Pelayanan yang Efektif

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T268B
Nara Sumber: 
Pdt.Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sejarah memperlihatkan ada pelayanan yang tadinya jaya dan berkembang namun akhirnya runtuh. Namun sejarah juga memperlihatkan ada pelayanan yang terus bertahan sampai ratusan tahun. Apakah yang terjadi sehingga ada pelayanan yang bertahan dan ada yang tidak bertahan? Apakah yang menjadi ciri pelayanan yang efektif?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Sejarah memperlihatkan ada pelayanan yang tadinya jaya dan berkembang namun akhirnya runtuh. Namun sejarah juga memperlihatkan ada pelayanan yang terus bertahan sampai ratusan tahun. Apakah yang terjadi sehingga ada pelayanan yang bertahan dan ada yang tidak bertahan? Apakah yang menjadi ciri pelayanan yang efektif?

  1. Pelayanan yang efektif dimulai atas dasar kebutuhan dan dilaksanakan atas dasar kesanggupan. Di dalam bukunya, The Purpose-Driven Church, Pendeta Rick Warren membagikan pemahamannya tentang kapankah seharusnya kita memulai suatu pelayanan. Ia mengumpamakannya dengan berselancar di laut. Orang yang hendak berselancar mesti melihat adanya ombak; tanpa ombak, ia tidak akan dapat berselancar. Sebelum memulai pelayanan, kita pun mesti melihat adanya kebutuhan terlebih dahulu. Bila tidak ada kebutuhan, jangan memulai apa-apa karena itu tidak akan bertahan.
    Selanjutnya, untuk dapat berselancar, dibutuhkan orang yang memang dapat berselancar. Jika tidak, sewaktu ombak datang, orang itu pun akan dengan mudah tergulung ombak. Demikian pula dengan pelayanan. Sebelum memulainya, kita mesti memastikan bahwa akan ada orang yang sanggup melakukannya. Jika tidak, pelayanan itu pun akan gulung tikar.
  2. Pelayanan yang efektif dilaksanakan oleh orang yang hidup kudus di hadapan Tuhan. Tidak ada yang dapat menggantikan kehidupan yang saleh dan berkenan kepada Allah. Sebuah pelayanan hanyalah akan berbuah selebat buah kehidupan pelakunya. Begitu banyak pelayanan yang akhirnya runtuh akibat kehancuran hidup pelakunya. Oleh karena belas kasihan Tuhan, acap kali Tuhan memberi kesempatan kepada pelaku pelayanan untuk terus melayani-Nya kendati hidupnya berdosa. Namun jangan disalahartikan seakan-akan Tuhan buta akan dosanya. Sesungguhnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bertobat. Bila ia mengeraskan hati, suatu hari kelak ia akan ditinggalkan Tuhan dan pelayanan itu pun berhenti.
    Kehidupan pelaku pelayanan yang tidak kudus pada akhirnya akan mencemarkan semua sendi pelayanan itu sendiri. Ini sesuai dengan sifat dosa yang terus menyebar dan berkembang biak. Itu sebabnya pelayanan yang efektif adalah pelayanan yang berani memangkas ranting yang tidak berbuah, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus di Yohanes 15:2, "Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya ia lebih banyak berbuah."
  3. Pelayanan yang efektif dilakukan oleh orang yang hidupnya efektif. Ada orang yang hidupnya tidak efektif. Ia membuang waktu sembarangan, memakai uang seenaknya, memperlakukan orang semaunya, serta merencanakan sekenanya. Orang yang hidupnya sendiri tidak efektif tidak akan dapat melakukan pelayanan yang efektif. Dituntun Tuhan dan beriman kepada-Nya tidak identik dengan hidup seenaknya; sebaliknya, dituntun Tuhan dan beriman kepada-Nya menuntut adanya pertanggungjawaban dan kehati-hatian. Di dalam perumpamaan "Gadis yang Bijaksana dan Bodoh" serta perumpamaan tentang "Talenta" di Matius 25 jelas terlihat adanya tuntutan untuk hidup bertanggung jawab dan berhati-hati. Berapa banyak pelayanan yang hancur karena pelaku pelayanan hidup tidak bertanggung jawab dan sembarangan?
  4. Pelayanan yang efektif dapat mengoreksi dirinya sendiri. Ini berarti tidak ada seorang pun yang berani meninggikan diri serta menutup diri terhadap kritik terhadap kelemahan pribadi. Pelaku pelayanan harus tidak segan mengakui kesalahan yang terjadi dan bersedia untuk ditegur. Sayangnya ada banyak pelayanan yang diisi oleh orang yang cepat puas diri dan tangkas menepuk dada. Akhirnya orang ini tidak lagi terbuka terhadap saran dari sesama dan bila ini terjadi, pastilah tidak lama lagi ia pun akan sulit mendengar suara Tuhan.
    Itu sebabnya pelaku pelayanan mesti membudayakan kebiasaan bersedia dikoreksi. Jika pelaku pelayanan menerapkan budaya "tidak pernah salah," maka sesungguhnya ia tengah meluncur ke jurang kehancuran. Raja Saul tidak dikelilingi oleh orang yang berani menegurnya sebab ia memang tidak bersedia ditegur. Pada akhirnya ia hanya dikelilingi oleh orang yang mengatakan apa yang ingin didengarnya. Kita tahu akhir kehidupannya: kebinasaan. Sebaliknya dengan Raja Daud. Ia dikelilingi orang yang berani menegurnya sebab itulah budaya yang diterapkannya. Ia bersedia ditegur manusia dan orang yang bersedia ditegur manusia lebih mudah ditegur Tuhan. Akhirnya Daud selamat!