Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan pedoman untuk mencari pasangan hidup. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami ucapkan selamat menikmati.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kita semua menyadari betapa pentingnya menemukan seorang pendamping atau pasangan hidup yang tepat dan tentunya itu yang diperkenan oleh Tuhan. Tetapi masalah yang sering dihadapi adalah bagaimana kita menemukan pasangan itu. Pada kesempatan ini kami mencoba membantu para pendengar tentunya, karena kita semua sudah berkeluarga, sudah menemukan pasangan hidup itu. Tetapi banyak dari para pendengar itu membutuhkan suatu pedoman kira-kira apa yang bisa dijadikan semacam tolok ukur atau pedoman bimbingan untuk menemukan pasangan hidup itu. Yang pertama-tama adalah mengenai saling kerjasama antara yang satu dengan pasangan yang lain, pertanyaannya adalah apakah kalian itu menolong satu dengan yang lain untuk bertumbuh dan hidup lebih dekat dengan Tuhan, menanggapi pertanyaan seperti ini jawabannya apa, Pak Paul?
PG : Sebelum saya menjawab, saya akan menggarisbawahi apa yang tadi Pak Gunawan sudah sampaikan. Betul sekali Pak Gunawan, bahwa perlu bagi para pemuda-pemudi menyadari hal-hal yang harus meeka perhatikan di dalam memilih pasangan hidup.
Dalam praktek konseling saya berulang kali menemukan kasus-kasus di mana masalahnya adalah masalah yang mereka bawa dari awal pernikahan. Seharusnya hal-hal itu sudah mereka sadari sebelum mereka menginjak ke pernikahan, tapi karena tidak terselesaikan akhirnya mereka harus bergumul dengan masalah yang sama tahun demi tahun. Dan biasanya kalau masalah yang sama terus-menerus menghiasi rumah tangga kita, biasanya makin lama akan makin berakar dan makin susah untuk dibereskan. Maka saya kira yang Pak Gunawan akan tanyakan ini sangat bermanfaat dan mudah-mudahan para pendengar menjadikannya panduan bagi mereka untuk mencari pasangan hidup. Yang pertama tadi apakah waktu kita berpacaran justru kita ini merasa didekatkan dengan Tuhan atau tidak, saya kira itu salah satu pertanyaan yang baik untuk dijadikan tolok ukur. Kalau kita makin hari makin jauh dari Tuhan, karena berpacaran dengan dia, saya berani berkata bahwa itu bukan suatu hubungan yang diperkenankan Tuhan sebab prinsipnya adalah segala hal yang kita lakukan haruslah memuliakan Tuhan. Jadi kalau dalam berpacaran, kita tidak memuliakan Tuhan dengan makin menjauhnya kita dari Tuhan, dapat kita pastikan bahwa hubungan itu bukanlah hubungan yang Tuhan restui. Itu kira-kira jawabannya, Pak Gunawan.
GS : Masalah itu Pak Paul, jadi sebenarnya dengan berpacaran kebanyakan mereka itu rutin saja, seminggu sekali datang ke gereja, pacaranpun seminggu sekali, bukan menjauh tapi rutin, bagaimana kalau begitu Pak Paul?
PG : Kalau rutin tidak apa-apa, yang lebih baik adalah dimana saling menguatkan, saling mendorong, saling membangun sehingga makin hari hubungan ini bertumbuh kepada Tuhan, makin ada ketergatungan kepada Tuhan.
Contoh : Mendorong satu dengan yang lain, saling menguatkan, saling memberikan teguran rohani, memberikan dorongan rohani untuk terus percaya kepada Tuhan, untuk melihat suatu masalah dari sudut Tuhan, untuk melihat apakah hal yang dilakukan itu memuliakan Tuhan atau tidak. Jadi segala hal kalau memang ada dalam suatu hubungan berpacaran saya kira akan memperkokoh kerohanian individu itu. Tapi kalau misalnya salah satu, pacarnya bukan anak Tuhan, dapat kita pastikan hubungan itu tidak akan memuliakan Tuhan dan mereka tidak akan bertemu dalam Tuhan. Sebab yang satunya otomatis tidak akan bisa memberikan dorongan-dorongan rohani kepada pasangannya. Misalkan kalau hari Minggu, yang percaya ke gereja, yang tidak percaya mengajak pacarnya jalan-jalan rekreasi dll. Jadi hal-hal seperti itu bisa menjauhkan orang yang percaya itu dari Tuhan. Maka di Perjanjian Lama dengan jelas Tuhan memerintahkan kepada bangsa Israel untuk tidak menikah dengan bangsa-bangsa yang tidak seiman, karena hati mereka bisa dibawa pergi jauh.
IR : Dan juga dalam pembicaraanpun sangat terbatas ya, Pak Paul?
PG : Otomatis topik rohani tidak bisa lagi mereka bahas.
GS : Padahal di masa pacaran, biasanya banyak berbicara, ya Pak Paul. Tetapi masalahnya adalah apa yang mereka bicarakan. Pak Paul, kembali ke masalah tadi makin dekat dengan Tuhan dan lain sebagainya, biasanya kalau pada masa pacaran itu yang satu menuruti saja kemauan pasangannya, kalau itu menolong mereka untuk makin akrab Pak Paul. Tapi setelah mereka menikah menjadi lain, itu yang seringkali terjadi.
PG : Betul, saya mengingat perkataan James Dobson seorang psikolog dari AS yang mengatakan bahwa sebaiknya hubungan pacaran itu dilandasi oleh dua cinta yang sama, jangan sampai yang satu sagat mencintai dan sangat bergantung pada pasangannya dibandingkan sebaliknya.
Saya kira pasangan seperti itu pasangan yang tidak seimbang, kalau cintanya yang satu melebihi, secara berlebihan dari pasangan yang satunya otomatis kebergantungan sangat kuat sehingga tadi kata Pak Gunawan dia akan cenderung mengikuti kehendak pasangannya untuk menyelamatkan hubungannya itu. Jangan sampai dia kehilangan pacarnya dan itu sangat berbahaya, sebab suatu hubungan nikah haruslah didasari oleh kesetaraan. Di mana dua-duanya itu sama.
GS : Berarti ada panduan lain yang dipakai, apakah selama mereka berpacaran, mereka bisa berbicara dengan enak, Pak Paul, berbicara secara seimbang, itu yang kedua.
PG : Betul, saya kira aspek dalam berkomunikasi sangat penting. Berbicara satu sama lain itu menunjukkan banyak hal, misalnya kesamaan minat. Kalau kita tidak memiliki kesamaan minat susah bcara panjang lebar, kesamaan berpikir, pola pikir yang sama kecenderungan kita untuk bisa berbicara dengan panjang lebar.
Yang berikutnya lagi adalah kemampuan untuk memahami apa yang dibicarakan oleh pasangannya, itu juga ditunjukkan oleh berapa mampunya mereka berbicara sehingga hal-hal itu akan dapat menambah keakraban mereka. Sebab kenyataannya di lapangan, ada pasangan-pasangan yang benar-benar sangat susah berbicara dan kalau ditanya kenapa tidak berbicara, tidak ada yang dibicarakan.
(2) GS : Apakah itu faktor pendidikan, jadi kalau kesenjangan pendidikan itu terlalu jauh mungkin pola mereka berbicara juga akan berbeda?
PG : Faktor pendidikan, faktor IQ akan berpengaruh Pak Gunawan, jadi jangan sampai terlalu berbeda jauh karena kalau terlalu berbeda jauh tidak akan menemukan kesamaan atau titik temu di antra mereka.
GS : Mungkin bisa dijadikan pedoman, semakin banyak perbedaan di antara mereka semakin sulit mereka itu berkomunikasi, Pak?
PG : Betul, semakin sulit mereka mencapai titik temu di dalam komunikasi.
IR : Kemudian kalau mereka itu tidak seiman Pak Paul, di dalam mereka bekerja sama pun akan mengalami banyak kesulitan juga, Pak Paul?
PG : Ya salah satu hal penting yang juga harus menjadi tolok ukur adalah berapa mampunya mereka bekerja sama. Sudah tentu kalau tidak seiman akan membawa dampak dalam kerjasama mereka. Memutskan suatu masalah memerlukan kesamaan nilai-nilai hidup apabila hidupnya sudah berbeda akan mengganggu nantinya dalam memutuskan masalah.
IR : Misal dalam persepuluhan.
PG : Betul sekali, yang satu rela memberikan persepuluhan kepada Tuhan, yang satunya sangat mungkin keberatan. Yang satu ingin melayani Tuhan lebih aktif lagi, yang satunya enggan sekali melpaskan pasangannya ke gereja.
IR : Yang satu mungkin menghalalkan segala cara, yang satunya takut akan Tuhan.
(3) GS : Sebetulnya kalau tadi disinggung tentang kerjasama ya, Pak Paul. Bagaimana pasangan yang baru ini, artinya belum pasangan masih saling menjajaki, kedua pemuda yang sudah berpacaran ini menjalin kerjasamanya. Dalam bentuk apa mereka bisa mulai menjalin kerjasamanya, Pak Paul?
PG : Salah satu wujud kerjasamanya adalah pengambilan keputusan, jadi salah satu hal yang perlu dilihat adalah berapa mampunya mereka mengambil keputusan. Tadi Pak Gunawan sudah singgung adapasangan yang tidak mengalami masalah karena yang satu menuruti secara total kehendak pasangannya.
Sudah tentu hal itu tidak sehat, jadi yang lebih sehat adalah dua-dua harus berani mengemukakan pendapat. Kemudian berikan kesempatan untuk mengambil keputusan bersama, apakah mereka mampu bekerja sama dalam pengambilan keputusan itu, apakah yang mungkin sering timbul justru adalah perbedaan pendapat. Kalau yang sering timbul adalah perbedaan pendapat berarti mereka lulus dalam faktor kebersamaan ini.
GS : Jadi di dalam menghadapi masalah berdua, ya Pak Paul?
PG : Tepat sekali, sebab masalah itu mengundang kita atau bahkan mengharuskan kita mengambil keputusan. Jadi masalah timbul, bagaimana kita harus menghadapinya, keputusan apa yang kita ambil mereka harus mengambilnya berdua.
Saya temukan bahwa banyak orang bisa mengambil keputusan sendiri, tapi sulit mengambil keputusan berdua, akhirnya banyak pasangan yang tidak melalui tahapan yang sehat ini. Mereka mengambil jalan pintas yaitu yang satu memaksakan kehendak dan yang satunya menerima kehendaknya. Nah, seolah-olah kita melihat dari luar aman, tentram, harmonis namun sebetulnya ada unsur keterpaksaan, memang menyelesaikan sedikit, banyak masalah tidak dengan ribut, tetapi ada yang menderita, ada yang tertekan. Yang lebih sehat justru memang mensinkronkan sehingga akhirnya bisa belajar bekerjasama. Memang jauh lebih susah, Pak Gunawan dan Ibu Ida, justru jauh lebih mudah yang satu memaksakan dan yang satunya hanya menuruti.
GS : Otoriter jadinya.
GS : Di dalam berpacaran itu orang tidak lepas dari berekreasi misalnya nonton, shopping ke toko, atau pergi bersama-sama, apakah itu bisa dijadikan pedoman juga, bagaimana dia berekreasi di dalam masa berpacaran itu?
PG : Betul, salah satu tolok ukurnya adalah apakah pasangan itu mampu untuk berekreasi bersama artinya menikmati waktu luang bersama. Jangan sampai pasangan kita itu sangat berbeda dengan kia sehingga benar-benar tidak ada titik temu untuk menikmati hidup bersama.
Misalkan yang satu senangnya nonton bola, yang satu senangnya mendengar lagu-lagu 'rock and role', yang satu senangnya ramai, yang satu senangnya diam di rumah, akhirnya apa yang terjadi tidak pernah menikmati hidup bersama, yang penting bukan memulai kesamaan, yang penting adalah bagaimana mencocokkan diri dalam keperbedaan itu dan saling menghargai perbedaan itu. Waktu saya baru menikah dengan istri saya, kami mempunyai perbedaan yang cukup besar dalam hal menikmati hidup rekreasi ini. Istri saya senang sekali dengan lautan, pantai, saya senang dengan gunung, berbeda sekali itu. Sebab memang tidak banyak yang ada dua-duanya (laut dan gunung), tapi akhirnya setelah menikah belasan tahun sekarang saya menikmati pantai, saya tahu dia suka ke pantai jadi saya juga memberikan waktu untuk pergi ke pantai dan karena memberikan saya kesempatan sering-sering ke pantai lama-lama sangat menikmati pantai dan dia pun lama-lama sangat menikmati pegunungan. Jadi sekali lagi intinya bukan mencari yang persis sama dengan kita, tapi kita mencari yang bisa memahami dan menyesuaikan hidupnya dengan kita.
IR : Juga di dalam berteman ya Pak Paul, kalau mereka itu yang satu seiman yang satu tidak, di dalam bertemanpun juga terbatas. Ada seorang anak remaja yang mempunyai pacar tidak suka dengan teman-teman yang di gereja, itu juga sangat sulit, ya Pak Paul?
PG : Betul sekali Bu Ida, jadi salah satu tolok ukur lain yang perlu kita juga camkan adalah masa pertemanan ini ya, apakah teman-teman kita bisa diterima oleh pasangan kita, apakah kita jug bisa menerima teman-teman pasangan kita.
Acap kali itu memang terjadi. Kalau memang ada perbedaan iman, sebab yang satu biasa bermain, bergaul dengan teman-teman di gereja, yang satu mungkin tidak merasa cocok dengan teman-teman di gereja karena percakapannya pun, tadi sudah kita bahas, akan berbeda pula sehingga tidak ada titik temu dan mungkin pasangan yang satunya merasa orang asing di tengah-tengah teman-teman orang gereja. Sebaliknya yang memang orang percaya juga mungkin tidak nyaman kalau temannya membawa dia ke disko, night club. Sebab itu bukan jiwanya, nah orang yang berpacaran harus melihat faktor ini, kadang mereka berkata tidak apa-apa yang paling penting kita berdua, bisa hidup berdua. Kita yang sudah menikah menyadari bahwa kita hidup di tengah-tengah masyarakat dan tidak bisa lepas dari orang lain yaitu teman-teman kita sendiri, jadi penting kita bertanya dapatkah pasangan kita masuk dalam lingkungan, diterima oleh teman-teman kita dan sebaliknya.
GS : Tapi bila kedua orang ini memang mempunyai latar belakang berbeda, pasti teman-teman mereka berbeda sekali, Pak Paul?
PG : Betul, yang penting bukan lagi kesamaan teman, tapi bisa menerima tidak, bisa mencocokkan diri atau tidak? Pasti akan bertemu dengan sekelompok teman yang baru, tapi bisa tidak masuk daam kesamaan iman misalnya sama-sama orang percaya dia akan mudah masuk ke dalam satu kelompok bersama orang Kristen.
Faktor itu memang sangat penting.
GS : Berarti misalnya yang pria suatu saat harus mengajak calonnya, anak gadis ini untuk memperkenalkan kepada sahabat-sahabatnya.
PG : Betul, sebab pendapat saya, siapa teman-teman kita sebetulnya mencerminkan siapa kita, siapa yang kita pilih menjadi sahabat kita sedikit banyak mencerminkan siapa diri kita. Jadi seseoang itu harus melihat dengan jelas siapakah teman-teman pasangannya karena itu mencerminkan siapa dia.
Misalnya teman-temannya ini benar-benar orang yang hidupnya tidak benar, brengsek dan lain sebagainya tapi ia mengaku dia hidupnya benar, mungkin sekali dia hidupnya benar tapi kalau dia bersahabat dengan orang-orang yang seperti itu, yang brengsek, sedikit banyak mencerminkan siapa dia bahwa dia masih menyenangi kehidupan seperti itu. Dia harus melihat apakah cocok misalnya teman-temannya adalah orang yang pulang kerja suka main ke night club atau karaoke dsb. Nah dia harus melihat apakah dia mau hidup dalam lingkungan yang seperti itu, karena pada akhirnya dia tidak bisa memisahkan pasangannya dari lingkup teman-temannya.
GS : Kalau itu yang terjadi, ya Pak Paul, apakah tidak sulit pasangan ini, apakah mereka harus memutuskan hubungan, Pak Paul?
PG : Saya kira kalau sampai mempengaruhi mereka, sampai benar-benar mereka tidak bisa masuk ke dalam lingkup sosial, pasangannya harus berani karena itu pertanda sebetulnya, meskipun tidak nmpak, mereka itu tidak cocok, tapi secara permukaan tampaknya cocok.
Saya mengenal seseorang yang kuat dalam Tuhan, tapi akhirnya menyukai seorang pria, teman yang bukan dalam Tuhan. Akhirnya dia bersedia untuk menguji coba apakah dia cocok dengan pasangannya ini. Kebetulan pasangannya yang tidak seiman tinggal di kota yang lain. Jadi dia memutuskan untuk pergi ke kota di mana pria itu tinggal, tidak tinggal bersama dengan pria itu tapi tinggal dengan temannya yang lain dan dia mengunjungi pria itu selama seminggu atau dua minggu. Di situ dia baru melihat gaya hidup temannya itu yaitu pulang kerja tidak ke rumah, pulang kerja main-main dulu ke night club sampai malam jam 11, 12 malam baru pulang ke rumah. Nah melihat gaya hidup seperti itu, dia pulang kembali ke kotanya dengan suatu keputusan yang sangat jelas, dia harus putus.
GS : Berarti ikatan pertemanan itu memang kuat ya.
GS : Bagaimana dengan ini Pak, terhadap perasaan pasangan kita itu juga dipakai sebagai pedoman. Bagaimana kita itu bangga, atau merasa kecewa, atau malu dengan pasangannya 'kan bisa begitu, Pak Paul?
PG : Prinsipnya adalah kita berpasangan dengan orang yang bisa kita presentasikan ke hadapan orang lain. Kita tidak bisa berpasangan dengan seseorang yang ingin kita sembunyikan dari khalaya ramai karena merasa malu.
Kita harus memiliki kebanggaan waktu bersanding dengan dia, untuk jalan dengan dia, dan mempresentasikan dia di hadapan lingkungan kita, teman-teman, keluarga dan lain-lain. Tidak sehat sekali kalau belum menikah kita sudah merasa malu berjalan dengan dia dan menyembunyikan dia.
GS : Itu tentu berbeda pada awal masa mereka berpacaran, Pak Paul. Biasanya pada awal- awal mereka berpacaran justru disembunyikan entah mau membuat kejutan atau apa, tetapi ada perasaan begitu, Pak Paul?
GS : Pada awal-awalnya begitu tetapi itu tidak boleh berlanjut, jadi ada saatnya kita harus berani mempresentasikan.
PG : Sebab kalau kita sampai malu, maka yang terjadi adalah kita akan menjadikan hubungan kita ini tidak seimbang. Hubungan kita ini nomor satu akan menjadi terlalu eksklusif, kalau kita hana berani berduaan di luar khalayak ramai.
Yang lebih serius lagi adalah kita tidak berani mempresentasikan dia di depan orang lain, karena sebetulnya kita menyadari banyak hal tentang dirinya yang tidak dapat diterima oleh orang dan sebetulnya kita pun tidak bisa menerimanya. Sebab kalau kita bisa menerimanya kita akan berani berjalan dengan dia, masalahnya walaupun tidak nampak dengan jelas, ya kita sendiri tidak terima, kita sendiri tidak suka akan hal itu. Jadi dengan perkataan lain, kita harus memilih orang yang bisa kita terima dan kita tidak malu menerimanya, itu penting sekali.
GS : Artinya kita harus menemukan sesuatu yang bisa membuat kita bangga terhadap calon ini?
PG : Betul, dia tidak harus menjadi orang yang paling tampan atau paling cantik, tapi yang penting kita tidak malu berjalan dengan dia dan kita tidak malu dikenal sebagai suami atau istrinyananti.
GS : Ada banyak hal ya Pak Paul, yang bisa menjadikan orang bangga terhadap pasangannya?
PG : Betul, bisa kualitas kehidupannya, bisa juga status sosialnya, macam-macam itu, bisa keterampilannya.
(4) IR : Kalau ada seorang pemuda yang juga mengalami seperti itu, sebetulnya ia sadar bahwa dia itu tidak cocok, malu untuk memperkenalkan. Dia merasa tidak di terima oleh teman-temannya atau keluarganya, tapi karena cintanya terlalu kuat rasanya mereka itu sulit untuk memutuskan?
PG : Betul, justru itu adalah hubungan yang tidak sehat, tapi sangat sulit untuk bisa lepas antara satu sama lain, karena apa? Karena dia tidak bisa mempresentasikan pasangannya di hadapan oang-orang.
Mereka berdua menjadi orang yang sangat saling bergantung pada satu sama lain. Seolah-olah kebutuhan mereka tidak bisa dipenuhi oleh orang lain, hanya oleh pasangannya. Ini berbahaya, sebab kita harus menyadari bahwa setelah kita menikah, pasangan kita tidak bisa memenuhi setiap kebutuhan kita, tidak realistis dan kalaupun itu terjadi sangat membebani pasangan kita. Kita menjadi seperti orang yang benar-benar bersandar sepenuhnya kepada pasangan kita. Itu tidak sehat sebab tidak memberikan kepada pasangan kita kesempatan untuk bergerak. Ini yang bahaya sebab hubungan itu menjadi sangat eksklusif, sangat bergantung pada satu sama lain, sehingga tidak bisa menerima masukan-masukan, membuka diri terhadap masukan orang lain.
GS : Tapi kadang-kadang pasangan seperti ini atau calon suami istri seperti ini, kadang- kadang mengatakan yang penting kita berdua, orang lain bisa kita atur nanti, alasannya seperti itu, apakah hal itu bisa kita terima untuk melandasi suatu pernikahan yang sehat?
PG : Sama sekali tidak. Sebetulnya kita menyadari kita hidup di tengah-tengah orang lain kita harus berelasi dengan orang lain. Betapa banyaknya kita melihat hal seperti itu sekarang, misalna dia seolah-olah merasa cocok dengan istrinya, tetapi istrinya tidak bisa cocok dengan satu manusia pun di luar atau suaminya tidak bisa cocok dengan satu manusia pun di luar.
Setiap kali berkumpul dengan orang, selalu ribut, selalu tidak cocok dan sebagainya. Nah siapa yang menderita? Pasangan kita, dia tidak cocok dengan orang tuanya, dengan adik iparnyalah, yang menderita adalah pasangan itu sendiri.
IR : Nanti kalau sudah menikah baru menyesal, begitu ya Pak Paul?
PG : Seringnya begitu, sudah terlambat.
GS : Jadi begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang harus diajukan untuk mengintrospeksi, yang bisa dijadikan pedoman, khususnya bagi pasangan-pasangan yang merintis hubungan pernikahan mereka. Tetapi yang terpenting, pasti adalah berpedomankan pada firman Tuhan, itu yang jelas bisa memberikan petunjuk bagi kita. Mungkin sebelum kita mengakhiri bagian ini, Pak Paul akan menyampaikan sebagian firman Tuhan.
PG : Saya akan bacakan Yakobus 1 : 5. "Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah yang memberikan kepada semua orang denga murah hati dan tidak membangkit-bangkit maka hal itu akan diberikan kepadanya."
Saya sering menasihati orang yang sedang berpacaran bahwa salah satu doa yang harus mereka panjatkan, minta kepadaTuhan adalah hikmat, hikmat untuk bisa melihat. Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang tadi Pak Gunawan dan Ibu Ida ajukan adalah pertanyaan yang baik dan seringkali terpikirkan oleh banyak pasangan, tapi mereka tidak bisa melihat jawabannya karena mata mereka kabur, seolah-olah terbutakan oleh amuk cinta. Jadi mintalah hikmat sehingga hikmat itu bisa menjernihkan mata mereka agar mereka dapat melihat dengan jelas jawaban-jawaban dari semua pertanyaan yang tadi Ibu Ida dan Pak Gunawan tanyakan.
GS : Dan jawaban itu datang dari Tuhan.
PG : Dan Tuhan akan membisikkan jawaban-jawaban itu.
GS : Namun demikian masih banyak Pak Paul pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan, jadi nanti kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang, semoga ini akan lebih membantu lagi karena seperti yang tadi Pak Paul katakan mengajukan pertanyaan mungkin ada, tetapi jawabannya yang mereka butuhkan. Namun, untuk kali ini kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan tentang pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa dijadikan pedoman untuk mencari pasangan hidup dan pembicaraan ini telah kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran serta pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dari studio kami bertiga mengucapkan sampai jumpa di acara TELAGA yang akan datang.
PERTANYAAN KASET T 40 A
- Hal apakah yang perlu diperhatikan dalam memilih pasangan hidup?
- Apakah faktor pendidikan juga berpengaruh terhadap pola komunikasi mereka?
- Dalam bentuk-bentuk apakah pasangan pemuda-pemudi yang berpacaran ini bisa menjalin suatu kerja sama?
- Bagaimana dengan perasaan bangga, kecewa, atau malu terhadap pasangan sehubungan dengan pengakuan kita di depan khalayak ramai?
- Seorang pemuda malu untuk memperkenalkan pasangannya di depan umum, namun dia juga sangat mencintai dan sulit untuk memutuskannya, nah dalam kasus seperti ini kondisi apa yang sedang terjadi?