GS | : | Pak Paul, rupanya ada banyak motivasi seseorang menikah atau alasan mengapa dia menikah. Tetapi di hadapan Tuhan tentunya ada satu motivasi yang jelas, ada suatu alasan yang jelas kenapa Tuhan memertemukan seorang pria dan seorang wanita lalu menjodohkannya menjadi suami istri. Tetapi apa tanggungjawab kita sebagai manusia, sebagai anak-anak tebusan Tuhan ? |
PG | : | Memang betul yang Pak Gunawan katakan, kita ini hidup bukan lagi untuk diri kita dan kita tidak lagi memandang hidup dari kacamata kita, kita harus memandangnya dari kacamata Tuhan. Coba kita sekarang sejenak membahas tentang pernikahan. Sebetulnya di mata Tuhan untuk apakah pernikahan itu ? Kalau kita baca di Efesus 1:5, 6, 12 firman Tuhan berkata, "Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya. supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya." Karena kasih dan di dalam kasih Tuhan telah menetapkan kita menjadi anak-anak-Nya, jalan yang digunakan Tuhan untuk menjadikan kita anak-anak-Nya adalah jalan pengorbanan yakni Yesus anak Allah turun menjadi manusia dan akhirnya mati bagi dosa-dosa kita. Perbuatan Allah yang mulia ini layak menerima puji-pujian dari kita yang telah menerima kebaikan dan kasih karunia-Nya, itu sebabnya segenap hidup kita seyogianyalah menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. Bila hidup kita harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya sudah selayaknyalah pernikahan kita pun menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. |
GS | : | Tapi pada umumnya kalau ada pasangan yang akan menikah, kepada mereka ditanyakan, "Apa tujuan kamu menikah ?" maka jawabnya, "Untuk hidup bahagia sebagai suami istri, tentunya untuk hidup bahagia", apakah itu sudah cukup untuk menjawab pertanyaan atau permintaan Tuhan tadi bahwa kita harus hidup memuliakan nama Tuhan, Pak Paul ? |
PG | : | Kalau kita menjawab kita menikah agar kita bahagia atau kita ini menikah agar bisa menyambung keturunan atau agar bisa membagi hidup dengan satu sama lain, sudah tentu itu bukan jawaban yang salah tapi itu bukanlah jawaban yang lengkap. Sebab tujuan Tuhan memberikan kepada kita kesempatan untuk menikah, sekali lagi itu adalah sebagai kesempatan yang Tuhan berikan kepada kita untuk memuliakan-Nya, menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya, seluruh hidup kita untuk kemuliaan-Nya dan termasuk di dalamnya adalah pernikahan. Jadi bagi siapa yang hendak menikah hendaklah memunyai konsep ini bahwa kita menikah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. |
GS | : | Kalau begitu tujuan yang begitu mulia tentu harus ada prasyarat yang harus di penuhi oleh kedua orang itu supaya bisa mencapai target yang Tuhan tentukan. |
PG | : | Tepat sekali. Jadi sekurang-kurangnya ada dua yang bisa saya bagikan, bagaimanakah pernikahan bisa menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Yang pertama adalah ketaatan kepada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup. Kita harus mengutamakan kehendak Tuhan sewaktu memutuskan siapakah yang akan kita pilih untuk menjadi suami dan istri kita. Pada dasarnya pergumulan ketaatan adalah pergumulan antara melakukan apa yang kita anggap baik dan melakukan apa yang Tuhan anggap baik. Mungkin saja orang ini baik dan cocok dengan kita, mungkin ia menyayangi kita dan selalu memikirkan apa yang terbaik bagi kita, namun ia tidak seiman dan tidak memercayai Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Dalam situasi seperti inilah ketaatan mendapatkan ujiannya, apakah kita akan terus menerobos rambu yang diberikan Tuhan ataukah kita menaatinya. Pada akhirnya keputusan apa pun yang diambil bergantung pada, apakah kita dapat berkata bahwa perintah Tuhan itu adalah sempurna dan baik buat kita. Jika kita bisa berkata bahwa perintah Tuhan itu sempurna, itu berarti tidak ada lagi hal yang lebih baik atau yang lebih benar daripada perintah Tuhan. Singkat kata, kalau kita berkata perintah Tuhan sempurna maka kita harus mengakui kalau perintah itu adalah hal yang terbaik yang dapat terjadi dalam hidup ini, tidak ada suatu hal pun yang lebih baik dari perintah Tuhan. Seperti kita ketahui di 1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14 firman Tuhan dengan jelas berkata, "ia bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya asalkan orang itu adalah orang yang percaya, janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya". Bila kita meyakini bahwa perintah Allah adalah sempurna, itu berarti tidak ada yang lebih baik lagi dari pada perintah Allah. Jadi sebaik apa pun orang itu dan sebaik apa pun pernikahan kita dengannya, tetap itu bukanlah yang terbaik di mata Tuhan. |
GS | : | Tapi seringkali orang mengatakan bahwa banyak contohnya pasangan-pasangan yang seiman pun yang dilihat hanya segereja, atau sama-sama orang Kristen tapi hidup pernikahannya tidak terlihat baik dan tidak memberikan kesaksian yang baik, Pak Paul. |
PG | : | Memang ini sesuatu yang disayangkan sebab ada orang-orang yang menikah yang tidak memilih dengan baik sehingga tidak memerhatikan hal-hal lain di luar kesamaan iman, menggampangkan pernikahan dan beranggapan nanti bisa diselesaikan, padahal setelah menikah tidak bisa menyelesaikannya sehingga justru tidak menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan malahan menjadi batu sandungan dan orang akan berkata, "Lihat pernikahan orang Kristen seperti itu dan tidak saling bicara satu sama lain" ini memang bisa terjadi karena kita tidak sempurna dan adakalanya kita tidak memerhatikan hal-hal yang lain itu atau adakalanya kita sendiri belum selesai dibentuk Tuhan sehingga ada kekerasan hati, ada hal yang harus kita akui dan belum kita akui, kita harus minta maaf tapi tidak minta maaf, jadi akhirnya pernikahan kita tidak baik dan akhirnya orang juga akan berkata, "Lihat orang Kristen, pernikahannya seperti itu". |
GS | : | Malah mereka bisa mengajukan contoh pasangan-pasangan lain yang tidak seiman tapi dari luar kelihatan harmonis sekali. |
PG | : | Betul dan sudah tentu banyak pasangan yang hidupnya sangat baik dan harmonis meskipun mereka bukanlah orang-orang yang memeluk iman yang sama dengan kita, atau oleh orang yang memiliki keyakinan yang berbeda antara suami dan istrinya tapi bisa saja mereka hidup dengan harmonis. Memang semua itu dimungkinkan sebab pernikahan tidak bergantung pada satu faktor saja yaitu iman. Tidak, pernikahan bergantung pada banyak faktor lain, tapi tetap kesamaan iman adalah sesuatu yang diminta oleh Tuhan, kita tidak menciptakan peraturan ini dan gereja juga tidak menciptakan peraturan ini. Jadi kita mendasarinya atas perintah Tuhan itu sendiri. Jadi kalau kita berkata perintah Tuhan itu adalah sempurna berarti memang tidak ada lagi yang lebih baik dari perintah itu, kita tidak bisa berkata, "Tidak mengapa sebab ini juga baik", tidak ! Perintah Tuhan mencerminkan sesuatu yang sempurna dan sesuatu yang paling baik. Jadi tidak ada pilihan lain yang lebih baik atau sama baiknya dengan apa yang Tuhan telah perintahkan. |
GS | : | Jadi kehidupan harmonis di dalam satu keluarga bukan tujuan utama dari pernikahan di mata Tuhan, begitu Pak Paul ? |
PG | : | Tepat sekali. Jadi tujuan pernikahan bukanlah supaya kita hidup harmonis, sudah tentu bagaimana kita hidup akan sangat berpengaruh. Tapi tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan sebab hidup kita secara keseluruhan adalah untuk menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Apapun yang kita lakukan termasuk pernikahan kita juga harus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. |
GS | : | Jadi kalau kita memulai pernikahan dengan kondisi yang tidak seiman, itu sebenarnya menjadi sulit untuk memenuhi target yang Tuhan tetapkan itu. |
PG | : | Betul. Sebab kita sudah langsung memulai dengan pelanggaran terhadap perintah Tuhan dan bagaimanakah kita bisa berkata bahwa "kita memuliakan Tuhan meskipun kita sudah melanggar firman Tuhan", itu tidak mungkin. Jadi tidak bisa kita melakukan kedua-duanya, yaitu melanggar kehendak Tuhan sekaligus menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, tidak bisa seperti itu. |
GS | : | Jadi selain kita harus taat pada kehendak Tuhan dalam pemilihan pasangan hidup, kita perlu hal apa lagi, Pak Paul ? |
PG | : | Kita juga perlu kalau kita mau menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, "menaati kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan itu". Jadi bukan hanya dalam pemilihan pasangan hidup, kita menaati Tuhan, tapi juga dalam menjalani hidup ini sendiri. Adakalanya kita mengidentikkan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan dengan kegiatan pelayanan. Ini yang seringkali kita lakukan, "Ini memuliakan Tuhan, ini memuliakan Tuhan" kenapa ? Karena suami menjadi majelis, istrinya menjadi pengurus Komisi Wanita dan anak-anaknya pelayanan di Sekolah Minggu dan sebagainya. Sudah tentu itu semua hal yang baik tapi sebetulnya bukan itu, kita harus menyadari bahwa terpenting bukanlah kegiatan melainkan ketaatan, selalu ukurannya itu dari Tuhan sebab kita bisa giat dalam pelayanan tapi belum tentu kita bisa taat dalam pelayanan. Jadi meskipun ada banyak hal yang dapat menjadi ajang pembuktian, tetap ujung-ujungnya adalah ketaatan kepada Tuhan yang akhirnya menjadi ujian bagaimanakah kita menjalani hidup ini, makin taat kepada kehendak Tuhan dalam menjalani hidup pernikahan maka makin pernikahan kita membawa puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. |
GS | : | Tapi kalau kita melayani, itu adalah suatu bentuk ketaatan kita kepada Tuhan bukankah Tuhan juga menghendaki anak-anak-Nya untuk melayani, Pak Paul ? |
PG | : | Betul. Sudah tentu itu adalah hal yang mulia namun kita harus akui bahwa mungkin dari semua hal yang bisa kita kerjakan untuk memerlihatkan ketaatan kita kepada Tuhan, mungkin keterlibatan kita dalam pelayanan seperti yang pernah kita lihat dia menyanyi, menjadi majelis, itu adalah sesuatu yang mudah, yang paling susah adalah kita membuktikan ketaatan kita misalnya sewaktu kita ini diminta Tuhan untuk menolong seseorang, relakah kita menolongnya dan mengeluarkan uang untuk menolong orang itu. Misalkan waktu Tuhan meminta kita untuk meminta maaf kepada pasangan atau anak kita, apakah kita rela meminta maaf ? Jadi ketaatan yang seperti itulah yang sebetulnya menjadi bukti bahwa kita sungguh-sungguh hidup untuk memuliakan Tuhan. |
GS | : | Secara konkret apa yang bisa kita lakukan untuk membuktikan kalau kita taat kepada Tuhan, Pak Paul ? |
PG | : | Ada banyak. Jadi saya akan gunakan prinsipnya saja. Yang pertama adalah apa yang kita perbuat tatkala apa yang diinginkan tidak didapatkan. Pada umumnya kita membawa banyak pengharapan masuk ke dalam pernikahan, baik itu berkenaan dengan diri sendiri atau pasangan kita, anak atau pun target dalam karier. Kadang kita dapat meraihnya, kadang juga tidak. apa yang kita lakukan tatkala apa yang diinginkan tidak didapatkan memerlihatkan seberapa besar ketaatan kita pada kehendak Tuhan. Sebagai contoh, ada yang marah dan menyalahkan pasangan sebab apa yang diinginkan tidak didapatkan. Ada yang menyalahkan lingkungan karena apa yang diinginkan tidak didapatkan. Ada yang menyalahkan diri sendiri, ada yang menarik diri dari pasangan, ada yang menarik diri dari lingkungan dan ada yang menarik diri dari persekutuan. Itu adalah beberapa contoh, apa yang kadang kita lakukan tatkala apa yang kita inginkan tidak kita dapati. Sesungguhnya pada saat seperti itu ketaatan kepada kehendak Tuhan tengah mengalami ujian, apakah kita akan menuruti keinginan sendiri ataukah kita akan menuruti kehendak Tuhan, apakah kita mencoba berdamai dengan pasangan untuk sesuatu yang kita inginkan tidak kita dapatkan, atau kita menolak untuk berdamai dengannya. Ini semua merupakan ajang untuk membuktikan ketaatan kita kepada Tuhan dan inilah yang akan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. Jadi dalam keadaan yang sulit yang seperti inilah ketaatan mendapatkan tempaan yang keras. Jika kita menyerah menuruti keinginan diri sendiri maka kita akan keluar dari ketaatan dan begitu keluar dari ketaatan maka kita makin menjauh dari kehidupan yang membawa kemuliaan bagi Tuhan, sebaliknya kalau kita memutuskan taat kepada kehendak Tuhan dan melakukan apa yang diinginkan-Nya maka kita akan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. |
GS | : | Seringkali salah satu dari pasangan mau taat dan menerima bahwa Tuhan tidak memberikan sesuatu kepada kita yang kita inginkan, tapi pasangannya justru yang tidak bisa melihat itu dan ikut mengajak memengaruhi kita dan marah-marah atau bahkan marah bukan hanya pada lingkungan tapi juga kepada Tuhan. |
PG | : | Betul. Jadi kadang kita menikah dengan seseorang yang tidak sebanding atau sematang kita secara rohani sehingga waktu menghadapi masalah atau kesulitan, bukannya ketaatan kepada Tuhan dan bukannya cara Tuhan yang digunakan untuk menghadapi itu tapi dirinya sendiri yang akan menjadi tolok ukur, apa yang dia inginkan dia lakukan. Kalau misalkan kita bersama dengan pasangan yang seperti itu, maka yang pertama kita harus bersama dengan dia dan bicara baik-baik dan jelaskan kalau ini yang Tuhan kehendaki dalam situasi seperti ini dan sebaiknya kita tidak melakukan ini dan itu karena bukan ini yang Tuhan kehendaki. Jadi kita mencoba bicara dan kita ingatkan bagaimana cara yang baik untuk menyelesaikan masalah kita yaitu dengan cara Tuhan. |
GS | : | Saya teringat akan Ayub. Waktu Ayub menderita justru istrinya mengajarkan agar Ayub meninggalkan Tuhan bahkan menghujat Tuhan. |
PG | : | Betul sekali. Ayub tidak terpengaruh istrinya dan berani untuk bertentangan dengan istrinya karena Ayub tidak mau berdosa kepada Tuhan. Jadi waktu istrinya dalam keadaan yang sangat tertekan melihat harta dan anaknya semua habis, memang istrinya tidak tahan lagi dan malah meminta Ayub untuk mengutuk Tuhan tapi Ayub tidak melakukan itu dan Ayub tahu bahwa Tuhan sudah memberikan kepada saya dan kalau sekarang mau diambil maka saya terima. Jadi kalau kita berada dalam situasi seperti itu maka ingatlah untuk tetap berdiri teguh di dalam kehendak Tuhan. Kadang kita sebagai seseorang anak Tuhan yang mau menaati Tuhan, kita akan kesepian bukan saja kesepian di luar tapi kesepian dalam keluarga sendiri. Saya ingat buku yang sangat populer Perjalanan Seorang Musafir, buku itu ditulis oleh John Bunyan. Si Christian, tokoh yang ada dalam buku itu, pada awalnya cerita itu dikisahkan dia harus meninggalkan keluarganya untuk menuju kota surgawi itu, sebab keluarganya tidak mendukung dan tidak mengerti dan membiarkan dia untuk pergi sendirian. Jadi kadang-kadang kita harus berani untuk berdiri teguh meskipun kita harus kesepian juga dalam rumah sendiri. |
GS | : | Tetapi di sana kelihatan bahwa kematangan iman antara Ayub dan istrinya berbeda sekali walaupun katakan mereka berdua seiman. Dan ini seringkali menjadi masalah di dalam rumah tangga. |
PG | : | Setuju, memang tidak selalu iman kita sama kuatnya. Kadang-kadang kita mesti menyadari kita kuat dalam hal tertentu, lemah dalam hal tertentu. Adakalanya pasangan kita juga seperti itu, dia kuat dalam hal tertentu, dia lemah dalam hal tertentu. Saya seringkali beranggapan saya lebih dewasa dan matang secara rohani dari pada istri saya, tapi saya menyadari dalam hal tertentu yang kami hadapi misalkan waktu kami menghadapi apa yang dilakukan oleh anak kami sekarang ini, meninggalkan Tuhan. Kami bergumul berat sekali, tapi yang saya lihat istri saya kuat dan seringkali justru yang memberikan penghiburan, memberikan firman Tuhan yang dibacanya dan tetap dia masih bisa berfungsi, melayani dan berusaha untuk seceria mungkin. Saya sering berkata kepadanya, "Saya kagum kamu kuat, dan kamu justru lebih kuat dari saya". Mungkin dalam hal lain saya lebih kuat, tapi untuk hal tertentu istri saya lebih kuat juga. |
GS | : | Cara lain untuk membuktikan kalau kita memang taat kepada kehendak Tuhan apa, Pak Paul ? |
PG | : | Kita harus bertanya apa yang kita perbuat atas nama kasih. Pada umumnya kita semua mengklaim bahwa kita mengasihi keluarga dan pasangan serta anak-anak. Dan atas nama kasih kita melakukan banyak hal untuk mereka. Pertanyaannya adalah apakah kita bersedia untuk berkorban demi mereka. Sesungguhnya kita baru dapat berkata bahwa kita mengasihi mereka tatkala kita bersedia mengedepankan kepentingan mereka dan mengorbankan kepentingan sendiri. Jadi ujian kasih bukanlah terletak pada seberapa besar nilai yang diberikan, melainkan pada seberapa besar pengorbanan yang diberikan. |
GS | : | Pengorbanan yang bapak maksudkan apa, Pak Paul ? |
PG | : | Pengorbanan yang saya maksudkan adalah kerelaan untuk menomorduakan kepentingan kita dan menomorsatukan kepentingan pasangan dan anak-anak kita. Jadi misalnya kalau kita tahu bahwa kalau saya pindah kota, saya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, promosi yang saya idam-idamkan tapi kita tahu bahwa anak-anak, istri atau suami sudah mapan dan senang di sini banyak teman dan sebagainya. Kita harus memertimbangkan mereka. Saya tidak berkata bahwa selalu dalam kondisi seperti ini kita harus meninggalkan impian kita, tidak ! Kadang-kadang kita bisa berdiskusi dan sehati untuk pindah ke kota yang baru itu. Namun mesti ada kesediaan dalam hati kita untuk berkata, "Sebetulnya ini yang saya inginkan, ini kesempatan buat saya untuk mendapatkan promosi yang saya inginkan, tapi saya lihat kalau saya pindah, anak-anak harus dicabut dari lingkungannya, kamu juga akan susah dan kehilangan teman-teman dan sebagainya maka akan saya korbankan kepentingan saya supaya keluarga bisa tetap menikmati hidup di sini". Itu pengorbanan yang saya maksud. Jadi waktu kita berbicara tentang pernikahan menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan, saya mau soroti ketaatan, ketaatan dalam hal seperti ini. Ini akan menjadikan pernikahan kita sebagai puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan. |
GS | : | Tapi kalau kita yakin apa yang kita lakukan benar dan membawa kebaikan bagi segenap keluarga, maka kita harus menjelaskan kepada pasangan kita maupun kepada anak-anak kita bahwa apa yang kita lakukan ini benar. |
PG | : | Sudah tentu kadang kita juga harus dengan tegas berkata, "Ini yang benar dan kita mau memimpin mereka ke pilihan yang benar itu". Tapi sebenarnya dalam hidup pilihan-pilihan yang sungguh-sungguh bersikap prinsipiil itu juga tidak terlalu banyak. Tadi contoh yang saya berikan tentang promosi di kota lain dan sebagainya. Kadang-kadang kita mau melakukannya hanya karena gara-gara peningkatan karir kita. Tapi kalau kita melihat ini akan berdampak akan menyusahkan anak atau keluarga kita, mungkin kita harus mengalah dan berkata, "Baiklah tidak perlu". Jadi kita akan tunggu waktu Tuhan, di mana waktu kita melakukannya nanti kita akan lakukan dengan senang hati. Jadi harus ada kesediaan. Buat saya ini yang paling penting yaitu mungkin ada kalanya kita mau mengerjakan banyak hal dalam hidup dan kita benar-benar berharap pasangan kita akan nanti mendukung kita supaya kita bisa mencapai yang kita inginkan, tapi kita harus terima adakalanya tidak terjadi, sebaliknya justru kita dituntut untuk mengorbankan kepentingan pribadi kita demi mereka. Jadi yang saya mau tekankan bahwa acapkali menjadi puji-pujian bagi kemuliaan Tuhan terkait bukan dengan keberhasilan kita meraih impian, melainkan pada pengorbanan kita melepaskan impian. Sewaktu kita melepaskan impian, maka Tuhan pun bekerja membentuk kita menjadi sosok yang sungguh akan membawa puji-pujian bagi kemuliaan-Nya. |
GS | : | Memang sebelum atau di awal pernikahan setidaknya kita harus membagikan impian kita terhadap pasangan kita, sebenarnya keluarga mau dibawa kemana supaya dia pun bisa menjadi supporter kita, menjadi pendorong, pendukung kita karena tujuannya sudah jelas. |
PG | : | Itu yang harus kita lakukan, sewaktu kita berpacaran, masing-masing harus membagikan impiannya, apa yang ingin dicapai dalam hidup dan kita akan cocokkan semuanya itu. Tapi yang saya juga akan tekankan adalah ada banyak hal tak terduga yang bisa terjadi dalam pernikahan ini dan waktu hal-hal ini terjadi diperlukan kerelaan untuk melepaskan impian kita demi pasangan kita atau demi anak-anak kita. Kalau kita tidak bersedia dan hanya berkata, "Ini memang yang saya inginkan dari dulu" dan tidak bersedia melepaskannya maka saya kira justru ini tidak menjadi pujian bagi kemuliaan Tuhan. |
GS | : | Apakah anggota keluarga ini perlu tahu bahwa ini adalah sebuah pengorbanan dari kita ? |
PG | : | Sebetulnya kalau kita pun tidak bicara maka mereka akan tahu sebab kita kadang-kadang bicara bahwa ini akan saya lakukan dan ini hal yang baik dan sebagainya. Kemudian kita beritahukan kita dapat tawaran ini dan kita tidak mengambilnya, kita tidak perlu bicara apa-apa, anggota keluarga akan tahu bahwa kita mengorbankan kepentingan kita demi mereka. |
GS | : | Jadi memang dalam hidup pernikahan ini yang terpenting adalah bagaimana Tuhan memandang hidup pernikahan kita. |
PG | : | Tepat sekali. |
GS | : | Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul mau menyampaikan kesimpulan dari apa yang sudah kita perbincangkan ? |
PG | : | Sebagaimana hal lain dalam hidup, pernikahan adalah dari Tuhan dan untuk Tuhan. Jadi persembahkanlah pernikahan sebagai korban yang memuliakan nama Tuhan Yesus Kristus, mulai dari siapa itu yang kita nikahi sampai bagaimanakah kita menjalani hidup pernikahan itu sendiri. |
GS | : | Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pernikahan di Mata Tuhan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang. |