Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Heman Elia, akan berbincang-bincang dengan Bapak Sindunata Kurniawan. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Mekanisme Pertahanan diri"bagian yang ke-empat.
HE : Sekadar mengingatkan para pendengar di bagian pertama hingga ketiga telah dibicarakan tentang jenis-jenis pertahanan diri. Pak Sindu, sudah ada 10 mekanisme pertahanan diri yang telah kita bicarakan.
SK : Ya.
HE : Pak Sindu, ternyata begitu banyak ya jenis mekanisme pertahanan diri ini ya?
SK : Betul, Pak Heman. Rupanya itulah kemanusiaan kita yang memiliki berbagai cara yang kita kembangkan untuk mempertahankan atau melindungi diri.
HE : Apakah masih ada jenis mekanisme pertahanan diri yang lain, Pak?
SK : Betul, Pak Heman.
HE : Mungkin Pak Sindu bisa menyebutkan lagi jenis apa ?
SK : Jenis kesebelas yaitu sublimasi. Sublimasi merupakan istilah fisika waktu kita belajar di sekolah menengah kita tentu mengenal istilah sublimasi, yaitu perubahan wujud dari padat ke gas tanpa mencair lebih dahulu.Ini biasa terjadi pada es kering atau pada batuan kapur yang menguap karena bersentuhan dengan udara.Memang sublimasi ini diartikan sebagai perubahan ke arah satu tingkat yang lebih tinggi.
HE : Ini istilah fisika. Bagaimana kaitannya dengan perilaku kita, Pak?
SK : Dalam hal ini sublimasi dipakai sebagai istilah dalam mekanisme pertahanan diri yang menjelaskan bagaimana kita mengalihkan hasrat atau dorongan-dorongan yang bersifat primitif menjadi perilaku yang dapat diterima secara sosial oleh norma masyarakat. Dikatakan bersifat primitif karena memang berkenaan dengan dorongan agresifitas dan dorongan seksual yang lebih mudah kita tolak. Kita merasa cemas kalau punya dorongan itu,merasa bersalah, merasa diri tidak layak, sehingga di tengah kecemasan dan dalam bentuk yang tanpa kita sadari, kita melakukan sublimasi. Artinya kita alihkan ke bentuk-bentuk perilaku yang bisa diterima oleh masyarakat dan kita tidak merasa bersalah.
HE : Ini menarik. Ada dua dorongan yaitu dorongan agresifitas dan dorongan seksual.Bisa dijelaskan lebih lanjut, Pak?
SK : Misalnya kita memiliki dorongan yang begitu agresif, tapi kemudian kita salurkan ke seni beladiri atau olahraga tinju. Jadi lewat kompetisi beladiri atau pertandingan tinju, kita bukan hanya bisa menyalurkan dengan cara yang benar dan bisa diterima masyarakat, malah kita bisa memenangkan suatu kejuaraan, mendapatkan sanjungan penggemar dan penonton. Ini terjadi proses sublimasi,Pak Heman.
HE : Adakah contoh lain yang menyangkut kehidupan kita, Pak?
SK : Dorongan agresifitas itu bisa diwujudkan seseorang menjadi pengacara, advokad hukum. Jadi kalau orang bertengkar mulut ‘kan tidak bagus. Sikapnya terlalu konfrontatif, mengganggu orang lain, suasana menjadi panas, suasana persahabatan ini. Tapi kalau disalurkan ke dunia pengadilan atau advokasi hukum, hak asasi manusia, dorongan itu ‘kan menjadi hal yang membangun dan membawa kebaikan bagi masyarakat luas. Itu juga bentuk sublimasi.
HE : Berarti sekalipun ini bentuk mekanisme pertahanan diri, tapi kelihatannya juga bisa menjadi positif ya Pak Sindu?
SK : Rupanya demikian, Pak Heman. Para ahli menilai sublimasi sebagai satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang sangat positif, sangat membangun masyarakat, bahkan dari sublimasi ini bisa lahir karya-karya yang begitu kreatif secara budaya menghasilkan pencapaian budaya yang lebih tinggi baik dalam seni, musik, sastra, bentuk-bentuk hubungan antar manusia ataupun aktivitas sosial. Seperti misalnya kegiatan kemanusiaan itu bisa menjadi bentuk sublimasi dari dorongan seksual.Artinya dorongan untuk bersifat relasi antar manusia, dorongan cinta, dorongan afeksi seksual ini disalurkan menjadi perawat, pengasuh, aktifis kemanusiaan.Ini membangun kehidupan kemanusiaan kita.
HE : Iya.
SK : Contoh, ada satu seniman jenius yang hidup di abad pertengahan bernama Leonardo Da Vinci. Salah satu lukisannya yang terkenal menggambarkan seorang ibu dan diberi nama Madonna. Dan diyakini oleh para ahli, gambaran ibu dengan bayinya ini merupakan ungkapan sublimasi kerinduan Leonardo Da Vinci pada ibu yang telah meninggalkannya pada usia yang sangat muda. Sublimasi Leonardo Da Vinci ini menghasilkan karya lukisan yang spektakuler sampai dengan hari ini.
HE : Jadi ini mahakarya dan sebetulnya lahir dari suatu dorongan primitif tapi bisa dialihkan sedemikian rupa sehingga menjadi dorongan yang sangat positif.
SK : Betul.
HE : Mungkin ada jenis mekanisme pertahanan diri yang lain, Pak Sindu?
SK : Jenis kedua belas yaitu subtitusi atau pengganti. Substitusi ini mirip dengan sublimasi.Kalau sublimasi, bentuk penggantiannya bisa berbeda dan tingkat kepuasannya bisa agak berbeda.Tapi untuk subtitusi ini, dorongan yang tidak kita kehendaki atau kita rasakan sebagai dorongan primitif itu disalurkan dengan hal yang masih mirip dengan melakukan sedikit perubahan saja.Misalnya ada seorang laki-laki yang tumbuh dengan perasaan benci pada ibunya.Akhirnya dia juga membenci kaum wanita pada umumnya.Tanpa disadari dia melakukan subtitusi. Kalau sikap bermusuhan ini ketahuan oleh ibu dan kaum wanita, dia akan mendapatkan respons negatif. Karena cemas, tanpa sadar dia melakukan subtitusi dengan membuat lelucon yang penuh kritik yang menyinggung hal-hal yang dia anggap sebagai kebodohan dan kerendahan seorang wanita.Itu membuat sekian banyak orang tersinggung dengan lelucon ini.Namun dia tidak menyadari bahwa dia telah menyinggung banyak orang."Kenapa tersinggung? Ini hanya lelucon saja." Tanpa sadar dia melakukan mekanisme pertahanan diri jenis substitusi.
HE : Ini menarik. Kalau kita saksikan dalam hidup sehari-hari atau mungkin kita lakukan sendiri, ada tingkah laku kita yang menyakiti orang lain ternyata dilatarbelakangi oleh mekanisme pertahanan diri jenis subtitusi ini ya, Pak?
SK : Betul. Misalnya ada anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang sangat religius, menekankan pentingnya ketaatan dan kesalehan.Dan tanpa sadar tekanannya terlalu kuat pada hal-hal lahiriah.Dia merasa benci dengan hal-hal yang menekan itu. Sejalan dengan proses hidupnya dia tumbuh dengan memiliki dorongan agresif dan bermusuhan. Tapi karena keluarganya begitu menekankan sisi kesalehan lahiriah, tidak mungkin dia mengekspresikannya, bisa-bisa dia dihukum.Akhirnya tanpa sadar dia menyalurkan dorongan-dorongan itu dalam bentuk dia suka menyiksa dan membunuh binatang-binatang kecil.Mungkin semut, lalat, ikan-ikan kecil yang tidak kentara.Waktu sekolah, dia ikut permainan sepak bola, tanpa sadar dia melakukan subtitusi, dia menjadi pemain sepak bola yang lihai dan dikenal dengan sebutan punya naluri membunuh.Setelah lulus sekolah, dia masuk ke kedokteran dan mengambil spesialisasi dokter bedah. Dengan menjadi dokter bedah, tanpa sadar dia melakukan proses subtitusi, dorongan bermusuhan dan agresif itu disalurkan dengan bentuk menyayat-nyayat, tapi memang masih memberikan kebaikan, tapi sebetulnya itu memuaskan dorongan sikap bermusuhan dan agresifitasnya.
HE : Jadi ada perilaku menyakitkan yang kelihatannya kejam bisa juga bermula dari bentuk mekanisme pertahanan diri, ini menarik.
SK : Contoh yang lebih jelas lagi, misalnya seorang remaja yang cemas untuk menyalurkan dorongan seksualnya. Mau berhubungan seksual langsung dengan lawan jenisnya, tidak mungkin karena belum menikah.Dia melakukan subtitusi dengan membaca buku porno dan melakukan masturbasi.Jadi dia menyalurkan dorongan seksualnya itu dalam bentuk yang masih mirip dan tingkat kepuasannya juga mirip.Inilah yang disebut subtitusi.
HE : Kalau menurut Pak Sindunata, bagaimana? Sebetulnya ini sesuatu yang umum, mekanisme pertahanan diri karena suatu serangan makanya kita bertahan.Apakah hal-hal seperti ini bisa dibenarkan?Misalnya pada remaja tadi.
SK : Tentu dalam konteks ini memang bukan hal yang tepat. Akhirnya, kalau bicara tentang dorongan seksual, sesungguhnya ini bukan semata kaitannya dengan proses yang disebut ejakulasi atau orgasme. Kepuasan seksual itu sesungguhnya ada pada relasi yang sehat, relasi dengan sejenis ataupun dengan lawan jenis. Dalam konteks ini ketika ada dorongan seksual pada remaja ini, ketika dia mendapatkan wawasan yang benar, lalu menemukan apa sebenarnya akar masalahnya - biasanya remaja yang memiliki dorongan seksual yang tinggi ini disebabkan karena ada faktor afeksi relasi dengan orangtuanya tidak berkembang, sehingga bermuara di masa remaja pada bentuk dorongan seksual, yang sebetulnya berangkat dari kebutuhan afeksi relasi yang murni antara anak dengan orangtua. Karena tidak terpenuhi, akhirnya di masa remaja dia ingin memuaskan dorongan seksual itu, padahal akarnya bukan itu.Jadi dalam hal ini, dia perlu melihat akar kebutuhannya dan melayani pemenuhan kebutuhannya itu. Itu cara mengatasinya.
HE : Jadi peran orangtua itu penting ya, Pak?
SK : Betul.
HE : Adakah jenis mekanisme pertahanan diri yang lain, Pak?
SK : Ya,yang ketigabelas yaitu penyangkalan. Penyangkalan ini adalah mekanisme pertahanan diri melawan rasa cemas dengan cara menutup mata terhadap kenyataan yang mengancam, yang menyakitkan dan yang bersifat negatif. Orang tersebut menolak sejumlah aspek kenyataan yang membangkitkan rasa cemas.
HE : Ada contohnya?
SK : Mungkin ini mudah kita kenali atau bahkan pernah kita alami, suatu peristiwa tragis, musibah yang mendadak kita alami, misalnya kematian seseorang yang kita cintai, dia meninggal tiba-tiba. Baru tadi pagi kita bertemu dia sehat walafiat, ternyata malam harinya orang tersebut meninggal dunia.Kita tidak percaya, "Tidak mungkin!Pasti dia masih hidup.Ini hanya kabar bohong!" inilah bentuk penyangkalan.Atau orang mengalami kecelakaan, kebakaran, barang berharganya hilang, "Tidak mungkin!Ini sebuah kekeliruan".Mungkin kasus bayinya meninggal dengan mendadak, "Tidak mungkin!Bayiku hanya tidur, dia masih ada.Kalian bohong!" inilah penyangkalan itu.
HE : Ini sering kita temui. Terutama bencana yang tidak disangka-sangka, mendadak, dan kita tidak siap menghadapinya ya, Pak?
SK : Betul dan hal itu memang menimbulkan shock atau keterkejutan yang besar.Tapi sesungguhnya penyangkalan bisa menjadi hal yang baik, Pak Heman.
HE : Kenapa bisa demikian, Pak?
SK : Dalam hal ini, orang tersebut sebenarnya sedang melakukan proses adaptasi, penyesuaian dengan kondisi yang begitu drastik tadi. Dengan penyangkalan yang secara otomatis dia lakukan ini, sesungguhnya orang tersebut terhindar dari tenggelam dalam rasa cemas dan depresi yang begitu berat. Jadi dengan melakukan penyangkalan, orang tersebut sebenarnya tengah melakukan proses tahap demi tahap untuk menyesuaikan diri dengan kehilangan itu, Pak Heman.
HE : Jadi ini sesuatu yang baik, normal. Kita seringkali memaksa seseorang yang sedang menyangkal itu untuk menghadapi kenyataan atau kebenaran.Bagaimana menurut Pak Sindu?
SK : Iya. Memang itu lebih mudah.Di saat seperti ini orang bisa sampai ditampar, "Ayo bangun! Bangun dari tidurmu! Memang ini sudah terjadi. Terima fakta ini." Kita bisa marah-marah kepada keluarga atau sahabat yang menyangkal sebuah fakta tragisitu.Ini bukan langkah yang tepat.Tapi kita perlu memberi ruang, karena itu fase alamiah.Jadi berilah ruang.Beri dia ruang untuk menjalani fase menyangkal, kemudian dia bisa masuk ke fase marah, setelah itu dia masuk kepada fase tawar-menawar, dan akhirnya masuk ke fase depresi, baru setelah itu dia bisa membingkai kembali dengan baik situasi kehilangan ini. Jadi sebaiknya kita tidak melakukan tindak pemaksaan baik kekerasan fisik maupun emosional kepada orang yang sedang melakukan penyangkalan.
HE : Kalau kita tidak memaksa, apakah kita biarkan saja, Pak? Bagaimana sebaiknya?
SK : Dalam konteks ini kita perlu melakukan satu hal masa batasan. Memang tidak sepenuhnya kita akan membiarkan dia demikian. Karena bila penyangkalan itu berkepanjangan bisa jadi dia akan semakin hilang kesadaran dan terputus dengan kenyataan. Terus menyangkal kalau orang yang dikasihinya sudah meninggal, akhirnya dia masuk dalam fase halusinasi, atau mengarah kepada gangguan jiwa.Atau kalau orang itu sakit, "Aku tidak mungkin kena kanker! Aku masih sehat! Buat apa berobat kalau aku sehat ?" Nah kalau dia terus menyangkal ‘kan sakitnya bisa tambah berat. Dalam konteks ini, dengan cara yang persuasif sambil kita mendoakan dan mendampingi dia. Kita dampingi orang tersebut untuk secara bertahap bisa menerima kenyataan, mungkin kenyataan dia kehilangan orang yang dia kasihi, atau mengalami sakit dan perlu menjalani proses pengobatan.
HE : Ini kata kuncinya ya Pak, yaitu mendampingi.
SK : Betul.
HE : Pak, apakah ada jenis mekanisme pertahanan diri yang lain?
SK : Jenis yang keempat belas yaitu introyeksi, Pak Heman. Introyeksi mirip dengan proyeksi. Proyeksi artinya kita memantulkan dorongan dalam diri kita atau sifat dalam diri yang tidak kita sukai ke orang atau objek lain, dari dalam ke luar untuk hal atau sifat yang negatif. Kalau proyeksi itu keluar, introyeksi itu ke dalam. Ke dalam tapi bukan negatif, melainkan hal yang positif. Introyeksi adalah mekanisme pertahanan diri dimana seseorang memasukkan atau meleburkan sifat-sifat positif orang lain ke dalam dirinya. Jadi dari luar ke dalam untuk hal yang positif bagi dirinya.
HE : Mungkin ada contohnya, Pak?
SK : Misalnya ada seorang anak usia 7-8 tahun. Rupanya anak ini sering ditinggal oleh kedua orangtuanya yang sama-sama sibuk di luar rumah. Dia merasa kesepian, tidak nyaman, takut, kekosongan dan tanpa sadar dia melakukan proses introyeksi. Dia melihat sifat baik dari seorang ibu itu seperti ini, dan dia berpura-pura menjadi ibu bagi bonekanya.Bonekanya diperlakukan seperti seorang bayi dan dia menjadi ibu yang memberi makan, memandikan, dia sedang tanpa sadar melakukan suatu introyeksi. Atau seorang remaja yang merasakan minder, "Siapa aku ini? Aku tidak bisa apa-apa. Tidak ada orang yang menghargai aku." Dia merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri.akhirnya dia melakukan introyeksi. Dia kagum pada orang tertentu, misalnya artis, olahragawan, atau musisi tertentu.Dia melakukan introyeksi yaitu memasukkan nilai-nilai, perilaku, penampilan dari orang-orang yang dia kagumi ini ke dalam dirinya.
HE : Saya bisa membayangkan ya Pak, kalau perilaku yang diambil ini adalah perilaku yang baik, nilai-nilai yang baik, mungkin tidak apa-apa ya.
SK : Betul.
HE : Nah, kadang ada remaja yang meniru idola yang kurang baik.
SK : Betul. Memang itu titik rawannya.Akhirnya kita sebagai orangtua atau orang dewasa yang ada di sekitar remaja ini perlu melakukan perimbangan, artinya kita bisa memberi arahan.Dalam konteks ini, sebaiknya tidak terlalu konfrontatif, karena akarnya bukan pada peniruan atau introyeksi semata, tapi ada akar kekosongan, rasa minder, rasa tidak berharga.Titik inilah yang perlu kita terima, mengakui bahwa wajar kalau orang tersebut melakukan hal itu. Bukan kita membenarkannya tapi kita memberikan penerimaan terlebih dahulu, "Saya menerima kamu, bisa memaklumi kamu demikian." Dari penerimaan inilah, kita bergerak ke arah memberikan masukan dan koreksi kepada remaja tersebut.
HE : Kuncinya adalah penerimaan ya. Adakah jenis mekanisme pertahanan diri yang lain, Pak?
SK : Jenis yang kelima belas yaitu isolasi. Isolasi artinya kita menolak sisi emosi dari suatu peristiwa yang terjadi.Kita mengisolasi atau mengurung, memisahkan perasaan atau emosi negatif seperti rasa marah, kecewa, menderita, kita kurung dan kita hanya menerimanya secara pikiran bahwa ini memang terjadi tapi kita tidak menerima perasaan ini.
HE : Jadi perasaan itu yang dikurung, ya?
SK : Betul. Misalnya orang yang marah berkata, "Iya, saya marah.Tapi saya sudah mengampuni, kok."Padahal rasa marahnya masih ada karena dia punya suatu pemahaman marah itu berdosa."Saya sebagai anak Tuhan tidak boleh marah."Sehingga tanpa sadar dia melakukan isolasi ini.Dia mengurung perasaan marah ini dan mengatakan bahwa dia memang marah, tapi dia tidak mengakui perasaan marah itu sebagai bagian dirinya.Dia kurung, dia pisahkan, dan tergesa-gesa dia katakan bahwa dia sudah mengampuni.Atau misalnya, "Memang ini penderitaan, saya kehilangan.Tapi ini memang takdir. Yah, hidup kan tidak bisa lepas dari penderitaan. Wajar saja." Jadi dia tidak mengijinkan dirinya untuk merasa.Dia hanya mau berpikir secara logika, mengembangkan logikanya dan mengabaikan sisi emosi dan perasaan ini.
HE : Jadi tidak menyatu ya, dan ini kurang sehat ya, Pak?
SK : Betul. Akibatnya dengan adanya penyekatan emosi ini, sebenarnya dia hidup bukan sebagai manusia yang utuh.Akhirnya ini bisa memunculkan dampak-dampak negatif kalau sisi pengisolasian emosi atau perasaan negatif ini menjadi pola yang terus-menerus.
HE : Iya. Pak, ini banyak terjadi.Lantas bagaimana sebaiknya, Pak?
SK : Sebaiknya kita perlu mengakui. Karena emosi negatif itu ada sebagai bagian kemanusiaan kita yang perlu kita rangkul. Kalau kita menerimanya, kita akan bisa memunculkan sikap tanggapan yang sehat dan utuh.
HE : Kata kuncinya "menerima" ya? Dan ini tidak mudah dilakukan ya, Pak.
SK : Betul, memang tidak mudah, Pak Heman.
HE : Pak Sindunata, apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa menjadi pedoman buat hidup kita?
SK : Saya bacakan dari Mazmur 103:14-16, "Sebab Dia sendiri tahu apa kita. dia ingat kita ini debu. Adapun manusia hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga. Apabila angina melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi." Jadi dari tiga ayat ini mengingatkan kita bahwa kita memang debu, kita rentan.Sekarang ada dan bisa tiba-tiba tidak ada.Marilah kita akui kebenaran firman Allah ini, bahwa kita memang lemah, kita tidak sempurna, dan kita kurang.Dan janganlah menolak sisi yang lemah atau kurang ini. Justru dengan kita mengakuinya, merangkul sisi yang kurang, lemah dan sumbang ini, kita siap menerima yang benar, yang utuh, yang baik, yang Allah sediakan dariorang lain dan dari kehadiran Allah ini. Jadi proses penerimaan diri adalah satu hal yang sangat mendasar untuk menjadi diri yang sehat, Pak Heman.
HE : Baik, Pak Sindunata, kita akan melanjutkan perbincangan kita ini di kesempatan berikut. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan BapakSindunata Kurniawan dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga).Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mekanisme Pertahanan Diri" bagian yang ke-empat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ketelaga@telaga.org.Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.