Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang “Menghadapi Hidup Tak Bermakna". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, yang disebut dengan hidup tak bermakna itu apa ?
PG : Jadi pada dasarnya hidup itu menjadi tidak ada lagi daya tariknya, tidak ada lagi tujuannya dan benar-benar kita merasa semuanya sia-sia, kosong. Inilah yang nantinya dikaitkan dengan perasaan depresi.
GS : Kenapa seseorang bisa punya perasaan seperti itu, Pak Paul ?
PG : Begini, memang bagi kita yang tidak pernah mengalami depresi agak susah untuk kita mengertinya, tapi bagi kita yang pernah mengalami depresi kita mungkin bisa sedikit mengerti kenapa orang bisa sampai depresi. Belum lama ini kita ini kita dikejutkan dengan berita bahwa anak dari Pdt. Rick Warren di Amerika Serikat, seorang Pendeta yang dikenal dengan bukunya “The Purpose Driven Life", dia mengakhiri hidupnya di usia 27 tahun dan akhirnya diceritakan oleh ayahnya bahwa sejak kecil Matthew, anaknya ini, sudah bergumul dengan depresi. Tapi dia bisa bertahan sampai usia 27 tahun, namun di titik itu rupanya dia merasa hidupnya tidak ada lagi tujuan dan maknanya sehingga dia mengakhiri nyawanya sendiri. Jadi depresi harus kita akui adalah sebuah gangguan jiwa yang bukan saja nyata tapi juga berbahaya. Itu sebab penting bagi kita untuk memahaminya dan memang hal pertama yang muncul dalam benak tatkala mendengar kata depresi adalah wajah seseorang yang muram, penampilan yang tak terpelihara atau pandangan mata yang kosong, namun sesungguhnya depresi tidak selalu berpenampakan sama. Dalam kisah Pdt. Rick Warren dalam suratnya, dia menulis bahwa malam itu sebelum Matthew anaknya mengakhiri hidupnya, sebetulnya dia sempat bersama-sama dengan ayah dan ibunya dan menikmati malam yang indah bersama-sama serta ngobrol tapi waktu dia pulang ke rumahnya sendiri, dia langsung mengakhiri hidupnya. Jadi kita tidak bisa memastikan wajah depresi dan kita tidak bisa beranggapan orang yang depresi pasti wajahnya seperti yang saya lukiskan. Ternyata depresi tidak selalu berwajah muram dan penampilannya tidak selalu sembarangan. Jadi saya kira penting untuk kita memahami depresi itu sebagai sebuah perjalanan yang panjang.
GS : Yang lebih sering dikatakan orang-orang adalah stres, apa ada perbedaan yang hakiki atau tidak, Pak Paul ?
PG : Jadi kata stres itu sendiri merujuk kepada tekanannya. Jadi kalau kita merasa tertekan kita mengatakan kalau kita stres, tapi tekanan itu sendiri kita sebut juga stres. Tekanan atau stres kalau menghimpit kita terlalu lama dan berat maka itulah yang akhirnya membuat kita mengalami depresi. Jadi depresi adalah sebuah perasaan tertindih oleh sebuah stres yang berat, yang berkepanjangan.
GS : Jadi depresi tidak tiba-tiba datang dalam diri seseorang, begitu Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi saya mengibaratkan depresi itu seperti sebuah perjalanan dan tidak tiba-tiba kita ini sampai kesana. Jadi sama seperti perjalanan, sebelumnya kita harus melakukan banyak persiapan, depresi juga sama sebelum masuk dan menguasai diri kita sesungguhnya sudah ada tanda-tanda atau persiapan-persiapan yang muncul, sehingga kita mesti memelajari dan mengetahui apa-apa saja supaya kita bisa juga mengantisipasi dan menolong orang lain yang mungkin mengalami depresi.
GS : Apa itu semacam gejala-gejala awal, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi ini adalah gejala-gejala awal yang biasanya kita tidak anggap serius dan kita anggap sebagai depresi namun kalau terus disusul dengan gejala lainnya akhirnya sampai kita pada depresi.
GS : Yang mula-mula nampak apa, atau biasa dirasakan oleh seseorang ?
PG : Biasanya rasa frustrasi. Sudah tentu kalau hanya sekali kita merasa frustrasi maka bukan jaminan kita mengalami depresi, tapi kalau kita sering mengalami frustrasi dalam hidup ini, kenapa hidup ini tidak sesuai dengan harapan dan apa yang diharapkan tidak kunjung datang, sebaliknya apa yang tidak diharapkan terus datang tidak berhenti-henti. Akhirnya frustrasi yang berkepanjangan itu nantinya memunculkan gejala-gejala lainnya atau tanda-tanda lainnya yang akhirnya bisa membawa kita kepada depresi.
GS : Frustrasi itu apakah sama dengan patah semangat atau kehilangan harapan atau apa, Pak Paul ?
PG : Pada saat ini memang masih belum sejauh itu, frustrasi masih dalam perasaan jengkel, marah dan tidak puas kenapa bisa begini lagi, kenapa bisa terjadi lagi. Jadi perasaan-perasaan sebetulnya campuran dari jengkel ada juga marahnya dan perasaan tidak puas, kenapa hidup ini begini maka lebih kepada perasaan itu.
GS : Perasaan itu muncul dari dalam dirinya sendiri atau disebabkan faktor dari luar, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu munculnya dari dalam diri sendiri sebagai reaksi terhadap apa yang terjadi di luar diri kita. Jadi misalkan sebagai contoh, kita sudah mencoba bekerja sebaik-baiknya ternyata di PHK, sekali mungkin kita masih OK dan kita bekerja lagi, dapat dan di PHK lagi, sudah begitu kita susah mencari pekerjaan dan melamar ke sini melamar ke sana, tolak sini dan tolak sana dan akhirnya bisa frustrasi kenapa hidup saya menjadi seperti ini, “Saya sudah berusaha tapi masih saja diberhentikan dan malahan tidak bisa mencari pekerjaan" jadi itulah reaksi terhadap sesuatu yang terjadi di luar harapan kita dan rasanya ini berulang dan tidak sekali saja. Inilah perasaan frustrasi yang saya maksud.
GS : Kalau orang itu memunyai pengharapan yang tinggi misalkan di pekerjaan, dia mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya dan itu sulit dicapainya.
PG : Jadi memang betul apa yang sudah dikatakan -- memang bisa juga depresi muncul atau dalam hal ini masih dalam tahap frustrasi-- frustasi muncul akibat kita sendiri yang menetapkan standart yang tidak realistik, tuntutan yang terlalu tinggi. Orang yang terlalu menekankan kesempurnaan tidak bisa tidak akan lebih rentan untuk mengalami frustrasi.
GS : Kalau frustrasi ini berkelanjutan seperti Pak Paul katakan, apa jadinya, Pak Paul ?
PG : Apabila terus berkelanjutan dan usaha kita menyelesaikannya tidak membuahkan hasil pada akhirnya kita merasa letih, rasanya capek sekali kemudian kita ini berusaha untuk hidup sehat setelah merasa lebih, kita mungkin olah raga dan mencoba berekreasi tapi keletihan terus menggantung, rasanya kita tidak mampu membuat diri kita segar lagi seperti dulu. Jadi ibaratnya kita seperti memikul beban yang berat pada awalnya dan kita baru merasa letih mungkin di malam hari, namun dengan berjalannya waktu, makin hari makin cepat kita merasa letih. Singkat kata makin hari makin panjang waktu letih dan makin singkat waktu bugar. Jadi benar-benar secara fisik kita merasakannya, orang yang mulai mengalami depresi sebetulnya harus was-was. Kalau sudah rasanya mulai letih terus, misalkan kita berkata, “Ini karena kurang tidur" dan tidur lebih banyak, tapi tetap letih. Besoknya kita berpikir “Saya perlu olahraga", olahraga memang bisa membuat lebih segar sedikit tapi kemudian letih lagi, “Mungkin makanan saya yang harus dijaga" kemudian kita mencoba makanan yang lebih sehat, tapi bawaannya letih lagi. Jadi benar-benar secara fisik kita merasakannya.
GS : Dan biasanya orang lari ke obat, karena dikira hanya fisiknya saja yang kurang sehat, lalu minum obat. Tapi masalahnya sendiri sebetulnya bukan itu.
PG : Benar. Orang pada saat-saat seperti ini tidak langsung mengaitkannya dengan beban emosionalnya yang dialami orang cenderung mengaitkannya, “Mungkin saya kurang istirahat, kelelahan kerja atau kita perlu ke dokter supaya lebih sehat dan kita perlu makan ini dan itu" bisa saja ini karena gangguan fisik, tapi kalau memang ada masalah yang kita hadapi dan memang tidak bisa selesai-selesai setelah kita frustrasi untuk waktu yang berkepanjangan, akhirnya kita mulai merasa letih dan apa pun yang kita lakukan untuk menyegarkan tubuh kita rasanya tidak membuahkan hasil.
GS : Sebenarnya penting bagi seseorang untuk mengakui kalau dia sedang frustrasi.
PG : Bahwa ini adalah masalah yang tidak bisa dia selesaikan, jadi perlu dia berbagi cerita untuk bisa menumpahkan perasaannya, itu penting. Mungkin masalahnya tetap tidak selesai, tapi kalau dia bisa menumpahkan perasaannya itu bisa menolong sekali.
GS : Jadi keletihan yang ditimbulkan itu bukan keletihan secara fisik, tetapi karena frustrasinya itu, kalau ini tidak diakui maka akan sulit seseorang untuk pulih.
PG : Waktu orang mengalami depresi, itu yang menjadi salah satu cirinya yaitu orang itu bawaannya letih dan tidur terus karena pikirannya kalau setelah tidur bisa segar tapi tidak, justru makin letih akhirnya tetap frustrasi karena ingin istirahat supaya segar, tidak bisa juga dan setelah bangun tidur tetap saja merasa lelah. Orang yang tidak mengerti akan berkata, “Pada dasarnya kamu malas" tapi misalkan kita mengenal orang itu dan kita tahu sebelumnya dia tidak seperti itu, orangnya rajin, giat bekerja dan sebagainya, tapi sekarang bisa seperti itu. Kalau dulu kita melihat dia seperti apa, tapi sekarang seperti ini maka kita tahu bukannya dia malas, tapi benar-benar dia menapak ke arah depresi.
GS : Tapi biasanya orang yang frustrasi ini agak sulit tidur, walaupun badannya letih tapi dia sulit tidur.
PG : Sebenarnya yang terjadi adalah salah satu gejalanya, orang ini secara fisik tidur tapi secara mental dia tidak tidur, maka waktu dia bangun dia merasa letih karena frustrasinya itu besar dan berat maka dia tidak bisa tidur dengan tenang. Kita untuk bisa tidur maka kita harus relaks dan dia tidak bisa, pikirannya terus berkecamuk dan akhirnya tidurnya tidak benar-benar tidur sehingga keesokan harinya lelah. Kalau ini berlangsung minggu demi minggu maka menumpuklah keletihannya itu.
GS : Apa yang terjadi ketika keletihan itu menumpuk, Pak Paul ?
PG : Ini adalah salah satu reaksi yang bisa bersamaan dengan yang tadi sudah saya gambarkan yaitu menguatnya perasaan reaktif. Yang saya maksud dengan perasaan reaktif adalah perasaan yang timbul sebagai reaksi terhadap situasi yang dihadapi. Memang ini urutan nomer tiga tapi sebetulnya ini bisa juga terjadi pada tahap yang pertama di frustrasi dan bisa terjadi di tahapan yang berikutnya yaitu keletihan. Jadi kalau kita merasa marah misalnya terhadap seseorang yang merugikan kita, perasaan marah ini akan terus menguat pada titik awal ini atau bila kita merasa pahit, “Orang ini bisa seperti ini dan kehidupan kita bisa begitu buruknya" rasa pahit itu makin menguat. Jika kita merasa sedih, “Ini bisa berbuat seperti ini kepada kita dan kita bisa kehilangan ini dan itu" maka perasaan sedih itu akan makin menguat atau kalau kita merasa kecewa maka rasa kecewa itu pun akan makin menguat. Jadi rasa frustrasi nanti akan diikuti oleh keletihan dan selama itu juga perasaan reaktif itu juga akan menguat. Kita sebetulnya bisa mulai mengenali bahwa ini rasanya tidak benar, ada yang tidak beres di dalam hidup kita sebab misalnya kita bilang “10%, 20% dari hidup kita masih bisa normal tertawa dan seterusnya" tapi sebetulnya 80% kalau orang tidak melihat dalam diri kita itu yang ada dalam diri kita adalah perasaan tertentu, kita kalau tidak ada apa-apa maka perasaan kita itu campur-campur banyak, bervariasi. Orang yang sebenarnya sedang menapak ke arah depresi sebenarnya perasaannya warnanya itu satu jadi, kalau dia marah maka dia bisa marah, bisa dia ekspresikan tapi bisa juga tidak dia ekspresikan, kalau dia kecewa maka dia kecewa terus dan semakin mendalam. Kalau dia sedih maka akan sedih terus dan sedihnya itu tidak bisa keluar-keluar dan terus menggenangi perasaannya. Ini yang saya sebut dengan perasaan reaktif yang biasanya akan terus menguat.
GS : Perasaan reaktif itu timbul karena peristiwa yang tidak mengenakkan itu terulang atau karena dia memikirkan sendiri, Pak Paul ?
PG : Sebenarnya tidak harus terulang dan kalau sampai terulang maka reaksinya makin buruk lagi. Sebenarnya kalau tidak terulang pun reaksinya akan terus membayang-bayangi dia. Sebetulnya di tahap ini orang yang bersangkutan tidak mau memunyai perasaan seperti ini terus-menerus dan dia sadar, ini tidak enak. Jadi dia mau lepas juga. Sewaktu banyak orang dan sedang ada kegiatan mungkin dia bisa lupakan, tapi kalau tidak ada siapa-siapa tidak ada kegiatan maka perasaan itu menguat sekali. Jadi biasanya orang yang akhirnya mengalami depresi di awalnya itu ada satu perasaan tertentu yang akan menguasai dirinya.
GS : Itu apa karena dia terus berpikir tentang hal yang dia tidak sukai ?
PG : Tidak bisa tidak memang ya, memang ini tidak selalu dia sendiri yang mau memikirkan. Jadi seringnya perasaan muncul akibat pikiran yang mengingat tapi pikirannya tidak disuruh pun lari ke situ dan mengingat saja.
GS : Selanjutnya apa, kalau sudah timbul perasaan reaktif seperti ini, Pak Paul ?
PG : Kita ini tidak bisa hidup terus-menerus dalam perasaan marah, pahit, sedih atau kecewa. Akhirnya kita terpaksa memisahkan diri dari perasaan itu. Akhirnya kita tidak enak merasa seperti ini terus-menerus dan kita mau bebas dan kita mau pisahkan diri kita dari perasaan itu. Kita berusaha tidak mau merasakan itu dan sekuat-kuatnya kita berusaha. Masalahnya adalah sewaktu kita sedang berusaha memisahkan diri dari perasaan itu, kita pun sebetulnya makin terpisah dari perasaan-perasaan lainnya. Jadi keran perasaan itu satu, jadi kalau kita mau matikan kesedihan kita, keran perasaan kita harus kita matikan, masalahnya adalah begitu kita matikan keran perasaan kita yang terputus bukan hanya perasaan sedih, tapi semua perasaan pun akhirnya mulai berhenti. Itu sebabnya pada akhirnya kita seperti kehilangan perasaan apa pun itu, seperti makan tanpa rasa, begitulah kita menjalani hidup, semua serba hambar dan semua tidak lagi memiliki daya tarik, sebetulnya masalah bukan terletak pada apa yang di luar diri melainkan pada apa yang ada dalam diri kita yaitu kita tidak lagi memunyai ketertarikan atau semangat terhadap hidup. Itu sebabnya semua menjadi hambar.
GS : Sampai ke tahap itu orang belum disebut depresi, begitu Pak Paul ?
PG : Sebetulnya kalau sudah sampai tahap ini dia sudah mendekati sekali. Kalau sudah merasa hambar, perasaan itu sudah tidak bisa dia rasakan, senang dia tidak terlalu senang, kalau kecewa dia tidak merasa kecewa, sedih dia tidak merasa sedih. Jadi dia hanya rata dan biasanya kalau ini berlangsung untuk waktu yang lama kelihatan pada wajahnya, di awalnya tidak kelihatan hanya di dalamnya terjadi kehambaran itu, tapi lama kelamaan kalau benar-benar dalam tahap depresi penampakan wajah pun terlihat datar. Orang yang terkena depresi yang berat penampakan wajahnya seperti mati, tidak ada ekspresi, tidak ada emosi sama sekali. Ini sebetulnya awalnya adalah dari upaya memisahkan diri dari perasaan yang akhirnya membuat dia sungguh-sungguh terpisah dari semua perasaan.
GS : Kalau dia sudah terpisah dari perasaannya, untuk orang mau mendekati dia juga kurang nyaman dan dia pun tidak akan berusaha untuk mendekati dia. Jadi apa yang terjadi, Pak Paul ?
PG : Betul. Memang awal-awalnya orang berusaha menarik dia keluar dan mengajak dia pergi tapi kalau melihat dia rasanya tidak enak perasaan juga tidak enak, apalagi misalnya perasaan yang mendominasinya perasaan marah, jadi bawaannya marah. Jadi tidak bisa tidak dia membuat orang menjauh dari dia. Namun bukan hanya orang menjauh darinya dia pun juga bisa menjauh dari orang jadi akhirnya setelah memisahkan diri dari perasaan dia mulai memisahkan diri dari orang di sekitarnya. Sebetulnya ini dilakukan dengan tidak sengaja, jadi karena beban yang dipikul begitu berat sehingga dia sungguh-sungguh tidak ada lagi energi untuk bertemu apalagi bercengkrama dengan orang. Singkat kata, orang ini memisahkan diri bukan karena dia menolak uluran tangan orang, dia memisahkan diri dan tidak mau bertemu dengan orang karena bertemu dengan orang menjadi terlalu meletihkan. Ini memang sedikit aneh, kenapa bicara dengan orang tapi meletihkan. Bukankah justru seharusnya menyenangkan, bagi orang yang sedang menapak ke arah depresi benar-benar bicara dengan orang atau memikirkan topik yang dibicarakan apa, itu bagi dia terlalu melelahkan sehingga dia tidak tahan, sehingga daripada dia lelah ketemu orang maka lebih baik tidak perlu bertemu orang.
GS : Mungkin itu terkait dengan perasaan yang sudah datar lagi, sehingga dia merasa tidak perlu lagi bicara dengan orang karena tidak ada gunanya, karena bicara ini menggugah perasaan seseorang.
PG : Bisa. Jadi dia ingin memisahkan diri dari perasaan maka lebih baik tidak perlu bicara dengan orang, sebab kalau bicara dengan orang maka perasaannya tergugah kembali, jadi memilih diam. Mungkin dia merasa percuma bicara dengan orang, karena tidak ada jalan keluarnya dan dia tetap harus hidup dengan semua ini maka buat apa bicara dengan orang. Dan tadi disebut juga yaitu keletihan, akhirnya karena kondisinya letih maka membuat dia malas bicara dengan orang lain.
GS : Kalau sudah ke tahap itu, Pak Paul, apakah ada tahap lain yang lebih parah ?
PG : Yang terakhir orang ini akhirnya merasa putus asa, dia tidak bisa lagi melihat adanya harapan, bahwa situasinya akan berubah dan dia tidak lagi melihat hidup layak untuk diperjuangkan sebab baginya hidup tidak lagi bermakna, sehingga di titik ini hidup menjadi begitu mirip dengan kematian, seakan-akan hidup dengan kematian tidak lagi berbeda. Kenapa bisa begitu ? Sebab pada titik ini kendati orang itu masih hidup dia merasa sesungguhnya dia telah mati, karena benar-benar hampir tidak ada bedanya lagi. Itu sebabnya di titik ini godaan mengakhiri hidup menjadi begitu kuat dan sudah tentu pada tahap ini dia benar-benar jatuh ke dalam depresi yang berat.
GS : Biasanya hal itu diungkapkan atau tidak ? Karena ada orang yang mengatakan “Saya lebih baik mati daripada hidup seperti ini" tetapi dia hanya berbicara saja.
PG : Jadi memang ada orang yang akan terus bertahan karena mungkin ada faktor lain dalam hidupnya dan mungkin juga dukungan dari lingkungannya sehingga dia masih bisa pertahankan kendati sebetulnya waktu dia berkata, “Lebih baik aku mati saja, itu sungguh-sungguh mencerminkan isi hatinya, sebab bagi dia hidup dan mati sudah hampir tidak ada bedanya lagi.
GS : Tetapi karena terlalu sering hal itu diungkapkan, orang-orang di sekelilingnya menganggap dia hanya bicara saja, ternyata betul-betul dia bunuh diri.
PG : Kita harus berhati-hati dengan komentar-komentar seperti itu yang keluar dari orang sebab bisa jadi itu memang mencerminkan isi hatinya.
GS : Jadi sebenarnya orang-orang seperti ini butuh pendekatan atau tidak butuh sama sekali, Pak Paul ?
PG : Butuh, Pak Gunawan. Sangat-sangat butuh meskipun dia sendiri sepertinya tidak membutuhkan menutup pintu, malas bicara, tapi dia sungguh-sungguh dalam posisi membutuhkan sekali pertolongan.
GS : Tapi kalau dia menutup diri seperti itu maka kita akan sulit untuk masuk bicara kepada dia.
PG : Betul. Jadi pada titik ini yang diperlukan adalah kesabaran untuk mendampingi, mungkin kita tidak bisa banyak bicara dengan dia, tapi kita perlu datang lagi ke rumahnya dan mengajaknya bicara, kesetiaan seperti itu yang perlu dilihat sehingga dia tahu ada orang sungguh-sungguh peduli dengan dia.
GS : Apakah ada contoh yang dicatat di dalam Alkitab tentang depresi ini, Pak Paul ?
PG : Di Mazmur 62 kita bisa membaca Daud berteriak minta tolong karena dia dalam keadaan yang susah, tapi kita juga melihat di Mazmur 62 itu dia sekaligus memproklamasikan iman yang teguh kepada Allah jadi mulai dengan perkataan, “Hanya dekat Allah saja aku tenang daripada-Nyalah keselamatanku" dan diakhiri dengan “Bahwa kuasa dari Allah asalnya dan dari padaMu juga kasih setia ya Tuhan". Kita tahu Mazmur 62 bukanlah satu-satunya Mazmur Daud meminta tolong, ada begitu banyak teriakan Daud lewat Mazmur, teriakan yang menandakan kesesakan dan keletihannya. Kadang kita pun harus datang dan meminta pertolongan Tuhan berkali-kali walaupun kita tahu Tuhan pasti menolong, namun tetap kita ragu kembali sewaktu menghadapi tekanan hidup. Jadi akhirnya setiap kali kita memohon seakan-akan kita harus mengulang kembali pelajaran beriman dari awal. Tapi tidak apa-apa teruslah memohon, namun jangan lupa akan kuasa dan kasih Tuhan, Ia berkuasa dan Ia mengasihi. Dua hal ini yang menjadi pegangan kita.
GS : Jadi sebenarnya orang yang depresi ini masih punya setitik harapan, yaitu kepada Tuhan.
PG : Sebetulnya terakhirnya adalah Tuhan yang diharapkannya untuk menolongnya, biasanya adalah benteng terakhir orang mengalami depresi.
GS : Terima kasih, Pak Paul, untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Menghadapi Hidup Tak Bermakna" . Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.