Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "MENYIKAPI BERITA YANG MEMBANJIR". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, akhir-akhir ini memang kita melihat kenyataan bahwa berita itu luar biasa banyaknya yang bisa dengan mudah kita dapatkan. Kalau dulu hanya lewat radio atau TV, sekarang dari tangan kita lewat smartphone dan sebagainya itu dengan mudah sekali kita memeroleh berita. Tapi justru itu yang seringkali membuat kita bingung. Mana berita yang benar karena simpang siur sekali, tadi tepat sekali dikatakan ini yang membanjiri kita bahkan menenggelamkan kita dalam berita tiap-tiap hari, Pak Paul. Bagaimana kita harus menyikapinya, Pak Paul?
PG : Betul sekali apa yang Pak Gunawan katakan. Kemajuan teknologi memang telah membuat arus informasi berjalan dengan sangat cepat dan mudah. Akhirnya setiap orang memunyai akses dan kapasitas untuk menyebarkan informasi tanpa harus melalui gerbang pemeriksaan apakah berita itu benar atau tidak ya. Alhasil informasi bukan saja bisa simpang siur tetapi juga kadang tidak benar. Untuk itu kita memang mesti memiliki hikmat agar dapat menyikapi membanjirnya berita dengan lebih bijak, Pak Gunawan. Kalau tidak kita benar-benar mudah sekali terbawa arus berita yang tidak benar.
GS : Ya. Sulitnya adalah membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang bohong, Pak Paul. Kadang kita ragu-ragu, ini yang betul yang mana. Karena banyaknya sumber berita yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
PG : Betul. Di masa lalu mungkin Pak Gunawan masih ingat ada yang namanya Tabloid. Ada yang hanya untuk gossip. Nah, di dalam majalah seperti ini kita tahu kebanyakan beritanya adalah gossip ya. Kita tidak akan terganggu karena kita tahu ini memang berita untuk itu. Belum tentu benar. Tapi ada yang namanya berita-berita terpercaya. Jaman sekarang gabung semua, Pak Gunawan. Jadi, yang mana yang tabloid, mana yang konsumsi untuk gossip, mana yang sungguh-sungguh berita yang benar, semuanya itu gabung jadi satu. Membingungkan sekali.
GS : Jadi, sebenarnya bagaimana kita harus bersikap, Pak Paul?
PG : Pertama KITA MESTI MEMBEDAKAN ANTARA FAKTA DAN OPINI. Di dalam publikasi resmi dan terpercaya, kedua hal itu dipisahkan, Pak Gunawan. Fakta dan opini. Sewaktu penulis atau lembaga media ingin menyajikan opini maka ditaruhlah pendapat pribadi itu di dalam ruang terpisah supaya pembaca tahu bahwa itu bukanlah fakta melainkan opini belaka. Di dalam ruang maya yang hampa pertanggungjawaban batas antara fakta dan opini kabur. Akhirnya pembaca sulit membedakan keduanya dan mudah menyimpulkan bahwa apa yang didengar atau dibacanya adalah fakta. Nah, menyimpulkan opini sebagai fakta, masalahnya adalah dapat berakibat buruk. Sama buruknya dengan menyamakan dugaan dengan fakta. Saya berikan contoh ya. Ada beda besar antara melaporkan hilangnya uang dan mengatakan bahwa pastilah uang itu telah diambil orang. Itu tidak sama ya. Yang satu fakta, yang satu pendapat atau opini. Atau, ada beda besar antara melaporkan dua anggota memprotes keputusan rapat dan mengatakan bahwa semua anggota sebenarnya tidak setuju dengan keputusan rapat walau hanya dua orang yang menyuarakannya. Nah, faktanya hanya dua orang memprotes keputusan rapat. Dugaan atau opini bahwa semua anggota tidak setuju dengan keputusan rapat walau hanya dua orang yang menyuarakannya belum tentu benar karena ini adalah sebuah pendapat. Jadi, kita lihat ada beda antara fakta dan opini. Jadi, sewaktu kita mendengar atau membaca berita berhati-hatilah menyimpulkan berita yang kita dengar atau baca sebab belum tentu itu adalah fakta. Bisa jadi itu adalah opini atau dugaan belaka.
GS : Iya. Kalau yang membuat opini itu adalah seorang yang biasa-biasa saja yang tidak terkenal, mungkin kita bisa abaikan, Pak Paul. Sebab kadang-kadang opini itu dikemukakan oleh seorang ahli, di bidangnya lagi dan cukup terkenal di masyarakat. Mau tidak mau kita tertarik untuk membacanya.
PG : Betul sekali. Memang makin orang itu dikenal, makin dipercaya perkataannya. Tetap kita harus membedakan apa yang dikatakannya itu merupakan fakta atau opini belaka. Kadang-kadang orang ingat bahwa ini adalah opini jadi orang itu akan berkata "menurut saya" atau "menurut hemat saya memang ini belum tentu benar atau belum tentu ini adalah sebuah fakta" sehingga orang mengerti bahwa apa yang dikatakannya sebuah opini semata. Tapi kadang itu memang tidak dilakukan. Nah, kalau tidak hati-hati pendengar bisa menyimpulkan wah ini pasti benar karena yang bicara si A atau si B, padahal memang belum tentu.
GS : Iya. Fakta pun itu kadang-kadang belum tentu betul, Pak Paul. Yang disebut fakta itupun menjadi kabur karena ada berita tandingan yang juga menyerang fakta yang sebenarnya.
PG : Betul. Kadang-kadang orang melihat satu peristiwa tapi dengan kacamata yang berbeda atau dari sudut yang berbeda akhirnya mereka itu sampai pada kesimpulan fakta yang juga berbeda. Jadi, memang tidak selalu fakta yang disajikan itu akan sama dengan apa yang dilihat oleh orang.
GS : Iya. Belum lagi keahlian orang-orang ini menggunakan kata-kata, menyusun kalimat, bahkan menampilkan gambar yang bisa sangat memengaruhi kita.
PG : Betul. Betul sekali. Jadi, sekali lagi penting bagi kita untuk menyikapi berita dengan berhikmat ya. Bahwa tidak selalu apa yang kita baca atau dengar itu adalah sebuah fakta. Kadang itu adalah opini belaka. Jadi, kita mesti bedakan keduanya.
GS : Yang penting kita ikuti adalah faktanya itu tadi ya, bukan opininya. Namun kita tidak bisa mengesampingkan seluruh opini ini, Pak Paul. Karena kitapun kadang tidak punya pendapat sehingga kita harus mendengar opini orang lain itu seperti apa.
PG : Betul. Maka sekali lagi dalam radio atau siaran televisi yang mengandung unsur berita dan mereka adalah lembaga berita terpercaya, biasanya yang mereka lakukan adalah melaporkan fakta. Mereka berusaha keras tidak memasukkan opini mereka. Kalau mereka merasa perlu memasukkan opini, mereka akan memberikan siaran atau program terpisah. Disana diadakan pembahasan dan sebagainya yang jelas-jelas adalah opini. Jadi, memang dipisahkan. Masalahnya, kalau online semua jadi satu. Kalau orang tidak hati-hati ya langsung beranggapan ini pasti benar, padahal sebuah opini belaka.
GS : Iya. Selain hal pertama tadi dimana kita harus membedakan fakta dan opini, apa yang bisa kita lakukan lagi, Pak Paul?
PG : KITA MESTI MEMBEDAKAN ANTARA FAKTA DAN FITNAH. Ada kalanya orang dengan sengaja menyebarkan berita yang sama sekali tidak benar untuk memfitnah atau menyerang seseorang. Sekali informasi keluar, kita tidak dapat menariknya kembali. Sebab informasi itu dapat menjadi bagian dari keyakinan orang. Itu sebab memfitnah atau menyerang orang lewat penyebaran informasi biasanya berhasil, Pak Gunawan. Sebab selalu ada saja orang yang percaya. Jadi, benar-benar kita mesti menyadari betapa ampuhnya penyebaran berita itu. Sebab sekali berita keluar, meskipun kita ralat, ditarik-tarik kembali atau apa, kalau sudah terlanjur keluar berarti ada kemungkinan ada orang yang memercayainya. Ralat kita, koreksi kita, justru dianggap mau menutupilah dan sebagainya. Jadi, sekali lagi kita mesti berhati-hati ya dengan hal-hal yang kita dengar. Sebab kadang-kadang itu jelas-jelas adalah sebuah fitnah bukan sebuah fakta.
GS : Iya. Namun kadang-kadang fakta pun itu disangkal, Pak Paul. Sekalipun itu bukan fitnah tetapi fakta itu digoyahkan dengan pendapat-pendapat orang lain sehingga kita jadi bingung fakta ini sebetulnya betul menurut kita tetapi karena ada bukan lagi pendapat tapi betul-betul diserang, disalahkan, jadi sesuatu yang sebetulnya benar itu jadi salah. Bukankah bisa terjadi seperti itu, Pak Paul?
PG : Bisa sekali. Sebab kita mudah terpengaruh oleh jumlah, Pak Gunawan. Misalkan kita mendengar beberapa orang menyuarakan suara yang menentang atau mengatakan bahwa misalkan yang dikatakan oleh si B ini adalah salah atau apa. Berhubung yang diwawancara itu misalkan 4 - 5 orang semua sepakat tidak setuju dengan yang dikatakan oleh si B maka kita yang mendengarnya itu mudah sekali beranggapan bahwa oh si B seorang diri mengeluarkan pernyataan tersebut yang menentang atau mengatakan itu tidak benar 4 orang. Maka yang 4 orang itu pasti benar. Padahal belum tentu demikian. Jadi, kita memang mudah terpengaruh oleh jumlah sebab makin banyak kita beranggapan makin benar. Padahal kita tahu makin banyak belum tentu makin benar.
GS : Ya. Dan orang yang mengatakan sebuah fitnah begitu pandainya menutupi bahwa, "Ini bukan fitnah. Kenyataannya memang seperti itu." Dan dia pun punya bukti-buktinya bahwa ini bukan fitnah kok.
PG : Ya. Salah satu cara untuk memastikan apakah informasi yang kita dengar atau baca itu fakta atau fitnah adalah dengan memerhatikan nada atau emosi yang terkandung di dalamnya. Makin tidak berimbang dan kasar, makin besar kemungkinan bahwa tujuannya adalah untuk menyerang bukan melaporkan fakta. Mungkin saja di dalamnya ada fakta namun tetap sasaran utamanya bukanlah menyajikan berita tetapi menyerang orang. Itu sebab fakta disajikan dengan kekuatan emosi untuk memengaruhi opini orang. Makin kita membaca dan melihat nada yang begitu keras, emosi yang begitu kuat di dalam penyampaian atau di dalam berita yang disampaikan itu, kita makin harus berhati-hati. Karena bisa-bisa memang motifnya bukan untuk menyajikan satu fakta tapi untuk menyerang orang tersebut.
GS : Nah, masalahnya kalau itu disampaikan dalam bentuk tulisan, Pak Paul. Kalau dalam bentuk live atau kita bisa melihat orangnya, oh ini marah ini emosional. Kalau dalam bentuk tulisan kadang-kadang sangat tersamar bagaimana sebenarnya sikap orang ini.
PG : Iya. Sudah tentu betul kalau kita melihat langsung kita masih bisa melihat gerak-geriknya, wajahnya, emosinya, nada suaranya. Sudah tentu dalam tulisan itu tidak bisa kita lihat. Tapi kadang-kadang kita masih bisa menerka bahwa si penulis ini penuh dengan kemarahan dan tujuannya adalah untuk menyerang atau menjelekkan orang karena nadanya tetap kita masih bisa melihat kok kuat sekali emosinya kok begitu negatif tetang orang tersebut. Jadi, kita mesti berhati-hati karena kita tetap mau melihat apakah fakta itu diberitakan secara berimbang. Makanya mungkin kita sering membaca ini, kalau kita membaca satu tulisan dalam sebuah publikasi yang terpercaya, selalu ada usaha dari si penulis atau wartawan atau majalah atau surat kabar tersebut untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dari pihak yang satunya. Jadi, mereka selalu berusaha untuk mendapatkan informasi atau keterangan dari kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk menyajikan berita yang berimbang sebab memang tidak ada niat untuk menyerang atau menjelekkan seseorang. Atau tidak ada usaha untuk mendapatkan keterangan dari pihak satunya namun sudah begitu cepat memberikan label-label yang menyudutkan, hampir bisa dipastikan memang tujuannya bukan untuk menyajikan sebuah fakta tapi untuk menyerang orang tersebut.
GS : Nah, ini yang sekarang agak sulit kita temukan sebuah lembaga penyiaran yang betul-betul netral seperti itu, Pak Paul. Karena ada banyak hal yang memengaruhi sehingga yang memproduksi berita ini tidak bisa netral. Ini tergantung pemiliknya juga, tergantung pendapat mayoritas masyarakat, sangat memengaruhi berita yang disampaikan.
PG : Betul. Memang untuk benar-benar bisa netral itu sangat sulit sekali, Pak Gunawan. Maka saya kira semua media massa dan lembaga penyiaran harus berusaha ya untuk berbuat senetral mungkin. Setidak-tidaknya para penulisnya / para jurnalisnya harus berusaha sekeras mungkin untuk membedakan antara melaporkan fakta dan menyerang orang ya. Sudah tentu harus dilakukan adalah melaporkan fakta bukan menyerang orang.
GS : Ya. Keputusannya tetap pada kita ya. Kita yang harus lebih teliti menanggapi sebuah berita itu fakta atau fitnah. Begitu ya?
PG : Betul.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Yang ketiga, KITA MESTI MEMBEDAKAN ANTARA FAKTA DAN FANTASI. Mungkin orang tidak berniat buruk namun kadang tindakan mereka memasukkan elemen fantasi kepada berita yang disebar dapat berakibat buruk. Orang dapat memercayainya sebagai fakta. Memang seharusnya orang mengerti bahwa tambahan yang diberikan bersifat fantasi. Tapi ada kalanya orang tidak tahu. Akhirnya aspek fantasi dianggap sebagai fakta. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu terdapat lubang yang besar di sebuah jalan dimana kita tinggal. Nah, ada orang yang memotretnya dan memasukkannya ke dalam media sosial supaya masalah ini mendapat perhatian dari pihak pengelola jalan. Tak lama setelah itu ada orang menambahkan animasi ikan keluar dari lubang itu dan melompat-lompat. Saya memang tersenyum melihatnya karena memang lucu. Saya berharap orang dapat menikmati aspek humor dari animasi itu. Tapi saya pun tidak akan terkejut bila ada orang yang sungguh percaya bahwa memang ikan keluar dari lobang itu, padahal tidak ada ya. Singkat kata, kemajuan teknologi membuat batas antara fakta dan fantasi menjadi kabur. Fantasi dapat tampil begitu riil! Ini pula yang kadang menimbulkan masalah. Sebab sekarang orang dapat memasukkan wajah siapa saja ke dalam sebuah peristiwa seakan-akan dia berada di situasi itu. Jadi, di tangan orang yang salah, fantasi bisa menjadi senjata ampuh untuk menjatuhkan orang. Maka kita mesti berhikmat dalam menyikapi berita yang muncul dengan elemen-elemen fantasi itu. Sebab kalau kita tidak bisa membedakannya, kita mudah percaya bahwa - benar-benar seperti ini, orang ini benar-benar berbuat seperti ini – padahalnya semua itu buatan saja.
GS : Ya. Memang sekarang tehnik untuk mengedit foto dan video sudah begitu canggih, halus sekali sehingga sulit membedakan ini asli atau palsu. Namun kadang-kadang kita juga senang kalau sifatnya humor, kalau disitu dikatakan ini sekadar humor atau membuat kita lebih berkreasi. Nah, kalau tidak, kadang-kadang kita terpancing juga, seolah-olah memang asli dan celakanya kita bisa menyebarluaskan berita itu. Dalam hitungan detik ini bisa tersebar dan kita terlibat di situ karena kita anggap itu asli atau fakta tanpa kita ketahui. Baru setelah sekian lama baru ketahuan bahwa ini hanya hasil editan saja. Bagaimana ini, Pak Paul?
PG : Apalagi misalkan yang tadi kita bicarakan adalah memasukkan wajah orang ke dalam sebuah peristiwa, Pak Gunawan. Padahal itu sebenarnya adalah buatan ya. Masalahnya adalah begitu tersebar, orang melihatnya dan mudah sekali percaya, "Wah, benar-benar keterlaluan, masa dia berbuat seperti ini?" Padahal tidak ada sama sekali peristiwanya, tidak ada kejadiannya, ini adalah buatan. Wajahnya dimasukkan ke dalam peristiwa tersebut. Ini benar-benar bisa mencoreng nama baik orang dan sebagainya. Berbahaya sekali. Jadi, mudah-mudahan kita bisa ingat bahwa tidak semua gambar yang kita lihat itu benar. Belum tentu benar. Sebab tadi Pak Gunawan sudah singgung, sekarang teknologi sudah begitu canggih sehingga buatan-buatan begitu bisa dilakukan dengan begitu halus sehingga kita dengan mata telanjang tidak bisa membedakannya. Hanyalah ahli yang bisa nantinya memeriksa apakah ini buatan atau memang benar seperti itu.
GS : Iya. Seringkali gambar-gambar seperti itu bukan cuma menimbulkan fantasi orang tetapi juga menimbulkan opini orang. Pelan-pelan mereka yang sama dan mereka yang tidak setuju akan saling bertentangan. Kalau kita saling terlibat di dalam hal itu, seperti tadi, ikut menyebarluaskan gambar atau berita itu, bagaimana sikap kita?
PG : Sudah tentu kalau kita memang tidak yakin ini benar atau tidak benar, sebaiknya jangan kita sebarkan. Kadang-kadang orang begitu dengar atau tahu berita ini apalagi ada suruhan "silakan sebar luaskan" seperti robot langsung sebar luaskan. Jangan ! Belum tentu berita itu benar. Jadi, kita selalu harus berhati-hati, jangan langsung sebarkan. Sekarang orang apa-apa juga diteruskan, apa-apa langsung disebarkan. Kita mesti sadar kadang-kadang berita-berita ini atau gambar-gambar ini tidak tepat atau tidak berlandaskan pada kenyataan.
GS : Mungkin karena kita merasa bangga kalau bisa menyebarluaskan suatu berita terlebih dahulu, Pak Paul. Padahal berita itu belum tentu benar.
PG : Betul. Jadi, hati-hati sekali apalagi kalau kita membicarakan tentang orang dimana wajahnya dimasukkan ke dalam sebuah peristiwa yang salah yang tidak benar. Itu ‘kan nama baik orang. Jangan sampai kita menjadi alat memfitnah orang. Kasihan orang.
GS : Iya. Apakah ada hal lain lagi yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
PG : Hal keempat yang musti kita lakukan untuk menyikapi membanjirnya berita adalah KITA MESTI MEMBEDAKAN ANTARA FAKTA DAN SENSASI. Ada orang yang memang ingin menjadi berita bukannya melaporkan berita. Menjadi berita. Untuk itu dia akan membuat sensasi. Mungkin dia mengeluarkan perkataan yang kontroversial atau mungkin melakukan tindakan yang mengagetkan orang. Tujuannya adalah untuk mencuri perhatian. Kita harus berhati-hati dengan berita yang sensasional agar kita tidak menyuburkannya dan tidak memenuhi harapan si pembuat berita. Cara terbaik menghadapi berita dan orang seperti itu adalah mendiamkannya. Jangan memberi tanggapan. Kalau kita sudah curiga orang ini sepertinya bukan mau melaporkan berita tapi menjadi berita, dia haus sensasi, justru jangan kita sebar luaskan, jangan kita tanggapi, supaya orang ini akhirnya tahu tidak ada yang mau mendengarkan dia, akhirnya dia berhenti. Jangan sampai ditanggapi sebab makin ditanggapi makin menjadi-jadi.
GS : Padahal kecenderungan seseorang itu senang dengan berita-berita sensasional seperti itu, Pak Paul.
PG : Iya.
GS : Otomatis akan memberikan tanggapan.
PG : Ya. Maka kita harus hati-hati ya, Pak Gunawan. Jangan sampai kita menjatuhkan vonis ya. Kita mesti bersikap adil. Ada kalanya kita menerima berita yang memang berdasarkan kenyataan. Semua dipaparkan secara jelas dan disertai bukti yang kuat. Nah, dalam kasus seperti itu pun kita tetap harus bersikap bijak. Kita harus menunggu tanggapan dan penjelasan dari pihak yang satunya sebab fakta tidak selalu mengungkapkan semuanya. Mungkin ada alasan atau situasi yang belum terungkap. Jadi, sejelas dan sekuat apapun fakta yang disajikan, kita tetap harus menahan reaksi dan tidak mengumbar penghakiman, apalagi menyebarluaskannya tanpa memastikan dulu kebenaran berita itu.
GS : Memang yang menjadi saringan berita itu adalah diri kita sendiri, ya.
PG : Betul.
GS : Belum tentu berita yang kita terima setiap hari yang begitu membanjir itu bermanfaat. Mungkin hanya sebagian kecil saja yang bermanfaat bagi kita. Atau benar. Dari sekian banyak berita yang kita terima itu mungkin semuanya bukan berita bohong tapi juga tidak 100% benar ya?
PG : Iya. Memang tadi kita sudah singgung, ada orang-orang yang tujuannya mencari sensasi. Jadi, dia akan membuat berita apapun.
GS : Iya. Apakah di jaman Alkitab ada contoh-contoh tentang berita seperti ini, Pak Paul? Yang simpang siur dan membuat opini keliru.
PG : Ada, Pak Gunawan. Di Alkitab dicatat sebuah kejadian korban fitnah, namanya Yusuf. Sebagaimana kita ketahui ia dijual oleh kakak-kakaknya karena iri hati sebab ia adalah anak kesayangan si ayah, Yakub. Sebagai budak, akhirnya Yusuf melayani di rumah Potifar, seorang kepala pengawal raja. Pada awalnya hidupnya membaik ya. Ia disenangi tuannya karena kesetiaan dan kerajinannya. Tapi sayang semua itu berakhir secara tragis. Istri Potifar mengajaknya berselingkuh tetapi Yusuf menolak karena ia menghormati Potifar dan karena ia takut Tuhan. Istri Potifar yang merasa malu atas penolakan Yusuf menyebarkan berita bahwa Yusuf mencoba memperkosanya. Sebagai akibatnya Yusuf ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Orang tak bersalah menjadi korban berita bohong. Inilah yang terjadi pada Yusuf. Namun dengarlah apa yang terjadi. Kejadian 39:21 berkata, "Tetapi Tuhan menyertai Yusuf dan melimpahkan kasih setia-Nya kepadanya." Kita harus berhati-hati agar tidak memercayai berita yang kita dengar dan tidak memberi respons gegabah. Jangan cepat percaya berita dan jangan gegabah memberi respons. Jangan sampai kita menjadi seperti Potifar. Dia tidak mengecek terlebih dahulu langsung memercayai perkataan istrinya yang memfitnah atau menyebarkan berita bohong tentang Yusuf. Namun ini penghiburan buat kita, Pak Gunawan, bila kita adalah korban berita tidak benar ingatlah Tuhan menyertai kita dan akan melimpahkan kasih setia-Nya kepada kita.
GS : Iya. Memang seringkali kita jadi korban walaupun tidak secara langsung ya. Tidak langsung terkena dampak dari berita itu tetapi paling tidak kita sudah menghabiskan waktu cukup banyak untuk membaca, menanggapi, memikirkan berita-berita yang masuk yang kita baca atau dengar setiap hari, Pak Paul. Ini sangat mengganggu kehidupan kita. Padahal ada satu hal yang penting yaitu kita memerhatikan firman Tuhan tiap-tiap hari. Jadi, hanya dengan pertolongan Tuhan kita bisa menyikapi berita-berita yang membanjir ini dengan sikap yang bijak.
PG : Ya.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Saya percaya ini akan menolong kita semua. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "MENYIKAPI BERITA YANG MEMBANJIR". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.