Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan daripada perbincangan kami beberapa waktu yang lalu, tentang "Menjahit masa laluku", karena masih ada banyak hal yang masih perlu kami perbincangkan pada kesempatan ini. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu, kita sudah membicarakan tentang masa lalu yang dimiliki oleh setiap orang yang merupakan bagian dalam kehidupan kita ini, dan kita akan melanjutkan perbincangan ini. Namun sebelumnya mungkin Pak Paul bisa mengulas sedikit apa yang sudah pernah kita bicarakan.
PG : Pada dasarnya kita mengakui bahwa masa lalu itu memang acapkali berdampak pada kehidupan kita sekarang ini. Nah, dampaknya itu bergantung pada berapa manisnya atau berapa pahitnya hal yng kita alami itu.
Hal-hal yang manis akan membuat kita bangga tentang diri kita dan akhirnya membuat kita berani untuk membuka diri kepada orang lain. Kebalikannya hal-hal yang pahit akan membuat kita malu mengenangnya dan kita mencoba untuk menutupinya dari kehidupan kita sehingga kita tidak mau orang lain mengetahui kehidupan kita itu. Nah masa lalu ini tidak bisa kita lepaskan dari hidup kita, nah sering kali yang kita lakukan adalah untuk yang memang pahit itu akan mencoba untuk merobeknya dari kehidupan kita ibarat baju yang kita sobek. Nah makanya topik pada hari ini adalah "Menjahit masa laluku," dalam pengertian memang kita perlu menempelkannya kembali ke dalam hidup kita dengan cara menjahitnya. Nah jahitan di sini berarti satu lubang demi satu lubang, kita tidak menjahit sekaligus, kita menjahit satu lubang demi satu lubang. Jadi proses penyembuhannya juga akan memerlukan proses satu hal demi satu hal, satu hari lepas satu hari seperti itulah.
GS : Tapi kebanyakan kita itu mencoba untuk justru melupakan masa lalu yang kurang menyenangkan bukan malah menjahitnya, justru kalau bisa itu membuangnya jauh-jauh Pak Paul?
PG : Kalau memang tidak mengganggu kita, silakan kita singkirkan dari benak kita tidak apa-apa, namun kalau memang mengganggu pandangan kita tentang kita, mengganggu emosi kita, dan juga menganggu kita dalam hubungan dengan orang lain, nah kalau sudah sampai ke taraf seperti itu, saya kira kita harus hadapi.
(1) GS : Tapi Pak Paul mengumpamakannya dengan menjahit, itu tentunya tidak menjahit dengan mesin yang canggih, yang bisa cepat, tapi justru menjahit dengan tangan yang tadi Pak Paul katakan satu lubang demi satu lubang. Nah tentu ada suatu teknik tertentu atau cara tertentu yang Pak Paul bisa sampaikan kepada kami dan juga para pendengar, bagaimana sebenarnya langkah-langkah yang diperlukan untuk menjahit masa lalu itu?
PG : Saya membaginya dalam 8 tahapan Pak Gunawan, tahap pertama adalah kita perlu mengakui keberadaan bagian hidup yang memalukan itu, mengakui berarti tidak lagi menyangkalinya. Nah, ini mugkin tampaknya sepele, namun sebetulnya untuk peristiwa yang memalukan kecenderungan kita yang pertama adalah menyangkalinya atau kita mencoba mendistorsinya bahwa o...tidak
begitu kok peristiwanya, o... bukan itu yang terjadi, jadi dengan kata lain kita mencoba untuk mengubah peristiwanya, sehingga tidak lagi persis sama seperti yang kita alami. Nah langkah yang pertama harus kita akui itu benar-benar terjadi seperti itu.
GS : Kalau yang terjadi rasionalisasi Pak Paul?
PG : Rasionalisasi akan penting dan ada tempatnya, namun bukan pada tahap pertama. Jadi tahap pertama tetap harus kita akui apa adanya.
GS : Terus langkah berikutnya Pak?
PG : Kita harus memeriksa pelaku atau penyebab utama peristiwa itu, artinya kita harus melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi, siapa yang bertanggung jawab. Nah, ini bisa menyangku diri kita sendiri yang bertanggung jawab atau orang lain.
Kecenderungan kita sering kali berat di kiri atau berat di kanan tidak bisa berada di tengah-tengah, kecenderungan kita yang pertama misalnya adalah menyalahkan orang lain. Semua salah orang, semua salah papa mama, salah keadaan, semua salah teman, semua salah gereja, ah semuanya salah Tuhan, jadi kita tidak mau memikul tanggung jawab. Nah, kecenderungan yang berikutnya adalah menyalahkan diri sendiri, semua salah saya, kalau saja saya lebih pintar, saya lebih tanggap, saya lebih mengerti, saya lebih dewasa, saya bertindak seperti ini dan itu, tidak akan terjadi, sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Jadi pada akhirnya semua kesalahan saya. Nah, pada tahap memeriksa kita harus melihat jelas, sebetulnya siapa yang bertanggung jawab, siapa yang melakukannya, apakah saya mempunyai pilihan saat itu. Kalau saya tidak punya pilihan, mengapa pilihan itu tidak bisa saya ambil, kalau misalnya ada pilihan tapi saya tidak bisa mengambilnya, mengapa kok saya tidak bisa memikirkannya dan bertindak seperti itu. Nah, kita harus melihat dengan jelas kesalahan siapa, mungkin sebagian kita sebagian yang lainnya.
GS : Tapi justru untuk obyektif seperti itu, itu yang sulit Pak Paul?
PG : Sangat sulit sekali karena harus kita ingat kalau ini sudah terjadi misalnya 20 tahun yang lampau, berarti masa lalu itu kita akui atau tidak sudah membantu atau membentuk konsep diri kta atau pandangan kita tentang hidup ini, dan sulit sekali untuk kita bisa mengubahnya.
Saya berikan contoh yang gampang, misalnya seperti tadi, atau pada waktu yang terakhir kita membahasnya, sebagai suatu contoh pula. Kalau ada seorang wanita yang kesulitan untuk mempercayai pria karena ayahnya bermain serong dengan wanita lain, dan dia misalkan sudah hidup dengan konsep seperti ini selama 20 tahun. Misalkan ayahnya bermain serong pada saat dia berusia 10 tahun, sekarang dia usia sudah 30 tahun, sudah 20 tahun mempunyai anggapan bahwa laki-laki itu tidak bisa dipercaya, sebab 10 tahun pertama hidupnya sangat mempercayai pria, dalam hal ini ayahnya. Setelah dikhianati dan dikecewakan, dia terpaksa mengubah keyakinannya tentang hidup ini. Nah, ini sudah menjadi bagian dari hidup dia dan menjadi suatu yang integral dalam konsep pemikirannya, bahwa hidup ini perlu berhati-hati terutama terhadap pria, dan saya tidak akan sembarangan dengan pria dan saya harus berhati-hati dengan pria. Jadi sudah membentuk siapa dia, dan cara dia bersikap terhadap hidup ini. Kalau sekarang ini dia mau berubah, dia harus mengubah bukan saja satu keping dari kehidupannya namun seluruh kehidupannya akan berubah. Nah, ini yang kadang kala susah dia lakukan karena berarti dia harus mulai mempercayai pria lagi dan dia itu sudah terbiasa untuk tidak mempercayai pria dan hidupnya sudah relatif aman. Waktu dia harus mempercayai pria lagi wah....resikonya ini jangan-jangan nanti saya ditipu, akhirnya kebanyakan tidak begitu mudah mengubah konsep-konsep ini.
GS : Masalahnya itu memang terkait dengan orang lain Pak Paul, kalau itu cuma menjadi bagian dalam kehidupan kita, mungkin kita bisa lebih mudah untuk mengakuinya secara obyektif. Tapi ini karena menyangkut orang lain dan kita tidak tahu motivasinya pada waktu itu apa sebenarnya Pak Paul.
PG : Betul, jadi dalam kaitan dengan orang lain sebetulnya adakalanya kita ini tidak merasa aman, sewaktu kita harus mengubah pandangan kita itu. Sebab ancaman tiba-tiba muncul kembali, seba masa lalu yang pahit itu sebetulnya hal yang menakutkan, hal yang merugikan kita misalnya.
Jadi kita tidak mau dirugikan untuk kedua kalinya, jadi kita berusaha untuk menjauhkan diri dari ancaman ini.
GS : Maksud saya seperti tadi yang Pak Paul contohkan tentang seseorang yang takut pada laki-laki itu tadi, karena ayahnya sendiri berbuat serong. Padahal dia tidak tahu atau tidak memahami dengan persis kenapa ayahnya serong, mungkin juga ada bagian kesalahan dari ibunya. Apakah itu juga harus diakui Pak Paul?
PG : Perlu sekali, jadi dalam tahap memeriksa ini, dia melihat dengan jelas apa yang terjadi. Ayahnya bermain serong dia harus akui, nah mungkin bisa jadi dia memarahi ayahnya, semua kesalahn ayahnya, atau ada orang yang justru kebalikannya, mengatakan ayah tidak salah, gara-gara ibu seperti ini maka ayah bermain serong.
Jadi memang ada kesimpulan-kesimpulan yang telah terdistorsi yang akhirnya kita miliki. Dalam tahap memeriksa kita harus melihat siapa yang menyebabkan, ataukah memang ada faktor sebab akibat di sini, apakah faktor dua-duanya saling berperan.
IR : Nah Pak Paul, untuk penyelesaian yang lain tadi ada 8 mungkin ada yang lain?
PG : Yang ketiga adalah kita mengizinkan Bu Ida, mengizinkan diri untuk mengekspresikan perasaan yang muncul saat itu, jadi kita mesti berani beremosi baik itu kesedihan kita atau pun kemaraan kita terhadap orang yang memang telah menyakiti kita itu, terhadap orang yang telah merugikan kita itu.
Misalkan orang tua kita bercerai dan misalkan kita bisa berkata OK! Saya mengertilah kenapa mereka bercerai, tapi sebagai seorang anak apa yang kita rasakan tatkala orang tua kita bercerai. Misalnya kita merasa marah, kenapa mereka itu akhirnya meninggalkan saya, sehingga tidak punya lagi kedua orang tua yang utuh. Saya marah kenapa mereka kok tidak bisa menyelesaikan persoalannya, nah perasaan yang awal ini sebaiknya kita kenali kembali dan kita ekspresikan apa adanya. Kadang kala kita takut mengekspresikannya karena berbagai sebab, misalnya kedua orang tua sekarang sudah sangat baik kepada kita, atau suatu hari salah satu orang tua kita sudah tidak ada, sudah meninggal masa kita begitu jahatnya mau marah-marah pada orang yang sudah meninggal. Dan yang harus kita yakinkan diri kita adalah waktu kita mengekspresikan emosi kita bukannya sedang memaki atau menghukum arang tua kita, tapi kita semata-mata mau memberitahukan mereka bahwa saat itu inilah perasaan saya, inilah yang terjadi saya marah, atau saya sedih, saya kecewa atau saya frustrasi dan sebagainya.
GS : Itu harus diungkapkan di depan yang bersangkutan Pak Paul?
PG : Tidak perlu, jadi kita bisa melakukannya sendiri, jadi misalkan waktu kita merenungkannya kita membiarkan diri kita merasakan kembali perasaan itu. Kalau bisa kita bicara langsung kepad yang bersangkutan.
GS : Mungkin jauh lebih baik, supaya ada teman bicara dan sebagainya.
GS : Langkah berikutnya apa Pak Paul?
PG : Kita perlu menerima kenyataan akan adanya suatu yang terhilang akibat peristiwa itu. Contoh misalnya setelah perceraian orang tua kita, ada kebutuhan yang akan terhilang atau sudah terhlang misalnya papa kita yang meninggalkan rumah, karena perceraian ini, kita kehilangan figur papa, belaian kasih sayang papa yang seharusnya kita bisa terima setiap hari.
Sekarang kita hanya bisa nikmati sebulan sekali atau sebulan dua kali. Kita akan kehilangan waktu untuk bercengkerama dengan papa kita, karena sudah tidak ada lagi di rumah, kita kehilangan model di mana kita bisa mencontohnya secara langsung, jadi kita harus akui apa yang terhilang setelah peristiwa itu. Misalnya ada lagi peristiwa yang lain, kita dilecehkan, dihina, nah apa yang terhilang dalam hidup kita setelah itu, keberanian, penghargaan diri, konsep diri yang positif tentang hidup kita ini, nah itulah hal-hal yang terhilang dan kita harus akui.
GS : Dengan mengakui hal-hal yang terhilang itu Pak Paul, apakah kita itu diajak untuk berharap bahwa yang terhilang itu bisa kita penuhi pada saat ini Pak Paul?
PG : Bagus sekali Pak Gunawan, jadi waktu kita menyadari apa yang terhilang, kita juga lebih bisa mengerti, apa yang harus kita lakukan untuk memenuhinya lagi sekarang, meskipun caranya mungin berbeda.
Atau karena mengakui adanya yang terhilang itu kita juga lebih bisa memahami tindakan-tindakan kita sekarang. Misalnya karena kita dulu sering dihina kita menjadi orang yang begitu menggebu-gebu membuktikan diri bahwa saya ini mampu, bahwa orang lain tidak bisa seenaknya saja menghina kita. Nah, kita akhirnya lebih bisa mengerti kenapa saya berperilaku seperti ini, o....saya tidak mau lagi dihina, karena itulah yang terhilang dalam hidup saya.
GS : Jadi Pak Paul setelah mungkin yang kita sudah bicarakan sebagian yang tadi Pak Paul katakan 8, mungkin saya rasa yang terberat itu justru langkah yang pertama itu Pak Paul, untuk betul-betul mau mengakui tentang masa lalu yang memalukan, itu suatu langkah yang cukup berat Pak Paul. Dan di situ sebenarnya peran konselor itu besar sekali, kalau dia tidak bisa menyelesaikannya sendiri.
PG : Sebab begini Pak Gunawan, biasanya kita harus meminjam penerimaan orang lain, sebelum kita bisa menerima diri sendiri. Di hadapan konselor atau orang lain yang bisa kita percayai, waktukita mengakuinya, terus dia memberikan respons bahwa dia menerima kita, nah responsnya itu yang menerima kita seolah-olah menjadi kekuatan untuk kita menerima masa lalu itu.
Sebab dengan kekuatan sendiri, kita seakan-akan tak berdaya untuk menerimanya, tidak bisa lagi kita terima, tapi waktu konselor kita atau sahabat kita ini atau hamba Tuhan kita ini menerima kita apa adanya itu seolah- olah memberikan kita kemampuan untuk memeluk kembali masa lalu yang kita tidak bisa terima itu.
IR : Tapi sebaliknya Pak Paul, kalau orang ini berada dalam kondisi yang justru menekan dia, apa yang harus dia lakukan?
PG : Kondisi yang menekan dia pada masa sekarang akan menyulitkan dia menerima masa lalu itu Ibu Ida, karena apa, karena masa lalu itu akan menambah penderitaannya, meskipun sering kali memag harus dibahas, harus diungkit, dan harus diselesaikan.
Tapi karena dia sudah begitu dalam kesakitan, orang tersebut tidak bisa membayangkan menambah lagi rasa sakitnya. Dia sudah begitu merasa hidup tidak ada gunanya lagi sekarang. Nah, kalau dia harus menambah lagi dengan masa lalunya itu, dia merasa sudah tidak ada lagi kekuatan untuk menanggungnya. Itu sering kali menjadi alasan kenapa orang tidak mau melihat masa lalu tersebut.
GS : Selanjutnya Pak Paul, setelah kita ini mengakui adanya hal-hal yang hilang di masa lalu itu, dan kita mencoba untuk mengisinya pada saat ini langkah berikutnya apa Pak Paul?
PG : Langkah berikutnya adalah menangisi akan kehilangan atau goresan luka itu, jadi kita mengakui sebetulnya apa yang terhilang dari kehidupan kita, dan yang sebetulnya kita sangat rindukandalam hal ini misalnya kerinduan belaian kasih sayang dari seorang ayah.
Silakan kita tangisi, silakan berdukacita karena berdukacita atau proses berdukacita sebetulnya adalah proses menangisi kehilangan sesuatu yang berharga, yang tidak lagi kita dapat nikmati. Jadi silakan kita keluarkan perasaan kita yang sedih itu.
GS : Tapi ada sebagian orang yang memang menganggap bahwa tangisan itu menunjukkan kelemahan dia. Dan ada yang malah bertindak ekstrim, di tengah-tengah justru sebenarnya dia menangis atau pada umumnya orang menangis dia malah bertindak sebaliknya Pak Paul, apakah tindakan seperti itu bisa dibenarkan artinya baik untuk dirinya atau justru merugikan untuk dirinya?
PG : Mungkin untuk waktu tertentu, baik untuk dirinya dalam pengertian mungkin dia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kesedihan. Karena itulah dia membangkitkan semangatnya, dan menjadi serang yang mudah marah dan tidak bisa lagi merasakan kesedihan.
Namun dengan dia menjadi orang yang marah dia menjadi orang yang akhirnya kuat dan tabah menghadapi kekerasan hidup ini. Nah, tapi dalam proses penyembuhan ini memang yang lebih ideal adalah dia kembali kepada sesungguhnya yang terjadi itu yakni ada yang hilang dan dia menangisi yang hilang itu. Kita memang cenderung berkiblat dari satu ekstrim ke ekstrim yang satunya, ada orang yang perlu menangis tapi dia tutupi sehingga yang muncul kemarahan. Ada yang perlu marah tapi dia tidak bisa marah sehingga semua ditutupi dengan tangisannya.
GS : Nah, setelah seseorang itu bisa mengerti atau memahami mengapa semua itu terjadi pada dirinya, apa sebenarnya yang harus dia lakukan Pak Paul?
PG : Berikutnya adalah memahami mengapa peristiwa itu terjadi, jadi ini mengandung unsur mengerti secara menyeluruh, jadi mengerti sungguh-sungguh kaitan-kaitannya dan motivasi pada masing-msing orang yang terlibat, kenapa kok dia sampai begini.
Apa sebabnya o....dia pun dibesarkan seperti ini, o....ayah dulu melihat kakek itu seperti itu, o....ibu juga begini karena itulah keluarga ibu yang membesarkan ibu saat itu, o....saya mengerti kenapa ayah dan ibu sering bertengkar karena mereka hidup dalam kesusahan, tekanan ekonomi begitu berat, sehingga mereka tidak bisa menghadapi stres dengan baik. Sehingga akhirnya kemarahan diluapkan pada anak-anak, o....saya sekarang mengerti. Nah, di sinilah kita merasionalisasi dengan benar, karena sudah melihat faktanya dengan tepat pula.
GS : Jadi ada unsur analisa di sana, menganalisa keadaan pada waktu itu.
PG : Betul sekali. Analisa yang tepat ini akan memberi kita juga pengertian yang jelas, inilah duduk masalahnya.
GS : Berarti masa menangis dan sebagainya, menerima itu tidak bisa dibiarkan berlarut- larut Pak Paul. Jadi ada masanya dia harus berhenti dan mulai secara rasional menganalisa.
PG : Betul, karena kalau hanya emosi saja yang diubahkan itu biasanya tidak permanen, harus ada perubahan secara rasional.
GS : Tapi justru pada saat kita secara rasional bisa menerima itu, entah disadari atau tidak ada perasaan tidak senang dengan orang-orang yang menyebabkan kita mengalami, katakan penderitaan itu, masa lalu yang kurang baik itu Pak Paul.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi ini membawa kita ke langkah berikutnya yang ketujuh yakni mengampuni. Mengampuni orang yang bersalah kepada kita, baik itu orang lain maupun diri sendiri, Pak Guawan.
Jadi mengampuni ini terus-menerus maka saya simpulkan bahwa pengampunan rasional mendahului pengampunan emosional. Artinya apa, kita sudah mengampuni secara rasional tapi setelah itu emosi kita masih ada, kita masih marah, nah memang itulah yang biasanya terjadi, urutannya memang begitu; pengampunan rasional itu dulu perlahan-lahan, pengampunan emosional itu baru muncul. Jadi harus kita ulang lagi, ulang lagi, hari ini marah hari ini kita ampuni, besok mendingan lusa marah lagi, lusa kita ampuni lagi terus begitu.
GS : Mungkin dalam hal itu juga Tuhan Yesus mengajarkan kita berdoa untuk bisa mengampuni orang lain.
PG : Betul, dan Tuhan sendiri memang mengaitkan niat untuk mengampuni itu dengan pengampunan dari Allah Bapa. Sebagaimana yang ditulis dalam Matius 6 : 14, 15 "Jikalau kamu tida mengampuni orang yang bersalah kepada kamu, maka BapaKu yang di surga pun tidak akan mengampuni kamu."
Jadi Tuhan memang mengaitkan niat itu, proses pengampunannya memang akan memakan waktu, tapi Tuhan menuntut kita memberikan langkah pertama itu yaitu pengampunan rasional. Sebab sering kali kita ini orang yang enggan memberikan pengampunan.
GS : Tapi Pak Paul berdasarkan pengalaman Pak Paul, atau di dalam konseling orang lain dan sebagainya, mengampuni orang lain dan mengampuni diri sendiri mana yang mudah dilakukan, bukankah itu 2 hal yang sama beratnya?
PG : Kadang-kadang memang tergantung pada apa dampaknya persoalan itu pada dirinya. Ada orang yang mudah mengampuni diri sendiri, ada orang yang lebih sulit mengampuni diri sendiri.
IR : Kemudian langkah yang berikutnya Pak Paul?
PG : Nah, yang terakhir adalah kita mesti akhirnya menjahit atau menyatukan masa lalu yang memalukan itu dengan diri kita yang kita banggakan. Saya sengaja mendampingkan tentang 2 hal ini maa lalu yang memalukan dan diri yang kita banggakan.
Sebab kecenderungan kita adalah mau sempurna Bu Ida yaitu kita menampilkan yang bagus, yang kita banggakan, sementara yang memalukan kita tidak mau lagi. Kalau kita ada baju yang bagus dan kita terbiasa memakai baju yang bagus kita tidak suka memakai baju yang jelek karena sudah menjadi image kita, citra diri kita. Nah, orang yang berani hanyalah orang yang bisa menyatukan keduanya ini di dalam dirinya yaitu berani mengakui bahwa saya ini tidak sebaik yang engkau pikir, ada hal yang memalukan yang pernah saya alami, nah ini saya akan berani memberitahukan kepada saudara sekalian, kepada kita semuanya, nah itu adalah orang yang berani. Sebab kecenderungan kita begitu, makanya ada orang yang kebalikannya berani menonjolkan semua yang jelek karena memang tidak ada yang bagus. Karena memang dia merasa dirinya tidak ada yang bagus makanya dia berani terus menerus memberikan yang jelek-jelek dan terus-menerus melakukan yang jelek-jelek. Manusia sering kali jatuh ke dalam dua kutub yang sangat berbeda ini, akhirnya yang jelek ini semua ditunjukkan tapi dia merasa aman, nah sebaliknya orang yang maunya bagus, dia akan tunjukkan yang bagus. Nah, yang bisa berdiri di tengah-tengah dan merangkul keduanya saya kira itu yang paling sehat, namun justru yang paling susah.
IR : Dan mungkin ada firman Tuhan Pak Paul, yang bisa Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari surat Filipi 1 : 6, "Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu akan meneruskannya, sampai pada akhrnya pada hari Kristus Yesus."
Ayat ini merupakan penghiburan yang besar sekali Ibu Ida untuk kita semuanya, Tuhan sudah memulai pekerjaan yang baik dan Dia berjanji akan meneruskannya sampai pada akhirnya. Jadi kita harus selalu yakin bahwa yang Tuhan sudah lakukan ini akan berlanjut, bukan dengan kuasa dan tenaga kita sendiri, tapi dengan kuasa Tuhan, dengan cara Tuhan dan akhirnya ini bisa kita lewati. Janji Tuhan tidak bohong, jadi bagi siapa yang memang mengalami masa lalu yang buruk dan kita mencoba menyobeknya dari kehidupan kita ini jangan ragu untuk menjahitnya, dan langkah pertama itu Tuhan akan lanjutkan dengan langkah berikutnya.
GS : Saya percaya bahwa Tuhan menghendaki kehidupan kita juga utuh tidak terobek-robek juga dengan masa lalu. Karena itu kita masih punya PR, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan menjahit masa lalu itu Pak Paul.
GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang kelanjutan dari pokok pembicaraan kita yang lalu yaitu "Menjahit Masa Laluku" bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 45 B
- Langkah-langkah apakah yang diperlukan untuk menjahit masa lalu?
Comments
anne
Kam, 05/06/2014 - 12:04am
Link permanen
melupakan masa lalu
TELAGA
Sab, 07/06/2014 - 9:15am
Link permanen
Melupakan masa lalu
Jecky
Sel, 19/08/2014 - 9:21am
Link permanen
Apakah Tuhan mau mengampuni saya?
TELAGA
Sel, 19/08/2014 - 10:43am
Link permanen
Ingin konseling
Jecky
Sel, 19/08/2014 - 11:35am
Link permanen
terima kasih buat respon yang
TELAGA
Rab, 20/08/2014 - 10:49am
Link permanen
Telaga
TELAGA
Rab, 20/08/2014 - 11:44am
Link permanen
Telaga
simonaries
Sen, 08/09/2014 - 6:27pm
Link permanen
konsultasi pasutri
TELAGA
Sen, 08/09/2014 - 10:37pm
Link permanen
Konseling di Jakarta