[disiplin_yang_berlebihan] =>
"Disiplin yang Berlebihan" oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Disiplin yang Berlebihan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Seperti obat, kalau diberikan dengan dosis yang tepat maka akan mengobati orang yang sakit tapi kalau diberikan dalam dosis yang berlebihan maka orangnya bisa mati. Disiplin itu rupanya juga seperti itu, kalau kita berikan disiplin terlalu lunak kepada anak, anak menjadi susah untuk diatur tapi kalau berlebihan maka juga menimbulkan dampak yang negatif, misalnya anak itu menjadi anak yang rendah diri atau bahkan cacat fisik dan sebagainya. Sebenarnya bagaimana memberikan disiplin yang pas, Pak Paul ?
PG : Memang benar, seperti obat yang Pak Gunawan katakan. Disiplin itu perlu dan bukan sebuah pilihan, boleh ada atau tidak. Tapi memang perlu dan harus diberikan. Namun kita harus memberikanny dengan tepat dan jangan sampai berlebihan.
Baru-baru ini saya membaca di surat kabar tentang seorang bapak yang adalah seorang pengamen dan karena tidak ada yang menjaga anaknya di rumah kalau dia pergi mengamen, anak itu diikat jadi seperti mengikat hewan. Alasan dia mengikat anak ini adalah kalau anak ini tidak diikat biasanya anak ini akan mengais-ngais makanan di tong sampah. Itu adalah salah satu tanda bahwa kita ini tidak selalu mengerti bagaimana mendisiplin anak. Akhirnya adakalanya justru kita berlebihan dalam mendisiplin anak. Dalam kesempatan ini pertama-tama saya akan mencoba menguraikan kenapa kita mendisiplin anak sampai begitu berlebihan dan ternyata ada beberapa alasannya dan setelah itu mari kita mendisiplin anak dengan tepat. Yang pertama, mengapa kita itu mendisiplin anak secara berlebihan, misalkan kita ini belajar disiplin dari orang tua kita dan waktu orang tua mendisiplin kita, kita melihat bagaimana caranya. Adakalanya orang tua kita mendisiplin anak secara berlebihan dengan menggunakan standart yang kita gunakan sekarang dan akhirnya kita berkata, "Itu berlebihan". Saya masih ingat sewaktu kecil, teman saya bercerita kalau dia setiap kali berbuat nakal atau kesalahan, Papanya akan mengikat dia dengan rantai di pohon dan kemudian akan dipukuli dan terus akan diikat di pohon itu sampai berjam-jam dan kemudian dilepaskan. Itu adalah cara-cara mendisiplin yang memang berlebihan. Memang anak ini bertumbuh besar namun dia bertahan di dalam disiplin yang begitu keras dan misalkan dia berkata, "Karena disiplin itu akhirnya saya mengerti menggunakan waktu dengan benar, saya lebih mengerti untuk tidak menyusahkan orang tua atau melakukan pelanggaran". Anak-anak ini cenderung akan berkata bahwa disiplin yang seperti itu memang baik sehingga dia mencontohnya dan sebagainya, "Lihat buktinya, saya tidak apa-apa". Akhirnya dia melestarikan metode pendisiplinan berlebihan itu kepada anak-anaknya.
GS : Kalau melihat anaknya lebih nakal dari dia, pendisiplinannya itu bisa lebih berat daripada apa yang dialami pada waktu anak-anak dulu, jadi porsinya itu ditambahi.
PG : Betul sekali dan memang biasanya ada kecenderungan seperti itu, sebab saya merasa kalau saya dulu seperti ini, diperlakukan seperti ini dan saya tidak apa-apa, kalau anak lebih nakal lagi erarti harus ditambahkan kadarnya atau intensitasnya.
GS : Tujuan orang tua mendisiplin anak adalah agar anaknya menurut, patuh kepadanya tapi kalau sudah seperti itu, itu sudah mencelakai diri mereka sendiri.
PG : Betul. Sebab seperti tadi yang sudah saya ceritakan tentang ada anak yang diikat seperti hewan, saya membayangkan dia akan buang air dan sebagainya di sana. Sedangkan anak ini masih berusi lima tahun, atau seperti orang yang saya kenal tadi yaitu dipukuli di pohon dan diikat, bagaimanakah perasaannya sebetulnya waktu dia harus diikat, dipukuli seperti itu, bagaimana dia bisa melihat kasih sayang ayahnya kepadanya.
Saya kira itu semua akan menimbulkan cedera-cedera dalam jiwa si anak.
GS : Tetapi itu semua terjadi karena ketidak tahuan atau keterbatasan orang tua di dalam menerapkan disiplin, orang tua hanya tahu cara mendisiplin yang seperti itu dan itulah yang dia lakukan, Pak Paul.
PG : Dalam banyak kasus memang seperti itu.
GS : Jadi bagaimana kalau kita tidak menyukai disiplin yang keras itu. Lalu apa sikap kita, Pak Paul ?
PG : Masalahnya adalah kalau pun kita tidak menyukai pola pendisiplinan yang keras itu pada akhirnya pola itu terserap ke dalam diri kita. Kalau kasus yang pertama sebetulnya kita tidak suka naun lama-lama kita bertahan jadi akhirnya kita katakan, "Itu baik bagi saya" dan akhirnya itulah yang kita terapkan kepada anak-anak kita.
Tapi dalam kasus yang kedua ini, sebetulnya kita tidak suka dan kita berkata, "tidak mau" namun kalaupun kita berkata "tidak mau untuk menggunakan disiplin ini" masalahnya adalah pola itu sudah terserap. Akhirnya kendati kita berupaya sekeras mungkin untuk tidak menerapkan pola tersebut, sewaktu-waktu kita dapat memunculkannya. Itu sebabnya ada orang tua yang sudah berusaha sekeras mungkin tidak mau mendisiplin anak-anaknya sekeras orang tuanya dulu mendisiplin dia, namun ada waktu ketika dia marah, kemarahannya itu bisa keluar keras sekali dan itu akan mengagetkan anak-anaknya dan berkata, "Papa dan Mama kenapa bisa seperti itu, biasanya tidak seperti itu", karena apa yang telah diserap oleh orang tua itu akhirnya bisa muncul kapan saja ketika dia dalam kondisi yang tidak begitu kuat, tidak begitu sehat untuk mengekang dirinya dengan baik.
GS : Memang ada sebagian orang tua yang awalnya hanya mengucapkan kata-kata sebagai ancaman, Pak Paul. Seperti tadi anak yang mengais di sampah, mungkin orang tuanya sudah mengingatkan, "Kalau kamu terus seperti itu, saya akan mengikat kamu di sini" dan hanya sebatas peringatan saja Pak Paul tapi karena peringatan ini tidak diperhatikan oleh anaknya, akhirnya dia melakukan hal yang betul-betul yaitu anaknya diikat atau yang tadi Pak Paul katakan dirantai di pohon dan dipukuli. Tapi sebelumnya sudah diperingatkan lewat kata-kata, Pak Paul.
PG : Seringkali itu yang terjadi, jadi orang tua itu mengalami rasa lepas kendali, Pak Gunawan, dia sudah menegur, dia sudah memberikan peringatan, diancam tapi tetap anak itu melakukan kesalahn atau pelanggaran.
Jadi dalam ketidaktahuannya, ketidakmampuannya menguasai dirinya akhirnya keluarlah disiplin yang berlebihan itu, kita frustrasi sekali dan kita tahu dalam kondisi frustrasi memang kita lebih sulit untuk menguasai diri. Itu sebabnya yang keluar bukan lagi disiplin tapi amukan amarah karena frustrasi itu harus dikeluarkan. Waktu dikeluarkan atas nama disiplin yang sesungguhnya, sebetulnya yang keluar adalah amukan amarah dan itu sebetulnya yang destruktif dan menghancurkan jiwa si anak.
GS : Kalau dia tidak melakukan hal itu padahal dia sudah berkali-kali membicarakannya maka dia juga akan kehilangan kewibawaannya di hadapan anak dan anaknya akan berpikir, "Orang tua saya ini hanya berani berbicara saja dan tidak akan dilakukan" akhirnya dilakukan juga.
PG : Dan memang ada anak-anak yang sengaja menantang orang tuanya, Pak Gunawan. Jadi bukan saja dia tidak melakukannya tapi dia memang tidak mau melakukannya dan memerlihatkan sikap tidak mau mlakukan di hadapan orang tua.
Jadi akhirnya emosi kita sebagai orang tua terpancing dan akhirnya meledak dan kita melihat anak kita itu kurang ajar dan terus membantah kita dan kita merasa sangat dilecehkan. Ini juga yang membuat terjadinya amuk amarah, bukan lagi pendisiplinan tapi merupakan luapan amukan yang sangat besar karena merasa kalau anak begitu berani menantangnya.
GS : Tapi ada juga kasus di mana orang tua marah secara berlebihan, sebetulnya yang salah bukan anak dan anak ini hanya sebagai korban saja. Apakah hal itu bisa terjadi, Pak Paul ?
PG : Kita harus mengakui bahwa kita tidak selalu tepat sasaran dalam meluapkan kemarahan kita, misalnya di dalam pekerjaan adakalanya kita marah ketika kita tidak mendapatkan penghargaan, kita iperlakukan buruk dan sebagainya, atau kita terlibat dalam konflik dengan pasangan kita.
Jadi semua kemarahan itu berputar-putar di dalam jantung kita, ketika kemarahan ingin keluar, hal itu bertepatan dengan anak melakukan pelanggaran. Kalau kita tidak hati-hati maka kita akan mudah sekali melampiaskan kemarahan itu kepada anak. Dan anak adalah korban yang empuk, karena anak belum bisa berbuat apa-apa untuk melindungi dirinya atau melawan kita dan sebagainya. Jadi sebagai anak, mereka masih bergantung kepada kita dan terpaksa mereka akan diam dan menerima semua itu, padahal kemarahan kita merupakan sebuah kemarahan terhadap mungkin sekali orang-orang di luar atau terhadap hidup ini dan sebagainya. Jadi hal ini yang harus kita jaga, sebab mudah sekali bagi kita melampiaskannya kepada anak karena sekali lagi anak itu belum bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menerima kemarahan kita.
GS : Jadi sebelum kita melampiaskan kemarahan kepada anak, sebenarnya kita harus berpikir dengan tenang terlebih dahulu Pak Paul, tapi kalau kita sudah menjadi tenang seringkali kita tidak jadi marah.
PG : Ada orang yang justru merasa rugi kalau dia tidak jadi marah, tapi sebetulnya kalau kemarahannya sudah reda, dia bisa memikirkan cara yang lebih tepat untuk bisa mendisiplinkan anak itu kaena memang harus kita akui, salah satu penyebab umum kenapa ada orang tua yang menggunakan disiplin dengan begitu keras ialah karena ketidaktahuannya akan cara-cara lain yang lebih efektif.
Jadi yang dia tahu hanyalah satu, yaitu memukul dan variasinya adalah memukul tidak terlalu keras, memukul sedikit lebih keras, memukul keras, memukul sangat keras. Jadi hanya pada daerah memukul saja dan dia tidak tahu cara-cara yang lain, misalnya cara bagaimana harus dengan suara tegas memberikan teguran kepada anak, cara untuk mencegah sebelum anak melakukan perbuatan yang melanggar itu atau cara untuk mengambil sesuatu yang disukainya, supaya dia tidak bisa melakukan apa yang dia ingin lakukan. Jadi ada beberapa cara-cara lain yang bisa digunakan. Dan memang ada orang yang tidak mengerti cara-cara lain dan hanya tahu memukul dan divariasikan kadarnya saja.
GS : Jadi bagaimana orang tua itu bisa tahu bagaimana disiplin yang diterapkan kepada anaknya itu terlalu keras, Pak Paul ?
PG : Seringkali anak akan memunculkan sikap marah yang lebih keras kepada kita, dan waktu kita melihat anak melampiaskan kemarahannya dengan begitu keras maka dapat kita duga bahwa inilah hasilya, benih yang telah kita tanam mulai bertumbuh dalam dirinya, benih apa ? Benih kemarahan, benih kekerasan, itu semua mulai bertumbuh makanya dia pun kalau marah seperti itu.
Jadi kalau dia marah, dia akan menendang, memukul benda atau barang, dia membanting barang itu, atau dia akan berteriak sekeras-kerasnya. Bisa jadi itu adalah benih-benih yang telah kita tanamkan dalam dirinya. Atau kita telah berlaku berlebihan sehingga anak bereaksi dengan tindakan yang kebalikannya dari yang tadi yaitu justru anak menjadi sangat ketakutan, mudah tegang. Kalau kita melihat anak itu sangat ketakutan kepada kita, kita tahu kalau kita telah melewati batas kewajaran pula.
GS : Atau kalau kita menimbulkan luka pada tubuh anak itu atau anak itu sakit akibat kemarahan kita, itu juga pendisiplinan yang berlebihan, Pak Paul ?
PG : Betul. Atau misalnya ada bekas-bekasnya akibat pukulan kita kepadanya, itu adalah pertanda kalau kita telah bertindak terlalu jauh. Satu lagi yang ingin saya angkat dan kadang-kadang susahdiakui oleh orang tua adalah kenapa kita mendisiplin anak secara berlebihan karena sudah ada rasa tidak suka kepada anak itu.
Kita ini manusia dan kita ini tidak selalu memunyai perasaan yang persis sama kepada setiap anak kita. Ada anak-anak yang memang bisa menyenangkan hati kita dan ada anak yang susah untuk menyenangkan hati kita maka kalau kita marah pun berbeda. Reaksi kita kepada anak yang sering menyenangkan hati kita, kemarahan kita itu jauh lebih singkat dan kadarnya pun lebih rendah tapi kepada anak yang susah untuk menyenangkan hati kita maka kadarnya lebih berat dan kasar. Kita harus lebih berhati-hati dengan rasa suka atau tidak suka kepada anak sebab kepada anak yang kita sudah simpan rasa tidak suka maka kecenderungan kita adalah menggunakan pendisiplinan yang berlebihan.
GS : Pendisiplinan yang berlebihan ini bukan hanya secara pukulan fisik, tapi kadang-kadang lewat kata-kata yang sangat keras, yang sangat sulit diterima oleh anak, itu pun merupakan disiplin yang berlebihan, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi tidak selalu menggunakan pukulan fisik, tapi kadang-kadang kita juga bisa menghancurkan anak lewat perkataan kita yang sangat menghina dan menusuk hati anak.
GS : Hal ini yang lebih sulit dilihat karena ini adalah luka batin yang dialami oleh anak, dan orang tua tidak melihat kemudian mengatakan, "Tidak apa-apa dan anak saya juga tidak ada apa-apa," namun sesungguhnya ada luka yang dalam di dalam diri anak yang orang tua tidak bisa melihat.
PG : Dan kadangkala saya harus mengakui bahwa mungkin saya pun juga melakukan hal yang sama tanpa disengaja. Jadi tanpa disengaja kita sebagai orang tua tidak menyadari dampaknya sehingga kita engatakan hal-hal tertentu.
Kadang hal ini juga yang sering saya dengar dari orang yang berkeluh kesah dengan saya. Waktu mereka masih kecil dan sebagainya, orang tua mengatakan hal-hal yang sangat menyakiti hati mereka. Namun masalahnya adalah bagi si orang tua, itu adalah ucapan-ucapan bergurau tapi ternyata bergurau yang sangat menyakiti hati si anak. Misalnya perkataan seperti, "Kamu ini tolol seperti kakakmu, kamu ini terlalu gemuk tidak seperti adikmu," kata-kata yang seperti itu mungkin bagi orang tua tidak ada apa-apa, tidak ada maksud jelek dan sebagainya tapi perkataan itu adalah perkataan yang sangat menyakiti hati si anak dan membuat dia merasa kalau dia tidak seberharga orang lain di dalam diri orang tuanya.
GS : Pak Paul, sebenarnya ini semua bisa diatasi kalau memang orang tuanya itu mau mendisiplin anaknya dengan benar, hanya bagaimanakah caranya untuk menanggulangi hal ini ?
PG : Ada beberapa dan yang pertama kita harus menyadari sumber terjadinya disiplin yang berlebihan dan memulai membereskannya dari situ. Jadi di sini diperlukan kerendahan hati untuk mengakui bhwa pola pendisiplinan yang selama ini dilakukan ternyata keliru dan ini pola pertama yang paling sulit, Pak Gunawan.
Sebab kita sebagai orang tua seringkali berdalih, "Kenapa disalahkan, maksud saya baik. Kalau anak ini nanti tidak didisiplin bagaimana nanti jadinya, saya harus seperti ini karena dia seperti ini". Jadi saya mengerti sebagai orang tua melihat bahwa saya ini kelebihan, melewati batas, "Saya menyakiti anak saya seperti itu". Kita harus menyadari kalau kita salah dan saya telah berbuat yang berlebihan dan kita harus melihat apa yang menjadi sumbernya apakah karena kita tidak mengerti cara yang lain yang lebih efektif, atau karena kita menggunakan anak sebagai target kemarahan kita, pelampiasan kita karena kita frustrasi dengan orang lain, atau mungkin karena memang kita tidak ada rasa suka dengan anak ini atau anak ini memang sukar sekali diatur dan sering berbantahan dengan kita, sehingga kita mudah sekali terpancing dengan reaksinya yang kurang ajar itu. Jadi kita harus mengindentifikasi apa itu sumbernya, sehingga akhirnya kita menggunakan disiplin yang berlebihan dan kita harus akui kalau disiplin itu berlebihan, mungkin disiplinnya tepat yaitu mau merintangi dan membentuk anak dengan disiplin dan itu baik tapi caranya memang bisa jadi berlebihan.
GS : Biasanya yang tahu kalau kita mendisiplin anak dengan berlebihan itu justru orang lain. Pada saat kita mendisiplin anak, kita sendiri tidak menyadari hal itu. Masalahnya adalah orang lain itu enggan untuk menegur kita, bahkan mungkin pasangan kita juga enggan untuk menegur kita bahwa kita itu sudah melakukan pendisiplinan yang berlebihan, karena nanti dipikir mencampuri apalagi kalau kita ini orang luar Pak Paul, mencampuri urusan di dalam keluarga itu sendiri, dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang sekali lagi pasangan kita itu sudah sangat tergores hatinya dengan cara kita mendisiplin anak kita dan pasangan tidak berani berbicara kepada kita. Kalau sampai itu yang terjadi mak kita harus mengintrospeksi diri kenapa sampai pasangan kita itu takut untuk menyampaikan teguran itu kepada kita.
Jadi saya kira terefektif adalah melihat reaksi si anak itu, kalau reaksi anak begitu ketakutan, terkejut, tegang waktu kita marah, bagi saya itu adalah cermin, cermin untuk kita berkata, "Ya saya telah berlebihan, maka saya harus berubah" maka saya kira ukuran atau pertanda yang harus kita gunakan selalu adalah tanggapan si anak sewaktu kita mendisiplinnya. Kalau kita melihat reaksi-reaksi seperti itu berarti kita harus sadar kalau kita telah berlebihan.
GS : Jadi kita harus sadar untuk bisa mengendalikan diri kita terlebih dahulu, Pak Paul ?
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan dan kita sendiri kalau mau mendisiplin anak dengan tepat, harus dapat mengendalikan diri sendiri. Jadi belajarlah untuk menguasai kemarahan dan janganlah mengkambnghitamkan anak sebagai penyebab kita marah.
Kita memang bisa marah karena pelanggaran anak, tapi kalau kita marah sedemikian besarnya, itu tanggung jawab kita sebab kitalah yang tidak dapat menguasai kemarahan kita.
GS : Sebenarnya itu berpusat pada pikiran kita, Pak Paul. Kalau kita berpikir tenang maka kita bisa menguasai perasaan kita, tapi kalau kita emosi kita sedang labil maka kita bisa marah secara berlebihan seperti itu.
PG : Betul sekali. Jadi memang waktu kita itu diamuk kemarahan karena kita melihat sesuatu yang anak kita perbuat, sedapatnya sebelum berkata atau berbuat apa-apa berdiam dirilah sejenak dan piirkanlah tindakan yang tepat untuk mendisiplinnya dan sedapatnya untuk jangan langsung bereaksi.
Ini adalah tindakan yang bijaksana untuk kita memberikan jedah antara munculnya emosi dan munculnya tindakan dan jangan sampai terlalu dekat munculnya emosi dan munculnya tindakan, sedapatnya renggangkan, beri waktu sehingga kita berkesempatan meredakan emosi dan memikirkan dengan jernih tindakan apa yang baik yang dapat kita berikan kepadanya. Kalau perlu diskusikan dulu dengan pasangan sebelum kita memutuskan untuk bertindak. Seringkali waktu kita mendiskusikannya dengan pasangan, maka nanti pasangan akan bisa memberikan kepada kita masukan-masukan yang memang baik untuk kita dengarkan supaya akhirnya pertimbangan itu sedikit banyak bisa meredam emosi kita kepada anak yang memang membuat kita marah itu.
GS : Memang ada orang yang tua yang baru sadar setelah dia marah dan dia cepat-cepat datang kepada anaknya untuk meminta maaf, tapi itu pun tidak berlangsung lama artinya lain kali dia akan mengulang perbuatan yang sama sehingga di hadapan anaknya permintaan maaf itu tidak ada artinya, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Jadi benar-benar kalau kita memunyai masalah dalam hal ini, maka kita harus sering-sering berlutut dan berdoa, meminta kekuatan Tuhan, mengakui bahwa ini adalah kelemahan kit di hadapan Tuhan, supaya kita bisa lebih baik menguasainya dan janganlah justru kita ini menolak dan menjauh dari tanggung jawab kita dan malahan menyalahkan anak sebagai penyebab dan sebagainya.
Justru kita harus kembalikan ini ke dalam diri kita dan memohon Tuhan memberi kita kekuatan dan mengendalikan diri kita.
GS : Dalam kasus yang tadi Pak Paul angkat, ada seorang pengamen dan anaknya nakal kemudian dirantai dan diikat. Dalam kondisi yang seperti itu memang agak sulit bagi pengamen ini, kalau anaknya tidak diikat maka anaknya akan kembali mengais-ngais sampah, tapi kalau diikat dikatakan dia mendisiplin terlalu ketat padahal dia perlu kerja dengan mengamen. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Jadi waktu kita mendisiplin seorang anak, maka kita harus memertimbangkan setidak-tidaknya 3 hal yaitu kita harus melihat usia dari si anak itu sendiri, karakter si anak dan kesalahan anak Misalnya dalam kita mendisiplin anak, kita harus selalu melihat usia si anak apakah memang sepantasnya anak seusia itu atau semuda itu menerima disiplin seberat itu.
Jadi kita harus selalu memertimbangkan hal ini. Tidak bisa kita menyamakan anak yang berusia tiga tahun dengan anak usia tiga belas tahun. Jadi ini adalah hal pertama yang harus kita lihat. Kedua, kita memang harus pertimbangkan karakter anak, jangan menyamakan semua anak, ada anak yang berkarakter keras dan cenderung membangkang dan anak ini memerlukan ketegasan. Atau memang ada anak yang memang susah sekali diberitahukan dan kita harus tegas. Tapi anak-anak yang berkarakter lembut dan penurut sudah tentu kita tidak perlu menggunakan ketegasan yang sekeras itu. Jadi selalu lihat karakter anak. Dan yang terakhir, selalu kenakan disiplin yang sesuai dengan kesalahan. Jangan menghukum anak yang berlebihan untuk kesalahan yang sepele dan kita harus mencari tahu duduk masalahnya. Contohnya dalam kasus yang tadi telah kita angkat, si bapak ini atau pengamen ini saya duga kemungkinan besar kenapa anaknya itu sampai mencari makanan di tong sampah, karena anak itu kelaparan, kenapa bisa kelaparan ? Karena si bapak hanya bekerja sebagai pengamen dan mungkin sekali tidak bisa memberikan makanan yang cukup kepada si anak, sehingga anak itu kelaparan dan mencari makanan di tong sampah. Kalau anak itu sendiri cukup makan dan perutnya kenyang maka besar kemungkinan dia tidak akan mencari makanan di tong sampah, jadi harus dicari penyebabnya. Misalkan anak itu perlu untuk diawasi maka mungkin dia harus meminta pertolongan dari seseorang atau menitipkan anak itu di tempat siapa sehingga bisa diawasi ketika dia pergi untuk mencari uang.
GS : Jadi memang di dalam hal mendisiplin anak itu, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi seseorang itu sangat berpengaruh, Pak Paul ?
PG : Benar, memang ada orang-orang yang dalam tingkat sosial ekonomi yang kurang, seringkali kurang memahami cara-cara lain yang lebih efektif untuk mendisiplin anak sehingga menggunakan cara-cra yang relatif lebih sederhana seperti itu.
GS : Apakah ada ayat-ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Amsal 14:17 mengingatkan, "Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar". Kita ini tidak mau menjadi orang tua yang bodoh tapi kita menjadi orang tua yang bjaksana.
Maka langkah yang penting untuk menjadi orang tua yang bijaksana adalah belajarlah bersabar dan jangan sampai kita kehilangan kesabaran terus menerus dan akhirnya menggunakan disiplin yang berlebihan yang justru akan menghancurkan anak.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Disiplin yang Berlebihan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.