Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) yang kali ini bersama Ibu Esther Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menyalahkan Orang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Rasanya sudah menjadi bagian kita Pak Paul, kalau kita tidak disalahkan orang ya kita menyalahkan orang. Tapi ada orang yang mempunyai kebiasaan, setiap kali dia mengalami sesuatu terutama yang negatif; orang lain yang disalahkan. Ini sebenarnya gejala apa Pak?
PG : Itu adalah gejala kekurangdewasaan, jadi kedewasaan seseorang itu diukur oleh salah satunya adalah berapa siapnya kita memikul tanggung jawab. Orang yang terlalu mudah menyalahkan orang kita katakan sebagai orang yang belum dewasa.
Saya kira kita langsung masuk ke pertanyaannya Pak Gunawan, kenapa ada orang seperti itu dan apa penyebabnya. Yang akan coba saya uraikan adalah beberapa penyebabnya, beberapa kategori; sebab ternyata menyalahkan orang itu tidak muncul dari satu penyebab jadi ada beberapa. Dan setelah itu kita juga akan coba melihat bagaimana menolong seseorang yang mempunyai masalah dengan menyalahkan orang ini. Yang pertama adalah bagi sebagian orang, menyalahkan orang ialah jalan pintas untuk lepas dari tanggung jawab dan konsekuensi perbuatan sendiri, itu sebabnya jauh lebih mudah menyalahkan orang, kita dapat hidup tanpa beban. Golongan pertama adalah orang yang memang tidak mau repot dalam hidup, tidak mau susah dalam hidup; maunya hidup itu gampang dan berjalan lancar. Kalau ada halangan, ada masalah, dia langsung lempar masalahnya pada orang lain dan dia akan salahkan orang supaya hidupnya kembali lancar. Ini ciri pertama atau golongan pertama orang yang menyalahkan orang.
ET : Rasanya ada peran pola asuh orang tua juga dalam hal ini Pak Paul?
PG : Benar sekali Ibu Esther, jadi adakalanya orang tua memudahkan hidup anak sampai sedemikian rupa sehingga tidak lagi realistik, tidak lagi bersentuhan dengan kondisi riil di dalam hidup.Semua diatur, dibereskan, dipermudah oleh orangtuanya akibatnya si anak terbiasa hidup sepertinya berselancar terus dan tidak pernah susah.
Anak-anak yang seperti ini akhirnya setelah besar dia mudah sekali menyalahkan semua orang di seluruh dunia supaya dia tetap hidup tanpa beban.
ET : Saya menjadi ingat peristiwa yang sepertinya remeh tapi bisa berpengaruh ke sana. Misalnya seperti anak kecil terjatuh, kadang-kadang orang dewasa di sekitarnya berkata pukul lantainya arena lantai yang menyebabkan anak itu jatuh.
Bukankah ini sebenarnya penanaman bibit-bibit itu, padahal mungkin anak itu kurang hati-hati.
PG : Kalau pola itu dipertahankan sampai anak itu berusia besar, itu akan menjadi masalah. Kalau hanya dilakukan sekali-sekali pada masa anak-anak kecil saya kira tidak apa-apa, tapi itu betl.
Kalau sampai sudah besar anak itu sudah berusia 12 tahun misalnya menyenggol atau apa sampai barangnya pecah, terus mamanya atau papanya memukul barang itu dan berkata barang ini yang salah ada di tengah-tengah kamu, bukannya kepada anak berkata: "Kamu harus lihat-lihat dong jalan." Tidak, Barangnya yang dimarahi, nah kalau terus begitu saya kira anak ini akan menjadi anak yang tidak dewasa dan cenderung menyalahkan orang kalau ada masalah.
GS : Itu memang kelemahan dari sisi orangtua, salah pendidikan, lingkungannya dan sebagainya. Tapi bukankah itu bisa diatasi?
PG : Cara mengatasinya akhirnya kalau orang itu sudah besar harus melalui tekanan orang-orang di sekitarnya. Yaitu mesti ada orang yang berani mengatakan kamu salah dan kamu harus pikul kesaahan ini, dan kami tidak mau memikulkannya untuk kamu.
Jadi biarkan dia itu memikul kesalahan di pundaknya dan tidak ada orang lagi yang melepaskan dia dari tanggung jawab itu. Kalau sudah sampai usia besar atau dewasa tetap saja orangtuanya yang melindungi, mengeluarkan dia dari bencana; sampai kapan pun dia akan seperti itu yaitu menyalahkan orang. Maka mesti ada yang berani tegas dan kalau bisa lingkungannya sepakat, sehati. Tidak ada yang mengeluarkan dia dari masalah, biarkan dia hadapi, biarkan dia mengalami kesusahan.
GS : Tapi itu ´kan perlu penjelasan terlebih dulu kepada yang bersangkutan, kalau tidak bukankah dia tetap menyalahkan orang lain karena dia mengalami banyak kesulitan?
PG : Penjelasan di perlukan, meskipun untuk orang yang seperti ini awal-awalnya tidak mudah menerima penjelasan itu. Kita mesti berulang kali menjelaskan nah dia mungkin baru bisa menerima. amun yang terpenting adalah bukannya penjelasan tapi tindakan konkret dari lingkungan yang sepakat, seia, sekata, tidak mau melepaskan dia dari tanggung jawab; biarkan dia pikul, biarkan dia susah.
ET : Walaupun dia tetap menyalahkan kenapa orang lain tidak membantu dia, Pak?
PG : Betul, meskipun disalahkan. Dan memang untuk waktu-waktu yang agak panjang dia tidak akan mudah menerima kesalahannya. Dia tetap menyalahkan orang, sampai usianya sudah tua pun ada yangmasih seperti itu.
Menyalahkan orang; dulu menyalahkan orang yang lebih tua darinya, dan sekarang dia sudah cukup tua, dan sudah susah mencari orang yang lebih tua darinya maka dia menyalahkan orang yang lebih muda darinya, termasuk anak-anaknya sekarang. Semua disalahkan, tidak mau menolong dia, tidak sadar dia itu sayang kepada anaknya dan begitu tidak bisa melihat bagian dalam dirinya.
GS : Tetapi mungkin ada alasan yang lain?
PG : Ada Pak Gunawan, bagi sebagian orang, menyalahkan orang itu mudah muncul dalam diri seseorang yang hidup dalam bayang-bayang ancaman. Misalkan kita itu baik pada masa lampau atau masa skarang, hidup dalam ketakutan; ketakutan bahwa kesalahan kita itu akan berakibat buruk.
Nah akhirnya kita akan mengembangkan kebiasaan menyalahkan orang agar tidak harus menanggung hukuman berat yang menanti kita. Nah umumnya memang ada alasannya; dulu kalau dia berbuat salah, orangtuanya itu akan mendisiplin dia dengan sangat keras, menghukum dengan sangat-sangat keterlaluan, sehingga akhirnya dia belajar melempar kesalahan; belajar selalu berkelit dari kesalahan karena kalau ketangkap dia habis. Mungkin sekali setelah dia dewasa hukuman itu tidak ada lagi, karena orangtuanya tidak lagi memukuli dia seperti dulu. Namun karena dulu terlalu sering dan terlalu lama yaitu dalam ketakutan; sampai sekarang pun dia masih membawa-bawa ancaman itu dalam benaknya. Meskipun tidak ada lagi yang akan memukul dia tapi dalam bayangannya kalau dia mengakui kesalahan, habis dia. Maka meskipun sudah dewasa, tidak ada lagi yang mengancamnya dia tetap hidup dalam ketakutan yang sama. Itu sebabnya kalau ada kesalahan dia tidak mau mengakuinya, dia memang akan mencoba hidup sesempurna mungkin, menghasilkan karya yang sebagus mungkin, dan kalau ada yang salah dia akan lemparkan kepada orang lain supaya tidak usah menanggung hukuman itu.
GS : Ada orang yang merasa terancam dipecat dari pekerjaannya kalau dia mengaku kesalahannya. Jadi dia lebih cenderung untuk mencari kesalahan pada orang lain atau keadaan atau hal-hal yang lain.
PG : Betul, saya bisa mengerti adakalanya itu terjadi pada diri kita. Karena ancaman yang terlalu berat akhirnya kita tergoda melemparkan tanggung jawab seolah-olah kita tidak salah. Saya megerti kalau itu terjadi pada diri kita sekali-sekali.
Yang saya permasalahkan adalah kalau ini menjadi pola kehidupan kita, kita terus melemparkan kesalahan pada pundak orang karena kita takut hukuman yang menanti kita. Apa yang harus kita lakukan kepada orang yang seperti ini, saya kira yang pertama kita harus meyakinkan bahwa kita tidak akan menghukumnya bila saja dia berkata jujur dan kita akan pegang janji itu. Dia mesti melihat bukti, karena dulu dia terlalu sering melihat bukti dihukum, dimarahi kalau dia berbuat kesalahan sekarang dia mesti melihat bukti yang kebalikannya bahwa dia berbuat salah dan kita tidak menghukumnya, kita memaafkannya. Tapi kita memberikan syarat kepadanya bahwa dia harus mengakui perbuatannya. Sekali lagi ini tidak berjalan dengan cepat, dia perlu percaya pada kita, mungkin dari hal-hal yang kecil kita katakan: "Saya tidak akan marah dan saya janji tidak akan menghukum kamu." Dari hal-hal kecil mungkin nantinya akan berkembang ke hal-hal yang besar dan dia akan lebih mudah percaya pada kita.
ET : Kalau yang tadi Pak Paul katakan sepertinya ada kesalahan di masa lalu. Mungkin atau tidak Pak Paul, orang justru menyalahkan orang lain karena dia takut salah?
PG : Bisa saja, adakalanya kita memang takut salah. Kenapa kita takut salah, sebab pada sebagian orang dia tidak memiliki penghargaan diri yang baik Ibu Esther. Artinya dia takut kalau tindaan dan keputusannya itu membuat rusak.
Dia selalu merasa tidak aman dengan dirinya dan keputusannya sendiri, dia ragu-ragu, dia selalu mempertanyakan, dia takut sekali membuat kesalahan-kesalahan seperti itu, kecemasannya terlalu tinggi. Akhirnya yang dia lakukan adalah bergantung pada orang lain, kalau ada kesalahan; orang lain yang harus tanggung, sementara dia hanya ikut, dia hanya menuruti permintaan atau nasihat orang lain, nah kalau ada yang salah ya dia langsung berkata yang memberitahu saya dia, yang menyuruh saya juga dia, jadi bukan salah saya. Memang ada orang yang seperti itu juga.
GS : Apakah ini orang-orang yang kurang percaya pada dirinya sendiri?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, orang yang tidak percaya sebetulnya artinya tidak percaya kepada penilaian dirinya, pemikiran dirinya, keputusan yang dia telah ambil. Dia lebih percaya pada pnilaian orang lain, pemikiran orang lain dan keputusan orang lain; maka lebih baik bergantung, berlindung dibalik keputusan dan pemikiran orang lain.
GS : Berarti itu suatu upaya untuk menutupi kekurangan dirinya itu Pak Paul?
PG : Betul sekali, daripada dia mengambil keputusan dan keliru itu merupakan bencana besar buat dia, orang menjadi tahu bahwa dia tidak mampu atau dia tidak sanggup dan itu memalukan. Jadi lbih baik berlindung di balik keputusan orang lain dan dia akan merasa aman, tenteram.
GS : Menghadapi hal seperti itu apa yang bisa dilakukan?
PG : Kita perlu membimbingnya, membimbingnya perlahan-lahan agar dia dapat melihat kekuatannya dan kesanggupannya. Orang yang memang penghargaan dirinya buruk selalu mengecilkan kemampuannya merasa tidak bisa dan takut salah, mungkin saja dia dulu pernah salah dalam pengambilan keputusan, mungkin saja dia kurang bijaksana, nah sekarang kita membantu dia.
Dengan cara misalkan menghadirkan informasi yang tidak dia ketahui, melengkapi pengetahuannya, memunculkan alternatif-alternatif yang lain sehingga dia bisa melihat o.....ya ada alternatif ini, tapi setelah itu kita memang meminta dia untuk mengambil keputusannya. Kita tidak mengambilkannya untuk dia, tapi kita bisa membantunya dalam proses pengambilan keputusan itu, yakni dengan cara memunculkan pemikiran-pemikiran alternatif atau keterangan atau informasi yang sebelumnya dia luput melihatnya. Atau yang lain yang bisa kita lakukan adalah kita mengajaknya melihat apa kesanggupannya, apa kekuatannya, dan apa keterbatasannya. Ajar dia menerima apa kekuatan dan keterbatasannya, setelah itu ajar dia untuk mengembangkan kesanggupannya itu, dan berpijak pada kesanggupannya. Dalam hal di mana dia terbatas ya ijinkan dia untuk bertanya meminta bantuan.
ET : Jadi rasanya seperti dua ekstrim, antara lain contoh yang sebelum ini dengan yang sekarang ini. Misalnya dia di masa lalunya pernah melakukan kesalahan yang misalnya cukup fatal, kemudin lari ke ekstrim yang satunya lagi, jadi takut melakukan kesalahan tapi dua-duanya memerlukan penanganan dari orang-orang di sekitarnya.
PG : Betul sekali, jadi memang saya bisa menyimpulkan akarnya biasanya adalah suasana rumah yang tidak aman. Sebab kalau suasana rumah aman, rumah atau orangtua mengijinkan anak membuat kesaahan dan tidak menjatuhkan vonis sebesar gunung untuk kesalahan anak, malah bisa menerimanya.
Dan juga suasana rumah yang aman membuat si anak bisa mengembangkan dirinya, kesanggupannya, kebisaannya, dan orang tua menerima kekuatan si anak serta keterbatasan si anak. Bukan menekan atau mempermalukan si anak gara-gara dia tidak bisa ini dan tidak bisa itu. Jadi memang kembali lagi pada apa yang terjadi dalam rumah, itu penting sekali. Saya bisa simpulkan, anak-anak yang memang tidak bisa memikul kesalahan, tidak bisa tidak akarnya itu dari rumah itu sendiri.
ET : Jadi karena sering kali disalahkan, akhirnya jadi menyalahkan orang lain.
PG : Betul sekali, daripada nanti kena lagi, disalahkan lagi; dia lempar kesalahan itu pada orang lain. Atau dia mencoba dirinya itu harus sesempurna mungkin jangan sampai ada celaan sedikitun.
Dia harus menghindar dari kesalahan-kesalahan itu. Dan cara yang lain adalah dia bersembunyi dibalik orang lain, selalu dia bilang: "O....saya hanya melakukan yang dikatakan oleh ini, o.........saya pikir kamu yang minta saya begini." Jadi semuanya salah orang lain.
GS : Pak Paul, biasanya di dalam hal menyalahkan orang lain itu selalu disertai rasa marah, sehingga kata-katanya itu keras sekali.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi orang yang menyalahkan itu cukup sering memang juga membawa kemarahan di dalam penyalahannya itu. Dia memang menyalahkan orang karena dia merasa ya...sayadulu itu gara-gara salah dimarah-marahi, jadi akhirnya dia menyimpan kemarahan-kemarahan itu, jadi selalu disalahkan.
Nah sekarang waktu dia menyalahkan orang, kemarahan yang dia terima dulu waktu disalahkan sudah mengendap pada diri dia. Sehingga sekarang waktu disalahkan orang, kemarahan itu juga keluar. Orang yang penuh kemarahan itu biasanya matanya tertuju pada orang lain. Orang yang penuh dengan kemarahan susah sekali melihat dirinya, baik kesalahannya, kekurangannya; tidak bisa, selalu kalau kita marah, marahnya kepada orang lain, menyalahkan orang lain, fokusnya pada orang lain. Nah kepada orang yang seperti ini apa yang perlu kita lakukan? Saya kira kita perlu menolongnya mengalamatkan kemarahan secara tepat sehingga dia tidak lagi membabi buta melampiaskan kemarahannya. Artinya, kadang kala memang seharusnyalah dia marah kepada seseorang, OK! Tapi tidak seharusnya dia marah kepada 2, 3 orang, satu orang saja yang memang menjadi penyebab kemarahannya. Tapi juga adakalanya orang kesalahannya sedikit, sementara dia kesalahannya lebih besar, dia juga perlu melihat dirinya, apa yang dia harus lakukan atau dia keliru perbuat, itu semua hal-hal yang mesti juga dia lihat. Terus kita juga mengajak dia melihat masalah dari kacamata orang lain menolong dia merasakan apa yang orang lain rasakan. Sebab orang yang mempunyai banyak kemarahan ini, sering kali tidak begitu bisa merasakan perasaan orang lain, dia melihat semua hal dari kacamatanya saja.
ET : Sering kali memang dalam peristiwa sehari-hari kita berhadapan dengan orang-orang yang sebenarnya harusnya dia yang salah tapi lebih galak dari kita, Pak Paul.
PG : Dan itu akhirnya adalah cara yang enak bagi dia untuk menghadapi hidup ini. Dengan dia marah dia mendapatkan yang dia inginkan dengan sangat mudah. Makanya buat orang seperti dia pertanaannya adalah buat apa susah-susah minta tolong baik-baik, memohon, bernegoisasi; itu tidak perlu, kalau perlu dipaksa, dimarahi, mengancam, maka akan dapat.
Akhirnya mereka terbiasa hidup dengan mudah seperti itu. Itu sebabnya bagi orang yang pemarah, untuk dia meninggalkan kemarahannya adalah suatu hal yang susah sebab benar-benar akan menyusahkan dia kalau dia tidak bisa marah lagi. Jadi lebih baik dia pakai kemarahan itu terus-menerus agar dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Itu sebabnya kita bisa mengajak dia untuk melihat dari sisi orang lain. Waktu ini terjadi orang merasa apa, bukan hanya kamu yang merasa seperti ini, orang lain pun juga merasa seperti ini, coba lihat orang lain, jangan hanya melihat dari perasaan kita sendiri. Mudah-mudahan dengan cara seperti itu dia lebih bisa menahan kemarahannya dan pada akhirnya dia lebih bisa memikul kesalahannya sendiri.
GS : Dan biasanya orang yang disalahkan itu selalu orang yang lebih lemah Pak Paul, dia tidak akan berani melampiaskan atau menyalahkan orang lain yang lebih kuat atau lebih tinggi pangkatnya.
PG : Betul sekali, karena dia akan mencari korban.
GS : Dalam hal ini bukankah ini menjadi berantai, orang yang disalahkan juga akan mencari objek yang lain untuk disalahkan. Nah untuk memutuskan mata rantai ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Coba kita melihat apa yang terjadi waktu manusia jatuh ke dalam dosa, di Kejadian 3 itu semua dicatat dengan jelas. Tuhan pertama-tama memanggil Adam dan menanyakan kepada Adam, Adam megelak dari dosanya dan dia langsung menyalahkan Hawa dan malahan dia menyalahkan Tuhan yang memberikan Hawa kepadanya, jadi bukan salah dia tapi salahnya Hawa.
Waktu Tuhan bertanya kepada Hawa, Hawa menyalahkan iblis yang hadir dalam bentuk ular pada saat itu. Apa yang Tuhan lakukan menghadapi Adam dan Hawa yang menyalahkan orang lain dan tidak mau menanggung kesalahannya itu. Di sini pertama-tama kita bisa melihat bahwa dosa menyalahkan itu adalah dosa yang awal, dosa yang begitu terintegrasi dalam diri manusia dan sudah dilakukan oleh manusia pertama. Tuhan tidak mendengarkan argumentasi Adam dan Hawa, Tuhan langsung berikan hukuman kepada masing-masing. Jadi apa yang harus kita lakukan kepada orang yang memang tidak mau memikul kesalahannya, kita memang harus tetap memberikan tanggung jawab itu kepada dia, jangan sampai kita itu mundur dan memikul tanggung jawab itu. Atau kita mundur dan tidak membebankan tanggung jawab itu kepada orang yang bersalah. Tetap kesalahan harus ditanggung oleh orang yang melakukannya, barulah proses pembelajaran dan perubahan terjadi.
GS : Tapi sering kali hal itu juga sulit dilakukan oleh orangtua, Pak Paul. Karena batasannya tidak jelas, sehingga orangtua ini juga merasa dia mengambil bagian di dalam kesalahan ini, sehingga dia mau meminta tanggung jawab dari anaknya sementara dia tidak bisa.
PG : Bisa jadi orangtua memang bertanggung jawab, tadi saya sudah singgung suasana rumah, perlakuan orangtua terhadap anak itu memang berpengaruh besar. Tapi setelah anak dewasa dia tetap meiliki kesempatan berubah, dia tetap mempunyai pilihan mempertahankan yang dulu yang tidak sehat atau memulai sesuatu yang baru.
Pilihan itu tetap ada, Tuhan tidak pernah menarik pilihan itu dari manusia. Sampai manusia menutup mata dia masih mempunyai pilihan untuk berubah. Kalau orangtua merasa bersalah karena memang ada kesalahan yang dilakukan, itu baik, tapi tetap tanggung jawab si anak itu ada. Jadi orangtua tidak perlu sampai kapanpun merasa dia bersalah, dia harus membayar semuanya. Tidak, ada yang anak itu harus bayar. Saya akan kutib dari
Roma 17:7, "Bayarlah kepada semua orang, apa yang harus kamu bayar." Memang yang Paulus contohkan adalah pajak pada orang yang harus kita bayar pajak, rasa hormat atau takut kepada orang yang kepadanyalah kita harus takut dan hormat. Tapi saya mau tambahkan untuk konteks kita ini, kalau memang kita harus membayar kesalahan kita, bayarlah. Nah ini prinsip kehidupan yang harus kita tanamkan sejak kecil sehingga anak-anak tahu tanggung jawabnya, kewajibannya, membayar kesalahan yang telah diperbuatnya.
ET : Jadi berkaitan dengan mata rantai saling menyalahkan itu, saya mendapat kesan kalau ada salah satu pihak yang mengambil tanggung jawab kemudian mengakui kesalahan, rasanya ini bisa terptus.
PG : Betul sekali. Tuhan tidak menunggu sampai Adam dan Hawa itu mengaku. Tuhan tidak berkata: "OK! Saya tunggu, kalau kamu mengaku barulah nanti saya hukum atau tidak menghukum kamu.&qot; Tuhan tidak demikian, Tuhan tahu mereka bersalah, Tuhan langsung jatuhkan hukuman itu kepada mereka.
Dan kepada iblis yang memang tidak ada jalan lagi dia harus menyalahkan siapa, dia harus terima kesalahannya, Tuhan tetap jatuhkan hukuman kepada dia. Jadi di pihak lingkungan bagaimanakah kita menghadapi orang yang tidak mau memikul kesalahan, kita harus seia, sekata meletakkan kesalahan itu pada pundaknya dan jangan termakan oleh rasa bersalah, mau melakukan sesuatu untuk menolongnya, mengeluarkan dia dari bencananya. Tidak, sekali-sekali kita harus berkata biarkan, biarkan dia menanggung semua itu.
GS : Saya percaya ini menjadi satu bagian yang harus kita kerjakan dalam kehidupan ini dengan berhenti menyalahkan orang lain dan melihatnya secara jujur kalau memang kita salah, ya kita bayar kesalahan itu. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan yang menarik ini juga Ibu Esther terima kasih. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menyalahkan Orang". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.