Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Perubahan dalam Pernikahan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
PG : Norman Wright, seorang pakar keluarga di Amerika Serikat menjabarkan beberapa karakteristik yang diperlukan oleh orang yang ingin hidup dalam pernikahan, salah satunya adalah fleksibel.
GS : Melalui pernyataan itu, sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh Norman Wright itu?
PG : Begini Pak Gunawan, hidup bersama menuntut perubahan dan penyesuaian diri. Fleksibel berarti sanggup mengubah diri agar sesuai dengan pengharapan pasangan. Kita tidak bisa senantiasa mengiuti pengharapan pasangan, tapi di pihak lain kita juga tidak bisa menolak pengharapan pasangan sama sekali.
Jadi kalau kita orang yang kurang fleksibel, kita akan menolak permintaan pasangan, kita berkata inilah saya dan saya akan menjadi saya sampai kapan pun. Nah, kalau kita memiliki prinsip seperti itu, ini menandakan kita orang yang kaku dan tidak fleksibel. Nah, ternyata karakteristik fleksibel itu mutlak diperlukan untuk membangun pernikahan. Kalau kita kaku dan tidak fleksibel berarti kita memang kekurangan modal yang besar untuk bisa membangun sebuah pernikahan.
GS : Biasanya justru pada masa pacaran atau sampai awal masa pernikahan, siapapun itu gampang sekali fleksibel di dalam hidup pernikahannya itu. Mengalah, mau menuruti permintaannya, tetapi makin lama fleksibelitasnya itu berkurang, kenapa Pak Paul?
PG : Dari satu sisi kita memandang itu sebagai sesuatu yang wajar Pak Gunawan, jadi pada titik-titik awal dalam relasi kita, kita itu memang cenderung karena ingin memenangkan ya, memenangkan tofi yaitu pasangan kita, kita rela berkorban.
Dengan kata lain kita rela mengabaikan kepentingan, kehendak, keinginan dan selera kita sendiri demi mendapatkan pasangan kita itu, demi mencocok-cocokkan diri dengannya. Nah setelah kita mendapatkan dan setelah relasi itu memasuki jalur yang lebih lurus, dan tidak lagi bergejolak dan bergelora dengan cinta-cinta yang masih hangat, kita itu biasanya mulai berpikir dengan lebih obyektif. Kenapa dulu saya terus mengalah, dulu saya tidak pernah menyuarakan isi hati saya, ah.....sekarang tidak lagi, saya tidak lagi mau mengalah begitu saja, saya akan mencoba berargumen. Atau dulu saya ikuti saja permintaannya tanpa memikirkan dampaknya pada diri saya, tidak ah......sekarang saya mau menghitung-hitung dulu apa dampaknya pada diri saya. Dengan kata lain, memang kita melihat relasi kita dengan lebih oyektif maka dari satu sisi sebetulnya ini adalah sesuatu yang wajar dan baik. Karena relasi kita itu sekarang memasuki fase berikutnya, fase yang lebih realistik. Kalau sebelumnya fase yang penuh dengan fantasi, namun sekarang kita benar-benar hidup dalam realitas, lebih oyektif, lebih jernih, meskipun ada harga yang harus kita bayar. Karena kita lebih memunculkan siapa kita, akibatnya pertengkaran tidak bisa dihindari, kadang-kadang muncul. Tapi sekali lagi kalau kita berhasil mengatasi pertengkaran itu dan berhasil hidup dengan diri kita bersama dengan pasangan kita sehingga kita tidak kehilangan diri 100%, sebetulnya pernikahan kita itu memasuki dimensi yang baru yang lebih kuat dan lebih bisa bertahan untuk waktu yang lama.
GS : Tapi biasanya memang kita itu sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi Pak Paul, dengan berjalannya umur pernikahan kita itu 'kan banyak sekali yang terjadi di sekeliling kita, nah yang terutama perubahan-perubahan seperti apa itu Pak Paul?
PG : Saya bagi perubahan itu dalam dua kategori, yang pertama perubahan internal dan yang kedua perubahan eksternal. Saya akan coba jabarkan beberapa perubahan internal terlebih dahulu. Pertamaadalah perubahan usia, kita makin bertambah tua berarti kita tidaklah semenarik sewaktu kita muda, tubuh kita tidaklah selangsing sewaktu kita muda, kulit kita tidaklah semulus waktu kita masih muda, nah penampilan akhirnya turut menurun.
Ini perubahan, bisa atau tidak kita nanti menatap perubahan ini dan menerimanya. Apakah kita akan lari dari perubahan ini, ataukah kita akan menekan pasangan kita supaya tetap seperti semula ataukah kita fleksibel menerima bahwa inilah pasangan kita. Kita misalkan melihat dulu pasangan kita memang ada sedikitlah bawaan gemuk, tapi belum. Meskipun kita melihat misalkan papanya atau mamanya memang agak gemuk karena bertulang besar, tapi kita selalu berandai-andai bahwa pasangan kita ini tidak akan seperti mamanya atau papanya. Tapi setelah menikah 5 tahun, tiba-tiba kita baru sadar bahwa pasangan kita akan seperti ibu atau bapaknya yang agak gemuk itu, nah apapun yang dilakukannya, dilihat seperti apapun tetap saja bertambah besar. Nah, apa yang kita lakukan? Di sini dibutuhkan fleksibel, terimalah ini memang bagian hidup jangan dipermasalahkan.
GS : Jadi saya rasa yang harus menerima ini bukan hanya pasangannya Pak Paul, yang bersangkutan pun juga harus menerima perubahan yang terjadi itu.
PG : Itu point yang baik sekali, jadi bukan saja pasangan yang menerima perubahan dalam diri kita, kita pun meski berhasil menerimanya. Ada orang yang akhirnya dirundung kemurungan terus-meneru gara-gara perubahan pada tubuhnya itu.
GS : Bahkan tidak jarang karena bertambahnya usia, muncul bermacam-macam penyakit di dalam diri kita itu Pak Paul.
PG : Nah, ini perubahan yang kedua Pak Gunawan, yaitu perubahan kesehatan. Kita tidak makin sehat tapi makin rentan, makin rapuh, kita akhirnya bisa menderita suatu penyakit yang akhirnya memerukan perawatan khusus.
Misalkan diabetes, gara-gara pasangan kita terkena diabetes itu akan mempengaruhi kita. Makanan yang kita sediakan di rumah juga harus disesuaikan dengan dia, dulu pergi makan di luar gampang di mana saja bisa, sekarang harus pilih tempat karena jenis makanan tidak bisa dicicipi oleh pasangan kita. Dulu kita bisa travel jauh-jauh, sekarang karena kondisinya yang kurang prima tidak bisa lagi. Hal-hal seperti itu adalah bagian dari perubahan yang berkaitan dengan kesehatan dan kita juga dituntut untuk menghadapinya.
GS : Ya, kadang-kadang juga sering lupa karena bertambahnya usia, dan itu sangat mempengaruhi hubungan suami-istri Pak Paul.
PG : Betul, betul sekali, misalkan teleponnya itu dipakai oleh pasangannya nanti kita cari ke mana-mana tidak ketemu, karena dia juga lupa taruh di mana. Mau pergi terburu-buru, mana kuncinya, idak ketemu cari kuncinya baru ketemu.
Atau ada janji dengan orang, lupa si pasangannya yang harus mengingatkan, kamu ada janji dengan orang ini dan sudah terlambat. Semua itu memang memancing reaksi kesal atau marah, akhirnya kalau tidak tahan-tahan bisa meledak dan marah. Dan ini adalah hal yang memang harus dilewati.
GS : Apakah juga berpengaruh pada pengambilan keputusan dan sebagainya Pak Paul?
PG : Sering kali ya Pak Gunawan, jadi perubahan internal juga mencakup perubahan cara pikir dan nilai-nilai kehidupan. Kenapa bisa berubah? Karena tempaan kehidupan atau pekerjaan yang kita gelti.
Misalkan dulu kita berpikir yang gampang-gampang saja, praktis-praktis saja tapi sekarang karena pekerjaan kita harus hati-hati dan sebagainya kita mulai berubah, kita tidak sepraktis dulu, kita lebih banyak tanya, mencari informasi, meminta keterangan dan itu bisa mengganggu pasangan kita. Dulu kita lebih spontan, sekarang karena jabatan kita (misalnya kita menjadi orang terhormat) sehingga kita lebih berjaga-jaga jangan sampai orang melihat kita kurang sopan, kurang baik, jadi akhirnya kita kehilangan kespontanan kita. Dulu berani mengambil resiko, berpetualang, sekarang tidak berani lagi. Jadi nilai hidup juga berubah, cara pandang juga bisa berubah. Kita dulu sangat memperhatikan perasaan, namun dalam pekerjaan kita, kita harus menjadi pimpinan, mengatur begitu banyak orang yang mungkin gaya hidupnya berbeda dengan kita, sehingga kita tidak bisa berdialog, memberikan penjelasan, tidak bisa. Dengan bawahan-bawahan kita, kita harus menggunakan pendekatan yang lebih tegas, yang lebih searah, pokoknya ini yang diminta, lakukan. Nah akhirnya setelah bekerja dalam bidang itu selama bertahun-tahun, kita pun mulai terpengaruh, kita pun mulai berubah, di rumah pun kita akhirnya memperlakukan pasangan kita seperti itu. Kamu harus lakukan, jangan berbantah dengan saya dan sebagainya, kalau engkau berbantah artinya engkau tidak menghormati saya. Nah itu perubahan cara pandang kita dan nilai-nilai kehidupan kita.
GS : Itu baru perubahan-perubahan yang terjadi secara internal di dalam diri kita Pak Paul, tadi Pak Paul katakan ada juga perubahan yang terjadi karena faktor eksternal, apa saja itu Pak Paul?
PG : Ada beberapa, yang pertama adalah perubahan lingkungan hidup. Kadang-kadang kita itu harus pindah dari satu daerah ke daerah yang lain, berarti kehilangan dukungan, kehilangan orang-orang ang kita kenal.
Tempat-tempat yang kita kenal, dulu mau rekreasi ke mana tahu sekarang tidak tahu atau dulu ada tempat rekreasi sekarang tidak ada tempat rekreasi. Jadi perubahan lingkungan itu juga akan membawa stres dalam keluarga. Nah ini bagian dalam kehidupan rumah tangga yang harus kita hadapi, tidak bisa tidak. Yang lainnya juga misalkan sedikit banyak berkaitan dengan lingkungan hidup adalah perubahan lingkungan kerja. Kadang-kadang karena kita kerja kita harus bertemu dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda, ini bisa membawa perubahan. Dulu pasangan kita mengenal teman kerja kita, sekarang tidak mengenal. Dulu dia nyaman, percaya pada rekan-rekan kerja sekarang rasanya dia kurang nyaman. Dia mulai tanya ini siapa kok perilakunya seperti ini dan itu, belum lagi kita sendiri juga harus menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru itu, orang-orang yang baru itu. Nah itu membawa perubahan dan stres juga dalam keluarga yang tidak bisa tidak harus kita hadapi.
GS : Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini sering kali membuat orang tiba-tiba kehilangan pekerjaannya atau gaji yang tidak naik dan sebagainya, itu juga merupakan faktor eksternal juga Pak Paul?
PG : Betul sekali, ini yang saya sebut perubahan kwalitas kehidupan. Dulu kita itu di strata yang lebih tinggi sekarang kita turun ke strata yang lebih rendah. Dulu bisa membeli barang-barang yng kita inginkan, sekarang harus menunda dan tidak bisa tidak ini perubahan yang memang menyergap kita dan harus kita hadapi, dan kadang-kadang berat.
Karena hal-hal yang terbiasa kita miliki dengan mudah, sekarang tidak bisa kita miliki dan harus menunggu sampai waktu yang lama agar dapat memilikinya.
GS : Itu biasanya perubahan karena penghasilan yang tadi Pak Paul sebut dengan kwalitas kehidupan, bukankah itu tidak hanya berpengaruh pada diri orang yang mengalami tapi juga pasangannya Pak Paul?
PG : Betul sekali, karena bagaimanapun kita serumah dengan dia. Dulu misalkan kita bisa belikan dia apa sekarang tidak bisa lagi. Dulu dia ingin apa bisa terwujud, sekarang tidak bisa terwujud.Jadi memang itu menimbulkan stres dan memang kalau tidak hati-hati bisa meretakkan relasi kita.
GS : Apakah faktor anak itu juga bisa disebutkan faktor eksternal?
PG : Bisa, jadi di luar dari si suami dan si istri, misalkan masalah anak. Anak-anak yang mulai memberontak, dulu mudah diatur sekarang susah diatur. Atau dalam masa akil baliq, anak-anak ke lur rumah, pergi kuliah atau apa sekarang tinggal kita berdua, itu perubahan lagi.
Dulu gampang mengalihkan fokus kalau misalkan ada apa-apa dengan istri kita atau suami kita ya kita alihkan ke anak. Kita ngobrol-ngobrol dengan anak-anak sampai suasana hati kita reda kembali. Sekarang tidak bisa karena tidak ada anak-anak, berarti pasangan kita harus kita hadapi dengan langsung.
GS : Dengan adanya begitu banyak faktor perubahan di dalam kehidupan suami-istri itu, bagaimana sebenarnya pasangan suami-istri itu harus menghadapi situasi yang sulit ini?
PG : Pertama adalah kita mesti bisa membedakan apakah perubahan ini susuatu yang harus diterima atau dilawan. Misalkan, perubahan bahwa kita itu bertambah tua, saya kira kita harus terima, peruahan fisik kita itu kita harus terima jangan permasalahkan, termasuk perubahan pada pasangan kita yang tidak lagi semenarik dulu.
Terima dan tetap hargai. Tapi ada perubahan yang harus kita lawan, misalkan anak kita menjadi bermasalah sekali, dulunya baik tapi sekarang menjadi bermasalah, mulai keluar malam, mulai menikmati kehidupan di luar rumah, kita harus lawan. Kita tidak membiarkan anak kita terseret arus dibawa oleh kawan-kawannya, hidupnya tidak benar, tidak, kita harus lawan, kita harus menangkan anak kita kembali. Misalkan pasangan kita mulai dekat dengan orang lain, karena di tempat pekerjaannya ada seorang rekannya yang sepertinya suka dengan pasangan kita, kita tidak terima begitu saja, kita mesti melawannya, kita mesti ngomong dengan pasangan kita, kita utarakan kekhawatiran kita, kita sampaikan permintaan kita agar dia tidak lagi atau tidak memberikan angin kepada orang tersebut. Jadi intinya adalah kita mesti bisa membedakan apakah perubahan ini sebagai sesuatu yang harus kita terima ataukah harus kita lawan.
GS : Ada orang yang memang menerima kondisi bahwa dia menjadi lebih tua Pak Paul, sebenarnya dia bisa tampil dengan lebih menarik kalau dia itu masih memperhatikan dan merawat tubuhnya itu dengan benar.
PG : Nah sudah tentu itu betul sekali Pak Gunawan, nah ini masuk ke point berikutnya atau saran berikutnya yaitu hiduplah sesuai fakta. Artinya kita menyesuaikan hidup dengan realitas, tadi PakGunawan munculkan tentang pengaruh usia, kita makin tua memang tubuh kita tidak lagi seprima dulu.
Namun masih ada yang bisa kita lakukan dalam batas yang wajar, misalkan kita berolah raga dengan teratur. Sehingga meskipun tubuh kita menua namun kita tetap tampak segar. Misalkan ada yang ingin memakai alat-alat kosmetik tertentu dalam kadar yang wajar, silakan misalkan itu bisa menambah peluang untuk meremajakan kulit dan sebagainya. Tapi kita hidup sesuai dengan fakta, memang ini faktanya kita ya sudah kita terima, apa yang bisa kita lakukan untuk menguranginya kita lakukan, tapi kita terima ini jangan kita lawan.
GS : Karena kalau berlebihan juga menjadi aneh. Apakah ada saran lain Pak Paul?
PG : Yang lainnya lagi adalah fokuskan perhatian kita pada solusi, bukan pada penyebab problem. Kita tidak lagi memfokuskan pada mengapa, mengapa, mengapa. Perubahan itu kadang-kadang harus ada di luar kemampuan kita kadang-kadang untuk kita bisa menangkisnya.
Nah, daripada menyalah-nyalahkan kenapa begitu, kenapa ini bisa terjadi, kenapa anak kita bisa begini, tidak akan ada habisnya kalau kita hanya memfokuskan pada penyebabnya. Maka saran saya kalau kita sudah tahu penyebabnya apa ya sudah mari kita fokuskan pada solusinya. OK! Sekarang anak kita memberontak, anak kita ini sekarang tidak lagi taat pada kita apa yang menyebabkannya, kita akui, dan mari kita mencari solusinya. Kita berdua mesti berpadu mengatasi si anak, jangan sampai terpecah belah, kita harus meminta bantuan orang, mencari masukan-masukan dan sebagainya. Jadi sekali lagi kita tidak memfokuskan pada yang lampau tapi memfokuskan pada yang di depan kita.
GS : Bagaimana dengan hubungan sosialnya Pak Paul, seseorang yang mengalami perubahan?
PG : Saya kira sebelum terjadi apa-apa, sebelum ada masalah, kita memang harus membangun jaringan persahabatan dengan orang-orang di sekitar kita. Karena kalau sampai ada apa-apa, jaringan pershabatan ini menjadi pendukung kita dan bukankah ini adalah gaya hidup yang sehat ya mempunyai kawan, sahabat, bisa berteman, bisa bercanda ria, bisa pergi bersama, bisa saling curhat.
Nah, itu sebenarnya aset-aset yang kita perlukan dalam hidup ini. Orang yang tidak mempunyai lingkungan yang mendukungnya, dia hidup sendirian dan orang yang hidup sendirian akhirnya cenderung misalnya bisa egois, bisa kurang tahu bagaimana menghadapi kita dan sebagainya. Maka sebagian kita itu memang mempunyai teman-teman dekat, sahabat-sahabat, atau kakak-adik, kerabat yang bisa menjadi bagian dalam hidup kita.
GS : Kalau begitu peran persekutuan itu besar sekali Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, orang yang terpisah dari persekutuan dan hanya hidup sendirian tidak akan bisa memahami orang lain, tidak akan bisa menyesuaikan hidup dengan orang lain, dia hany melihatnya dari kacamata sendiri.
Nah, itu menambah kesulitan waktu menghadapi perubahan-perubahan dalam hidup ini. Ia tidak bisa lagi mendengarkan masukan pasangannya, sebab kehendaknyalah yang dia anggap paling benar.
GS : Ya, tapi juga ada beberapa orang yang memang mengalami kesulitan untuk bergabung di dalam persekutuan Pak Paul. Dengan berbagai alasan, di sana cuma gosip saja, di sana cuma mengeluarkan uang saja.
PG : Nah, sudah tentu kita bisa terlibat, tapi sejauh mana kita terlibat ya kita nanti yang tentukan. Apakah memang itu tempat kita, orang-orangnya cocok dengan kita atau tidak, namun sekali lai yang ingin saya tekankan adalah kita mesti mempunyai teman.
Saya sudah melihat orang-orang yang tidak mempunyai teman, menjalani kehidupannya sampai usia tua, saya lihat mereka bukan tambah bahagia, tambah tidak bahagia. Setiap perubahan bukannya disambut tapi malah dihindari, atau perubahan itu dipaksa untuk tidak ada perubahan, tidak boleh ada perubahan harus sama seperti dulu semuanya. Akhirnya dia menyusahkan orang lain, menyusahkan anak-anak, menyusahkan pasangannya, karena dia sendiri tidak bahagia. Namun kasihan orang-orang yang hidup dengan dia, turut-turut tidak bahagia.
GS : Teman yang terdekat dngan kita kalau kita menikah itu tentu pasangan kita, nah dalam hal ini bagaimana hubungan kita?
PG : Saya kira dari awalnya kita mesti memelihara keterbukaan antara kita dan pasangan kita. Ini modal, modal yang begitu besar dalam rumah tangga kita waktu menghadapi perubahan-perubahan. Kit bisa bicara apa adanya, contoh, anak saya yang paling besar dalam waktu beberapa bulan akan meninggalkan kami pergi studi.
Kami sudah lama membicarakan hal ini saya dan istri saya. Kami menceritakan ketakutan kami, kami menceritakan pengharapan kami, apa nanti ya, bagaimana nanti. Dan kami mulai membicarakannya, bahkan kadang-kadang saya dan istri membicarakan masa di mana kami harus hidup berdua tanpa anak-anak lagi. Apa yang akan kami lakukan nanti, apa yang menjadi ketakutannya, apa yang menjadi kebutuhannya, nah itu mulai kami bicarakan. Sehingga terjalinlah komunikasi yang lebih terbuka antara suami-istri. Sehingga pada waktu perubahan itu harus terjadi, kita sudah terbiasa terbuka. Betapa susahnya dan malangnya pasangan yang tidak bisa terbuka, sehingga waktu perubahan terjadi masing-masing mengunci pintu, malah merenung susah, sendirian. Kadang-kadang kalau tidak tahan lagi menyalahkan, melemparkan tanggung jawab pada pasangannya. Jadi malah merusakkan, bukannya berpadu menghadapi perubahan itu malahan makin mengoyak-ngoyakkan satu sama lain.
GS : Ya, memang perubahan ini sulit dihindari dan tidak mungkin dihindari karena akan terus terjadi di dalam kehidupan ini. Nah dalam hal ini apakah firman Tuhan yang bisa membimbing kita?
PG : Saya bacakan Amsal 10:5, "Siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi; siapa tidur pada waktu panen membuat malu." Memang ini perumpamaan atau tamsil yang beraitan dengan kehidupan agraris, di masa itu memang masa agraris di Israel.
Nah, siapa mengumpulkan pada musim panas, ia berakal budi. Artinya pada musim dingin dia sudah mempunyai cadangan makanan. Tapi orang yang malas-malas tidak mau bekerja pada musim panas, pada musim dingin akan kelaparan. Jadi begitu jugalah dengan kita dalam rumah tangga. Jangan tunggu sampai ada krisis baru mencoba mengharmoniskan relasi kita, selama masih ada umur belum ada apa-apapun, harmoniskan terus, suburkan keterbukaan, kepedulian, saling menolong, suburkan semua itu, sebab itu adalah cadangan. Waktu nanti musim dingin datang kita mempunyai cukup stock untuk bisa bertahan.
GS : Jadi kita tidak perlu lari dan tidak mungkin lari dari perubahan ini, hanya kita perlu mengantisipasinya dengan kebijaksanaan yang firman Tuhan sudah sampaikan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Perubahan dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga menantikan kunjungan Anda ke situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda akan meningkatkan mutu dari rekaman kami. Dan dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.