Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang “Trauma Masa Kecil". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Berbicara tentang trauma, mungkin Pak Paul bisa menjelaskan secara singkat apa itu trauma ?
PG : Trauma mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengguncangkan kalbu secara dahsyat, jadi ini bukan saja kita merasa kaget atau merasa sedih atau kadang-kadang merasa takut tapi ini benar-benar suatu peristiwa atau kejadian yang sangat-sangat mengguncangkan kalbu. Banyak orang mengalami trauma di masa kecil, akhirnya harus hidup di bawah bayang-bayang trauma sampai usia dewasa. Itu sebabnya penting bagi kita untuk memahami trauma secara lebih seksama dan mengetahui cara untuk mengatasinya.
GS : Kalau itu terjadi pada masa kecil, tapi masa dewasa pun orang masih tetap bisa trauma ?
PG : Bisa sekali, memang trauma itu bisa datang kapan saja dan kalau datang di masa dewasa namun dengan intensitas yang juga sangat besar, sudah tentu itu juga bisa meninggalkan bekas yang mendalam.
GS : Ciri-cirinya orang trauma itu seperti apa, Pak Paul ?
PG : Yang umum adalah kita akhirnya mengembangkan rasa takut yang sangat kuat terhadap hal tersebut ataupun akhirnya kita bawa ke hal-hal lainnya pula. Jadi akhirnya kita cenderung untuk menghindar dan jangan sampai kita berhadapan dengan hal-hal yang kita takuti itu.
GS : Kalau begitu hal-hal apa saja yang perlu kita pelajari atau kita perlu amati tentang trauma ?
PG : Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang trauma, Pak Gunawan, yang pertama adalah makin muda atau belia usia sewaktu mengalami trauma maka makin besar dampak trauma pada pertumbuhan jiwa. Kenapa demikian ? Sebab pada usia belia atau usia muda kita belum memunyai sistem pertahanan yang kuat untuk menahan hantaman trauma. Itu sebabnya trauma langsung masuk dan menohok jiwa tanpa hambatan, sedang pada usia dewasa kita telah memiliki sistem pertahanan yang lebih kuat sehingga laju hantaman trauma lebih dapat diperlambat. Saya berikan contoh, misalkan kita hidup dengan orang tua yang tidak harmonis dan kerap bertengkar dengan keras, tidak bisa tidak, kita harus hidup dengan ketegangan sebab pertengkaran telah menjadi trauma bagi kita. Apabila kita sudah berusia remaja atau dewasa kita akan dapat pergi ke luar untuk menghindar dari pertengkaran atau kalau pun kita tidak bisa pergi keluar, kita mungkin dapat menyetel musik atau menelepon teman, dan jika kita merasa tertekan kita dapat bercerita dengan teman atau merasionalisasi bahwa ini bukan urusan saya. Singkat kata, ada sejumlah tindakan yang bisa kita lakukan untuk mengurangi dampak trauma konflik orang tua pada diri kita. Sebaliknya seorang anak kecil memiliki keterbatasan untuk melakukan semua itu, anak kecil tidak bisa pergi ke luar rumah, tidak bisa berasionalisasi dan sebagainya, akhirnya dia terpaksa menelan semua ketegangan itu tanpa daya, itu sebabnya dampak trauma akan lebih besar pada anak kecil dibanding pada orang dewasa.
GS : Padahal banyak orang dewasa yang mengira bahwa anak kecil ini tidak tahu apa-apa jadi tidak mungkin trauma, karena bagaimana kita tahu bahwa anak itu trauma akibat yang kita lakukan ?
PG : Jadi kadang-kadang orang tua memang beranggapan anak belum mengerti apa-apa dan tidak akan merasa apa-apa, betul anak memang belum mengerti secara kognitif atau rasional apa yang terjadi, tapi anak sudah memunyai perasaan. Trauma itu sebetulnya masuk lewat pintu perasaan, bukan lewat pintu pemikiran. Itu sebabnya akibat dari trauma si anak akhirnya mengembangkan ketegangan dan rasa takut yang amat besar. Kadang-kadang di dalam kasus tertentu anak-anak ini setelah besar diserang oleh kecemasan yang sangat tinggi. Jadi mudah sekali dia cemas dan mudah sekali tiba-tiba tegang, untuk hal-hal yang relatif kecil atau dia sendiri tidak menyadari ada apa, namun tiba-tiba dia merasa sangat tegang sekali, itu bisa jadi buah-buah dari trauma yang dialaminya semasa kecil.
GS : Kalau ini anak perempuan, apakah resiko trauma itu lebih besar daripada anak laki-laki ?
PG : Secara umum memang benar karena anak-anak perempuan memunyai kepekaan perasaan yang lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki, tapi sudah tentu anak laki-laki juga memunyai perasaan dan sebagian dari anak laki memunyai perasaan yang peka pula, sehingga juga dapat mengembangkan reaksi yang begitu kuat terhadap trauma.
GS : Biasanya yang lebih menimbulkan trauma lebih berat, dari perkataan orang tua atau dari perbuatan orang tua, Pak Paul ?
PG : Ternyata kita tidak bisa memastikan, misalnya dalam pengalaman konseling saya ada yang begitu takut, begitu tercekam oleh rasa takut melihat sorot mata karena waktu dia kecil, waktu dia melihat salah satu orang tuanya itu sedang mengamuk yang dia paling takuti adalah melihat mata si orang tua tersebut. Namun ada orang yang takut sekali melihat misalnya sewaktu orang tuanya sudah mulai meninggikan suara, saling mencaci maki karena tidak lama kemudian terjadilah pertengkaran secara fisik alias pukul-memukul. Namun ada juga yang sudah merasa takut hanya mendengar suara-suara orang tua yang sudah tidak terlalu simpatik dan dia sudah langsung tegang. Jadi ini bisa campuran dari semuanya atau salah satu dari semuanya, yang akhirnya memicu rasa ketakutan yang besar itu.
GS : Kalau begitu hal apalagi yang perlu kita ketahui dari trauma itu, Pak Paul ?
PG : Hal kedua yang perlu kita ketahui tentang trauma adalah trauma yang terjadi pada masa kecil berpotensi besar merusak pembangunan sistem pertahanan dalam diri. Coba saya jelaskan, salah satu ciri khas anak adalah kepolosannya, sebenarnya kepolosan berasal dari ketidakadaan sistim pertahanan. Pada masa kanak-kanak kita belum dapat memisahkan diri dari situasi yang kita hadapi dan kita belum memunyai kemampuan berpikir secara abstrak dan menganalisis masalah dari berbagai sudut dan kita pun belum dapat menyembunyikan perasaan atau pikiran. Itu sebabnya tatkala anak kecil tertangkap basah melakukan kesalahan reaksinya adalah menangis karena dia memang tidak punya lagi cara lain untuk menutupi perasaan takutnya karena tertangkap basah melakukan kesalahan, namun setelah anak itu remaja bukankah dia dapat misalnya bersilat lidah untuk membela diri, dengan kata lain pada masa kecil apa pun yang terjadi akan langsung mengena di perasaannya sebab dia belum sanggup melindungi dirinya. Makin kita dewasa makin canggih sistim pertahanan dan makin sanggup kita melindungi diri namun apabila pada masa kecil kita telah mengalami trauma, apalagi yang berkelanjutan maka proses pembentukan sistim pertahanan ini akan mengalami gangguan, misalnya kita mungkin terlalu cepat mematikan perasaan, pokoknya kita merasa sesuatu, tegang, maka kita langsung mematikan perasaan atau sebaliknya, kita tidak sanggup mengesampingkan perasaan sama sekali artinya semua perasaan langsung dirasakan. Atau mungkin kita akan terlalu sering merasionalisasi sehingga tidak mendayagunakan perasaan sama sekali. Atau sebaliknya kita kurang bisa merasionalisasi sehingga menjadi terlalu emosional dan cepat meledak. Itu adalah gejala tidak berfungsinya sistem pertahanan atau perlindungan yang sehat.
GS : Tetapi trauma itu tidak bisa hanya karena satu peristiwa, jadi harus peristiwa yang berulang-ulang.
PG : Umumnya berulang-ulang kali kecuali si anak mengalami suatu trauma yang terlalu menakutkannya walaupun hanya sekali, itu juga bisa.
GS : Kalau misalnya anak kecil yang mengalami rumahnya terbakar, apakah itu bisa menimbulkan trauma ?
PG : Ini memang sedikit misteri, ada anak yang misalkan mengalami kehilangan karena rumahnya terbakar tapi tidak mengalami trauma, tapi ada anak yang bisa mengalami trauma akibat melihat rumahnya terbakar. Jadi kenapa bagi yang satu ada efek traumanya dan yang satu tidak ada efek traumanya bergantung pada beberapa faktor misalnya faktor bagaimana dia melihatnya saat peristiwa tersebut terjadi. Misalnya dia melihat api itu begitu menjilat-jilat sehingga dia begitu ketakutan waktu melihat api itu, tapi bisa jadi adiknya atau kakaknya tidak memerhatikan api yang menjilat-jilat itu sebab yang dia pikirkan adalah bagaimana dia bisa secepat mungkin keluar dari rumah. Jadi dengan kata lain, kenapa ada satu anak memberi respons seperti itu, begitu ketakutan sedang anak yang lain tidak, memang tidak bisa dipastikan bergantung sekali pada apa yang dilihatnya saat itu.
GS : Sehingga banyak orang tua yang coba menghindarkan anaknya dari trauma lalu mengajak anaknya untuk tidak melihat sesuatu yang dahsyat seperti itu misalnya tadi kebakaran.
PG : Kadang-kadang itu yang harus kita lakukan sebab dampak melihat seringkali sangat mengerikan dan pada masa kecil pikiran kita masih benar-benar sangat rentan, sehingga sepertinya peristiwa itu akan langsung mencetak kita yang sangat mengerikan itu.
GS : Kalau anak itu masih belum bisa menggunakan kognitifnya atau akalnya secara baik, apakah juga akan menimbulkan trauma, Pak Paul ?
PG : Iya karena tetap perasaannya itu bisa menangkap bahwa ini adalah sesuatu yang mengerikan apalagi kalau dia melihat dan mendengar reaksi orang tuanya yang juga sangat ketakutan, itu bisa menimbulkan trauma. Saya tahu ada sebuah kasus dimana seorang ibu yang saat itu hamil kemudian rumahnya dirampok dan karena dia sangat ketakutan dia harus mengunci diri di dalam kamar mandi, untuk mencari perhatian dia berteriak-teriak untuk memohon bantuan dari orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Hal itu rupanya keluar dari ketakutan yang luar biasa karena rumahnya dirampok saat itu. Dan setelah itu dia dimasukkan ke Rumah Sakit karena anaknya keguguran, jadi kita bisa melihat bahwa orang tua yang begitu dicekam oleh ketakutan rupanya sangat mengganggu janin bayi dalam tubuhnya sehingga anaknya akhirnya gugur.
GS : Tapi kita tidak bisa sebutkan kalau janin/bayi itu trauma, gugurnya dikarenakan trauma, karena itu masih dalam kandungan.
PG : Hampir dapat dipastikan begitu sebab sebelumnya bayi itu sehat-sehat saja. Jadi sebelumnya janin itu tidak ada masalah, diperiksa dengan baik oleh dokter, dirawat dengan baik oleh ibunya dalam kandungan, sehingga janin itu bertumbuh dengan sehat. Jadi sampai detik-detik sebelum rumah itu dirampok dan sebelum dia berteriak-teriak karena ketakutan, bayi itu masih hidup tapi begitu selesai dia ketakutan, rupanya dia merasakan ada yang tidak benar dengan bayinya, jadi dia langsung periksakan ke dokter dan saya kurang tahu apakah di hari itu juga atau keesokan harinya, tapi kemudian bayinya meninggal dunia.
GS : Jadi cukup hebat akibat dari trauma itu sendiri, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Apakah ada hal lain yang harus kita perhatikan tentang trauma ini ?
PG : Hal ketiga yang perlu kita ketahui adalah pada akhirnya trauma masa kecil membuat kita kehilangan rasa aman, bukan saja terhadap situasi tertentu tetapi juga terhadap hal lainnya, kembali kepada contoh tadi, mungkin pada awalnya kita hanya takut kepada pertengkaran atau konflik dan mungkin kita menjadi peka terhadap konflik dan berusaha menjauh namun perlahan tapi pasti kita pun berusaha menghindar dari segala ketegangan, kita berupaya memastikan segalanya sebab kita tidak bisa menoleransi ketidakpastian. Jadi bagi kita ketidakpastian itu terlalu menegangkan. Pada akhirnya kita menjadi orang yang selalu harus memastikan bahwa semua akan berjalan dengan baik, kita juga berusaha menghilangkan resiko sebab bagi kita resiko itu sama dengan bencana. Singkat kata, akibat trauma kita ini cenderung mengambangkan perilaku, pertama menghindar dan yang kedua adalah memastikan. Kita menghindar dengan cara melarikan diri dari tantangan dan bahaya dan kita memastikan dengan cara mengendalikan kondisi atau orang di sekitar kita. Jadi orang-orang yang akhirnya seperti ini memunculkan dua sikap yang umum. Sudah tentu perilaku ini bukan saja memengaruhi kehidupan kita, pada akhirnya perilaku ini juga memengaruhi orang di sekitar kita pula. Oleh karena takut kita cenderung menanamkan rasa takut pada orang di sekitar kita terutama anak-anak kita. Oleh karena takut kita pun cenderung mengendalikan orang di sekitar kita supaya hidup seperti yang kita harapkan. Jadi benar-benar perilaku menghindar dan mencoba memastikan, itu menjadi ciri khas orang yang memang pernah dihantam oleh trauma.
GS : Bagaimana kalau kedua-duanya tidak bisa dia lakukan, jadi dia tidak bisa menghindar dari situasi itu, tapi dia juga tidak bisa mengendalikan situasi itu ?
PG : Dia akan hidup dalam ketegangan, dia hidupnya tidak lagi bebas, tidak santai karena dirundung oleh ketegangan terus-menerus. Jadi dia selalu bertanya-tanya, “apa yang akan terjadi". Biasanya kalau dia tidak berhasil, tidak berarti dia berhenti mencoba, dia akan terus berusaha menghindar, melarikan diri dari situasi yang dianggapnya bisa mengancamnya dan dia terus memastikan supaya yang buruk tidak terjadi dan memastikan semua berjalan sesuai dengan rencananya dan dia akan memastikan orang di sekitarnya ikut pada apa yang dikehendakinya. Sebab waktu orang berbuat sesuatu yang di luar kehendak dia itu membuat dia tegang.
GS : Jadi sebenarnya orang tahu kalau dia sedang trauma terhadap sesuatu, Pak Paul ?
PG : Masalahnya seringkali tidak, dia justru berkata kepada kita, “Saya mau peduli dan saya sayang kepada anak atau istri dan sebagainya, jadi saya begini" yang dia lihat adalah dia memunyai alasan untuk bersikap mengendalikan atau mengontrol, atau dia harus lari dan dia harus menghindar dari semua yang menegangkan dirinya. Dia bisa saja berkata, “Saya menghindar dari ketegangan sebab misalnya siapa yang tahan hidup dalam ketegangan seperti ini. Biasanya mereka tidak mengaitkan dengan apa yang terjadi di masa lampaunya, sebab sebetulnya itu yang terjadi. Dua sikap ini yang menjadi ciri khasnya dan tadi yang sudah saya singgung juga adalah pengendalian terhadap perasaan itu ekstrem kiri atau kanan. Ekstrem yang satu adalah meledak-ledak, tidak bisa menahan emosi, kalau sedang marah emosi benar-benar keluar dan tidak bisa berhenti. Atau ada orang yang kebalikannya tidak punya emosi, benar-benar emosinya tidak jalan dan sepertinya dia dengan emosi ada jarak yang jauh, kenapa ? Sebab dia harus mematikan perasaannya karena dia tidak harus hidup dicekam oleh rasa takut dan tegang.
GS : Mungkin yang paling banyak dilakukan adalah menghindar, karena itu lebih mudah dibandingkan dengan mengendalikan orang lain atau mengendalikan situasi, tapi masalahnya kalau dia terus menghindar maka traumanya itu tidak akan bisa diatasi, Pak Paul.
PG : Jadi selama orang-orang ini tidak menyadari bahwa ada sebabnya yang harus dibahas dan dibereskan. Dia akan selalu melihat yang sekarang ini bahwa sekarang ini dia sedang menghadapi sesuatu dan dia sedang ketakutan dan tidak bisa dihadapi dan dia ingin menghindar dan menghindar, memang untuk menolongnya kita harus mengajaknya melihat asal muasal semua ini dan akhirnya dia sendiri juga harus berkata, “Iya saya menjadi seperti ini gara-gara ini" waktu dia sudah mengakuinya inilah sebetulnya yang terjadi waktu saya mengalami masalah ini, maka baru perlahan-lahan dia bisa menghadapinya dengan lebih baik, misalnya ia bisa mulai bercerita kepada kita mengeluarkan isi hati kita dan apa yang ditakutinya, itu yang mungkin sebagai langkah awal bisa dilakukannya.
GS : Tapi kalau itu terjadinya di masa lampau, ada satu kasus orang pernah kehilangan kendaraan bermotornya, ini menjadi trauma bagi dia artinya dia seringkali bermimpi bahwa dia kehilangan kendaraan, dia menyadari bahwa itu adalah akibat dulu dia hanya punya satu-satunya kendaraan dan kendaraannya hilang. Dan itu selalu muncul dalam mimpi-mimpinya.
PG : Kalau saya mendengar kasus seperti itu maka saya mau mencari lebih banyak lagi informasi tentang masa lalunya. Sebab kehilangan sepeda motor bisa jadi itu hal yang besar bagi dia karena dia tidak pernah punya apa-apa dan akhirnya bisa punya sepeda motor yang dia sangat sayangi dan waktu hilang dia sangat terpukul sekali. Tapi bisa jadi ada informasi tambahan, dia sangat takut kepada orang tuanya sewaktu kehilangan sepeda motor itu. Jadi yang dia takuti memang ada rasa kehilangan yang besar karena sepeda motor yang dia sayangi, tapi yang membuat dia sangat takut adalah akibatnya, konsekuensinya. Jadi saya juga mau tahu lebih banyak sebetulnya apa yang dia takuti sewaktu sepeda motornya hilang.
GS : Padahal orang tuanya sudah meninggal sekarang, tapi waktu itu orang tuanya tidak memarahi dia, katakan sudah hilang ya sudah. Tapi sebelumnya dia pernah bukan hanya kehilangan sepeda motor, ada hal-hal lain yang dia pernah merasa kehilangan.
PG : Kalau begitu yang Pak Gunawan katakan, memang masuk akal kenapa kehilangan sepeda motor bisa menjadi sangat berat bagi dia karena seolah-olah itu melengkapi kehilangan-kehilangan sebelumnya, dia sudah mengalami kehilangan-kehilangan yang dia anggap berharga bagi dirinya.
GS : Padahal dia mengakui bahwa trauma ini karena masalah sepeda motornya hilang dan dia sudah merelakan, tapi itu terus muncul di dalam mimpinya.
PG : Saya kira bukan hanya sekadar sepeda motornya saja yang hilang tapi karena adanya kehilangan-kehilangan yang lain, dan yang terakhir hanyalah sepeda motor maka akhirnya yang terus diingat hanyalah sepeda motor itu, tapi kenapa reaksinya begitu kuat terhadap kehilangan tersebut karena dia sudah mengalami banyak kehilangan.
GS : Jadi yang terakhir itu hanya semacam pemicu saja ?
PG : Betul.
GS : Nah, orang yang mengalami trauma seperti itu yang terjadinya bukan pada masa kecil, tapi sudah cukup besar karena dia sudah bisa mengendarai sepeda motor, apakah orang-orang yang di sekelilingnya cukup berperan untuk menolong dia ?
PG : Saya kira ya, kalau orang di sekitarnya menghakimi, memarahi, menyalahkan dia sudah tentu efeknya lebih berat lagi, tapi kenyataan kalau misalnya orang di sekitarnya itu menerimanya dan mendukungnya serta tidak memarahinya itu akan menolong dia, dan misalkan penjelasan yang lebih bersifat rohani seperti, “Tidak apa-apa kamu kehilangan sepeda motor ini sebab kita tahu bahwa nanti akan ada waktunya Tuhan bisa menggantikan dan sebagainya." Nasihat seperti itu juga bisa menolong orang tersebut melewati masa kehilangannya itu.
GS : Memang penghiburan yang sangat berarti buat orang itu adalah melalui firman Tuhan. Dengan berkali-kali dia mendengar firman Tuhan dan sebagainya, dia mulai bisa merelakan apa yang terjadi, akhirnya sekarang dia sudah memunyai yang lebih bagus dari yang dulu hilang. Tetapi tetap itu juga tidak menghilangkan sama sekali rasa trauma itu, dan dia masih sering bercerita tadi malam dia bermimpi itu lagi, lain kali bermimpi lagi tentang kehilangan.
PG : Saya cenderung melihatnya, kehilangan sepeda motor itu menjadi simbol atau menjadi perwakilan dari kehilangan-kehilangan yang lain. Jadi yang memang terjadi adalah dia harus mengalami banyak kehilangan tapi karena itu yang terakhir, itu yang terus muncul, namun itu sebetulnya hanya perwakilan saja.
GS : Kalau kita mau memberikan firman Tuhan, bagian mana dari Alkitab yang bisa bermanfaat bagi orang yang mengalami trauma ini, Pak Paul ?
PG : Saya ambil dari Mazmur 27:14, “Nantikan TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!" Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita harus menantikan Tuhan, kita harus datang kepada Tuhan membawa trauma yang kita alami dan ketakutan yang kita bawa sampai sekarang, kita tidak bisa terus melarikan diri dan berusaha untuk terus mengendalikan orang atau situasi. Jadi nantikanlah Tuhan adalah sebuah perintah untuk menyerahkan semua dan melepaskan semua kepada Tuhan. Ini adalah kuncinya, waktu kita harus menghadapi trauma itu, benar-benar kuncinya adalah menyerahkan semua dan melepaskan semua kepada Tuhan.
GS : Artinya harus hidup pasrah, berserah dan taat kepada pimpinan Tuhan.
PG : Pada akhirnya itu.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Trauma Masa Kecil" . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.