[hormat_pada_istri] =>
"Hormat pada Istri" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Hormat pada Istri". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kalau kepada suami diminta untuk menghormati istrinya, maka ada banyak suami yang menafsirkannya bahwa hormat itu adalah tunduk atau takut kepada istrinya. Jadi para suami sedikit enggan melakukan itu, dan itu bagaimana Pak Paul ?
PG : Ini adalah salah satu ketakutan suami bahwa nanti orang akan mengenalnya sebagai seorang pria yang takut istri. Memang kita harus mengakui bahwa di lingkungan pria, seringkali hal ini menjdi bahan olokan kalau ada suami yang berkata, "Saya harus pulang dulu karena istri saya menelepon dan bertanya kenapa tidak pulang untuk makan di rumah."
Waktu dia berkata kepada teman-temannya, "Saya harus pulang dulu karena istri saya meminta saya pulang." Seringkali teman-temannya mengolok, "Kamu ini suami tapi kenapa takut kepada istri ?" Jadi ada kerancuan, kadang-kadang kita sebagai orang Kristen akhirnya bingung apa yang harus kita lakukan. Ada sebagian suami yang berkata, "Baiklah kalau begitu, supaya saya tidak disangka takut kepada istri maka saya tidak akan mendengarkan perkataan istri saya, istri saya harus mengikuti saya sepenuhnya. Kalau saya disuruh pulang dan saya belum mau pulang maka saya akan berkata, 'Saya tidak mau pulang', kalau saya disuruh mengerjakan sesuatu dan saya tidak mau mengerjakannya maka saya akan berkata, 'Saya tidak mau mengerjakannya'. Dengan cara itulah saya akan menjadi pemimpin di dalam keluarga." Saya kira hal-hal seperti inilah yang telah merancukan konsep kita menjadi seorang suami yang Tuhan kehendaki. Jadi akhirnya karena kita itu rancu maka kita gagal hidup seperti yang Tuhan kehendaki dan seringkali kita justru menabur benih-benih bencana di dalam rumah tangga kita.
GS : Tetapi di dalam unsur hormat, pasti ada unsur takutnya juga. Tidak bisa disangkali, bagaimana kita punya rasa hormat kalau kita tidak punya rasa takut.
PG : Betul. Sehingga ketika kita menghormati orang, akan ada sedikit rasa takut, namun sudah tentu di dalam hubungan suami dan istri yang nantinya diinginkan Tuhan bukanlah suatu kondisi atau satu perasaan ketakutan.
Tapi memang kita menghormati satu sama lain dan tidak harus diikuti atau diisi dengan perasaan ketakutan. Jadi menyegani, menghormati, itu memang dalam satu paket yang sama.
GS : Pak Paul, memang didalam hal menghormati ini, kita perlu paham betul apa yang harus kita lakukan dan sebagainya, bagaimana kita harus menghadapi orang-orang yang memang seringkali mengolok-olok dan kita kalau seringkali diolok-olok itu merasa rendah diri.
PG : Kita sebagai anak-anak Tuhan, harus selalu kembali kepada firman Tuhan karena itulah acuan atau standart hidup kita. Kita bertanggung jawab bukan kepada teman tapi kepada Tuhan. Maka kita arus membenahi hidup kita sesuai dengan yang firman Tuhan ajarkan.
Jadi untuk dapat memberi jawaban yang tepat maka kita harus meneliti terlebih dahulu apakah yang melatar belakangi ketakutan suami kepada ejekan "takut istri." Saya kira ketakutan ini bersumber dari anggapan bahwa suami harus berada di atas wanita atau istrinya, jadi bila ia takut kepada istrinya, itu berarti dia berada di bawah istrinya. Inilah yang seringkali menjadi momok bagi suami, dia merasa kalau dia itu harus berada di atas sebagai pimpinan atau kepala. Kalau teman-temannya itu mengejek bahwa dia takut kepada istri maka bagi dia, itu berarti "saya berada di bawah, posisi saya itu lebih rendah dari pada istri saya". Mari kita menelitinya dengan baik. Jadi kalau seseorang berpikir seperti itu, dengan kata lain, dia memunyai asumsi bahwa dia hanya berharga sebagai suami kalau dia berada di atas istrinya, kalau dia sebagai suami tidak merasa dirinya berada di atas istrinya maka dia akan beranggapan bahwa dia tidak lagi berharga. Saya kira asumsi ini yang perlu dikoreksi.
GS : Jadi konsep atasan dan bawahan, itu yang harus diluruskan. Kita sebagai suami istri dalam konsep kekristenan bukan sebagai atasan dan bawahan.
PG : Betul sekali. Jadi jangan sampai kita memetik pelajaran yang keliru dari firman Tuhan dan firman Tuhan ini berkata di Efesus 5:22-23, "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat."
Berdasarkan firman Tuhan ini, dapat disimpulkan bahwa suami berada pada posisi di atas istri sama seperti Kristus berada di atas jemaat. Singkat kata dalam keluarga, Tuhan telah menetapkan suami untuk menjadi kepala keluarga. Jadi sudah semestinya istri dan anak-anak tunduk kepada suami. Pertanyaannya adalah kenapa Tuhan harus mengaturnya sedemikian, apakah kepentingannya ? Kita harus memahami bahwa kendati kecil, tapi keluarga tetap merupakan sebuah organisasi dan kita semua tahu bahwa dalam setiap organisasi haruslah ada kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan, niscaya organisasi akan mengalami perpecahan akibat kekacauan yang ditimbulkan. Itulah sebabnya di dalam keluarga harus ada kepemimpinan dan Tuhan telah menetapkan suami sebagai pemimpinnya. Meskipun demikian, saya harus buru-buru memberikan catatan ini, Tuhan tidak membedakan harga diri atau nilai diri seseorang dari peran atau fungsinya, tidak seperti itu. Walaupun wanita berposisi di bawah kepemimpinan suami, tapi itu tidak berarti dia bernilai lebih rendah dari pada suami. Itu sebabnya di satu ayat sebelumnya, firman Tuhan memberi perintah "Rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus." Jelas dari firman Tuhan ini, kita bisa melihat bahwa semua orang baik laki-laki maupun perempuan, keduanya memunyai nilai yang sama berharganya. Oleh karena itu kita semua tanpa kecuali, dituntut untuk saling merendahkan diri. Singkat kata, bila suami beranggapan bahwa barulah berharga bila ia berada di atas si istri, saya kira kita telah keliru menafsir firman Tuhan.
GS : Memang kebanyakan orang salah menafsir firman Tuhan mengenai konsep pemimpin ini, Pak Paul. Kalau si suami merasa bahwa dirinya sebagai pemimpin maka dia merasa berhak untuk ditaati oleh istrinya, tapi kalau istrinya tidak taat maka dia akan menggunakan segala macam cara untuk membuat istrinya tunduk. Dan sebaliknya istri juga merasa kalau dia bukan bawahan suaminya, kemudian dia memberontak dengan cara melakukan kekerasan dan sebagainya. Sehingga lama-lama si suami ini juga takut kepada istrinya, Pak Paul.
PG : Jadi memang kita harus mengikuti apa yang firman Tuhan telah gariskan untuk kita. Di dalam keluarga mesti ada sebuah struktur dimana harus ada kepemimpinan karena di dalam keluarga, kalau idak ada kepemimpinan maka yang akan terjadi adalah kekacauan.
Setiap orang akan merasa berhak untuk melakukan apa yang dikehendakinya. Bayangkan kalau kedua belah pihak orang tua beranggapan sama-sama berhaknya, maka anak-anak pun misalnya berkata, "Saya pun berhak didengarkan, berhak untuk melakukan apa yang diinginkan dan saya tidak harus tunduk kepada perintah siapa pun." Maka kita akan benar-benar melihat sebuah kekacauan yang dahsyat dalam sebuah rumah tangga, kita harus memahami kalau keluarga adalah sebuah organisasi. Itu sebabnya Tuhan menetapkan sebuah struktur dan dalam rencana Tuhan yang tidak kita ketahui dengan pasti makna di belakangnya, maka di dalam rencana-Nya, Tuhan menetapkan suami menjadi kepala. Itu berarti dituntut ketundukan dari pihak istri kepada pihak suami. Jadi sama seperti kita di dalam pekerjaan, juga memunyai atasan dimana kepadanya kita juga menunjukkan ketundukan kita, kendati kita tidak setuju dengan apa yang diminta atasan untuk kita lakukan, selama kita tahu itu bukan sebuah dosa maka kita harus mengikuti. Karena kalau dalam suatu perusahaan semua pegawai beranggapan memunyai hak yang sama dengan atasannya maka perusahaan itu akan mati, tidak akan bisa berjalan. Jadi Tuhan sudah menetapkan garisnya, saya kira sudah tentu di pihak istri harus ada kesadaran bahwa kendati dia tidak suka, dia orangnya mandiri tapi tetap dia harus menundukkan diri kepada kepemimpinan suaminya. Namun di pihak lain saya harus menegaskan bahwa jangan sampai suami beranggapan bahwa saya hanya akan bernilai kalau saya berada di atas istri, tidak seperti itu. Alkitab penuh dengan nasihat-nasihat kepada semua orang, kepada semua level kehidupan. Misalnya Paulus menulis surat kepada Filemon seorang yang memunyai budak, dan budaknya memang telah berguna dan akhirnya bertobat dalam pelayanan Paulus. Paulus menganggap baik si pemilik budak maupun si budak itu sendiri sama rata dan itulah yang memang Tuhan kehendaki. Tuhan melihat semuanya sama, bukan karena jabatannya lebih tinggi maka nilainya lebih tinggi. Karena kedudukannya lebih bagus maka nilainya pun lebih bagus, tidak seperti itu tapi Tuhan melihat di dalamnya. Jadi seorang suami juga harus menjadi seorang suami yang rohani dan tidak bergantung pada posisi.
GS : Oleh sebab itu pemahaman ini harus dimengerti atau diterima oleh kedua belah pihak, baik suami atau istri. Ada suami yang berkata, "Saya ini tidak mau ramai dan marah dengan istri saya, jadi biarkan saja dia yang menjadi pemimpin di keluarga ini". Tapi kesannya di masyarakat adalah suaminya takut kepada istrinya.
PG : Memang adakalanya kita harus mengakui, bahwa ada sebagian wanita yang lebih susah tunduk dibandingkan yang lainnya. Ada orang-orang yang jauh lebih keras atau mungkin dia dibesarkan dalam eluarga di mana dia diberikan hak suara yang sangat besar sebagai seorang anak perempuan sehingga dia merasa kalau dia tidak harus tunduk kepada suaminya, dan dia meminta suaminya bersama-sama dengan dia, semuanya harus dibagi rata 50% dan 50%.
Saya kira itu pun keliru, sebab itu bukanlah garis yang Tuhan tentukan, dan mesti ada ketundukan. Jadi dari sudut ini saya tetap mau menegaskan seorang perempuan atau seorang istri mau tunduk kepada suami tapi di pihak suami janganlah mendasari harga dirinya atas ketundukan istri, atau atas kenyataan dia merasa berada di atas si istri.
GS : Jadi mengenai suami yang takut kepada istrinya sebenarnya punya landasan firman Tuhan atau tidak, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya tidak, Pak Gunawan. Jadi sebetulnya di dalam pembahasan tentang peran suami dan istri di firman Tuhan, tidak satu kali pun firman Tuhan memberi perintah kepada siapa pun untuk tkut kepada pasangannya, tidak ada sama sekali.
Bahkan kepada istri yang diminta untuk tunduk dan menghormati suami, tidak ada satu kali pun penyebutan tentang takut kepada suami, tidak ada sama sekali. Tapi hormatilah suamimu, tunduklah kepada suamimu dan tidak ada perintah takutilah suamimu. Memang tidak ada sebutan seperti itu. Jadi kalau suami takut istri, itu pertanda relasi itu tidak sehat, sama tidak sehatnya bila istri takut kepada suami. Jadi tidak seharusnya istri itu ketakutan kepada suaminya. Dan yang sama dengan itu, tidak seharusnya suami ketakutan kepada istrinya. Dan yang Tuhan minta kepada kita adalah bukanlah rasa takut, tapi tunduklah dan nanti misalkan ada suami yang ketakutan atau takut kepada istrinya maka itu menandakan bahwa relasi tersebut memunyai sedikit masalah yang perlu dibereskan.
GS : Tapi ketakutan ini muncul ketika salah satu pihak merasa tidak berdaya kepada pihak yang ditakutinya. Jadi misalkan suaminya sering melakukan kekerasan dengan memukul, dengan mengusir dan sebagainya. Kemudian istri ini tunduknya karena takut, demikian juga dengan sebaliknya ada istri yang begitu dominan di keluarga itu dan ketika dia melakukan kekerasan kepada suaminya maka suaminya merasa takut. Atau dari segi finansial, Pak Paul, misalnya "uang ini dipegang siapa?" Dan yang memegang uang merasa kalau dia sekarang yang berkuasa. Hal-hal seperti itu yang seringkali terjadi di dalam kehidupan rumah tangga.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi akhirnya ketika manusia tidak lagi mengikuti garis yang Tuhan tetapkan, maka manusia akan menggunakan cara-cara manusia yang belum tentu seturut dengan kehendak Tuan.
Misalkan ada suami yang karena mengharuskan istrinya untuk tunduk dan hormat kepadanya, tapi tidak mendapatkannya maka dia akan menggunakan cara-cara kekerasan. Harapannya adalah dengan dia menggunakan cara-cara kekerasan atau bahkan benar-benar melakukan kekerasan itu, harapannya ialah si istri akan tunduk kepadanya dan mengikuti kehendaknya. Tentu ini salah karena yang Tuhan minta adalah "Hai istri tunduklah dan hormatilah suamimu." Dengan kata lain, si suami harus mencerminkan sebuah kehidupan yang berintegritas, yang mencerminkan kebenaran dan kekudusan Tuhan, yang mencerminkan hikmat dari surgawi, yang mencerminkan kasih sayang yang besar kepada keluarganya dan tanggung jawab yang penuh atas kesejahteraan mereka. Dalam kondisi seperti inilah si istri itu akan lebih mudah menghormati dan akhirnya tunduk kepada si suami. Jadi kalau si suami merasa kalau si istri tidak tunduk kepadanya maka memang yang pertama dia harus mengintrospeksi kenapa istri saya ini sulit sekali untuk bisa tunduk kepada saya. Tapi sebaliknya istri pun juga harus mengintrospeksi, kalau memang dia merasa bahwa suami saya tidak peduli dengan saya, "Kenapa suami saya tidak sayang kepada saya".
GS : Mungkin ada hal-hal yang dilakukan yang membuat si suami itu susah sekali untuk mengasihinya ?
PG : Contoh-contoh yang Pak Gunawan tadi kemukakan adalah kenyataan di lapangan. Ada istri yang karena merasa dia itu lebih kaya, dari keluarga yang lebih berada dan suaminya itu dari keluarga ang kurang.
Akhirnya menuntut suami untuk mengikuti dia, sebab dia merasa bahwa dialah yang men-'supply' keuangan di rumah ini. Sudah tentu cara itu juga salah sehingga kita tahu bahwa pada awalnya dia sudah kehilangan kasih, tapi dia hanya mengikuti si istri karena mungkin dia juga bergantung kepada si istri itu. Jadi dengan kata lain, si istri juga perlu introspeksi kenapa sampai suaminya itu tidak bisa mengasihi saya, bersikap lembut kepada saya, mungkin ada hal-hal yang dia lakukan yang juga menambah sumbangsih susahnya si suami itu mengasihi dia.
GS : Memang ada beberapa istri yang senang, menikmati kalau si suami ini tunduk kepadanya, dalam arti kata tunduknya itu karena takut. Bahkan dengan terang-terangan dia bertanya, "Kamu itu takut kepada saya ?" dan suaminya menjawab "Benar, saya takut kepada kamu". Kemudian dia merasa bangga atau merasa terpuaskan. Apakah ada tanda-tanda yang jelas dalam keluarga itu, kalau si suami bukan hormat tapi takut kepada istrinya, Pak Paul ?
PG : Kebanyakan kalau suami itu takut kepadanya, ciri pertama adalah dia akan menghindar dari keributan dan itu yang biasanya terjadi. Memang ada juga yang menghindar dari keributan, bukan karea takut tapi karena memikirkan dampaknya, daripada meluas anak-anak menyaksikan, tetangga tahu, maka lebih baik mengalah dan diam saja sebab dia merasa kalau dia tidak bisa mengendalikan atau menguasai si istri.
Jadi adakalanya suami memang menghindar karena merasa tidak bisa mengendalikan si istri dan pada akhirnya keributan menjalar kemana-mana, maka lebih baik mengalah saja. Tapi saya kira tanda awal adalah munculnya reaksi-reaksi yang mendiamkan, mengalah, tidak perlu dibahas, tidak perlu dibicarakan lagi dan akhirnya ribut lagi dan sebagainya. Atau yang menunjukkan suami itu takut adalah setiap ada apa-apa, misalkan konflik, kendati kalau dia tidak salah tapi tetap dia itu seolah-oleh mengemis-ngemis, meminta si istri memaafkannya, menerimanya kembali, mengampuninya padahal tidak ada yang harus diampuni sebab memang dia tidak salah dan yang salah misalkan adalah si istri. Jadi biasanya tanda yang keluar adalah tanda seperti itu, "Kita jangan ribut dan mengalah saja" dan yang kedua adalah mengemis, memohon belas kasihan si istri dan dia terus memohon belas kasihan si istri. Kalau pun si istri salah, dia tidak bisa bersikap tegas kepadanya, terus lembek, terus ragu-ragu atau bimbang, seolah-olah meminta belas kasihan si istri kepadanya dan jangan sampai si istri meninggalkan dirinya. Sudah tentu kalau sampai ini terjadi, memang itu tidak sehat, Pak Gunawan.
GS : Kalau sistem itu sudah terbentuk seperti itu, Pak Paul, dan kita mau membalikkannya, tentu itu bukan sesuatu yang mudah. Jadi si suami mencoba untuk menghormati istrinya tapi si istri sudah terlanjur bersikap menguasai suaminya. Kalau kita ingin lurus kembali sesuai dengan kebenaran firman Tuhan, bagaimana Pak Paul ?
PG : Secara bertahap dan memang bukan secara langsung, si suami itu pasti akan kembali memegang tampuk kendali. Yaitu dia harus berani berkata, "Salah adalah salah dan benar adalah benar", dan uami juga harus berani menegur si istri.
Mungkin akan ribut dan sebagainya, tapi si suami dengan tenang dan tegas berkata, "Tidak, kamu yang salah dalam hal ini dan kamu harus tahu kesalahan itu, kamu tidak bisa melemparkan balik kesalahan kepada orang lain". Ketegasan-ketegasan itu mesti mulai ditegakkan kembali di dalam rumah tangga.
GS : Tapi itu harus dikembalikan kepada firman Tuhan, artinya dua-dua menyadari bahwa itulah yang Tuhan kehendaki di dalam sebuah struktur di keluarga, Pak Paul.
PG : Jadi memang Tuhan menghendaki suami mengasihi istri dan istri harus tunduk dan hormat kepada suaminya. Dan kita tahu bahwa memang di dalam kata-kata perintah kepada suami, "Kasihilah istriu", tidak ada sebutan, "Tunduklah kepada istrimu, hormatilah istrimu," memang tidak ada.
Tapi kita juga harus mengerti bahwa tunduk mengandung hormat dan hormat berwujud nyata dalam ketundukan kepada suami, Tuhan memerintahkan agar mengasihi istri sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat. Jadi relasi suami istri harus menjadi relasi yang berdasarkan tunduk, hormat dan kasih dan takut tidak termasuk di dalamnya. Tapi saya mau jelaskan ini, meskipun Tuhan tidak menetapkan suami untuk hormat kepada istri dan memang tidak ada kata-kata itu tapi bukankah hormat itu sendiri termasuk di dalam kasih. Sebab bagaimana mungkin kita mengasihi istri yang tidak kita hormati ? Bagaimana kita mengasihi orang yang tidak kita hormati ? Jadi sewaktu kita mengasihi dapat pula disimpulkan bahwa kita pun menghormati istri. Jadi sebetulnya satu paket meskipun Alkitab tidak menyebutkan secara langsung. Itu sebabnya di 1 Petrus 3:7 kita bisa membaca, "Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang." Jadi di 1 Petrus 3 jelas kita bisa membaca firman Tuhan "hormatilah mereka" ini adalah perintah yang diberikan kepada suami untuk menghormati istri juga. Jadi dengan kata lain, tidak perlu takut sebab takut tidak pernah ada di dalam firman Tuhan yang diberikan Tuhan sebagai perintah kepada pasangan kita, tapi ada hormat. Jadi dua-dua mesti menghormati dan tenggang rasalah terhadap penderitaan istri, perasaannya, pemikirannya dan jangan hanya memikirkan kepentingan diri kita.
GS : Ada suami yang mengatakan, "Bukannya saya tidak ingin menghormati istri saya, tapi istri saya tidak layak untuk dihormati." Kalau seperti itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau pernikahan itu sudah sarat dengan konflik maka akan susah melihat hal-hal dalam diri pasangan dengan mengatakan, "Baiklah saya mau hormat kepada dia karena ini dan itu," an memang susah.
Jadi langkah pertama biasanya adalah kita harus membereskan konfliknya dulu, kita susah untuk mencari hal-hal yang baik yang bisa kita hormati pada kondisi seperti itu. Jadi bereskan dulu masalahnya dan memang belum ketemu hal-hal yang baik tapi tidak mengapa, kita harus membereskan dulu. Datanglah kepada konselor Kristen atau hamba Tuhan untuk bisa menolong kita menundukkan diri dengan pasangan. Waktu masalah-masalah ini mulai selesai, biasanya mata kita sudah mulai terbuka kembali mengenai hal-hal yang baik, yang indah yang layak dihormati pada diri pasangan kita.
GS : Jadi sebenarnya seseorang itu merasa takut dan tidak menghormati karena kurangnya kasih di antara hubungan mereka, apakah seperti itu ?
PG : Seringkali seperti itu. Jadi waktu hormat sudah mulai luntur sebetulnya bisa disimpulkan bahwa kasih pun sudah mulai luntur. Karena terus terang, mustahil kita itu mengasihi seseorang yangtidak lagi kita hormati, itu sangat-sangat mustahil.
Jadi hormat itu harus ada di dalam kasih, kita memang harus menghormati seseorang baru kemudian kita bisa mengasihinya dengan sepenuh hati.
GS : Saya teringat dengan kata-kata rasul Yohanes sendiri yang mengatakan di dalam kasih itu juga ada ketakutan.
PG : Betul sekali. Jadi memang jelas di dalam hubungan suami istri seharusnya dua-dua sudah harus merasa tenteram, aman bahwa masing-masing itu akan saling melindungi dan tidak akan ada hal-halyang mengancam, menginjak, memanipulasi, menghancurkan, tidak ada yang seperti itu.
Di dalam rumah tangga yang seperti itulah baru hormat bisa muncul dan akhirnya kasih bisa terus bertunas.
GS : Pak Paul, apakah bisa memberikan suatu kesimpulan dari apa yang kita sudah bicarakan saat ini ?
PG : Sebagai kesimpulannya, suami harus menghormati istri sama seperti istri harus menghormati suami, jadi kedua-duanya. Hormat istri kepada suami, berwujud dalam ketundukan dan sedangkan horma suami kepada istri berwujud dalam kasih.
Inilah desain Allah untuk keluarga, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hormat pada Istri". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.