Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang tentang "Penghiburan Bagi Duda" untuk itu telah hadir bersama saya di studio bersama Bp. Hendrik Soplantila selaku nara sumber dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Hendrik, terima kasih sekali lagi Bapak boleh hadir bersama kami sekalian ini. Dari perbincangan yang lalu kita sudah melihat bagaimana pergumulan Bapak sebagai seorang duda tapi kita punya Tuhan yang hidup yang selalu memberikan penghiburan, sehingga Bapak bisa hadir bersama-sama kami di sini, ini merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Ada beberapa hal yang ingin kami perbincangkan, dan supaya perbincangan kami bisa menjadi berkat atau inspirasi bagi para pendengar setia kita, di dalam perjalanan yang Bapak katakan sekitar waktu 7 bulan Bapak menduda, apakah ada hal-hal yang mudah mengingatkan kenangan terhadap istri Bapak?
HS : Memang benar Pak Gunawan, bila saya pergi misalnya saya ke Pasar Besar maka saya teringat istri saya karena kami seringkali ke situ, kami seringkali belanja lalu masuk ke supermarketnya. Jdi itu yang pertama yang sering kali membuat kenangan.
Dan hal-hal yang di rumah adalah kalau saya melihat ke lemari lalu melihat pakaiannya atau melihat hal-hal yang masih ditinggalkan dan saya berkata "Ini semua untuk apa." Jadi itu yang memunculkan kenangan kembali, walaupun hanya sekilas tetapi sempat juga kadang-kadang membuat hati saya sedih sehingga bisa membuat "down".
GS : Memang kalau ke pasar apalagi Bapak juga pernah mengatakan kalau Bapak senang masak akhir-akhir ini untuk menyediakan makan di rumah, itu memang sesuatu yang sulit untuk dihindari. Tetapi kalau di rumah seperti kain-kain apakah Bapak pernah berusaha untuk menyingkirkan itu atau dibiarkan saja?
HS : Saya tidak berusaha menyingkirkan.
GS : Jadi Bapak tetap menikmati kenangan-kenangan itu?
HS : Betul, tapi itu bukan berarti bahwa saya menganggap itu sebagai sebuah "magic". Itu semua hanya pernah dia gunakan.
GS : Pak Paul, ada pasangan yang meninggal lalu yang masih hidup ini diberi saran oleh saudara-saudaranya yang lain untuk "Semua yang mengenangkan kamu itu buang saja," misalnya sepatu atau foto-foto, disuruh menyingkirkan, ini bisa menolong atau malah membuat dia lebih parah?
PG : Pada prinsipnya yang harus kita lakukan adalah kita mengambil keputusan seperti itu jika kita memang sudah siap dan kita mau melakukannya. Jadi jangan sampai kita melakukannya atas desakanorang lain, saya kira itu prinsip yang harus kita pegang.
Jadi kalau ini menyangkut orang lain yang kita kenal sebaiknyalah kita tidak menyarankan itu kepada mereka. Kalau memang mereka sudah siap dan mau menyingkirkan barang-barang kenangan itu tidak apa-apa. Tapi kalau memang belum siap dan memang mereka menginginkan barang-barang agar tetap disana kita juga harus biarkan. Ada orang yang membiarkan barang-barang itu tetap sama dan posisinya tetap sama, sampai lama dan tidak apa-apa. Jadi sekali lagi itu tergantung pada pribadi dan orang yang disekitarnya tidak boleh menyuruhnya untuk melakukan sesuatu yang memang mereka belum siap untuk dia lakukan. Ada orang yang karena desakan-desakan atau pada saat sedih tidak tahan lagi lalu mengambil keputusan tanpa berpikir panjang, mengepak semua barang-barang peninggalan pasangannya kemudian membaginya atau menjualnya. Tapi ternyata setelah melewati masa kesedihannya yang dalam dia merasa menyesal sekali barang-barang itu telah dia berikan kepada orang tapi sebenarnya dia masih ingin melihatnya dan menikmatinya, justru dia masih ingin diingatkan kehadiran pasangannya lewat barang-barang itu. Jadi kita juga harus bisa menolong orang dalam keadaan terlalu sedih, terlalu kalut untuk jangan mengambil keputusan yang kemudian dapat disesalkan.
GS : Jadi mengenang kembali pasangan yang kita kasihi dan sudah meninggal itu sebenarnya suatu proses penyembuhan juga untuk diri kita?
PG : Betul Pak Gunawan, awal-awalnya tatkala kita harus melihat barang-barang itu sudah tentu perasaan kita akan hanyut, kita akan sedih dan ini mungkin berlangsung untuk satu kurun. Kita akan arut, sedih melihat barang-barang itu namun lama-kelamaan perasaan-perasaan itu mulai berkurang, kita tidak lagi larut dalam kesedihan tapi kita hanya masuk ke dalam kenangan yaitu kita melihat barang-barang peninggalan pasangan, kita mengingatnya.
Dan pada waktu kita mengingatnya, perasaan sedih itu tidak lagi akan menguasai kita tapi yang lebih muncul adalah perasaan "Baiklah, kita mengingatnya, kita senang kita pernah bersama dia dan kita menghargai semua ini," dan hanya sebatas itu.
GS : Pak Hendrik ini, suka mendengarkan lagu-lagu bahkan pernah dikatakan sepanjang hari bisa memutar lagu, apakah ada lagu kenangan-kenangan tertentu yang membuat Bapak terkenang kepada ibu ketika lagu-lagu itu dinyanyikan?
HS : Ada Pak, lagu waktu Ibu mau diberangkatkan.
GS : Upacara pemakamannya?
HS : Upacara pemakaman, tapi sekarang saya tidak merasa apa-apa dan tinggal kenangan. Dan saya terus terang saja saya merasakan sampai saat ini Ibu masih ada, saya tidak merasa kehilangan dan prasaan saya biasa saja, dia sekarang sudah ada di sana tapi saya merasa hidup ini biasa dan tidak ada masalah.
GS : Tetap ada hanya beda tempat.
HS : Jadi saya tidak merasa terlalu sedih sampai larut seperti yang dikatakan oleh Pak Paul.
PG : Ini salah satu cara yang baik yang kita bisa lakukan Pak Gunawan, yaitu mengubah perspektif kita bahwa pasangan kita atau orang yang kita kasihi tetap ada dan yang berubah adalah lokasinya Dia sekarang tidak bisa kita lihat, dia bersama dengan Tuhan.
Jadi pemikiran ini seringkali menolong orang melewati masa kedukaan.
HS : Dan ini yang menolong saya Pak, setiap hari dia ada walaupun saya tahu dia tidak ada.
GS : Pak Hendrik ketika istri Bapak meninggal di kamar, Bapak itu sedang pergi pelayanan dan waktu pulang Bapak menemui istri Bapak yang sudah payah dan hampir meninggal tapi Bapak sempat bertemu dengan dia. Apakah Bapak punya perasaan bersalah atas meninggalnya istri karena Bapak tidak hadir pada saat itu?
HS : Bukan bersalah karena tidak hadir, tapi saya merasa usaha saya hanya minim yaitu saya hanya melakukan napas buatan dan kenapa saya tidak memanggil dokter tapi memang tidak ada dokter karen rumah kami letaknya jauh sekali, jadi itu yang mengganggu saya beberapa hari.
Mengganggu saya sampai seperti itu tapi akhirnya ini semua saya tepis dan saya katakan, "Kalau Tuhan tidak menghendaki maka tidak mungkin meninggal."
GS : Dan sebenarnya Bapak juga sudah berusaha?
HS : Ya, semaksimal yang saya bisa walaupun saya merasa minim.
GS : Tapi ada sebagian orang yang merasa bersalah atas kematian pasangannya, itu biasanya penyebabnya apa Pak Paul?
PG : Sudah tentu dari segi medis ini umum kita merasakan seperti itu yaitu kalau saja saya mendapatkan pertolongan medis yang lebih baik atau lebih cepat mungkin pasangan saya tidak meninggal sat itu dan sebagainya.
Namun tadi Bapak sudah katakan itu hanya mengganggu Bapak beberapa hari, kalau mengganggu sampai berkelamaan biasanya relasi nikah itu tidak terlalu sehat atau terlalu harmonis. Dalam relasi nikah yang kurang baik pada waktu pasangannya meninggal justru rasa bersalah lebih banyak muncul, lebih banyak penyesalan. Penyesalan itu memang bercampur aduk, penyesalan "Kenapa kamu ini dulu dengan saya begini sehingga saya harus begini denganmu, sampai saya kesal dengan kamu, sampai akhirnya saya tidak peduli dengan kamu. Kalau saja kamu dulu lebih manis kepada saya, saya dulu tidak harus sampai memperlakukan kamu sejahat ini atau sekasar ini dan sebagainya." Penyesalan-penyesalan seperti inilah yang kita bawa dan menimbulkan rasa bersalah. Justru kalau kita merasakan puas dengan relasi kita bahwa masa hidup kita berdua telah melakukan sebaik-baiknya untuk hidup di dalam Tuhan saling mencintai, waktu pasangan kita tidak ada yang tertinggal hanyalah rasa kehilangan tidak dicampur-campur lagi dengan rasa penyesalan atau rasa bersalah. Dan yang kedua adalah kalau kita bukan orang beriman biasanya kita akan lebih banyak dihantui dengan pemikiran-pemikiran "Kalau saja saya bertindak seperti ini, istri saya tidak akan meninggal dunia dan sebagainya," tapi kalau kita orang beriman kita pasti akan berkata yang tadi Pak Hendrik katakan, "Memang inilah kehendak Tuhan, inilah waktu Tuhan." Kita tahu firman Tuhan sudah mengatakan manusia itu ibarat rumput, hari ini ada besok tidak ada. Dan kita tahu Tuhanlah yang memberikan napas kehidupan kepada kita bahwa kita pun dirancang olah Tuhan, bahwa kita pun dirancang dalam rahim ibu kita dan semua sudah Tuhan atur. Maka orang yang beriman seharusnya akan lebih mudah berserah, tapi orang yang tidak beriman semuanya akan dikembalikan kepada pundaknya "Kalau saja saya bisa begini, istri saya tidak akan meninggal dan sebagainya." Jadi saya kira dua faktor itu memang akan mempengaruhi penyesalan atau rasa bersalah nantinya.
GS : Ketika meninggal usia istri Bapak berapa?
GS : Apakah Bapak pernah merasa kecewa atau bahkan marah kepada Tuhan kenapa di usia itu Tuhan panggil dia?
HS : Saya tidak kecewa atau marah tapi saya tidak mengerti, kenapa bisa begini, saya selesai pelayanan tapi mengapa terjadi seperti ini? Cuma itu saja. Dan ini juga saya ungkapkan kepada Bapak dt.
Andi Soedjono, "Saya tidak mengerti Pak, kenapa bisa seperti ini." Saya tidak berpikir untuk kecewa atau marah sebab Tuhan sudah mengatur semuanya, hanya saya tidak mengerti saja mengapa ini terjadi.
GS : Dan itu Bapak tanyakan kepada seorang pendeta?
HS : Ya, "Pak Andi, kenapa ini terjadi sehabis saya pelayanan, tapi tidak tahu kenapa bisa begini?"
GS : Ketidakmengertian kita atas tindakan Tuhan, dan ini seringkali terjadi juga Pak Paul, kita tidak bisa mengerti kenapa Tuhan itu mengizinkan hal ini?
PG : Betul dan tadi Bapak katakan kejadiannya itu setelah Bapak pulang pelayanan?
HS : Saya berkhotbah berapi-api, sampai anggota jemaat itu berkata, "Pak Hendrik khotbahnya seperti ini, sangat berapi-api," kalau orang Jawa katakan sepertinya ada firasat, tapi kalau saya tidk ada firasat pada saat itu.
GS : Dan pada saat Bapak pergi pelayanan Ibu masih sehat?
HS : Masih sehat bahkan mengantar saya ke gerbang "Hati-hati Pi berangkat." Dan saya berkata "Baik." Dan tidak mengerti, jadi saya tidak ada kecewa tidak ada protes.
GS : Kalau orang yang marah kepada Tuhan tidak bisa menerima kenyataan, itu sesaat atau terus-menerus?
PG : Ada yang bisa terus-menerus, Pak Gunawan, reaksi sesaat saya kira masih lumrah tapi kalau terus-menerus, itu menandakan relasi dia dengan Tuhan bukanlah relasi yang kuat, Pak Gunawan. Seba dalam relasi yang dewasa atau matang, seseorang itu akhirnya tidak lagi hidup untuk dirinya tapi untuk Tuhan dan hidupnya itu benar-benar berpusat kepada Tuhan sehingga dia itu tahu pasti.
Yang pertama Tuhan itu baik bahwa apapun yang terjadi itu tidak menghapus kebaikan Tuhan, boleh kita tidak mengerti, boleh kita protes karena kita merasa tidak adil dan sebagainya tapi ujung-ujungnya kita tetap berkata bahwa Tuhan itu baik dan Tuhan pasti tahu apa yang kita lakukan. Jadi dalam kedewasaan, ketidakmengertian hanya menimbulkan kemarahan sesaat tapi di dalam ketidakdewasaan, ketidakmengertian itu akhirnya membuahkan perasaan-perasaan liar lainnya yang akhirnya merusak hubungannya dengan Tuhan.
GS : Pak Hendrik, waktu Ibu disemayamkan di rumah atau bahkan disemayamkan di gereja sesaat sebelum pemakaman, saya lihat banyak tamu yang berdatangan. Saya melihat banyak sekali apalagi menjelang pemakaman dan waktu itu Bapak juga cukup tegar bisa menyampaikan sambutan dan sebagainya. Tetapi setelah semuanya itu lewat apa yang Bapak rasakan?
HS : Memang Pak Gunawan, setelah semua pulang tidak ada lagi dan bahkan boleh dikatakan sepi, memang saya merasakan kesepian untuk sejenak, sehari dua hari saya memang merasa kesepian namun kesbukan untuk membenahi semua peralatan yang digunakan itu mengakibatkan saya melihat lagi ini tanggung jawab saya dan saya harus menyelesaikan semuanya.
Jadi saya bekerja sendiri dengan anak saya sehingga kesibukan itu menghilangkan kesepian apalagi kemudian saya mulai mengajar. Jadi ini semua membawa saya kepada arus sibuk dalam persiapan-persiapan mengajar dan sebagainya, sehingga dengan demikian kalau saya dikatakan kesepian memang saya kesepian tapi hanya waktu awal-awal saja, setelah itu tidak lagi.
GS : Apakah pada waktu itu masih ada tamu-tamu yang datang?
HS : Masih, dari GKI. Mereka datang, mereka mengobrol, mereka dan majelis bergantian datang sampai kira-kira seminggu.
GS : Pak Paul, seringkali orang yang ditinggal pada waktu masih banyak tamu dan sebagainya dia kelihatan tegar tapi setelah itu, dia bisa menangis luar biasa?
PG : Pada waktu pemakaman memang kita itu harus menguatkan diri kita karena kita tahu banyak orang yang akan datang dan kita harus mengurus pemakaman dan itu bukan suatu perkara yang mudah, banak sekali yang harus dipikirkan.
Jadi biasanya kita mengkondisikan perasaan dan pikiran kita untuk memfokuskan pikiran kita untuk upacara-upacara, tuntutan-tuntutan yang harus kita penuhi. Setelah semua berakhir disitulah kita berkesempatan untuk menjadi diri kita kembali dan disitulah kita akhirnya berkesempatan menengok dan melihat rumah ini sekarang kosong, bahwa orang yang tadinya di sebelah saya sekarang tidak ada lagi. Biasanya setelah masa itulah, kehilangan itu benar-benar menjadi begitu terasa dan tidak jarang yang tadi Pak Gunawan katakan kita ambruk, kita menangis sedih sekali dan itu berlangsung memang berminggu-minggu.
GS : Tapi memang Pak Hendrik tadi banyak kesibukan, disamping mengajar menyelesaikan segala sesuatunya itu menolong dan kalau ada kegiatan-kegiatan itu sebenarnya lebih banyak menolong orang tersebut. Tapi tidak semua orang memiliki kesibukan seperti itu, sudah ada yang menangani semua mungkin anak-anaknya dan itu membuat dia bersedih?
PG : Setuju Pak Gunawan, jadi adanya kesibukan memang akan menolong kita mengalihkan perhatian. Tidak adanya kesibukan akan membuat kita lebih berkesempatan memikirkan akan pasangan kita yang sdah tidak ada lagi.
GS : Pak Hendrik, Bapak sebagai duda apakah pernah merasakan tekanan sosial dari sekitar, di masyarakat atau di gereja atau di tempat Bapak mengajar, yang Bapak rasakan ada sesuatu tekanan?
HS : Minta maaf sekali Pak Gunawan, tidak ada sebab masalahnya mengapa tidak ada, saya tidak merasakan bahwa orang apriori atau orang ini mengatakan sekarang dia duda atau sebagainya itu tidak da.
Jadi mungkin juga karena saya diberikan kesempatan di bidang kemahasiswaan, jadi saya sibuk dengan mahasiswa. Kemudian bukan itu saja Pak Gunawan, saya memang mencari kesibukan saya aktif mencari apa yang harus saya lakukan sekarang, apa yang harus saya buat sekarang selagi Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk saya hidup. Seperti di STT Salem, banyak sekali yang belum ada sehingga saya harus menangani semuanya, banyak hal dalam bidang akademisnya, saya banyak menolong di bidang administrasinya untuk akreditasinya dan sebagainya, saya banyak menolong di situ dengan tujuan saya mencari, kalau sudah tidak ada yang dibantu maka saya sedikit santai.
GS : Kadang-kadang ada tekanan sosial misalnya menganjurkan Bapak untuk menikah lagi dan sebagainya, apakah ada saran-saran nakal seperti itu?
HS : Sering, hanya saya tidak terpikir dan saya tidak menanggapi.
GS : Itu bukan merupakan suatu tekanan, tapi berbeda halnya dengan janda. Memang kalau duda saya percaya sekali pria ini lebih kebal dengan tekanan-tekanan seperti itu tapi lain halnya dengan janda, janda mendapat tekanan sosial yang kuat apakah betul?
PG : Pada umumnya benar, tapi memang ada perbedaan antara yang kehilangan suami karena kematian dan kehilangan suami karena perceraian dan yang lebih berat adalah karena perceraian, biasanya ad stigma dari masyarakat yang negatif terhadap wanita akibat perceraian sebab sebagian masyarakat berkeyakinan kalau sampai terjadi perceraian, tetap ujung-ujungnya masalah adalah si istri yang kurang menyenangkan hati suami dan sebagainya, sehingga akhirnya setelah terjadi perceraian maka wanita ini menjadi sorotan dan bisa juga dilihat sebagai ancaman bagi keluarga lain.
Jangan sampai dia nanti mengambil suami orang lain dan sebagainya. Saya kira ini adalah pandangan-pandangan yang tidak perlu dan sebaiknya tidak lagi dikembangkan di tengah-tengah kita. Kalau janda karena kematian suami pada umumnya masyarakat menerima dan berbelas kasihan dengannya namun tekanan untuk menikah lagi biasanya justru tidak ada karena mereka lebih diharapkan mengurus anak-anak, fokus kepada anak-anak saja. Kalau pria, umumnya masyarakat merasa bahwa pria itu tidak bisa hidup sendiri, tidak bisa mengurus rumah dan mempunyai kebutuhan biologis yang lebih besar sehingga dianggap baik menikah lagi daripada hidup sendiri sehingga masyarakat itu umumnya lebih berani untuk mengajukan saran kepada duda untuk menikah kembali.
GS : Seandainya saran itu ditanggapi Pak Paul, bagaimana kita menanggapinya?
PG : Saya kira kita harus berpikir positif sewaktu orang mengajukan saran seperti itu anggap saja dia berniat baik, dia memikirkan kita tapi kita misalnya tidak menerima saran itu maka kita katkan apa adanya dan kita berkata, "Saya tidak memikirkan hal itu sekarang, saya senang dengan kehidupan saya, saya pernah menikmati kehidupan nikah yang baik dan sekarang saya tidak memikirkan berumah tangga dengan orang lain.
Jadi terima kasih saranmu, terima kasih engkau memikirkan atau engkau peduli dengan saya." Tapi kita buat suatu pernyataan yang jelas bahwa terima kasih tapi tidak.
GS : Dan itu biasanya juga dipengaruhi oleh faktor usia dari si duda, kalau dia memang masih relatif muda dan anak-anaknya masih kecil saran itu makin kuat dibandingkan kalau kita sudah lansia?
PG : Betul, justru kalau kita agak tua justru banyak anak yang tidak setuju kita menikah kembali karena mereka lebih memikirkan dari faktor-faktor yang praktis yaitu dengan lebih tua, nanti kalu meninggal pembagian harta dan sebagainya akan lebih ruwet karena sekarang sudah ada ibu tiri.
Jadi sekarang ada juga orang yang curiga, "Jangan-jangan engkau mau dengan Papaku karena engkau mau hartanya, karena mereka sudah tua." Jadi biasanya kalau pria itu sudah agak tua, orang lebih cepat curiga kepada perempuan yang mau menikah dengan dia. Tapi ada juga orang yang mengerti dan berkata meskipun dia sudah tua tapi memang dia butuh teman, dia butuh orang yang bisa mengurusnya dan berbagi hidup dengan dia sehingga ada yang memang mengerti dan berkata "Tidak apa-apa."
GS : Pak Hendrik, suatu hal yang sangat berat jika ditinggal oleh pasangan tetapi ada penghiburan yang Bapak pasti terima sehingga Bapak sampai sekarang bertemu dengan kami dan melakukan perbincangan ini dengan lancar. Penghiburan-penghiburan apa yang Bapak peroleh selama masa-masa yang berat itu?
HS : Kalau Bapak tanya begitu, saya kembali kepada firman Tuhan yang menjadi kekuatan saya. Segala persiapan-persiapan yang saya lakukan itu membutuhkan perenungan-perenungan yang dalam dan jusru perenungan-perenungan yang dalam itu yang membuat saya dikuatkan.
GS : Artinya tiap-tiap hari Bapak pasti membaca firman Tuhan dan berdoa?
HS : Ya, seperti misalnya saya diminta berkhotbah di salah satu gereja, persiapan saya bukan hanya sehari lalu selesai, tapi bisa sepuluh hari. Sebab setiap hari saya mengedit kembali, memperbaki kembali kekurangan-kekurangan apa yang saya perlu tambahkan dan kelebihan-kelebihan apa yang saya harus kurangi baik itu tidak sesuai dan sebagainya, hal itu mengakibatkan saya lebih mendalam lagi.
GS : Jadi sebelum disampaikan kepada orang lain, itu menjadi berkat bagi diri saya sendiri dulu. Kalau dari sesama yang Bapak peroleh apa?
HS : Dari cucu saya, dia yang menghibur saya karena dia aktif, masih lucu-lucunya dan saya selalu diajak bermain seperti menjadi pesawat terbang, lari ke sana kemari, bermain seperti menjadi drver, dan kita pergi misalkan ke timezone dan itu yang menghibur saya.
GS : Berarti tidak ada penghiburan dari luar pihak keluarga Bapak. Jadi dari firman Tuhan dan dari keluarga itu mendorong Bapak sehingga cepat terhibur dan menjadi cepat kembali ke aktifitas.
HS : Kalau saya pergi ke kuburan, saya memang berdoa di sana tapi doa saya adalah "Tuhan terima kasih karena istri saya ada di sana dan saya bersyukur sekarang Engkau memberi saya kesempatan unuk hidup dan saya adalah untuk-Mu Tuhan."
GS : Dan memang rumah Bapak tidak terlalu jauh dari kubur, jadi salah satu sisi itu menguntungkan?
HS : Betul, jadi kalau sewaktu-waktu saya ingin ke situ, maka saya ke situ.
GS : Pak Paul, seberapa sering orang butuh datang ke makam orang yang dikasihi?
PG : Biasanya pada masa-masa awal kita akan mau lebih sering berkunjung ke makam tapi dengan berjalannya waktu kita tidak akan merasakan lagi adanya desakan-desakan untuk sering ke makam. Jadi erserah, pada akhirnya berkunjung satu bulan sekali ada yang tiga bulan sekali itu terserah.
Sebab sekali lagi desakan itu tidak akan lagi terlalu kuat namun terpenting adalah kita selalu menyadari bahwa meskipun pasangan kita tidak dapat kita lihat, itu tidak berarti dia tidak ada, tidak dilihat tidak berarti tidak ada, tidak dilihat karena dia berada di surga bersama Tuhan tapi dia tetap ada, dan itulah yang menjadi kekuatan bagi kita.
GS : Pak Hendrik kemungkinan besar sekali diantara para pendengar kita ada yang berstatus duda dan apakah pesan-pesan Bapak terhadap mereka?
HS : Untuk duda-duda, pesan saya hanya satu berikanlah seluruh hidup yang masih ada ini untuk melayani Tuhan sebab itu yang akan menguatkan kita dan memotivasi kita bahwa kita nanti akan bersam-sama dengan Tuhan dan bersama-sama dengan istri kita juga.
GS : Jadi sekalipun nampaknya kita melayani Tuhan, sebenarnya Tuhan pun juga melayani kita Pak?
HS : Betul, saya dikuatkan oleh Tuhan sendiri dan saya melayani Dia.
GS : Mendapatkan penghiburan dari situ, tetapi Pak Hendrik juga katakan penghiburan terbesar itu memang dari firman Tuhan, dan saya sangat setuju dengan hal itu. Pak Paul apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari 2 Korintus 1:3,4 firman Tuhan berkata "Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang mengiur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah."
Ini firman yang indah sekali, Tuhan adalah penuh belas kasihan dan Tuhan adalah sumber segala penghiburan. Jadi waktu kita menderita yakinlah bahwa Tuhan berbelas kasihan, jangan sampai berpikir Tuhan itu senang melihat kita menderita. Dia Bapa yang penuh belas kasihan, tapi dia bukan hanya penuh iba dan belas kasihan Dia juga sumber segala penghiburan artinya dia bisa menghibur kita, menguatkan kita lewat firmannya, lewat anak-anaknya dan lewat perkara lain yang Tuhan berikan kepada kita. Nanti penghiburan yang telah kita terima dari Tuhan kita bisa bagikan kepada orang-orang lain sehingga dalam penderitaan mereka menerima penghiburan dari kita sehingga kita pun terhibur dan tertolong.
GS : Terima kasih Pak Paul, terima kasih Pak Hendrik untuk perbincangan ini dan saya percaya sekali, ini akan menjadi berkat atau inspirasi bagi para pendengar setia dari acara TELAGA ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Hendrik Soplantila selaku nara sumber dan juga bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Penghiburan Bagi Duda". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
END_DATA