Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tatkala Hidup Berhenti dengan Tiba-tiba". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang sesuatu yang tiba-tiba berhenti itu seperti kejutan tersendiri di dalam hidup ini. Bukan hanya di dalam kendaraan saja kita bisa berhenti dengan tiba-tiba, tetapi di dalam perjalanan kehidupan ini nyatanya juga bisa dan harus berhenti dengan tiba-tiba, walaupun itu kurang nyaman, Pak Paul. Sebenarnya apa yang akan kita bicarakan dengan tema ini, Pak Paul?
PG : Kadang ada sesuatu yang terjadi dalam hidup ini yang akan menghentikan roda kehidupan kita. Kita setiap hari bangun tidur, berharap hari ini akan berjalan sama seperti kemarin. Aktivitas yang kita lakukan kemarin akan kita lakukan hari ini dan apa yang terjadi kemarin akan terjadi hari ini. Kita tidak berharap bahwa hidup akan berubah secara drastik. Masalahnya adalah hidup kadang berubah secara drastik dan dengan sekejap ! Sehingga kita dipaksa harus membangun hidup dari nol lagi, Pak Gunawan. Itu yang saya maksud adalah sebuah peristiwa yang terjadi yang benar-benar berat sehingga membuat kehidupan kita berubah secara mendadak.
GS : Tapi biasanya sesuatu yang terjadi itu adalah sesuatu yang di luar kontrol kita, Pak Paul? Artinya kita tidak pernah bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi itu, Pak Paul.
PG : Betul! Benar-benar tidak terduga, Pak Gunawan.
GS : Contohnya apa, Pak Paul?
PG : Yang pertama misalnya bencana alam. Kita tahu bencana alam bisa terjadi kapan saja, dimana saja. Dan pada saat alam berguncang, kita pun terguncang. Kita kehilangan harta milik dan ada kalanya kita kehilangan orang yang kita kasihi. Kita tahu, seperti saat ini kita sedang dilanda banjir di mana-mana, ada tanah longsor, ada angin ribut, ada letusan gunung, itu semua adalah bagian dari bencana alam yang tak terduga. Begitu bencana alam itu terjadi, kita harus menghadapi kehilangan akibat dari bencana alam itu.
GS : Memang ada beberapa yang bisa diprediksi lebih dulu, Pak Paul. Misalnya dengan kemajuan ilmu, banjir masih bisa diprediksi. Tapi toh saat banjir itu datang, kita seperti berhenti dengan tiba-tiba. Kita tidak bisa lagi ke pasar, ke sekolah, ke kantor, harus berhenti dan rutinitasnya berubah.
PG : Kalau hanya masalah kita tidak bisa melakukan aktifitas rutin kita untuk sementara, mungkin masih belum seberapa. Yang lebih berat kalau bencana alam itu merenggut nyawa atau merampas harta milik kita. Misalnya kebakaran sehingga semua ludes. Benar-benar peristiwa itu seperti palu yang memukul dan membuat kita terkapar.
GS : Kadang-kadang yang membuat sulit untuk diterima adalah kita tidak tahu sampai kapan itu terjadi. Misalnya banjir, sampai kapan kita harus tinggal di pengungsian. Ada yang satu minggu bisa kembali, tapi ada yang berbulan-bulan tidak bisa kembali, Pak Paul. Dan kita tidak pernah menyiapkan diri untuk itu.
PG : Ya, betul. Itu yang pertama yaitu bencana alam, Pak Gunawan. Yang kedua yang juga bisa membuat hidup berhenti tiba-tiba adalah orang lain. Salah satu fakta kehidupan yang kadang mesti kita hadapi adalah kita menjadi korban perbuatan orang lain. Ada orang yang kehilangan barang berharga misalnya karena dirampok, ada yang kehilangan rumah karena ditipu, ada yang mesti kehilangan kebahagiaan rumah tangga karena diceraikan pasangan. Namun ada satu hal lagi yang berkaitan dengan orang lain tapi tidak berhubungan dengan perbuatan jahat, yaitu kematian orang yang kita kasihi. Pada saat seperti itu, tidak bisa tidak, ada kalanya muncul pemikiran kita pun telah menjadi "korban" perbuatannya meninggalkan kita dalam ketidaksiapan. Ini yang kadang-kadang diungkapkan oleh pasangannya yang ditinggal secara mendadak, "Kok kamu tega meninggalkan aku. Kamu seharusnya mengerti aku tidak siap. Anak-anak masih kecil." Seakan-akan pasangan yang meninggalkannya itu mempunyai pilihan kapan dia akan pergi, padahal dia tidak mempunyai pilihan itu. Jadi ini sumber yang kedua, perbuatan orang lain yang kadang membuat kita menjadi korban sehingga kita harus kehilangan harta benda atau orang-orang yang kita kasihi.
GS : Kadang-kadang dua sumber yaitu bencana alam dan orang lain bisa terjadi serempak, Pak Paul. Karena bencana alam, orang yang kita kasihi terpaksa meninggalkan kita.
PG : Betul sekali! Memang ini sebuah pukulan yang menghentikan langkah hidup kita secara drastik, Pak Gunawan.
GS : Lalu yang ketiga apa, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah diri kita sendiri. Ada kalanya oleh karena perbuatan sendiri maka kita harus menanggung kehilangan yang besar. Misalnya karena ketidakmampuan kita dalam menjaga batas, kita terlibat perselingkuhan. Sebagai akibatnya kita kehilangan keluarga. Ada pula yang salah bertindak sehingga harus mendekam di penjara. Ada pula yang kurang bijaksana dalam usaha sehingga kehilangan harta milik. Jadi ini juga ulah kita sendiri yang akhirnya kita harus menanggung kehilangan yang sangat besar.
GS : Tapi yang ini tidak seperti bencana dan kematian, Pak Paul. Misalnya korupsi. Ini tidak terjadi mendadak. Dia sudah tahu kalau terlibat korupsi suatu saat bisa tertangkap dan dipenjara. Tetapi yang dua tadi sangat drastik dan mendadak. Karena itu menyangkut diri kita sendiri, sebenarnya kita harus tahu apa yang semestinya kita lakukan. Namun seringkali kita mengabaikannya! Kita terlena dengan nikmatnya korupsi, mencuri, berselingkuh dan sebagainya. Sehingga ketika akibatnya datang, kita bisa sangat terkejut.
PG : Ya. Kadang kita mempunyai pikiran kita adalah orang yang dikecualikan dari kemalangan. Artinya misal kalaupun kita berjudi, tidak mungkin kita kehilangan apa-apa. "Saya mengerti kapan harus berhenti berjudi. Saya membatasi diri kok." Kita seolah-olah beranggapan kita pasti bisa lolos, tidak akan kena akibatnya. Nah, mentalitas seperti ini yang berbahaya, sebab tinggal tunggu waktu sampai kita tersandung dan harus menanggung semuanya. Seperti orang yang terlibat korupsi tadi. Selalu berpikir, "Orang lain bisa ketahuan, orang lain bisa tertangkap, saya lain. Saya berhati-hati. Tidak mungkin ketahuan." Tapi akhirnya tinggal menunggu waktu sampai ketahuan. Jadi ulah sendiri bisa membuat kita mengalami kehilangan yang besar. Mungkin kita kehilangan keluarga juga karena mereka tidak lagi mau bersama-sama kita. Dan tiba-tiba kita harus mengubah hidup kita karena tidak akan sama lagi seperti kemarin.
GS : Yang terkaget-kaget itu justru pihak keluarganya bila tahu kalau suami atau ayahnya langsung dijemput paksa dimasukkan ke penjara. Ini yang sangat dirasakan oleh keluarganya.
PG : Betul sekali.
GS : Pak Paul, kalau kita tidak bisa menghindari hal-hal yang sulit dihindari seperti bencana alam itu bisa menimpa siapapun termasuk kita yang percaya atau ada orang lain yang menyebabkannya ataupun malah kita sendiri penyebabnya, lalu apa yang bisa kita lakukan?
PG : Yang pertama kita mesti mengijinkan diri kita untuk merasakan kehilangan dan dampak kehilangan itu pada diri kita. Tidak apa-apa menangis, tidak apa-apa bingung, tidak apa-apa kecewa. Dan tidak apa-apa marah. Semua adalah reaksi yang wajar. Berilah kesempatan kepada diri sendiri untuk mengungkapkan perasaaan yang berkecamuk baik secara verbal maupun secara emosional. Setelah semua perasaan ini muncul keluar, pada saatnya pergolakan emosional ini pun akan mereda dan kita pun akan merasa lebih tenang. Kalau bisa jangan menahan-nahan. Jangan coba menampilkan bahwa kita ini kuat. Jangan sampai memunyai pandangan orang yang rohani tidak semestinya menangis, bingung dan sebagainya. Tidak apa-apa! Ini adalah saatnya kita memang harus merasakan kehilangan yang besar itu. Kita bayangkan misalkan kalau kematian pasangan kita yang telah tiada, kita bayangkan rumah kita yang sekarang sudah diambil atau sudah terkena bencana, kita bayangkan yang jadi milik kita sekarang harus kita relakan lepas dari diri kita. Memang ini akan membuat kita labil secara emosional. Tapi tidak mengapa, ini hanya berlangsung untuk sementara.
GS : Tapi biasanya perasaan kehilangan, sedih dan sebagainya itu tidak serta merta atau segera datang kepada kita ketika peristiwa itu terjadi, Pak Paul. Misalnya kematian. Kadang kita begitu kaget dan masih banyak orang di sekeliling kita seolah-olah mau menangis saja kita tidak bisa. Namun setelah itu terjadi, mulai direnungkan dan sebagainya, barulah timbul perasaan itu. Misalnya kebakaran. Pada saat kebakaran itu terjadi, orang panik dan sibuk memadamkan api. Kita tidak sempat menangis, tapi setelah itu kita menyadari kita kehilangan sesuatu. Setelah itu baru bisa tertumpah.
PG : Saya kira itu merupakan bagian dari perlengkapan yang Tuhan berikan kepada manusia dalam menghadapi krisis. Waktu menghadapi krisis kita harus memisahkan diri dari perasaan kita supaya kita bisa menghadapi krisis itu. Misalnya seperti kematian. Di saat-saat awal kita harus siapkan prosesinya, misalnya keuangan dan sebagainya. Jadi kita biasanya terpaksa memisahkan diri dari perasaan kita. Setelah semua itu selesai, barulah perasaan yang sesungguhnya itu keluar. Maka ijinkan semua perasaan itu mengemuka.
GS : Tapi ada juga orang yang bisa menumpahkan perasaannya saat itu juga, Pak Paul. Sehingga ketika masih ada jenasahnya itu dia sudah menangis. Itu pun saya rasa masih wajar-wajar saja, ya Pak Paul.
PG : Betul sekali. Memang ini suatu peristiwa besar yang tidak mudah dihadapi oleh siapapun.
GS : Tapi memang itu tidak menunjukkan iman atau hubungan seseorang, ya Pak Paul ?
PG : Tidak boleh! Jadi kita tidak boleh mengatakan, "Kok kamu kurang beriman, kok menangis sampai begitu?" Memang sedih kok kehilangan orang yang kita kasihi. Tidak apa-apa menangis, Tuhan tidak melarang kita menangis. Kalau Tuhan melarang kita menangis, buat apa Tuhan memberikan kantung airmata ya? Jadi tujuannya jelas supaya kita bisa menangis.
GS : Tapi kadang ada orang yang usil mengatakan, "Orang Kristen kok menangis seperti itu?", Pak Paul. Dan saya rasa itu menambah kesedihan orang itu.
PG : Ya, betul.
GS : Pak Paul, apa lagi yang bisa dilakukan selain mengijinkan diri merasakan kehilangan dan dampaknya pada diri kita?
PG : Kita akan mulai masuk ke tahap berikutnya yaitu kita merasakan kekosongan di dalam diri sendiri. Jadi setelah kita keluarkan perasaan-perasaan kita dan kita mulai lega, tentram, emosi kita tidak terlalu labil lagi, di saat itulah kita mulai menatap ke dalam diri kita. Jika pada tahap awal tadi kita memfokuskan pada kehilangan itu. Kehilangan rumah, kehilangan orang yang kita kasihi dan sebagainya. Di tahap kedua ini, kita menengok ke dalam diri dan di saat itulah kita disadarkan akan adanya kehampaan, kekosongan di dalam kalbu. Tidak bisa tidak, pada saat itu kita akan terkejut melihat diri kita sendiri yang seolah tidak kita kenali lagi. Kita melihat diri sendiri seolah kita telah berubah, tidak sama; ada sesuatu yang terhilang. Ini memang sedikit susah untuk dicerna. Tapi bagi orang yang sedang mengalami kehilangan yang besar, ini biasanya yang dialami. Begitu melihat ke dalam diri sendiri kosong. Kosong sekali! Dan ini tahap yang kritis, Pak Gunawan. Sebab di saat seperti ini pikiran-pikiran yang berbahaya bisa muncul. "Kok saya jadi begini? Kok saya kosong?" Kekosongan itu yang bisa membuat orang akhirnya terpikir untuk mengakhiri hidup. Jadi ini tahap yang kritis.
GS : Tapi itu kalau kekosongan yang disebabkan oleh bencana alam atau orang lain, Pak Paul. Kalau yang karena dirinya sendiri apa juga mengalami hal seperti ini, Pak Paul?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Misalkan dia disadarkan gara-gara dia harus masuk penjara. Dia benar-benar terbangun dari mimpinya. Sebelumnya dia bermimpi dia selalu bisa lolos. Begitu dijebloskan ke penjara atau dia diceraikan oleh pasangannya dan harus kehilangan keluarganya, barulah dia tiba-tiba terbangun. Di saat itu sama reaksinya, Pak Gunawan. Dia akan melihat ke dalam dan melihat dirinya kosong sekali. Itu suatu perasaan yang benar-benar menyiksa.
GS : Tapi justru di titik itu sebenarnya dia punya dua pilihan, yaitu dia bisa mengakhiri hidupnya atau dia bertobat kepada Tuhan, Pak Paul.
PG : Ya. Jadi seharusnya di saat itu kita datang sungguh-sungguh kepada Tuhan. Kita datang apa adanya, kita mengakui apa yang sudah kita lakukan. Kita minta pengampunan-Nya dan kita minta Tuhan membangun kehidupan kita yang baru ini. Saya ingat cerita tentang Chuck Colson. Dia adalah bekas asisten khusus mantan presiden Richard Nixon di Amerika Serikat. Dia juga terlibat dalam skandal Watergate, skandal yang sangat terkenal di tahun 1970-an itu. Nah, karena skandal itu dia harus mendekam di penjara. Tapi gara-gara itu, dia bertobat 100% mengenal Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya dan mendapatkan anugerah pengampunan dan setelah itu dia memulai kehidupan yang baru. Tidak lagi terjun sebagai seorang politikus atau seorang pengacara tapi terjun untuk melayani Tuhan yaitu memperhatikan para tahanan di penjara. Sebab gara-gara dia dipenjara, dia mengerti kehidupan di penjara, dan dia terpanggil setelah dibebaskan untuk melayani sesama para narapidana di penjara.
GS : Sebenarnya apa yang mendorong seseorang itu bisa mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya atau dia kembali kepada Tuhan ?
PG : Biasanya dengan siapakah dia dikelilingi, Pak Gunawan. Kalau tidak ada siapa-siapa, sepertinya orang-orang menolaknya, dia terkucil sendirian, maka pikiran itu bisa muncul, "Lebih baik saya mengakhiri hidup saya." Tapi misalkan dia dikelilingi oleh orang-orang yang mengasihinya, sehingga dia bisa kembali membangun hidupnya, biasanya itu yang mendorongnya untuk berubah dan bertobat. Memang pemikiran-pemikiran dan kekosongan yang muncul ini adalah wajar. Sebab konsep diri kita dibangun di atas banyak faktor yang terkait dengan diri kita. Misalkan, kita selalu punya konsep kita adalah seorang ayah. Bayangkan bila kita harus kehilangan anak semata wayang (anak tunggal). Tidak bisa tidak kita akan melihat ke dalam diri dan menemukan kekosongan. Anak yang selama ini kita kasihi, yang menempati hidup kita, sekarang sudah tidak ada. Dan kita pun tidak mengenali diri sebab selama ini konsep yang terbentuk tatkala kita melihat diri adalah kita sebagai seorang ayah. Sekarang tidak ada lagi. Sama seperti seorang istri kehilangan suaminya. Selama bertahun-tahun dia melihat dirinya secara tidak sadar sebagai seorang istri, sebab ada suaminya. Tiba-tiba suaminya tiada. Konsep diri yang selama ini terbangun tiba-tiba berubah. Dia bukan lagi seorang istri. Jabatan istri itu tiba-tiba tanggal. Bayangkan mungkin selama 40 tahun dia telah hidup sebagai seorang istri sekarang tidak lagi. Dia melihat ke dalam dirinya dan melihat dirinya kosong dan berubah. Inilah yang dialami oleh orang pada saat hidup tiba-tiba berhenti dan merenggut apa yang tadinya milik kita.
GS : Bukan hanya itu, Pak Paul. Status atau sebutan untuk orang itu berubah. Misalnya bukan lagi istri, tapi orang memanggilnya sebagai janda! Atau kalau karena kebakaran atau bencana lalu rumahnya yang besar tiba-tiba hancur, orang akan menyebutnya orang miskin. Padahal selama ini dia berpredikat sebagai orang kaya. Dan itu akan memukulnya dengan begitu keras.
PG : Betul. Banyak sekali label seperti itu. Misalnya label, "Dia itu tuh yang sudah ditinggalkan suaminya." Label-label seperti itu yang tidak bisa tidak menyadarkan dia bahwa dia bukanlah orang yang sama. Untuk dia kembali bisa membangun dirinya memang perlu waktu. Karena diri yang lama itu sudah tidak ada. Makanya yang dia lihat di dalam adalah sebuah kekosongan.
GS : Tapi itu harus diterima, Pak Paul?
PG : Tidak bisa tidak, akhirnya dia harus menerimanya. Kalau tidak menerimanya, dia tidak mungkin bisa membangun sebuah kehidupan yang baru. Ini tahapan yang terakhir, diri yang lama sudah tiada, mau tidak mau kita harus melepaskannya. Satu hal yang harus kita camkan dalam membangun diri yang baru adalah kita tidak bisa membangun diri yang baru seperti diri yang lama ! Ini yang sering kita lakukan. Kita harus menerima kenyataan bahwa kita tidak tahu seperti apakah hidup kita kelak. Kita tidak tahu seperti apakah diri kita yang baru itu. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan adalah kita berusaha keras membangun sebuah kehidupan atau diri yang sama persis seperti diri yang lama. Pada kenyataannya kita tidak mungkin melakukannya. Materi yang baru akan menghasilkan produk yang baru. Singkat kata, mulai saat itu kita betul-betul berjalan dengan iman. Memang kalau kita berusaha untuk membangun yang lama, tidak bisa. Walaupun ini adalah reaksi wajar karena kita tidak mengerti akan seperti apa nanti, akhirnya kita membangun seperti diri yang lama. Makanya kadang-kadang ada kesalahan yang kita buat. Sebagai contoh, dalam kasus kematian pasangan. Karena kita mau membangun diri yang lama sebagai suami atau sebagai istri, tidak lama setelah kematian pasangan kita, kita cepat-cepat mendapatkan pasangan yang baru. Akhirnya salah, memilih orang yang tidak tepat, malah menjerumuskan hidup kita ke dalam lubang hidup ini. Jadi kita mesti berhati-hati dalam membangun hidup yang baru itu. Maka saya tekankan perlu beriman sungguh-sungguh, minta Tuhan yang membangun. Kita tidak mengerti seperti apa diri kita di depan nanti, minta Tuhan yang memimpin kita.
GS : Memang kita harus kembali kepada konsep bahwa yang ada di dunia ini sifatnya sementara, Pak Paul. Kita harus mengacu kepada yang kekal yaitu Tuhan itu sendiri. Kita melihat kehidupan Ayub yang secara mendadak berhenti total. Tetapi pada saatnya Tuhan memulihkan Ayub dan Ayub tetap beriman kepada Tuhan yang tak berubah itu.
PG : Ya. Ini yang harus sering kita ingatkan kepada diri kita, Pak Gunawan. Bahwa apa yang kita miliki adalah sementara. Kita bukanlah pemilik, kita hanyalah orang yang dipercayakan. Jadi kita terima, tapi kita juga sadar kapan Tuhan ingin mengambil maka akan Dia ambil, Dia akan biarkan sesuatu terjadi sehingga mengambil apa yang tadinya ada pada diri kita.
GS : Memang kita harus selalu siap sekejap bisa terjadi, hidup ini bisa berhenti dengan tiba-tiba, Pak Paul. Dan ini bisa menggoncangkan iman kita sendiri. Sekuat apapun iman akan bisa goncang di saat seperti itu.
PG : Ya. Tadi saya juga singgung tentang kita menjadi korban orang lain. Kadang ini misalnya membuat kita kehilangan kesehatan karena ditabrak dan sebagainya. Misal kita jadi lumpuh, patah tulang, bahkan buta atau yang lain. Itu berat sekali. Karena kita terus memikirkan kita begini gara-gara orang itu. Akhirnya di satu pihak kita ingin sembuh dan memaksimalkan hidup, tapi juga sangat mungkin kita juga digandoli oleh perasaan tidak terima, marah, pahit karena menjadi korban perbuatan orang. Sekali lagi, pada akhirnya kita harus "tutup buku" itu. Kalau tidak, nantinya semakin hari kita yang akan semakin terperosok.
GS : Tapi ada orang-orang tertentu yang suka mengenang peristiwa-peristiwa yang kurang menyenangkan itu, Pak Paul. Misalnya dengan mendokumentasikan atau terus membicarakan, itu ‘kan malah memperlambat kesembuhan bagi luka-lukanya, Pak Paul?
PG : Di awal itu adalah hal yang baik. Kita bicara dan mengeluarkan apa yang menjadi perasaan-perasaan kita, silakan! Lewati fase itu sehingga kita benar-benar lepas dari masa lalu itu. Setelah itu kita harus tutup lembar itu lalu buka lembar baru. Lihatlah ke depan ! Hadapi hidup hari lepas hari dan biarkan Tuhan yang membangun kehidupan kita yang baru itu.
GS : Memang ini membutuhkan kekuatan dari Tuhan supaya kita bisa melakukan lembaran yang baru ini. Dalam hal ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Yesaya 12:2 berkata, "Sungguh Allah itu keselamatanku. Aku percaya dengan tidak gemetar. Sebab Tuhan Allah itu kekuatanku dan mazmurku. Ia telah menjadi keselamatanku." Jadi sewaktu hidup tiba-tiba berhenti, pandanglah kepada Tuhan. Mulai dari saat itu terus pandanglah Tuhan untuk memimpin kita memasuki kehidupan yang baru. Jangan berdoa meminta kehidupan yang lama itu. Jangan! Berdoalah meminta kehidupan yang baru.
GS : Dan kita yakin Tuhan pasti memberikan yang lebih baik daripada apa yang sudah kita miliki sebelumnya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul.
PG : Terima kasih, Pak Gunawan.
GS : Para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tatkala Hidup Berhenti dengan Tiba-Tiba". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.