien-pasiennya itu lebih suka kepada rekannya dan tidak kembali lagi kepada dia. Jadi saya melihat dalam hidup orang itu, hidupnya benar-benar diikat atau diperhamba oleh pekerjaannya sendiri. Dan Tuhan meminta kita untuk lepas dari pekerjaan supaya hidup kita berimbang dan bukankah kalau kita tidak memunyai kehidupan yang berimbang maka pertimbangan kita menjadi terganggu. Misalnya kita melihat berapa banyak kecelakaan di darat, di laut maupun di udara yang terjadi yang disebabkan oleh orang yang terlalu letih, ini dalam kasus yang ekstrem. Tapi bukankah dalam kehidupan sehari-hari kalau kita terlalu letih dan pikiran kita juga terlalu dipenuhi oleh pekerjaan kita maka pertimbangan kita pun terganggu dan keputusan yang kita ambil tidak bisa kita ambil dengan jernih karena otak kita sudah terlalu penuh. Maka Tuhan sudah menggariskan inilah pola hidup yang sehat supaya kehidupan kita menjadi kehidupan yang berimbang.
GS : Apakah ada contoh konkret di Alkitab tentang kehidupan seseorang yang tidak berimbang seperti ini ?
PG : Saya teringat dengan Nabi Elia yang Tuhan pakai dengan luar biasa dan memiliki keberanian melawan nabi-nabi palsu dan akhirnya waktu dia dikejar mau dibunuh oleh Izebel, istri Raja Ahab, dia lari keletihan. Dan waktu Tuhan temui, dia mengatakan, "Saya ini tidak jauh berbeda dari nenek moyangku, cukuplah itu ya Tuhan dan sekarang ambillah nyawaku." Jadi dengan kata lain, kalimat pertama sewaktu Tuhan menyapanya ialah "Saya mau mati." Di sini kita sering melihat Elia yang begitu jernih, begitu berani, begitu rohani, pada titik itu dia kehilangan keseimbangan hidupnya sehingga pertimbangannya terganggu. Di saat itu justru bukannya dia minta kekuatan Tuhan atau tempat berteduh dalam Tuhan tapi dia malah meminta nyawanya dicabut oleh Tuhan. Kita harus sadar, bahwa dalam kondisi kita yang terlalu letih maka pertimbangan-pertimbangan kita juga turut terganggu, dan yang indah adalah Tuhan tidak memarahinya dan Tuhan hanya memberinya makan dan setelah itu memberinya tidur. Apa yang Dia lakukan? Yaitu memberinya Sabat supaya ia bisa berhenti dan nantinya bisa dikuatkan kembali, dia lari ke gunung Horeb dan disanalah Elia bisa beristirahat untuk sejenak, setelah dia dipulihkan barulah dia turun gunung lagi dan melayani Tuhan kembali.
GS : Jadi kalau kita melihat contoh Elia ini, di dalam melakukan pekerjaan Tuhan pun, orang tetap membutuhkan istirahat Pak Paul ?
PG : Sebab kalau tidak, orang yang melakukan pekerjaan Tuhan tanpa mengikut sertakan Tuhan, tanpa mengingat Tuhan akhirnya terlalu bergantung pada dirinya sendiri, pada kekuatan sendiri dan tinggal tunggu waktu dia akan terjerembap jatuh ke dalam dosa.
GS : Tujuan yang kedua dari hari Sabat itu apa, Pak Paul ?
PG : Setidaknya yang kedua kita bisa katakan, Tuhan ingin agar kita hidup dalam keterbatasan. Kita mesti mengerti bahwa Tuhan tidak mengharapkan kita menjadi superman yang bisa melakukan semua hal, sangat kuat, yang tidak perlu istirahat, tapi Tuhan tahu bahwa kita manusia dan kita terbatas dan kita perlu waktu beristirahat, maka Tuhan meminta kita untuk beristirahat, untuk berhenti bekerja. Kadang-kadang kita beranggapan, makin giat bekerja buat Tuhan maka makin tidak pernah mengenal lelah dan istirahat dan makin terpujilah di hadapan Tuhan, tidak seperti itu. Tuhan menggariskan pola hidup yang diinginkan-Nya supaya kita menyadari keterbatasan atau kelemahan kita. Misalnya saya ini dalam keadaan letih maka saya ingat saya harus berdoa, memohon kekuatan dari Tuhan. Saya diingatkan pertama akan keterbatasan saya dan yang kedua waktu saya diingatkan akan keterbatasan saya maka saya diingatkan bahwa saya perlu kekuatan Tuhan. Dengan kata lain, waktu kita berhenti bekerja, kita diingatkan akan Tuhan yang memunyai kekuatan untuk kita. Jadi dengan kata lain, Sabat itu adalah waktu atau hari untuk mengingatkan kita bahwa kita tidak bisa mengerjakan pekerjaan Tuhan tanpa kekuatan-Nya. Jadi kita mesti sadar keterbatasan kita dan sebagai tindak lanjut bergantung pada Tuhan.
GS : Ada orang-orang tertentu yang dari Senin sampai dengan Sabtu, dia mengerjakan profesinya dan pada hari Minggu dia melakukan yang dia sebut sebagai pelayanan pada Tuhan dari pagi sampai petang. Jadi dia tidak memiliki waktu lagi untuk beristirahat, Pak Paul ?
PG : Saya mengerti bahwa di gereja tidak banyak orang bersedia untuk berkorban waktu dan tenaganya dan juga uangnya untuk pekerjaan Tuhan. Jadi saya tahu bahwa gereja itu sangat butuh dan menghargai anak-anak Tuhan yang rela untuk bekerja dan berkorban. Dan memang sebagai hamba Tuhan, saya katakan bahwa kita sangat memerlukan orang-orang yang seperti itu. Tapi tetap pada akhirnya saya harus berkata tengoklah kebutuhan di dalam rumah tangga juga, tengoklah apakah anak-anak, pasangan hidup, istri atau suami sudah mendapatkan cukup dari kita, kalau mereka tidak mendapatkan maka apa pun yang kita lakukan walaupun atas nama "buat Tuhan" tapi itu bukan lagi suatu persembahan yang harum, karena waktu kita memberikan persembahan yang harum sebetulnya kita sedang merugikan orang-orang yang Tuhan percayakan kepada kita untuk kita kasihi dan perhatikan. Memang sangat perlu adanya hari Sabat dan salah satunya karena kita ini seringkali kalau sudah terbiasa bekerja nonstop akhirnya tidak lagi merasa letih dan tidak butuh lagi berhenti untuk beristirahat. Jadi seperti roda yang terus berjalan dan biasanya kita baru berhenti kalau kita sudah terkena penyakit yang berat, barulah berhenti. Justru kalau kita membiasakan hidup ada hari Sabatnya, maka disitulah kita merasakan letihnya kita, jadi akhirnya kita menginginkan Sabat itu lagi. Tapi orang yang terus memforsir dirinya seperti itu maka tinggal tunggu waktu secara fisik dan mental dan secara rohani dia akan mengalami masalah. Saya takutnya dia bukan saja menghancurkan hidupnya, tapi juga menghancurkan hidup orang-orang di sekitarnya. Orang yang terlalu letih, kalau pulang ke rumah, dia akan lebih cepat marah, tersinggung dan tidak bisa menoleransi kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh keluarganya. Sehingga anggota keluarganya juga menjadi korban.
GS : Ada sebagian orang yang merasa bersalah kalau dia beristirahat, Pak Paul. Jadi dia akan terus mencari kesibukan.
PG : Memang tergantung pada budaya, filsafat kehidupan kita, apa yang telah kita dengar dari lingkungan kita dan dari orang tua kita. Itu yang seringkali akhirnya menjadi bagian dari kehidupan kita. Sehingga waktu kita beristirahat, kita justru merasa bersalah. Tapi sebetulnya Firman Tuhan ini jelas sekali meminta kita dan kalau Tuhan yang meminta dan menggariskannya berarti Tuhan tahu ini resep kehidupan yang baik. Misalkan saya bertanya mengapa kita cepat mendengar nasehat orang di dalam hal kesehatan misalkan, "Jangan makan makanan berlemak!" Nah kita mendengarkannya, kenapa? "Sebab ini baik untuk kehidupan", kenapa kalau manusia yang memberi nasehat maka kita langsung bisa mendengarkan, tapi kalau Tuhan yang memberikan nasehat, kita kurang mendengarkan. Padahal Tuhan yang paling tahu kondisi tubuh kita, dan Tuhan yang paling tahu hidup yang sungguh-sungguh sehat itu seperti apa. Dan bagaimana untuk bisa hidup sesehat itu, Tuhan sudah gariskan bahwa hari Sabat itu perlu yaitu untuk mengingat Tuhan, menguduskannya buat Tuhan dan sesungguhnya manfaatnya jatuh pada diri kita sendiri.
GS : Pak Paul, mengenai hari Sabat, banyak orang yang salah mengerti bahwa dia tidak harus melakukan apa pun juga pada hari Sabat itu, pada hari istirahatnya itu. Dan ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Saya kira kita tidak perlu menjalankan Sabat seperti itu yang secara kaku. Tapi jadikanlah hari itu sebagai hari dimana kita tidak melakukan yang biasa kita lakukan. Misalkan hari itu telepon genggam kita matikan, atau kalau tidak mau seektrem itu, maka seandainya kalau ada permintaan pun maka kita tolak karena kita mau menguduskan hari itu dan menyisihkannya. Misalnya untuk diri kita dan keluarga kita, sambil kita terus mengingat inilah hasil karya Tuhan. Orang-orang Israel waktu di gurun pasir, mereka tidak memunyai pekerjaan atau usaha berarti mereka hanya dapat bergantung pada pemeliharaan Tuhan. Kemudian Tuhan juga perintahkan untuk satu hari agar mereka tidak bekerja, tidak mengumpulkan manna atau burung puyuh sebab Tuhan mau memperlihatkan walaupun kamu tidak bekerja, tapi Tuhan tetap penuhi kebutuhanmu. Jadi orang yang menjalankan kehidupan dengan gaya Sabat pada akhirnya menjadi orang yang dilatih untuk bersandar pada pemeliharaan Tuhan, dia tidak bergantung pada dirinya lagi. Jadi hidup dalam keterbatasan, benar-benar hidup yang memaksa kita dan mengingatkan kita untuk bersandar kepada Tuhan.
GS : Jadi kesimpulan dari pokok pembicaraan kita ini sebenarnya apa Pak Paul ?
PG : Yang pertama yang paling penting bahwa dengan adanya kehidupan yang berimbang, pada akhirnya kita akan melahirkan kehidupan yang bernilai dan dalam kehidupan yang bernilai itulah baru bisa lahir berkat yang bernilai. Saya berikan contoh, salah satu buku yang sangat populer dan telah diterbitkan ulang lebih dari 300 tahun adalah buku "Perjalanan Seorang Musafir" dan ditulis oleh John Bunyan, dia menulis itu waktu dia sedang dipenjarakan karena memberitakan Firman Tuhan. Dengan kata lain dia ditangkap dan kemudian harus mendekam di penjara selama belasan tahun. Inilah hari Sabatnya, dia menulis 5 buku namun yang terkenal hanya 2 buku saja dan salah satunya adalah buku "Perjalanan Seorang Musafir". Buku itu adalah buku yang paling banyak diterbitkan selain Alkitab sampai sekarang, tapi ditulis oleh orang yang hanya menulis 5 buku seumur hidupnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan inilah yang kita mesti yakini bahwa Tuhan tidak pernah terpukau oleh jumlah atau kwantitas, Tuhan hanya lebih tertarik melihat kwalitas kehidupan. Contoh lain lagi adalah Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen yang kita kenal di Amerika Serikat, dia seorang penceramah, populer, diundang kemana-mana dan akhirnya berkata, "Saya tidak bisa terima, dan saya sekarang berada di rumah dan membuat pelayanan radio," sebab tidak mungkin saya ceramah keluarga kemana-mana tapi saya sendiri tidak ada di rumah untuk keluarga saya. Dan kita tahu pelayanan Dr. James Dobson sekarang dikenal oleh puluhan dan bahkan ratusan juta orang di dunia ini. Sekali lagi kita melihat kehidupan yang berimbang, melahirkan kehidupan yang bernilai dan hanya dari kehidupan yang bernilai baru bisa muncul berkat yang juga begitu bernilai. Tuhan tidak tertarik dengan jumlah tapi Tuhan tertarik dengan kwalitas. Maka kita mesti menyelaraskan nilai-nilai hidup kita dengan Tuhan. Sabat mengingatkan kita akan hal itu bahwa yang penting di mata Tuhan adalah kwalitas dan bukan kwantitasnya.
GS : Jadi kalau kita mau memuliakan Tuhan maka mau tidak mau harus menjalankan hukum hari Sabat di dalam kehidupan kita, Pak Paul?
PG : Betul. Kita benar-benar mengadopsi gaya hidup yang baru dan dalam bahasa Jawa Timurnya ngoyo, tapi hidup yang lebih bisa berserah, bergantung pada pemeliharaan Tuhan, hidup yang lebih menyadari keterbatasan kita sehingga kita memunyai kehidupan yang lebih berimbang dan dari kehidupan yang berimbang itulah akan lahir kehidupan yang bernilai serta berkat-berkat yang nanti juga akan bernilai.
GS : Jadi Pak Paul, kita mencoba untuk menjalankan hukum-hukum hari Sabat dengan sungguh-sungguh karena ini menjadi suatu keputusan penting di dalam kehidupan kita, tinggal kita mau melakukannya atau tidak ?
PG : Betul. Dan akhirnya kalau orang tidak mau mengambil keputusan itu, maka sampai kapan pun hidupnya akan berjalan seperti itu. Saya sangat senang sekali dengan keputusan yang saya ambil kira-kira hampir 10 tahun yang lalu yaitu waktu saya sadari anak saya yang paling besar sudah hampir kuliah dan tinggal beberapa tahun lagi akan meninggalkan rumah, saya sangat sibuk dan sering pergi pada akhir pekan, akhirnya saya putuskan tidak lagi. Saya akan menerima undangan pelayanan pada masa sekolah libur, pada masa saya tidak lagi mengajar, baru saya terima. Itu adalah keputusan yang saya kira baik, waktu saya menengok ke belakang saya sangat bersyukur karena pada akhirnya saya dan istri bisa berjalan pagi, anak-anak bisa makan-makan bersama saya, kami bisa bersama-sama beribadah kepada Tuhan di gereja. Itu adalah waktu yang tidak bisa diulang lagi, Pak Gunawan.
GS : Jadi pada hari Sabat, kita tidak hanya pergi ke gereja kemudian bekerja lagi. Tentu bukan seperti itu, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi benar-benar mengubah kehidupan kita. Sabat itu bukan hanya 2 jam di gereja !
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sabat dan Kesehatan Jiwa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.