[konflik_orang_tua_dan_pemberontakan_anak] =>
"Konflik Orang Tua dan Pemberontakan Anak"
Lengkap
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konflik Orang Tua dan Pemberontakan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kalau kita berbicara mengenai pemberontakan, biasanya pemberontakan itu terjadi di dalam suatu negara yakni ada pergolakan. Tapi kalau hubungan antara anak dan orang tua, kenapa dipakai istilah pemberontakan, Pak Paul ?
PG : Sebab ada waktu-waktu kita melihat anak-anak itu dengan sengaja memberontak terhadap otoritas orang tua pada dirinya. Jadi apa yang diminta akan dilawan, apa yang diharapkan justru malah tdak dilakukan dan kebalikannyalah yang justru dilakukan oleh anak-anak, itu untuk menunjukkan bahwa mereka tidak bersedia tunduk kepada otoritas orang tua.
GS : Apakah hal itu terjadinya semasa anak masih di bawah penguasaan orang tua, Pak Paul ?
PG : Betul. Itu biasanya terjadi pada saat anak masih dalam usia remaja. Namun nanti kita akan melihat seringkali benih-benih itu sudah tampak pada masa anak-anak kecil.
GS : Seperti di Alkitab kita baca mengenai Absalom memberontak terhadap Daud, yang mestinya juga mulai kecil sudah terjadi.
PG : Besar kemungkinan ya, jadi ada yang menjadi ganjalan dalam hati si anak namun karena dia masih kecil, dia masih belum bisa mengungkapkan atau mengekspresikannya. Jadi biasanya keluar pada asa anak-anak itu remaja.
GS : Itu terjadinya karena konflik yang tidak terselesaikan atau konflik yang berkepanjangan atau bagaimana, Pak Paul ?
PG : Jadi biasanya anak-anak itu memberontak sebagai akibat dari relasi orang tua yang bermasalah. Ada hubungan yang erat antara perkembangan jiwa dan perilaku anak dan relasi orang tua. Pertanaannya adalah, kenapa anak itu memberontak sewaktu harus hidup dalam relasi orang tua yang bermasalah, sebab kebutuhan mendasar anak dalam masa pertumbuhannya adalah ketentraman.
Karena orang tua tidak bisa hidup harmonis, rukun dan karena sering konflik sehingga akhirnya ketentraman di dalam rumah tangga itu hilang. Begitu ketentraman terhilang dalam keluarga, itu akan menimbulkan gangguan pada anak. Sebab anak-anak yang tidak ada ketentraman dalam keluarganya menjadi mudah jatuh dalam perilaku memberontak, sebab pada dasarnya relasi orang tua yang bermasalah membuatnya labil. Jadi ibarat air yang bergolak akibat tiupan angin, demikianlah dengan jiwa yang harus menghadapi ketegangan di antara orang tuanya. Jadi benar-benar anak-anak itu menjadi anak-anak yang labil, tidak bisa lagi mengendalikan diri atau keinginannya atau perasaannya.
GS : Jadi konflik itu tidak harus langsung antara orang tua kepada anaknya atau antara orang tua dengan saudaranya, yang penting adalah menimbulkan ketegangan itu tadi, Pak Paul ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi tidak harus anak-anak ini menjadi korban kemarahan orang tuanya tapi ini adalah kasus dimana si anak ini melihat dan mengalami pertengkaran antara orang tuaya.
GS : Memang sulit menyembunyikan pertengkaran orang tua di hadapan anak, tapi apa yang didengar dan dilihat oleh anak itu membuat mereka semacam trauma atau bagaimana, Pak Paul ?
PG : Benar, Pak Gunawan. Jadi waktu anak-anak itu harus mendengarkan orang tuanya berkelahi, saling caci-mencaci akhirnya menimbulkan keresahan dalam dirinya. Karena apa ? Maka kita akan meliha beberapa urutannya agar kita bisa mengerti.
Konflik yang berkelanjutan dalam keluarga memang merupakan pertanda bahwa pernikahan itu bermasalah. Sudah tentu kita tahu bahwa konflik itu sendiri merupakan luapan emosi kesal dan frustrasi bahwa orang tua itu kesal terhadap satu sama lain sehingga akhirnya saling menegur dan marah. Tidak bisa tidak akhirnya relasi orang tua yang sarat konflik akan menciptakan suasana rumah yang tidak nyaman. Ketegangan menjadi sangat terasa ketika kedua belah pihak berada dalam rumah sebab sewaktu-waktu pertengkaran dapat meledak, sebagai akibatnya anak-anak akan hidup dalam ketegangan secara terus-menerus sebab anak-anak ini tidak tahu kapan orang tua ini nanti akan berkelahi. Jadi karena tidak tahu maka anak-anak harus mengantisipasi. Masalahnya, ini tidak hanya terjadi sekali seminggu, ini terjadi untuk waktu yang berkepanjangan dan cukup sering. Jadi misalkan orang tua konflik tiga kali atau dua kali seminggu dan meledaknya itu kapan saja. Tapi kalau seminggu terjadi dua atau tiga kali konflik maka si anak itu tidak bisa tidak akan mengantisipasi bahwa kalau tidak pagi hari ini maka akan terjadi besok, kalau tidak terjadi besok maka hari ini. Jadi setiap hari dia akan terus berjaga-jaga. Berarti si anak harus hidup dengan ketegangan 24 jam. Dan ini suatu kondisi yang tidak baik buat pertumbuhan jiwa si anak yang nantinya membuat jiwanya labil.
GS : Yang dikuatirkan anak ini, suara keras dari pertengkaran itu atau kekuatiran bahwa mereka itu akan berpisah, Pak Paul ?
PG : Biasanya dua-duanya. Jadi anak-anak apalagi kalau sudah mulai besar, mereka itu sudah mulai mengerti bahwa konflik yang berkelanjutan biasanya berakhir dengan perceraian dan itu adalah sesatu yang tidak diinginkan oleh si anak.
Jadi itu sendiri menimbulkan kecemasan. Waktu orang tua sedang berkelahi sudah tentu suara keras atau apalagi bila ada tindakan-tindakan yang menggunakan kekerasan memukul barang dan sebagainya, itu lebih memberikan perasaan-perasaan yang melumpuhkan. Maka ada sebagian anak yang hidup dalam keluarga seperti ini maka akan bertumbuh menjadi anak-anak yang pasif, takut, tegang, tidak bisa berinisiatif karena hidup dalam ketegangan dan akhirnya melumpuhkan dia. Dalam ketegangan akhirnya ada anak-anak yang tidak bisa lagi berfungsi optimal karena harus berjaga-jaga jangan sampai ada lagi masalah. Sebagai akibatnya ketegangan membuat anak-anak ini menyikapi hidup dengan tegang, sehingga sesuatu yang relatif kecil menjadi besar, sesuatu yang sederhana menjadi rumit tatkala dia dalam kondisi tegang. Jadi anak-anak ini karena hidup dalam ketegangan, ketegangan berpotensi menciptakan sebuah sikap atau cara yang tidak utuh dan berimbang dalam menghadapi persoalan hidup. Bagaimana kita bisa menyikapi hidup dengan tenang, jernih, bersikap dengan tepat ? Tidak bisa karena hidup kita itu sudah dikuasai oleh ketegangan. Waktu kita tidak bisa lagi menyikapi hidup dengan tepat dan dengan jernih, maka akibatnya adalah kita mudah mengambil keputusan yang tidak bijak, melakukan kesalahan-kesalahan. Itu sebabnya sebagian anak-anak yang hidup dalam ketegangan akibat konflik yang melanda orang tua, rentan melakukan kesalahan dan mengambil keputusan yang keliru. Jadi efeknya itu seperti domino yaitu berguguran satu demi satu. Jadi ujung-ujungnya karena anak-anak ini hidup dalam ketegangan maka sering mereka membuat kesalahan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak tepat yang menimbulkan kekacauan.
GS : Kalau dia anak tunggal, saya rasa dampaknya lebih berat dibanding kalau ada anak-anak yang merupakan suatu kelompok tersendiri. Jadi misalkan saudara yang beda usianya tidak terlalu jauh maka mereka bisa merasakan semua ini bersama-sama dari pada kalau dia sebagai anak tunggal.
PG : Sudah tentu kalau ada anak-anak lain dalam keluarga sudah tentu akan memberikan kekuatan karena si anak tidak sendirian. Tapi kalau dia memang sendirian, maka efeknya itu sangat berat karea dia tidak memiliki siapa-siapa yang bisa diajaknya untuk berbicara atau menuangkan ketakutannya.
GS : Tapi dampaknya kepada anak-anak tidak sama, ada anak-anak yang kuat menghadapi hal itu, ada anak lain yang lebih rentan menghadapi hal seperti itu.
PG : Betul, karena kita lahir tidak memunyai peralatan atau ketahanan yang sama dalam menghadapi stres, itu sebabnya ada anak-anak yang bahkan menjadi lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa, pasif, iam, takut tapi ada anak-anak yang justru malah banyak berbuat, banyak melakukan hal-hal yang bermasalah yang cenderung melakukan tindakan-tindakan yang tidak tepat dan akhirnya apa yang terjadi kalau anak-anak ini terus melakukan tindakan-tindakan yang tidak tepat baik di sekolah maupun di rumah, akhirnya anak-anak ini menjadi anak-anak yang sering dimarahi, dijadikan objek hukuman, di sekolah dihukum, di rumah dihukum, di rumah dimarahi, di sekolah dimarahi.
Susahnya orang tua atau sekolah akan berkata, "Kami memiliki alasannya untuk memarahi dia sebab anak ini berbuat seperti ini dan seperti itu." Memang betul ada alasannya anak-anak ini berbuat seperti itu, melakukan hal-hal yang tidak tepat, penilaiannya memang keliru. Tapi masalahnya adalah sesungguhnya penyebab awal semua ini berpulang pada relasi orang tua sendiri. Kenapa dia menjadi anak yang tidak bisa bersikap tepat, bertindak baik dan tepat? Karena pertimbangan-pertimbangannya itu sudah mulai "error", sudah mulai tidak tepat. Kenapa tidak tepat ? Karena terlalu banyak ketegangan dalam dirinya. Jadi orang hanya melihat ujungnya, kenapa anak ini begini, dimarahi dan dimarahi. Ini nanti yang akan kita lihat yang menjadi benih-benih pemberontakan sebab dia selalu menerima kemarahan-kemarahan. Padahal awalnya dia menjadi begitu karena kemarahan yang harus diserapnya dari dalam keluarga sendiri.
GS : Tapi kalau dia menjadi takut dan menjadi kurang percaya diri, sebenarnya itu dikarenakan dia kesulitan untuk berani berontak karena dia sendiri takut dan dia tidak yakin dengan dirinya sendiri. Bagaimana dia mau melakukan pemberontakan, Pak Paul ?
PG : Makanya seringkali kita melihat, pemberontakan anak-anak ini memang bukan pemberontakan yang terarah. Jadi benar-benar suatu luapan emosi, ini yang seringkali membuat sekolah tambah geregean karena anak-anak ini akan melawan dan membantah kita atau otoritas kita tapi bantahannya sebetulnya tidak tepat dan tidak ada alurnya.
Memang betul bahwa mereka sendiri sebetulnya tidak memunyai arah, tidak memunyai kejelasan harus bagaimana, kepercayaan dirinya juga rapuh tapi luapan emosinya tinggi, sebab dia sendiri harus menyimpan banyak ketegangan. Akhirnya ketegangan-ketegangan dalam hidup dia membuat dia tidak bijaksana dalam bersikap sehingga menerima banyak cercaan hukuman kemarahan-kemarahan, itu yang membuat dia meledak, lepas kendali. Memang ini biasanya terjadi di usia-usia remaja, setelah bahan-bahan kemarahan dan ketegangan itu berkumpul dalam dirinya dalam jumlah atau tenaga yang besar.
GS : Jadi sebenarnya pemberontakan itu bukan berawal ketika remaja tapi ketika masa kecil pun sebetulnya ada pemberontakan, tapi dia tidak memunyai kekuatan atau kemampuan untuk itu.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi memang masalah ini sebetulnya diawali pada masa anak-anak itu kecil. Sebab kalau kita perhatikan, waktu anak-anak ini kecil, dia akan berusaha menggunakan setiap ksempatan untuk berontak sebetulnya, namun karena masih kecil jadi kita masih bisa mengatasi tingkah lakunya.
Dan waktu dia berusia remaja, pemberontakan menjadi nyata oleh karena kita juga sudah sulit untuk mengatasinya.
GS : Tapi kalau kita melihat di sini, ada dua macam pemberontakan yang karena alasan-alasan yang tadi kita bicarakan, tapi ada juga anak yang memang pada dasarnya suka memberontak. Dan membedakannya ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Tetap nanti kita akan perhatikan karena nanti kita akan menjadikan ini sebuah seri, ternyata pemberontakan itu punya alasannya. Jadi hampir tidak ada pemberontakan yang berlangsung tanpa aasan dan saya harus hati-hati mengatakan ini karena saya tidak mau menyalahkan orang tua.
Karena adakalanya kita tidak sengaja, sungguh-sungguh kita tidak tahu kalau nanti akan berakibat seperti ini, tapi sekali lagi di mata anak inilah alasannya. Jadi memang ini yang nanti harus kita bahas.
GS : Namun sebelum itu bagaimana cara penanganan anak yang berontak akibat orang tua yang sering bertengkar seperti ini ?
PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Yang pertama adalah untuk mencegah pemberontakan akibat konflik, sudah tentu relasi yang bermasalah mesti dibereskan terlebih dahulu, masalah yang telah menahun enandakan ketidak mampuan kita untuk mengatasinya, itu berarti kita perlu meminta bantuan pihak ketiga yakni konselor keluarga atau hamba Tuhan, jangan ragu dan jangan sungkan untuk meminta pertolongan.
Kesediaan kita meminta pertolongan, berdampak positif kepada anak karena hal itu menunjukkan kesediaan kita berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah, sedikit banyak tindakan ini akan menumbuhkan rasa hormat anak kepada orang tua, mungkin dia sendiri tidak mau datang tapi meskipun dia berkata, "Papa dan Mama saja yang pergi karena saya tidak ada masalah". Tapi setidak-tidaknya dia melihat orang tua berusaha untuk memerbaiki situasi ini, sedikit banyak itu akan menanamkan rasa hormat kepada orang tuanya kembali.
GS : Pertengkaran ini atau konflik di antara orang tua yang dilihat anak ini memang kadang-kadang membuat anak merasa bahwa dia tidak terlibat, seperti yang Pak Paul katakan, tapi masalahnya adalah orang tua yang memiliki konflik ini justru biasanya memiliki banyak anaknya sehingga lebih menimbulkan problem baru lagi, dan anak pun menjadi heran, "Orang tua sering konflik tapi terus memunyai anak". Dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang itu seringkali menjadi beban kemarahan tambahan bagi si anak. "Sering ribut tapi kenapa terus memunyai anak dan anak," memang tidak bisa tidak kita bisa simpulkan bahwa kadang-kadan kita ini sebagai manusia tidak selalu bijaksana, seharusnya mengerti kalau rumah tangga kita seperti ini seharusnya dibatasi dan jangan sampai anak terus lahir sebab bukankah makin banyak anak, maka makin banyak yang menjadi korban dan dirugikan karena masalah kita dengan pasangan.
GS : Jadi sebaiknya apakah anak diikut sertakan dalam konseling tadi, Pak Paul ?
PG : Ya, jadi dalam konseling itu dia bisa mencetuskan perasaan-perasaannya. Seringkali dalam konseling seperti itu anak-anak akan mencetuskan hal-hal yang orang tua tidak tahu, dia akan merasalebih aman karena ada konselor yang nanti juga bisa menolongnya, maka dia akan lebih terbuka.
Ini menjadi saat yang berharga bagi orang tua, belajar mengerti bahwa apa yang anak katakan, ini ternyata yang terkandung di dalam hatinya. Hal-hal seperti ini akan dapat menolong mereka untuk kembali rujuk.
GS : Biasanya anak akan dibina tersendiri atau bersama-sama dengan orang tuanya, Pak Paul ?
PG : Biasanya dalam satu pertemuan dan tidak dipisah-pisahkan, sudah tentu sewaktu-waktu kalau konselor ingin bicara pribadi dengan si anak maka dia bisa melakukannya. Tapi kebanyakan mereka diumpulkan dalam satu ruang dan diajak untuk berbicara sama-sama.
GS : Cara pencegahan yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Jangan ragu untuk meminta maaf kepada anak atas permasalahan yang terjadi di antara kita suami istri, akuilah di hadapan anak bahwa konflik di antara kita telah memberikan sumbangsih negatf terhadap perkembangannya, akui pula bahwa pemberontakannya sedikit banyak merupakan dampak dari konflik yang selama ini di antara kita.
Dengan kita mengakui pemberontakannya itu sedikit banyak bersumber dari masalah kita. Si anak akan merasa lega dan senang sebab dia memang butuh orang tua yang mengakui bahwa ini semua terkait dengan relasi orang tua yang bermasalah, kenapa dia menjadi begitu bermasalah? Karena ada sumber-sumbernya dan sumbernya memang berawal dari relasi orang tua yang bermasalah. Kenapa dia mau mendengar itu sebab sekali lagi seumur-umur dia selalu menjadi objek yang disalahkan, dihukum dan selalu menjadi kambing hitamnya. Dan waktu orang tua berkata, "Kamu sebetulnya bukan penyebab tapi kami penyebab, tapi kamu yang disalahkan, jadi kami minta maaf." Dengan permintaan maaf itu anak akhirnya merasa "Baiklah, untuk pertama kalinya orang bisa mengerti saya, untuk pertama kali saya itu dibela dan dibenarkan." Itu menjadi hal positif yang berguna bagi dia.
GS : Tapi meminta maaf yang dilakukan orang tua kepada anak itu adalah sesuatu yang sulit dan jarang ada orang tua yang mau terbuka seperti itu. Katakan ibunya yang meminta maaf, maka anak ini makin dekat dengan ibunya dan makin jauh dengan ayahnya. Ini menjadi sumber konflik yang baru lagi ?
PG : Bisa, jadi kalau ada satu pihak yang menolak untuk rujuk, masih memertahankan kekerasan hati dan sebagainya, tidak bisa tidak orang tua tersebut akan terisolasi, dan dia akan keluar dari knteks keluarganya.
Dia tidak lagi terlibat ambil bagian dari keluarganya. Tapi itu pilihan dia dan sudah tentu konselor keluarga yang akan menarik kembali orang tua itu supaya dia juga bersedia merendahkan hati, merendahkan dirinya untuk meminta maaf juga.
GS : Penanggulangan yang lain mungkin masih ada, Pak Paul ?
PG : Ada, Pak Gunawan. Yang terakhir adalah bicarakanlah tuntutan dan harapan masing-masing yakni apa yang menjadi harapan kita. Dan apa yang menjadi harapan kita terhadapnya. Jadi apa yang diaharapkan kepada kita, dan apa yang kita harapkan kepada dia dan coba masing-masing kita mengemukakannya.
Dan yang penting, coba dengarkan alasan di belakang permintaannya dan jangan cepat bereaksi terhadap tuntutannya dan yang ingin saya garis bawahi sebab adakalanya kita sebagai orang tua terlalu cepat bereaksi ketika anak meminta sesuatu dari kita. Misalnya, dia itu meminta agar dia diberikan kebebasan, kita bertanya, "Maksud kamu apa ?" Misalnya dia menjawab, "Kalau saya pulang malam, tolong saya jangan ditelepon-telepon." Sebelum kita bereaksi dengan marah misalkan, "Kamu ini anak yang tidak bisa diatur, kamu ingin bebas apakah kamu yang punya rumah ?" jangan kita seperti itu. Lebih baik kita tanya dulu, "Kenapa kamu merasa lebih baik seperti itu, kenapa kamu keberatan kalau saya telepon." Misalkan si anak berkata, "Saya malu dengan teman-teman sebab belum apa-apa telepon sudah berbunyi, menanyakan saya di mana dan pulang jam berapa, tentu saya malu sebab teman-teman semua mengejek saya kalau saya ini seperti anak kecil dan sebagainya." Kita jawab, "Jadi yang menjadi masalah terbesar adalah kamu merasa dipermalukan oleh kami waktu menelepon kamu." Dia jawab, "Ya". Kita katakan lagi, "Tapi kami juga kuatir kepada kamu, kamu pulang jam berapa dan di mana. Kalau begitu coba kita cari jalan keluarnya." Dengan kita mengungkapkan masalah seperti itu, maka anak akan berpikir, "Baiklah, orang tua mau mencari solusi," dan kita pun dapat mengambil sikap dengan lebih tepat terhadap masalah yang sesungguhnya, sebab ternyata masalah sesungguhnya bukan soal waktu tapi pada soal dia merasa dipermalukan. Jadi kita bisa berkata, "Baik kalau begitu kita buat kesepakatan, supaya kami tidak perlu sering menelepon, bagaimana kalau kamu yang menelepon kami. Sekali saja kamu memberitahu kami kalau kamu di mana dan beritahu kami kamu pulang jam berapa. Dan mohon setelah kamu memberitahu kami jam berapa kamu pulang, maka tolong kamu tepat waktu supaya kami tidak perlu kuatir lagi." Dengan cara itu yakni kesediaan orang tua mendengarkan, bukankah nanti pengharapan atau permintaan masing-masing dapat dikomunikasikan dan diterima dengan lebih baik.
GS : Tapi masalah sebenarnya adalah anak itu tidak mau ditelepon atau ingin pulang malam, itu karena dia berontak terhadap orang tua, jadi itu akar masalah sebenarnya.
PG : Betul. Jadi dalam pertemuan keluarga seperti itu dan anak melihat kalau orang tua juga berusaha untuk rujuk, untuk mengerti dia. Biasanya derajat atau intensitas pemberontakan mulai meredasehingga nanti keinginan dia untuk menunjukkan dirinya atau sikapnya yang marah itu juga mulai menurun.
Makanya penting waktu kita berdialog, kita meminta masing-masing pihak untuk mengutarakan apa yang diharapkan dan sekali lagi saya ingatkan jangan terburu-buru bereaksi dengan kemarahan, cobalah dengarkan dulu apa yang sebetulnya dia harapkan dari kita.
GS : Kesulitan orang tua pertama adalah memberikan waktu, mendengarkan anak menceritakan kesulitannya atau alasannya, itu yang sulit bagi orang tua.
PG : Kita sebagai orang tua, memang tidak bisa disangkal, kita ini lebih tahu banyak dari anak-anak kita, kita lebih bisa melihat ke depan dan sebagainya. Jadi seringkali kita merasa kalau kitasudah tahu langkah-langkah ke depannya dia akan bicara apa dan akan meminta apa seringkali kita sudah tahu dan akhirnya kita merasa tidak perlu lagi mendengarkan awal-awalnya itu, namun itulah yang memutuskan komunikasi.
Jadi anak itu perlu melihat dengan nyata bahwa orang tua itu bersedia mendengarkan dan untuk mencari jalan tengah sebab yang membuat anak-anak akhirnya tidak mau lagi untuk bicara dengan kita adalah dia merasa percuma sebab kita sudah tidak mau mendengarkan dan tidak mau lagi mengubah posisi kita.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan hal ini ?
PG : Ada, Pak Gunawan di Amsal 18:19, Firman Tuhan berkata, "Saudara yang dikhianati lebih sulit dihampiri dari pada kota yang kuat, dan pertengkaran adalah seperti palang gapura sebuah puri." ak Gunawan, konflik orang tua yang berlarut, dapat diibaratkan seperti pengkhianatan kepada anak.
Kenapa saya katakan seperti itu ? Karena anak lahir ke dalam dunia menantikan keluarga yang tenteram dan hangat kasih, jika kenyataannya bukanlah demikian, apalagi bila terjadi tindakan-tindakan yang menyakiti hati anak maka anak akan merasa dikhianati oleh orang tua. Firman Tuhan juga berkata, "Pertengkaran seperti palang gapura," ini benar karena pertengkaran memisahkan kita dan membuat kita enggan berdekatan kembali, benar-benar mirip seperti palang gapura yang memang memisahkan kita. Tidak heran kalau relasi orang tua sarat pertengkaran, bukan saja antara orang tua akhirnya terpisah tapi anak pun cenderung memisahkan diri. Jadi meskipun orang tua tidak bertengkar dengan anak tapi pertengkaran akan seperti palang gapura, di antara suami istri ada palang dan di antara orang tua dan anak juga ada palang. Sebagai orang tua kita harus mengangkat palang itu, membuka kembali relasi dengan anak, akui bagian kita dan kesalahan kita dan ajak dia untuk memulai lagi dan mencari titik tengah sekarang untuk semuanya.
GS : Itu sebabnya di dalam pertengkaran biasanya orang berkata dengan suara keras dan menggunakan bahasa-bahasa yang keras, itu karena ada suatu palang atau penghalang yang tidak bisa menyambung antara suami dan istri, orang tua dan anak, seperti itu, Pak Paul ?
PG : Betul. Dan kalau ini sudah berlangsung cukup lama berarti dalam satu rumah terdapat banyak palang yang memisahkan antara anggota keluarga.
GS : Jadi terkotak-kotak di dalam suatu rumah tangga dan penyelesaiannya ialah membuka palang-palang tadi.
GS : Mungkin itu yang akan kita bahas pada kesempatan yang akan datang dan terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konflik Orang Tua dan Pemberontakan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.