Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti sangat menarik dan bermanfaat dan kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Mengalahkan Pikiran Negatif". Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, tentang berpikiran negatif pasti pengertian orang bisa bermacam-macam tetapi di dalam pembicaraan kita kali ini apa yang dimaksudkan dengan pikiran negatif itu?
PG : Yang pertama, berpikir negatif yang saya maksud di sini bukanlah berpikir negatif yang realistik. Jadi saya kira ada batas-batas di mana kita bisa berkata tidak bisa lagi berpikir positif tau optimistis.
Kita harus melihat kenyataan yang memang buruk. Yang saya maksud adalah sebuah pola, artinya adalah suatu kecenderungan, kalau menghadapi suatu masalah atau suatu hal yang dilihat adalah yang negatifnya. Dan bukan hanya hal tertentu, tapi boleh dikata menghadapi segala macam hal selalu yang disoroti adalah aspek-aspek negatifnya. Seolah-olah yang positif itu luput dari pandangannya.
GS : Contoh konkretnya bagaimana Pak Paul?
PG : Misalnya seseorang akan menempuh ujian, dia langsung berpikir bahwa dia akan gagal dalam ujiannya, dia adalah orang yang banyak memiliki kekurangan sehingga dia tidak mungkin belajar denga baik, dia itu orang yang memang tidak bisa berpikir cepat, teman-temannya berpikir dengan cepat, dia tahu nanti dia akan tertinggal.
Dengan kata lain dia sudah mengantisipasi bahwa dia akan mengalami kegagalan. Nah ini saya kira yang sering kali terjadi pada kita sewaktu kita takut bahwa kita akan mengalami suatu kegagalan atau kekalahan. Saya boleh artikan bahwa pola pikir negatif sebetulnya merupakan reaksi kalah terhadap tantangan, kita belum menghadapi tantangan itu namun kita sudah beranggapan akan kalah. Jadi pikiran negatif sebetulnya berfungsi untuk menghindari kekalahan tersebut, dengan kita mengisi pikiran-pikiran yang negatif akhirnya kita tidak akan melakukannya. Nah dengan kita tidak melakukannya berarti kita terbebaskan dari kekalahan itu atau kalaupun kita melakukannya misalkan ujian kita ambil, kemudian hasilnya benar-benar jelek kita tidak akan terkejut, kita mudah berkata memang saya sudah mengantisipasi siapa tahu dapat jelek, saya memang tidak seberuntung teman-teman saya yang bisa berpikir dengan cepat, saya belajar perlu waktu yang lama. Dengan kata lain dia tidak perlu menghadapi realitas kekalahan sepahit itu dengan cara mengisi pikiran-pikiran yang negatif.
ET : Tapi kalau ada orang yang mengatakan memang karena pengalaman menunjukkan seperti itu bagaimana, Pak Paul?
PG : Nah ini yang sering kali menjadi alasan orang-orang yang berpikir negatif bahwa bukankah di masa yang lampau saya sudah mengalami kegagalan, kekalahan maka saya pasti akan mengalami kegagaan juga.
Pertanyaannya adalah apakah satu kegagalan pasti membawa kita kepada kegagalan berikutnya, sebetulnya belum tentu. Jadi nanti kita akan mencoba melihat cara-cara untuk menanganinya tapi memang saya bisa memahami akan ada orang yang berkata memang saya pernah gagal, saya pernah tidak bisa, jadi pasti saya juga tidak bisa. Namun saya mau tekankan bahwa satu kegagalan belum tentu membawa kita kepada kegagalan berikutnya.
GS : Apakah itu sehubungan dengan seseorang yang kurang percaya diri?
(2) PG : Saya kira berkaitan dengan itu Pak Gunawan, jadi adakalanya karena kita kurang percaya diri dan kita mengantisipasi pasti gagal maka kita terburu-buru mengisi benak kita dengan pikiranpikiran negatif itu.
Tapi yang menarik Pak Gunawan, salah satu ciri kepribadian yang mudah sekali berpikir negatif adalah orang yang perfeksionis, orang yang bergebu-gebu dan tersedot untuk melakukan sesuatu sesempurna mungkin. Pola ini mudah sekali melahirkan pola pikir negatif. Saya kira ada beberapa penyebab seseorang yang perfeksionis itu melihat secara mendetail, nah karena mendetail dia melihat banyak, melihat terlalu banyak yang kecil-kecil sekali dan orang yang perfeksionis itu sukar menoleransi kekurangan. Jadi memang orang yang perfeksionis mudah sekali untuk melihat, menitikberatkan pada yang negatif dan gagal akhirnya melihat yang positif.
ET : Ada orang yang mengatakan seperti ini Pak Paul, apakah dia tergolong perfeksionis atau tidak? Dia bilang pokoknya kalau kita sudah berpikir yang jelek-jelek, kalau misalnya sungguh-sungguhjelek tidak mau sampai jatuh dan kalau memang ternyata baik ya itu anugerah.
PG : Mungkin bukan, bukan dalam perfeksionis kalau dalam hal seperti itu tapi merupakan gambar mental yang menyeluruh dari orang yang berpola pikir negatif. Jadi senantiasa mengalasi sesuatu degan yang negatif sehingga kalaupun dia harus jatuh dia tidak akan merasa terlalu sakit, karena dia sudah siapkan dirinya dengan yang negatif itu.
Maka saya tekankan tadi pada awalnya bahwa berpola pikir negatif sesungguhnya upaya untuk mengurangi sakitnya kekalahan atau kegagalan. Atau upaya untuk menghindar dari sakitnya kekalahan atau kegagalan.
ET: Sedangkan orang perfeksionis mungkin kalau dia sudah antisipasi tapi gagal, dia cenderung tidak melakukan apa-apa.
PG : Betul, karena bagi dia sesuatu itu harus sempurna atau tidak sama sekali, jadi begitu dia melihat banyak yang negatif dia akan berkata tidak. Namun memang orang yang perfeksionis sebetulny karena terlalu tinggi dalam standarnya, sehingga yang di bawah standar itu dia anggap negatif.
Jadi memang mudah berpikir negatif karena dia itu standarnya yang terlalu tinggi, semua harus sesuai dengan standar.
ET: Yang menurut orang lain sebenarnya sudah baik, bisa jadi buat dia tetap sebagai suatu kegagalan.
GS : Tapi dalam hal itu merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap dirinya sendiri Pak Paul, orang yang berpikir negatif atau lari dari kenyataan itu?
PG : Saya kira betul Pak Gunawan, bahwa itu adalah upaya untuk melindungi diri dalam pengertian melindungi citra diri yang selama ini dimilikinya. Dia melihat dirinya sebagai orang yang berkwaltas tinggi jadi dia mencoba mempertahankannya, nah saya tidak berkata hiduplah sembarangan dan tidak perlu menghasilkan karya yang indah atau yang bermutu.
Namun saya kira bedanya, orang yang perfeksionis dikuasai sehingga tidak bisa fleksibel untuk menerima sesuatu yang di bawah standarnya. Saya kira yang lebih sehat adalah kemampuan untuk fleksibel sehingga bisa mengurangi standar kalau memang itu yang terjadi dan itulah keadaannya. Nah orang yang perfeksionis memang tidak mempunyai kefleksibelan itu, dia sangat dikuasai terobsesi dengan keinginannya untuk mencapai kesempurnaan.
(3) ET : Apakah pikiran negatif pada orang perfeksionis ini juga akan mempengaruhi di dalam dia berpikir tentang orang lain Pak Paul, selain kepada diri sendiri.
PG : Saya kira akan berpengaruh, Bu Esther, jadi orang-orang perfeksionis biasanya mengharapkan orang melakukan sesuatu yang dia minta, sesempurna mungkin. Dan sulit menerima karya kerja orang ang dianggapnya tidak mencapai standarnya.
Jadi dia bukan saja melihat kekurangan pada karyanya, tapi mudah sekali melihat kekurangan karya orang lain. Kalau tidak hati-hati dia akan menyalahkan orang seolah-olah orang itu sengaja tidak memberikan karya terbaiknya, meskipun sesungguhnya orang itu memang terbatas dalam karyanya atau kemampuannya.
ET : Mungkin akhirnya saya membayangkan bisa jadi menimbulkan prasangka-prasangka yang lain, dalam arti memang dia tidak suka sama saya, dia tidak mendukung saya.
PG : Bagus sekali Bu Esther, saya kira itu sekali terbentuk karena dia langsung mempribadikan hal-hal itu, beranggapan bahwa orang-orang ini memang sengaja tidak mau menghargai dia, tidak mau mmberikan dukungan kepada gagasannya atau kerjanya, langsung ke pribadi.
GS : Orang-orang semacam itu pasti terpengaruh oleh latar belakangnya, Pak Paul?
PG : Saya kira ya Pak Gunawan, jadi saya harus akui bahwa salah satu penyebab yang lainnya dari pola pikir negatif adalah kemungkinan seseorang pernah atau cukup sering mengalami kegagalan ataukekalahan.
Jadi tadi ini kembali lagi kepada yang tadi Ibu Esther sudah katakan, akhirnya dia gamang dengan tantangan karena terlalu sering tantangan itu tidak bisa dilewatinya. Justru waktu ada tantangan dia jatuh, dia gagal dan dia pernah berusaha sebaik-baiknya. Namun kalau sudah beberapa kali gagal kecenderungannya memang orang akan takut gagal lagi. Saya berikan contoh yang mudah sekali, misalkan kita melamar pekerjaan, kita lamar sekali ditolak, kita masih bersemangat, lamar kedua kali masih bersemangat meskipun sudah ditolak. Tapi saya kira kalau kita sudah melamar pekerjaan misalnya 7, 8 kali untuk ke 9 kalinya tidak bisa tidak kita sudah mengisi pikiran kita dengan (GS : ditolak lagi) betul dan antisipasi kita bakal ditolak. Sebab sekali lagi sebagai manusia kita mau melindungi diri, kita tidak bisa merasakan sakitnya penolakan yang ke 9 kali. Jadi untuk mengurangi rasa sakit itu kita langsung berkata saya pasti akan ditolak. Nah jadi adakalanya memang pola pikir negatif muncul dari pengalaman hidup yang sarat dengan kekalahan atau kegagalan.
ET : Kalau dari lingkungan keluarga pada masa kecil, pada masa remaja itu mempunyai pengaruh atau tidak, Pak?
PG : Saya kira berpengaruh pula Bu Esther, jadi saya kira ini adalah penyebab yang lainnya dari pola pikir negatif yaitu pada masa pertumbuhannya, dia hidup dengan figur-figur penting yang kera melecehkannya, atau justru meragukan kesanggupannya.
Saya pernah mendengar suatu kesaksian dari orang yang selalu mengalami kegagalan dalam ulangan waktu masa kecil. Kemudian suatu hari dia berhasil mendapatkan nilai yang baik, nah ironisnya pada waktu si guru mendapati nilainya baik, komentar pertama yang dilontarkan kepada si anak tersebut adalah kamu nyontek dari siapa. Si guru rupanya beranggapan anak ini tidak mungkin meraih nilai yang baik, padahal saat itu si anak berusaha sekeras mungkin dan berhasil mendapatkan nilai yang baik. Jadi memang orang lain pun kalau sudah mempunyai prasangka itu akan tetap berperan dalam penilaiannya terhadap orang lain, si anak ini yang menjadi korban. Hal-hal seperti tadi pelecehan, orang meragukan kemampuan, tidak bisa tidak akan tertanam. Akhirnya pola pikir dia bahwa kenapa orang selalu meragukan kemampuan saya, selalu menghina saya orang yang tidak mampu, jangan-jangan itu benar, bahwa memang saya orang yang tidak bisa apa-apa. Dan karena sudah berpikir dia bakal tidak bisa, akhirnya sungguh-sungguh dia membuktikan dia tidak bisa.
GS : Ya, memang baru beberapa hari yang lalu waktu saya bertemu dengan seorang ibu yang mengatakan pada saya bahwa dia menyesal, karena dulu ketika anaknya itu masih kecil dalam pengertian SD, Pak Paul, selalu dikatakan kamu bodoh, kamu tidak mampu dan itu memang terjadi. Sampai dia katakan, wah apa yang saya katakan itu menjadi kenyataan sekarang dan dia menyesali itu, tapi bagaimana sekarang menumbuhkan rasa percaya diri pada anak itu bahwa dia sebenarnya bisa?
PG : Saya kira perlakuan kita kalau kita orang tuanya harus memberikan lebih banyak dukungan dan mengurangi celaan-celaan. Saya mau memberikan suatu gambaran melalui kisah yang sungguh-sungguh erjadi, ini adalah sebuah riset.
Di sebuah sekolah diadakan riset seperti ini, siswa yang masuk menjalani test masuk, nah guru yang pertama sebut saja guru A diberitahukan bahwa test masuk anak-anak ini tinggi-tinggi, nah di kelas yang lain guru yang satunya diberitahukan bahwa sebut saja guru B misalkan test masuk siswa-siswa itu buruk, nah guru A dan guru B menghadapi siswa yang baru. Apa yang terjadi? Ternyata pada akhir tahun ajaran siswa dari guru A menghasilkan nilai yang tinggi-tinggi, sedang hasil dari guru B siswanya itu nilainya buruk-buruk. Ternyata apa yang terjadi dalam studi itu diselidiki bahwa si guru A karena beranggapan bahwa siswanya ini test masuknya tinggi-tinggi mereka adalah siswa yang pandai, si guru B karena melihat siswanya ini nilainya buruk beranggapan yang masuk ke kelas dia adalah anak-anak yang kurang pandai. Si guru A memperlakukan siswanya sebagai siswa yang pandai, memberikan pujian, memberikan tantangan yang tinggi. Si guru B karena menganggap siswanya ini kurang pandai memperlakukan siswanya sebagai orang yang kurang pandai tantangannya dikurangi, pujian-pujian dikurangi dan hasil akhirnya memang beda. Jadi saya kira kalau kita orang tua harus berhati-hati dalam memberikan komentar, jangan sampai kita melecehkan anak, yang mereka perlukan adalah dorongan-dorongan dari kita.
GS : Tapi dalam contoh yang Pak Paul tadi sebutkan, yang terakhir ini dipengaruhi gurunya bukan siswanya. Tetapi kenapa dia tiba-tiba menjadi punya pikiran negatif terhadap anak didiknya?
PG : Ya memang itu suatu percobaan dan ternyata waktu seorang guru melihat bahwa test masuk siswanya itu buruk, dia sudah langsung beranggapaan bahwa siswanya itu memang orang-orang yang tidakpandai, nah itu adalah suatu percobaan.
Sebetulnya siswa-siswa itu tidak mengalami test apapun, itu adalah test yang dibuat saja dan hasilnya untuk si guru dan untuk diuji apakah memang akan membuahkan perbedaaan. Nah ternyata ada bedanya.
GS : Jadi pengaruh dari luar, stimulan dari luar itu akan berpengaruh pada seseorang, pola pikir seseorang negatif atau positifnya ya Pak?
PG : Saya kira ya, jadi kalau kita memang terlalu sering menerima pelecehan dan penghinaan kita cenderung akan mengembangkan pola pikir yang negatif.
(4) GS : Jadi penanganannya bagaimana, Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah kita harus memfokuskan pada apa yang ada atau yang telah terjadi, bukan pada yang tidak ada dan yang belum terjadi. Jadi sekali lagi contoh misalnya melamar pekerjaan, alau belum terjadi karena kita belum melamar yang ke-9, kita jangan berkata saya pasti gagal karena memang belum terjadi, meskipun yang 1-8 sudah terjadi, yang ke-9 tetap kita harus berkata belum terjadi.
Ini yang terjadi pada Thomas Alfa Edison sewaktu menemukan listrik, saya tidak ingat ke seribu berapa kalinya eksperimen itu dilakukan baru dia menemukan listrik. Nah mungkin sekali pada waktu dia ke-900 dia tetap berkata yang ke-900 belum saya lakukan, jadi belum bisa saya katakan saya pasti gagal. Jadi fokuskan pada apa yang ada atau apa yang telah terjadi, bukan yang tidak ada dan yang belum terjadi.
GS : Memang menarik pernyataan Thomas Alfa Edison yang mengatakan saya sudah mencoba sekian ratus kali, kenapa saya tidak mau mencoba sekali lagi dan yang terakhir itu ternyata berhasil, Pak Paul. Itu yang bagus.
ET : Cuma saya membayangkan kalau misalnya pola ini sudah dimiliki seseorang sampai sekian tahun namanya juga sudah pola begitu, Pak Paul. Dia harus berpikir menemukan pemikiran ini sendirian, pasti sulit ya?
PG : Sangat sulit, jadi memang kita ini kalau tahu teman kita mempunyai masalah dengan pola pikir negatif kita harus mendorongnya, nah kalau kita sendiri yang berpola pikir negatif dan kita sadri itu, saya rasa kita harus masuk ke langkah berikutnya yaitu yang tadi Ibu Esther sudah paparkan yakni berkonsultasilah dengan orang lain guna mendapatkan wawasan yang lebih luas atau dorongan.
Sebab memang dari diri kita sendiri kemungkinan tenaga itu sudah hampir habis.
ET : Ya apalagi misalnya memang pengalamannya juga buruk, gagal berkali-kali, lalu memang belum pernah dapat dukungan dari orang lain, dia harus berjuang sendirian.
PG : Betul, jadi masuk akal kalau dia harus berjuang sendirian rasanya sudah kalah duluan, maka mintalah bantuan, konsultasilah dengan orang lain, tukar pikiranlah dengan orang lain sehingga orng lain pun bisa memberikan masukan apa yang perlu diperbaiki dan kira-kira apa kemungkinan keberhasilannya dan sebagainya.
Jadi dia memang perlu meminta bantuan kepada orang lain.
GS : Ya tapi ada kesulitan yang harus dihadapi, saya rasa itu untuk memilah-milah mana yang kira-kira dia bisa lakukan dan mana yang tidak bisa dia lakukan. Karena tidak mungkin dia akan lakukan semuanya.
PG : Dengan kata lain, seseorang memang pada akhirnya harus menginventarisasi kemampuannya dengan tepat, jadi jangan sampai dianya juga bermasalah dalam pengertian tidak memiliki gambar diri yag tepat, itu penting sekali untuk bisa juga merealisasikan pikiran negatif kita.
Kalau memang kita tidak bisa, kita akui tidak bisa, kita bisa kita akui kita bisa. Namun bukanlah dalam kategori bisa atau tidak bisa, ada tingkatannya pula. Jadi kita bisa katakan saya bisa dalam batas seperti apa, saya tidak bisa, tidak bisanya seperti apa. Sebaiknya memang kita juga memiliki gambar yang tepat dalam bidang-bidang itu.
ET : Rasanya juga mungkin keinginan membuka diri itu Pak Paul, maksudnya hal-hal seperti itu juga perlu input dari orang lain. Kamu bisa sebenarnya, tapi kadang-kadang ada orang yang memang sudh tidak bisa ya tidak bisa, rasanya mungkin mau fleksibel untuk mendengar bahwa ada benarnya pandangan orang lain tidak selalu yang dia pikir tidak bisa selamanya juga tidak bisa.
PG : Dan ini akan menjadi tantangan orang yang berpola pikir negatif, Bu Esther, sebab ada kecenderungan orang yang berpola pikir negatif mudah menutup diri terhadap masukan orang lain. Seolah-lah dia senantiasa berusaha mengkonfirmasikan ramalannya bahwa dia akan gagal, kalau ada orang ingin menggugat dan memberikan dia harapan seolah-olah dia tepis, dia justru berikhtiar untuk senantiasa mengkonfirmasikan nubuatannya itulah bahwa dia akan gagal.
Jadi waktu orang lain mencoba untuk mendorongnya susah untuk dia terima, itu pertama. Kedua ada kecenderungan juga tadi Pak Gunawan sudah singgung, yaitu memang mempunyai masalah dengan kepercayaan diri. Jadi masalah itu sendiri juga menghalangi dia untuk mendengarkan masukan dari orang. Karena orang yang menerima diri dengan nyaman mempunyai kepercayaan diri yang baik, justru lebih terbuka mendengarkan masukan orang lain. Justru orang-orang yang memang mempunyai masalah dengan kepercayaan diri, susah untuk menerima tanggapan orang, dia takut orang melihat dirinya yang kurang itu, dia takut ditolak atau dihina.
ET : Berarti untuk menginventarisasi diri itu benar-benar dia harus keluar dari kungkungannya ya?
PG : Betul, dan dia harus menemukan orang yang bagi dia aman, bisa menerimanya meskipun menunjukkan kekurangannya itu. Dia takut sekali orang tahu kekurangannya, sebab dia tahu orang akan menghna dia kalau tahu kekurangannya.
ET: Padahal dia sendiri juga menghina dirinya ya?
GS : Bagaimana halnya itu kalau menyangkut orang yang percaya kepada Tuhan, orang yang beriman, Pak Paul?
PG : Maka prinsip akhirnya adalah ini Pak Gunawan, cobalah dengan perhitungan dan iman itu prinsipnya. Jadi waktu kita menghadapi tantangan hitung kekuatan kita, kemampuan kita, kebiasaan kita,lihat apa yang ada di depan kita.
Tapi juga majulah dengan iman, artinya serahkanlah sisanya kepada Tuhan, kita lakukan bagian kita, kita sudah menghitung setelah itu sisanya kembalikan kepada Tuhan. Mungkin firman Tuhan ini cocok untuk kita bisa berikan kepada saudara-saudara kita yang mungkin mempunyai masalah seperti ini, Pak Gunawan. Diambil dari
Amsal 3:5-6, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu maka Ia akan meluruskan jalanmu." Tugas kita lakukan bagian kita, perhitungan harus jalan tapi iman juga harus jalan mengetahui Tuhan akan meluruskan sisanya, begitu.
GS : Memang sulit juga untuk menyerahkan itu Pak Paul, kadang-kadang walaupun di dalam doanya atau dia dalam kerinduannya, keinginannya menyerahkan itu pada Tuhan tapi ternyata sebagian besar masih tetap di genggamannya sehingga tetap ada rasa negatif. Berpikiran negatif itu terus menghantui dirinya terus, Pak Paul.
PG : Saya kira ya, jadi iman memang bukannya sesuatu yang langsung bisa kita nikmati kemenangannya pada saat itu. Sebab kalau kita sudah nikmati kemenangannya bukan iman lagi. Justru belum meliatnya, nah dalam kegalauan itulah seseorang bisa beriman yaitu belum melihat tapi sudah berserah.
GS : Jadi pergumulannya dalam menyerahkan itu pada yang memang hak Tuhan, bagian Tuhan itu Pak Paul. Jadi diapun harus punya keyakinan bahwa Tuhan akan menolong dia untuk makin hari makin bisa mengurangi pikiran-pikiran negatifnya dan menjadi positif.
PG : Betul, sebab pada akhirnya orang yang beriman adalah orang yang sangat positif.
GS : Terima kasih sekali, Pak Paul dan juga Ibu Esther. Saudara-saudara pendengar kami baru saja berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru membicarakan suatu pokok yaitu "Mengalahkan Pikiran Negatif". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.