Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang “Sikap Hidup Reaktif". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, yang dikatakan sikap hidup reaktif itu seperti apa ?
PG : Sikap hidup reaktif adalah sikap hidup yang berorientasi pada orang di sekitar dimana bukan saja orang di sekitar menjadi fokus utama perhatian kita, tapi juga menjadi penggerak atau penyebab perilaku kita. Sudah tentu kita semua terpengaruh oleh kondisi lingkungan dan tanggapan yang kita terima dari orang, namun seyogianya di dalam jiwa yang sehat perilaku kita bukan saja dipengaruhi oleh sikap atau tindakan orang, tapi juga oleh pilihan pribadi yang kita ambil berdasarkan nilai yang kita miliki. Bila kita memunyai sikap hidup yang reaktif mudah sekali kita terpengaruh oleh sikap dan perilaku pasangan, misalnya bila pasangan menunjukkan sedikit saja perubahan emosi atau berwajah muram kita langsung turut terpengaruh, sebaliknya jika pasangan memerlihatkan sikap yang menyenangkan dengan cepat kita terbawa oleh suasana yang ceria itu. Singkat kata, sikap reaktif memerlihatkan bahwa kekuatan dalam diri sesungguhnya lemah dan kita akhirnya kurang berinisiatif dan cenderung ikut arus, kita tidak tahu apa yang kita inginkan atau yang tidak kita inginkan, kita hanya melihat tindakan pasangan dan memberi reaksi terhadap apa yang dilakukannya dan apa yang dipilihnya.
GS : Sikap hidup reaktif ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa kecilnya atau dipengaruhi oleh lingkungannya, Pak Paul ?
PG : Biasanya berawal dari masa kecil, misalnya kita dibesarkan dalam rumah tangga, dalam keluarga dimana orang tua kita memunyai tuntutan yang sangat tinggi, marah-marah kalau kita tidak berhasil memenuhi tuntutannya. Jadi kita senantiasa harus berjaga-jaga, harus berusaha sebaik-baiknya melakukan apa yang dikehendaki oleh orang tua kita. Sikap hidup yang berkembang dari masa kecil seperti ini adalah biasanya sikap hidup reaktif. Jadi kita selalu memerhatikan orang, orang menuntut kita apa, karena kita terkondisikan sejak kecil sehingga setelah kita besar mata kita terus melihat apakah orang setuju atau suka, raut wajahnya orang suka atau tidak. Jadi akhirnya mata terus tertuju kepada orang dan yang lebih buruk adalah akhirnya kita cepat melihat kesalahan orang, kalau orang tidak melakukan seperti yang kita harapkan karena sekali lagi mata kita tidak terlatih melihat diri sendiri dan hanya melihat orang saja, akhirnya perilaku kita sebetulnya hanyalah reaksi terhadap apa yang orang lain katakan.
GS : Itu biasanya spontan atau melalui pemikiran yang matang, Pak Paul ?
PG : Spontan, jadi kebiasaan misalnya kita dibesarkan oleh orang tua yang luar biasa kritis dan menyoroti kita punya kegagalan dan kekurangan. Kita tidak mau terus-menerus disalahkan jadi kita akhirnya harus berusaha hidup sesuai dengan apa yang dimintanya. Lama-lama itu menjadi bagian dari diri kita, nanti kita juga akan melihat dampaknya pada orang lain, kita nantinya berbuat yang sama terhadap orang lain, kita akhirnya meminta orang harus melakukan yang kita inginkan dengan standart yang kita warisi dari orang tua kita.
GS : Ini memengaruhi relasi kita dengan orang lain padahal kita setiap hari berelasi dengan orang lain, ini dampaknya apa, Pak Paul ?
PG : Yang pertama kita membuat orang bingung, sebab tindakan yang diperbuat tidak lagi memunyai garis prinsip yang lurus atau konsisten. Misalkan kita hidup dengan pasangan yang reaktif, hal yang salah kemarin bisa tidak salah hari ini dan begitu pula sebaliknya, hal yang benar kemarin bisa salah hari ini, misalnya pulang terlambat hari ini tidak apa-apa dia baik-baik dengan kita senyum-senyum. Misalkan dua hari kemudian kita pulang terlambat lagi dari kantor dan kita sama seperti dua hari lalu lupa memberitahukan dia atau tidak sempat beritahu dia. Dua hari ini ternyata sangat berbeda dia marah besar dan dia mengolok kita kurang peduli dengan dia, kita memanfaatkan dan menyia-nyiakan dia. Kita bingung kenapa begitu, kenapa dia bisa berubah dalam dua hari ini, yang tadinya baik-baik saja sekarang menjadi tidak baik. Ini yang saya maksud, tidak ada garis yang lurus konsisten sebab dia tidak mendasari reaksinya atas pedoman tertentu yang diyakininya. Dia tidak bisa atau tidak punya prinsip bahwa namanya juga di perjalanan, orang bisa terlambat, namanya juga manusia orang bisa lupa, pedoman seperti itu yang sepertinya tidak pernah ada dalam diri pasangan kita. Jadi apa yang sekarang sedang terjadi misalkan dia melihat kita pulang terlambat dan kita punya wajah sepertinya senang-senang (mungkin saja wajah kita biasa saja tapi di mata dia kita senang pulang terlambat), itu sudah cukup membuat dia marah besar. Jadi sekali lagi karena dia tidak memunyai pedoman yang jelas, yang konsisten maka reaksinya memang tidak bisa diprediksi dan membuat kita akhirnya bingung.
GS : Itu pengaruhnya apa, apakah masa lalunya yang membuat dia tidak bisa konsisten, Pak Paul ?
PG : Memang kalau orang dalam keluarga yang dihujani dengan tuntutan harus begini dan begitu, maka kita akhirnya hanya sibuk memenuhi tuntutan alias kita sibuk memadamkan kebakaran. Jadi kalau ada api muncul kita buru-buru harus memadamkannya, kita akhirnya tidak sempat bertumbuh dengan alamiah dan menarik kesimpulan-kesimpulan, menarik hikmah-hikmah dari pengalaman hidup agar kita nanti bisa menjadikan itu sebagai bekal, nanti menghadapi ini dengan cara begini, itu yang seharusnya terjadi secara alamiah dalam masa pertumbuhan. Tapi kalau kita hidup dengan orang tua kita yang kritis menuntut terus-menerus selama misalkan 25 tahun, kita akhirnya sampai usia 25 tahun tidak sempat membangun kesimpulan atau pedoman-pedoman yang seharusnya nanti dapat kita gunakan untuk melanjutkan hidup kita di luar keluarga kita.
GS : Disitu pengaruh suasana hati seberapa besar, Pak Paul ? Apakah kalau suasana hatinya sedang senang maka tidak apa-apa datang terlambat, tapi kalau sedang jengkel lalu dia marah-marah seperti tadi.
PG : Besar sekali pengaruhnya, tapi sekali lagi kuncinya adalah karena tidak adanya pedoman yang lurus dan konsisten atau jelas itu. Karena bisa juga karena ‘mood’ kita sedang tidak enak hari ini akhirnya kita kurang begitu luwes seperti hari-hari sebelumnya. Tapi kalau kita punya pedoman itu dan kita mengerti orang bisa terlambat, namanya juga manusia, pedoman itu mengerem reaksi kita yang emosional, tapi karena dia ini tidak punya maka waktu emosinya sedang tidak enak maka tidak ada remnya.
GS : Selain membuat orang lain bingung, apalagi Pak Paul ?
PG : Dampak yang lain adalah membuat orang frustrasi dan tidak mudah akhirnya kita berkomunikasi dengannya secara terbuka. Sewaktu dia berbicara atau memberikan tanggapan maka kita berusaha menyimak baik-baik, memeriksa diri sebaliknya sewaktu kita berbicara dan memberikannya masukan dia sulit menerima dan malah cenderung menyalahkan kita sebagai pencetus reaksinya “kamu yang salah". Singkat kata tidak mudah baginya untuk melihat andilnya dalam permasalahan, sebab sekali lagi dia cenderung melihat orang dalam hal ini melihat kita, dia akhirnya tidak sempat melihat dirinya dan hanya kita saja. Maka bicara dengan dia mencoba menjelaskan dan membuat dia mengerti sepertinya kita main bola dengan tembok sehingga bola mental terus ke kita dan tidak bisa memasukkan bola ke lapangan lawan kita, selalu mental balik sebab dia tidak terlatih melihat diri karena dibesarkan dalam suasana kritikan yang begitu tinggi akhirnya dia hanya terlatih melihat orang dan dia cepat melihat kalau kita bicara kurang pas dan sebagainya, sehingga dia menyalahkan kita.
GS : Pak Paul, apakah dia mengerti bahwa kita sedang frustrasi, apa perlu kita menjelaskan kepada orang itu kalau saya ini frustrasi menghadapi kamu ?
PG : Dalam kondisi yang lebih enak dia sedang tidak marah, dalam kondisi dimana kita sedang santai dengan baik-baik kita beritahu dia mungkin sekali dia bisa mendengar itu, tapi kita juga harus siap dengan reaksinya, sebab lebih seringnya meskipun dalam kondisi santai atau baik, kita ungkapkan permintaan kita atau kita beritahukan dia bahwa kita frustrasi, bisa tidak kalau kita bicara kamu tolong dengarkan. Lebih seringnya harus saya akui dia tetap bereaksi dan berkata, “Aku begini gara-gara kamu, gara-gara kamu dulu begini begini..." jadi sekali lagi untuk mengubah, makan waktu yang lama.
GS : Dan yang sulit adalah yang pertama tadi yaitu orang seperti ini membingungkan dan kita sendiri juga tidak tahu dengan tepat kapan dia siap mendengarkan kata-kata kita atau tidak. Jangan-jangan waktu kita bicara dia sedang tidak nyaman.
PG : Jadi memang tidak bisa kita pastikan, itu yang membuat kita frustrasi, kalau kita tahu orang ini sedang seperti ini maka kita lebih bisa menghadapinya tapi memang tidak bisa.
GS : Pengaruh yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Akhirnya kita tidak bisa tidak merasa terluka. Sebab dalam kemarahan pasangan yang reaktif cenderung memunculkan letupan emosi yang kuat dan tidak jarang dia mengeluarkan perkataan yang tajam menusuk hati, kita merasa tidak berdaya sebab jika kita lawan maka dia akan makin bersikap emosional. Kita marah coba mengendalikan mulut kita dan tidak mau menyakiti orang seperti apa tapi dia tidak bisa, kalau dia marah karena melihat kita dan dia melihat kitalah yang sedang berbuat tidak benar atau menjahati dia maka luapan emosinya begitu kuat, tidak ada remnya. Dan sekali lagi poin pertama yang saya katakan, karena dia tidak memunyai pedoman yang jelas jadi lebih semaunya waktu dia meluapkan emosinya.
GS : Kalau akibatnya sampai terluka seperti ini, kita juga harus lebih berhati-hati karena luka yang satu belum sembuh nanti ada lagi luka baru yang ditimbulkan, nanti lama-kelamaan orang tidak tahan, Pak Paul.
PG : Masalahnya walaupun kita bilang tidak tahan, tapi pihak yang sana susah lupa untuk mengerti sebab di matanya kitalah yang menjadi pencetusnya, dia tidak akan mengatakan hal itu kalau kita tidak berbuat apa-apa. Jadi selalu kepada kita lagi semuanya. Karena sekali lagi dia dibesarkan dalam suasana seperti itu dan kritikan dari orang tua begitu kuat, dia susah sekali melihat dirinya sehingga bereaksi terus terhadap kita.
GS : Kalau ini terjadi di dalam pasangan suami istri tentu akan berat kehidupan berumah tangga itu, Pak Paul ?
PG : Berat sekali. Akhirnya kita merasa letih, capek dan putus asa tidak mengerti harus berbuat apa. Semua usaha untuk memerbaiki pernikahan berlalu dengan sia-sia. Kita pun lelah karena terus dituduh sebagai penyebab masalah, tapi kita tidak bisa menjelaskan kepadanya bahwa, “bukan saya, kamu juga ada andilnya" tapi tidak bisa menjelaskan. Dalam kondisi letih dan putus asa memang terbuka lebar keinginan untuk bersikap masa bodoh, kita merasa percuma berusaha dan akhirnya memutuskan untuk lepas tangan.
GS : Tapi kalau begitu masalahnya tidak selesai, Pak Paul ?
PG : Iya, maka kita harus membicarakan apakah ada langkah untuk bisa mengoreksi masalah yang berat ini.
GS : Langkah-langkah apa yang bisa kita ambil untuk menghadapi pasangan atau orang lain yang memang bersikap reaktif seperti itu ?
PG : Oleh karena sikapnya yang reaktif maka tidak bisa tidak pintu masuk ke dalam dirinya harus melalui diri kita, maksud saya adalah dia hanya melihat diri kita, jadi mencoba melihat ke dirinya, jelaskan dari pihaknya, kesalahannya apa biasanya tidak ada hasilnya. Jadi berangkatnya dari diri kita, bila kita misalnya bersikap baik melimpahkannya dengan kasih sayang sesuai kebutuhannya besar kemunginan dia akan memberikan reaksi yang positif. Sebaliknya jika kita akhirnya terpancing malah bersikap kasar atau marah kepadanya maka besar kemungkinan dia pun akan bersikap kasar atau marah kepada kita. Singkat kata, kita harus melakukan perubahan terlebih dahulu sebab dia hanya dapat melihat diri apa adanya bila ia merasa dikasihi oleh kita, makin berlimpah kasih yang diterimanya dari kita, maka makin terbuka hatinya untuk mendengarkan masukan kita. Jadi kita harus menjadi contoh yang positif sebab perlahan tapi pasti dia akan meneladani sikap dan perlakuan kita serta memberikan reaksi yang positif pula.
GS : Apa yang membuat dia sekarang mulai melihat kita, tadinya hanya melihat dirinya sendiri.
PG : Waktu kita bersikap baik, sabar dan kita melimpahkan kasih, karena matanya tertuju kepada kita dan memberikan reaksi terus kepada kita, waktu dia melihat kita sabar dan penuh kasih sayang, yang pertama dia tidak bisa bereaksi negatif, dia tidak punya alasan. Tadi kita sudah bahas bahwa dia itu bereaksi terhadap kita dan melihat kita wajahnya kurang senang dan sebagainya padahalnya kita tidak merasa dan dia bisa berkata kita kurang senang, sehingga dia bereaksi dengan keras kepada kita. Tapi kalau kita terus memberikan sikap yang positif, sabar, lemah lembut, bicara dengan baik-baik penuh kasih sayang. Pertama dia tidak ada alasan memberikan reaksi yang negatif dan yang kedua karena dia sangat dipengaruhi oleh orang di luar dirinya, reaksi orang di luar dirinya, tidak bisa tidak yang positif yang halus yang penuh kasih itu makin masuk ke dalam dirinya, makin menjadi bagian dari hidupnya. Kalau orang bertanya berapa lama ? Itu akan lama, sebab misalkan tadi saya sudah singgung, dia hidup dengan orang tuanya 25 tahun seperti itu, berarti 25 tahun stok yang dia serap yang negatif itu dari orang tuanya, dan sekarang untuk kita mengubahnya mungkin juga butuh waktu bertahun-tahun agar yang positif itu masuk ke dalam dirinya sehingga dia tahu ini baik, ini sabar dan dia mulai belajar untuk mengikuti contoh yang telah kita berikan.
GS : Tapi bagaimana kalau dia punya latar belakang dimana dia melihat ibunya yang tadinya mengalah, sabar tapi malah dianiaya oleh ayahnya, jadi suami dari ibunya, sehingga di dalam dirinya timbul suatu perasaan tidak senang kepada ibunya karena mengalah terus, sehingga menjadi korban dan dia sendiri menjadi korban, reaksinya bisa lain, Pak Paul.
PG : Bisa. Dia bisa-bisa tidak menghargai kita yang berusaha untuk sabar, berusaha untuk mengalah, maka anjuran saya adalah disamping kita sabar dan mengalah ada waktu-waktu tertentu kita benar-benar menorehkan garis yang tegas misalkan kita berkata, “Kamu ini terlalu, jangan sampai melewati batas, saya berusaha untuk sabar selama ini dan kamu tahu saya telah sabar, jadi jangan kamu terus mendesak saya". Ada waktu-waktu kita harus bicara seperti itu, jangan sering-sering bicara karena kalau sering-sering bicara maka hal ini tidak lagi berdampak pada dia. Tapi kalau dia bicara jarang-jarang dan dengan nada yang serius, wajah yang serius maka dia juga bisa melihat kebanyakan kita ini mengalah dan sabar tapi ada saat-saat kita memberi sikap yang tegas kepada dia, biasanya dia akan terima dan dia akan bisa menghormati permintaan kita karena dia mengetahui kita memang serius sekali.
GS : Dan mungkin dia bisa menyimpulkan kita berbeda dengan ibunya.
PG : Betul. Jadi kalau dia melihat kita sungguh-sungguh baik dan sabar penuh kasih sayang, tapi kalau kita terlalu didesak, disudutkan barulah kita bereaksi maka dia akan melihat kalau kita tidak sama dengan ibunya itu.
GS : Kalau kita yang tadinya berusaha untuk mengubah pasangan kita atau orang lain yang bersikap reaktif tapi akhirnya kita yang harus melakukan seperti itu jadi kita yang harus menempatkan diri kita di hadapan dia, ini jadinya kita yang berubah dan bukan orang itu yang berubah.
PG : Tidak mudah memang apalagi kalau kita merasa bahwa masalahnya bukan terletak pada saya, kita sudah bicara dengan orang minta pendapat, kita ini terbuka dengan diri kita kesalahan kita, apa yang harus diperbaiki dan kita mau melihat, tapi orang yang dekat dengan kita mengerti situasi kita dan tahu istri atau suami kita dan mereka berkata, “Tidak, kamu itu sebetulnya tidak salah dia dan dia itu memang bermasalah". Ini makin membuat kita susah untuk berubah atau untuk sabar dan memberikan kasih sayang serta tidak memberikan reaksi yang keras. Sudah tentu kita merasa tidak adil dan mungkin kita berpikir, masa kita yang harus berubah sedangkan dia yang perlu berubah tapi tidak berubah. Tapi sekali lagi untuk menyelesaikan masalah, sikap hidup yang reaktif ini, kita yang harus berubah terlebih dahulu karena dia memberikan reaksi terhadap kita. Kalau kita yang berubah maka dia lebih dimungkinkan untuk berubah. Jadi dengan kata lain, kita coba kaitkan secara rohani, cara Tuhan memerbaiki relasi tidaklah selalu sama dengan apa yang kita harapkan. Tuhan menginginkan kita berubah terlebih dahulu dan lewat perubahan itu Tuhan akan bekerja mengubah pasangan kita pula.
GS : Seringkali memang seperti itu, tapi memang sudah Pak Paul katakan ini tidak adil dan ini berat untuk kita lakukan karena kita tahu yang bermasalah dia, tapi kenapa kita yang harus berubah. Namun kembali lagi kepada kebenaran firman Tuhan bahwa ketika kita merasa tidak mampu Tuhan itu akan memberikan kemampuan kepada kita untuk bisa membuat orang lain berubah.
PG : Dalam relasi kita dengan Tuhan bukankah ini yang terjadi juga, kita ini berdosa kemudian kita datang kepada Tuhan bukan saja Tuhan menjanjikan pengampunan lewat kematian di kayu salib bagi kita, tapi bukankah setelah kita ini bertobat dan kita berbuat dosa, Tuhan malah melimpahkan kasih karunia-Nya kepada kita. Bukan saja Tuhan tidak menghitung kesalahan kita dan bukan saja Dia tidak menghukum kita, tapi Dia malah melimpahi kita dengan kebaikan-Nya. Apa reaksi kita ? Memang ada orang yang kurang tahu diri dan terus saja berbuat dosa, tapi itu lain perkara dan bukan itu yang saya maksud, tapi kebanyakan kita waktu melihat Tuhan baik bukannya menghukum tapi malah mengampuni dan memberikan kasih karunia-Nya kepada kita dan memberkati kita, itu yang akhirnya mengubah kita, itu yang membuat kita akhirnya berkata, “Tuhan begitu baik, Dia begitu menyayangi saya meskipun saya tidak layak dikasihi apalagi diampuni, tapi Dia masih tetap mengampuni, bukan hanya mengampuni malah melimpahkan berkat-Nya kepada kita". Kita tiba-tiba berubah dan berkata, “Sudahlah jangan sampai saya jatuh lagi dan membuat Tuhan terluka" jadi inilah prinsip yang sebetulnya Tuhan ajarkan dalam relasi kita dengan Tuhan, maka Dia juga berharap kita melakukannya dengan orang lain terutama dengan orang yang punya masalah dengan sikap reaktif ini.
GS : Jadi sebenarnya kita harus menyadari bahwa kita pun sedikit atau banyak punya sikap hidup yang reaktif, Pak Paul ?
PG : Terhadap Tuhan terutama.
GS : Untuk mengakhiri perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Saya akan bacakan dari 2 Korintus 9:8, “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan." Dengan kekuatan sendiri kita mungkin merasa tidak sanggup untuk memulai dan terus bersikap baik kepada pasangan maka kita harus datang kepada Tuhan kita Yesus, sumber kasih karunia dan kebajikan, kita harus memintanya setiap hari agar Tuhan melimpahkan kita dengan kebajikan yang berasal dari-Nya. Sebab stok kebajikan yang kita punya itu terbatas dan cepat habisnya, tapi Tuhan punya stok kebajikan yang tidak pernah habis. Jadi kita memintanya lagi, “Tuhan saya tidak punya lagi kebajikan, mengurus ini, berbuat ini dan itu tapi saya tahu Engkau punya stok kebajikan, berikan kepada saya supaya saya bisa berikan lagi kepada pasangan saya."
GS : Memang menghadapi orang-orang yang sulit semacam ini hanya Tuhan yang bisa mengubahkan karena Tuhan yang menciptakan orang itu dan pasti Tuhan punya cara untuk mengubah orang itu demi kebaikan kehidupan kita berkeluarga.
PG : Benar, Pak Gunawan. Jadi kita harus pegang tangan Tuhan dan jangan lepaskan tangan Tuhan dan terus berharap serta bersandar kepada-Nya meskipun kita tidak melihat hasilnya untuk waktu yang begitu lama. Kita sudah berjalan begitu panjang tapi belum memetik buahnya, tapi pegang tangan Tuhan dan jangan pernah lepaskan tangan Tuhan.
GS : Kita percaya bahwa perbicangan kita ini bisa menjadi berkat inspirasi bagi saudara-saudara kita yang mungkin mengalami masalah seperti itu. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Sikap Hidup Reaktif" . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
Comments
atma_ys
Sel, 17/09/2013 - 11:42am
Link permanen
Sayangnya demikian..............