Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghadapi Orang yang Menjengkelkan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Di dalam kita bersosialisasi, berhubungan dengan banyak orang, maunya bertemu dengan orang-orang yang baik yang bisa menyenangkan hati kita tapi faktanya tidak seperti itu. Kita juga menjumpai orang-orang yang sering memancing emosi kita, membuat kita marah, menjengkelkan. Sebenarnya mereka itu sengaja membuat kita jengkel atau bagaimana Pak Paul?
PG : Sebetulnya ada dua kategori Pak Gunawan, kategori pertama adalah orang-orang yang tidak sadar bahwa perilaku mereka menjengkelkan orang lain. Ada orang-orang seperti ini karena memang merea tidak memiliki kepekaan yang tinggi, mereka bukanlah orang yang introspektif, yang bisa bercermin, yang bisa keluar dari dirinya kemudian dari luar menatap dirinya, menilai perilakunya dan bisa menilai perbuatannya.
Ada orang-orang yang memang tidak mudah melakukan hal seperti itu, benar-benar orang-orang ini hanya hidup berespons, berinteraksi dengan lingkungan apa adanya. Dia jarang sekali merenung, memikirkan tindakannya. Orang seperti ini kalau dia berbuat sesuatu yang menjengkelkan orang lain, dia memang sungguh-sungguh tidak menyadarinya dan di dunia orang yang seperti ini bukan sedikit. Jadi kita kadang-kadang harus berhadapan dengan mereka ini.
ET : Dan kadang-kadang orang yang bergolongan ini juga sebenarnya jengkel juga kalau melihat orang lain yang seperti mereka Pak?
PG : Tepat sekali, jadi kebanyakan orang-orang yang mudah jengkel terhadap orang lain adalah orang yang mudah menjengkelkan orang lain pula. Jadi orang-orang ini kecenderungannya memang memaksaan diri, memaksakan kehendaknya pada orang lain atau situasinya.
Susah sekali untuk menerima bahwa orang berbeda darinya, nah tatkala dia menghadapi perbedaan dia marah, dia jengkel, tidak suka. Jadi mungkin sekali kepekaan terhadap dirinya lemah, tidak bisa melihat diri, tapi kepekaan terhadap perbuatan orang sangat tinggi, makanya sangat mudah bereaksi dan jengkel.
GS : Tapi kalau tadi Pak Paul katakan ada sebagian orang-orang yang tidak menyadari bahwa dia menjengkelkan orang lain, berarti ada orang yang sebenarnya tahu bahwa dia menjengkelkan orang lain?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi ada orang-orang yang sebenarnya tahu dia menjengkelkan dan sengaja mengjengkelkan. Mungkin pertanyaannya adalah kenapa ada orang seperti itu, kenapa mau menjengkelkanorang lain.
Nah sebetulnya alasannya sangat sederhana, memang orang-orang ini membutuhkan sesuatu, meminta sesuatu dari orang lain. Maka dia berulah dengan cara menjengkelkan. Saya masih ingat cerita di firman Tuhan tentang Absalom, dia lari ke Gesur karena dia telah membunuh adiknya yakni Amnon. Daud memang marah sekali kepada dia, setelah itu dipanggil oleh Yoab, setelah dia pulang Daud tidak memanggilnya, tidak mengakuinya sebagai anak malah mendiamkan dia, sepertinya dibuang. Nah dia jengkel diperlakukan Daud seperti itu, yang dia lakukan adalah membakar ladangnya Yoab, panglima Daud yang memanggil dia pulang. Dengan kata lain dia berulah, membuat Yoab marah, jengkel, akhirnya Yoab panggil dia dan bertanya, dia bilang, "Kenapa saya dipanggil pulang, tapi diajak bertemu dengan raja Daud." Contoh itu saya kira cukup representatif, melukiskan kenapa ada orang-orang yang sengaja menjengkelkan orang lain. Yang dia butuhkan sebetulnya apa, itu yang perlu kita ketahui. Sudah tentu tidak selalu sama apa yang dibutuhkannya, tapi pada dasarnya kalau orang dengan sengaja mengjengkelkan orang lain, sudah tentu ada sesuatu yang sedang dibutuhkan atau dimintanya.
ET : Itu mengingatkan saya pada anak-anak kecil yang kadang-kadang tidak mendapatkan perhatian dari orangtuanya, terus melakukan sesuatu yang aneh-aneh baru mendapatkan perhatian. Jadi mungkin apa karena keseringan itu Pak?
PG : Saya kira ya, jadi kebanyakan anak-anak yang memang tidak pernah mendapatkan pembentukan yang pas dalam hal ini, cenderung membawa masalah ini sampai di usia dewasa. Maksudnya pas adalah syogianya orangtua melakukan dua hal.
Pertama, waktu anak-anak meminta, orangtua harus memberikan perhatian dan melihat permintaannya itu. Dan kalau memang tepat dan baik buat si anak, seyogianyalah orangtua memenuhi permintaan si anak. Namun sebaliknya orangtua juga sebaiknya tidak selalu menuruti permintaan si anak. Ada waktu-waktu meskipun permintaan itu baik, namun kalau terlalu sering orangtua dapat berkata 'tidak'. Jadi anak-anak memang harus belajar menerima larangan atau kata 'tidak' dari orangtuanya. Sudah tentu si anak tidak dengan begitu saja menerima perbuatan atau larangan orangtuanya, maka dia akan mencoba menerobos tembok yang telah dibuat oleh orangtuanya itu dengan cara berulah. Dengan dia berulah, dia mengharapkan orangtuanya akhirnya memberikan yang diinginkannya itu. Kalau orangtua tidak bisa berdiri tegak dalam disiplin dan akhirnya menuruti, menuruti dan menuruti kemauan si anak, si anak akhirnya terbiasa dan dia bawa kebiasaan ini sampai dia dewasa. Kalau dia meminta sesuatu dan tidak mendapatkannya, dia akan berulah sebab dengan berulah pada akhirnya dia mendapatkan yang dia inginkan. Jadi inilah warisan-warisan masa kecil yang tidak sehat yang kita bawa sampai usia dewasa.
GS : Melihat contoh-contoh yang Pak Paul kemukakan itu biasanya memang antara orang yang menjengkelkan dan orang yang dijengkelkan itu mempunyai relasi yang cukup dekat Pak Paul?
PG : Sering kali begitu Pak Gunawan, sebab memang kita tidak terlalu mudah dijengkelkan oleh orang yang tidak berkaitan dengan kita. Jadi prinsipnya atau hukumnya adalah makin dekat orang itu dngan kita, makin berpotensi dia menjengkelkan kita.
Bahkan dalam kasus-kasus tertentu bukan hanya menjengkelkan kita tapi melukai kita sangat dalam. Jadi memang ukurannya adalah sangat konsisten dengan jaraknya relasi kita dengan orang tersebut. Makin dekat-makin mudah kita terpengaruh dengan perbuatan orang itu.
GS : Sebenarnya hal-hal apa saja yang bisa memicu kejengkelan seseorang itu?
PG : Ada beberapa Pak Gunawan, yang pertama adalah kita cenderung jengkel kalau sesuatu tidak berjalan sesuai dengan kehendak kita. Kita memang sebagai manusia mempunyai keinginan, mempunyai pedirian, mempunyai cara tertentu; akhirnya kita itu mematok diri kita bahwa inilah diri kita, inilah keunikan kita.
Di dalam patokan itu kita cenderung tidak mudah untuk bergeser atau beradaptasi, namun kita harus beradaptasi dengan lingkungan. Itulah pentingnya orangtua di masa anak-anak kecil, menolong anak agar bisa beradaptasi, salah satunya adalah dengan cara tidak selalu memberikan apa yang anak inginkan. Tapi ada anak-anak yang memang tidak terlalu mendapatkan pagar dari orangtuanya, sehingga tatkala besar selalu mau melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Kalau keinginan ini terlalu besar dan dia terlalu kaku, maka dia akan lebih mudah dijengkelkan sewaktu sesuatu terjadi di luar kehendaknya. Namun kebalikannya juga tidak boleh yaitu ada orang yang sama sekali tidak pernah mempunyai patokan, tidak pernah mempunyai pagar sehingga ikut saja kehendak orang, apa kata orang, belok sesuai dengan keinginan orang. Dia mungkin saja tidak pernah jengkel, karena dia ikut saja apa yang orang katakan, rencananya berubah ya tidak apa-apa, tapi di pihak lain orang yang seperti ini kita katakan orang yang mempunyai ego atau diri yang lemah, karena tidak bisa melindungi dirinya, tidak mempunyai diri yang kokoh. Jadi memang diri itu harus mempunyai kombinasi antara kekokohan dan kefleksibelan, nah kalau kita mempunyai dua-duanya barulah kita lebih bisa menyesuaikan diri, sehingga kita tidak terlalu mudah dipicu oleh kejengkelan sewaktu sesuatu tidak berjalan sesuai dengan kehendak kita.
GS : Ada hal lain Pak, selain itu?
PG : Ada Pak Gunawan, yang kedua adalah kalau kita itu relatif normal, biasa-biasa saja, kita mudah sekali dibuat jengkel oleh orang yang tidak peka. Jadi sering kali kita tahu diri, tahu bataskita, tidak mau sembarangan, tidak mau semena-mena, kita biasanya peka dengan orang yang semaunya, yang tidak mau memikirkan orang lain, yang bertindak sekehendak hatinya, ini umumnya memancing reaksi jengkel kita.
Saya sendiri termasuk orang yang seperti ini, sebab saya memang mencoba untuk tahu diri, tidak sembarangan, saya coba tenggang rasa dengan orang. Kalau melihat orang seenaknya, semaunya, itu bisa langsung memicu jengkel dari diri saya. Dan yang terakhir yang membuat kita jengkel adalah benar-benar hal-hal yang memang jahat dan seyogianyalah kita dibuat jengkel oleh kelaliman, kejahatan, ketidakadilan, keboborokan. Jadi kita tidak seharusnya diam-diam dan tidak merasa apa-apa sewaktu kita melihat kejahatan, kebrobokan atau kelaliman. Jadi Tuhan pun memanggil kita untuk bereaksi marah terhadap kejahatan atau terhadap kelaliman dalam hidup ini.
ET : Jadi apa pun latar belakang kita baik soal pagar yang kuat atau tidak kuat, atau kita yang tahu diri, artinya setiap kita akan menghadapi orang-orang yang menjengkelkan dalam kehidupan kit sehari-hari.
Kalau memang orang-orang yang relasinya dekat dengan kita itulah yang menjengkelkan, yang sehat bagaimana untuk menghadapi orang-orang ini atau sikap kita terhadap mereka?
PG : Ada beberapa Ibu Ester, yang pertama adalah sebaiknya kita memfokuskan diri pada apa yang akan kita kerjakan, apa yang menjadi bagian kita. Jadi kita tidak selalu fokuskan pada orang lain.Misalkan terjadi kesalahpahaman antara kita dengan orang tersebut, dan kita dibuat jengkel oleh tindakannya dan sebagainya.
Namun setelah kita merenung, kita menyadari ada bagian kita jugalah di mana kita misalkan terlalu beremosi atau apa. Nah kita langsung datang saja kepada dia dan berkata, "Tadi saya beremosi, saya kira tidak pada tempatnya saya mengatakan hal-hal itu, saya minta maaf." Jadi kita tidak terlalu memusingkan orang tersebut dan reaksinya, karena kalau kita membuat diri kita itu pusing, terpengaruh oleh tingkah lakunya, perbuatannya, akhirnya kita sendiri akan kehilangan diri kita. Kita akhirnya bisa menjadi seperti dia, benar-benar secara harafiah kita bisa menjadi seperti dia. Artinya kita mudah bereaksi, karena dia mudah bereaksi dan kita tidak suka dengan tindakan-tindakannya yang mudah bereaksi. Tapi kalau kita tidak menjaga diri, tinggal tunggu waktu kita bisa seperti dia. Sedikit-sedikit kita pun akhirnya marah dan jengkel.
ET : Padahal pelaku itu mungkin sudah lupa kalau dia telah menjengkelkan kita Pak?
PG : Bisa jadi, dia tidak ingat lagi, nah akhirnya kita yang dibawa oleh emosi menjadi jengkel. Maka saya kira dalam menghadapi orang yang menjengkelkan, kita mesti menjaga keutuhan diri kita, ntegritas kita, kita tetap fokuskan pada bagian atau andil kita.
Nah itu yang kita kerjakan, kita lakukan, kita akui, kalau memang ada kesalahan di pihak kita, kesalahan itulah yang kita akui tapi kalau memang tidak ada kesalahan di pihak kita ya kita katakan tidak ada kesalahan di pihak kita, kita tidak sengaja membuat-buat kesalahan supaya dia senang. Kedua, kita mesti belajar mengkonfrontasi orang yang memang menjengkelkan kita itu, apalagi kalau kita mendapatkan dukungan bahwa dia bukan saja berbuat kepada kita, tapi juga kepada orang lain. Kita bisa menghampirinya dan berkata, "Saya ingin memberitahukan kamu bahwa tindakan kamu tadi itu yang begini, begini, membuat saya jengkel sekali. Saya merasa kamu tidak peka ya, tidak bisa melihat dampak tindakanmu pada orang lain. " Jadi kita mengkonfrontasi dia, nah pertanyaannya adalah apakah kita harus mengkonfrontasi semua orang yang menjengkelkan kita? Tidak, sebab adakalanya memang orang tersebut tidak bersinggungan dengan kita, tidak dekat dengan kita dan kita sadari kalau kita ngomong seperti itu mungkin saja akibatnya lebih buruk. Dia salah paham, malahan dia makin marah dengan kita; ya jangan, ini harus kita pertimbangkan. Atau faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ini relasi yang penting buat kita, relasi yang dekat dengan kita. Kalau memang tidak terlalu, dan jaraknya jauh, ya sudah kita biarkan saja, karena kita tidak bisa sedikit-sedikit ada hal-hal yang menjengkelkan kita berbicara sama orang, menegur orang. Jadi ada hal-hal yang kita harus abaikan, namun kalau memang orang itu dekat dengan kita, relasi ini penting dan kita merasakan inilah yang Tuhan ingin kita lakukan kepadanya, sebaiknya kita datang kepadanya dan berbicara secara jelas, sampaikan teguran kita kepadanya dengan pas supaya dia bisa mendengarnya. Dan resep terakhir bagaimana menghadapi orang yang menjengkelkan adalah sekali-sekali menghindar, jangan terlalu sering bersinggungan jalan dengan dia, sebab nanti kita terus-menerus dibuat jengkel ya kesal juga.
GS : Sering kali orang yang menjengkelkan kita itu kalau tujuannya belum tercapai, dia melihat kita tidak jengkel, dia malah menjadi-jadi, dia memang berusaha membuat kita supaya jengkel.
PG : Betul, kita tadi sudah bicarakan, orang yang sengaja menjengkelkan memang mempunyai kebutuhannya. Kita coba melihat kebutuhannya itu, apakah memang sesuatu yang sah, apakah sesuatu yang pelu dipenuhi atau dibicarakan.
Kalau memang perlu, kita coba penuhi kebutuhan tersebut, namun kalau kita sadari kebutuhannya ini tidak sah, dibuat-buat, orang ini terus-menerus meminta-minta, tidak mau bertanggung jawab. Yang perlu kita lakukan adalah memang pada akhirnya kita harus mengkonfrontasi kalau orang ini terus-menerus menjengkelkan kita seperti ini. Konfrontasi dengan cara yang assertive artinya tidak kasar tapi jelas, mengungkapkan perasaan kita akibat perbuatannya dan apa yang kita harapkan dari dia sekarang. Yaitu bahwa kita tidak mau dia mengulang-ulang lagi seperti itu, jadi kita bisa berdiri membela diri kita, sehingga dia tahu kita sudah berdiri dan membela diri. Karena orang-orang yang sengaja menjengkelkan ini kalau melihat kita seolah-olah diam-diam saja, seolah-olah kita ini takut atau lemah kepadanya, dia akan menjadi-jadi.
GS : Tapi reaksi kejengkelan ini kadang-kadang bisa berbeda dengan orang lain, maksud saya begini, ada orang yang melakukan sesuatu yang menjengkelkan baik terhadap saya atau istri saya. Saya sudah jengkel, tapi istri saya tidak jengkel dia masih bisa bertahan, kenapa bisa begitu?
PG : Biasanya ini memang terpulang pada kesensitifan kita secara pribadi. Kalau kita memang sensitif, berarti kita reaktif kita lebih mudah bereaksi. Sesuatu yang kita rasakan sangat kita rasakn.
Misalkan kalau orang lain jengkel, harus menerima 5 ons stimulasi atau kejengkelan, baru dia merasakan kejengkelan. Nah orang yang memang sensitifitasnya tinggi, baru terkena 1 ons dia sudah bereaksi. Karena memang dia sensitif, jadi lebih mudah merasakan. Jadi kita memang mesti fear, lapang dada menilai orang. Kadang-kadang kita itu mudah sekali mengecap orang-orang yang bereaksi sebagai orang yang tidak bisa menguasai diri. Sebetulnya tidak selalu begitu karena kadang-kadang ada faktor kesensitifan yang tinggi ini. Jadi salah satu hal yang perlu kita pelajari dalam hidup adalah ini, kita memang tidak harus selalu menyatakan kejengkelan kita itu kepada orang. Karena kalau memang dia sengaja menjengkelkan kita dan melihat kita jengkel, dia akan makin melakukannya, nah ini sesuatu yang mesti kita kuasai. Tidak harus kita menunjukkan kejengkelan, lebih baik atau kadang-kadang kita kontrol reaksi kita, sehingga orang itu pun melihat kita tidak mudah dibuat jengkel olehnya dan mudah-mudahan dia akhirnya kecil hati untuk terus-menerus menjengkelkan kita.
ET : Namun bukankah itu bedanya tipis, nanti lama-lama menjadi apatis?
PG : Kadang-kadang kita harus bersikap seperti itu Ibu Ester, ada orang-orang yang memang terus-menerus menjengkelkan kita dan kita memang tidak berdaya berbuat apa-apa. Misalkan dia adalah ataan kita, kita mau bilang apa; kalau kita sudah siap berhenti dan bekerja di tempat lain ya tidak apa-apa kita berbicara dengan dia terus-terang apa adanya dan mengambil risiko diberhentikan.
Namun kalau kita tidak berani dan tidak mau mengambil risiko itu, terpaksa akhirnya memang kita harus tidak mempedulikan. Artinya ada tempat dan waktu untuk kita kadang-kadang tidak terlalu mempedulikan perasaan kita, tidak selalu kita harus mempedulikan perasaan kita. Sebab orang yang menjengkelkan sebenarnya tipenya adalah orang yang terlalu mempedulikan perasaan, dia mudah bereaksi dan akhirnya kita dibuat jengkel oleh reaksi-reaksi dia yang berlebihan.
ET : Tapi kalau berkaitan dengan alasan yang ketiga yang Pak Paul katakan tentang hal yang berdosa, ketidakadilan, itu bagaimana kita menghadapinya?
PG : Sekali lagi kita harus bertanya apakah yang bisa kita lakukan. Kalau memang ada sesuatu yang bisa kita lakukan ya kita lakukan, tapi adakalanya tidak banyak yang bisa kita lakukan, jadi akirnya kita harus berdiam diri.
Berdiam diri, apakah kita harus membunuh hal-hal yang bersifat moral, jangan, tetap berikan tempat bagi diri kita untuk merasakan kemarahan dan kejengkelan melihat kelaliman, ketidakadilan dan kejahatan. Namun perlu kita sadari ini hanyalah di hati, kita belum bisa menyuarakan atau mewujudkannya dalam tindakan nyata. Saya kira itu adalah fakta kehidupan, kita tidak selalu bisa mengejawantahkan perasaan-perasaan kita keluar, karena situasi tidak selalu memungkinkan.
GS : Nah kejengkelan itu sendiri sebenarnya merugikan kita, kalau kita jengkel sebenarnya yang rugi kita sendiri. Untuk itu apa yang bisa kita lakukan, apakah mentolerir orang itu atau bagaimana?
PG : Nomor satu adalah secara mental kita harus memisahkan diri darinya, artinya kita harus memberi jarak antara kita dan dia. Secara mental kita katakan dia di sana, saya di sini. Jangan secar mental kita merasa dia itu mengerumini kita, secara mental berilah jarak dan cobalah kita tatap, kita lihat masalahnya apa sehingga dia itu mencari-cari kejengkelan.
Kenapa membuat kita jengkel, kita mesti melihat akarnya, apa yang sebetulnya dia butuhkan setelah itu baru kita pikirkan apa yang akan kita lakukan dengan kebutuhannya itu. Sebab kadang-kadang kita juga bisa belajar dari masukan seperti ini. Kadang-kadang memang ada hal-hal yang harus kita perhatikan, tapi kita luput perhatikan sehingga dia akhirnya berulang membuat kita jengkel. Yang klasik untuk contoh ini adalah misalkan suami tidak memberikan cukup perhatian kepada istrinya sehingga istrinya berulah membuat suami jengkel. Nah mungkin sekali ulah si istri benar-benar sebuah sinyal yang harus diperhatikan oleh si suami. Jadi kalau memang kebutuhan itu sah kita penuhi, ya harus kita penuhi. Yang berikutnya adalah kita tidak selalu harus terlalu personal, terlalu menganggap semuanya ini menyerang kita, secara pribadi, sengaja mau menyudutkan kita dan sebagainya. Kadang-kadang kita harus berkata, "ya sudah, dia memang orang seperti itu." Supaya tidak semua hal yang dia lakukan itu terarahnya langsung kepada diri kita dan akhirnya membuat kita marah dan jengkel. Jadi kita harus belajar memisahkan diri.
GS : Pak Paul, dengan berbekal firman Tuhan itu bisa meredakan kejengkelan kita atau paling tidak, tidak membuat kita mudah jengkel. Apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya ambil dari Amsal 13:10, ayat ini sebetulnya lebih cocok untuk orang yang menjengkelkan orang lain. Jadi kita mesti menyadari kita juga bisa menjengkelkan orang, kita periksa dan intropeksi diri sendiri.
"Keangkuhan hanya akan menimbulkan pertengkaran, tetapi mereka yang mendengarkan nasihat mempunyai hikmat." Artinya rendahkanlah diri, jangan angkuh karena angkuh itu hanya akan menciptakan jurang dan perpecahan tapi hendaklah kita merendahkan diri, rela mendengarkan nasihat, sebab makin mendengarkan makin berhikmat. Dan akhirnya relasi kita dengan orang pun makin dipererat.
GS : Jadi firman Tuhan itu juga berlaku bagi kita yang mudah jengkel atau pun dibuat jengkel, atau menjengkelkan orang. Firman Tuhan memang indah sekali, terima kasih Pak Paul, terim kasih juga ibu Ester. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Orang yang Menjengkelkan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.