Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, bersama Ibu Esther Tjahja, S. Psi. dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan selama ± 30 menit yang pasti sangat menarik dan bermanfaat. Dan perbincangan kami kali ini kami beri judul menghadapi bencana, dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, kehidupan ini sekalipun kita sudah mencoba mengatur sedemikian baik, antisipasi dan sebagainya tapi yang namanya bencana tiba-tiba bisa saja melanda kehidupan ini. Umumnya reaksi apa saja yang bisa muncul, Pak Paul?
PG : Waktu kita menghadapi bencana tidak bisa tidak, Pak Gunawan, kita akan mengeluarkan beberapa reaksi. Ada seseorang yang bernama Elizabeth Ross, dia mencoba menjabarkan reaksi-reaksi kit terhadap krisis yang datang dengan tiba-tiba.
Memang yang memunculkan diskusi kita pada saat ini adalah yang telah terjadi di kota New York dan Washington, di mana ada sekitar 5000 orang baru saja kehilangan nyawanya akibat tabrakan atau usaha yang dilakukan oleh para teroris untuk menghancurkan kedua gedung World Trade Centre dan juga departemen pertahanan Amerika. Kita tahu akan ada lebih dari 5000 orang yang sedang meratapi karena mereka kehilangan orang-orang yang mereka kasihi, kalau ada 5000 orang yang meninggal berarti ada sekian banyak lagi orang yang sedang menangis kehilangan orang-orang itu, nah ini adalah bencana. Tadi Pak Gunawan sudah memulai dengan mengatakan bahwa hidup ini tidak selalu bisa kita kuasai, ada hal-hal yang bisa kita kuasai, ada hal-hal yang sangat di luar kuasa kita, bencana adalah salah satunya. Reaksi pertama yang biasanya kita keluarkan adalah kita sangat shock, terkejut waktu mendengar sesuatu yang menghantam diri kita atau keluarga kita. Bencana di sini tidak harus berbentuk bencana seperti serangan teroris itu ataupun bencana alam, namun ini bisa juga berupa kabar bahwa kita telah menderita penyakit yang terminal misalnya penyakit kanker atau apa. Nah pada saat pertama kali kita mendengar berita itu, biasanya kita berkata apakah benar, tidak mungkin ini menimpa saya, pasti ada kekeliruan. Jadi saya bisa bayangkan misalnya kita mendengar kabar bahwa pesawat telah jatuh dan mungkin ada salah seorang saudara kita yang ada di pesawat itu, reaksi yang alamiah adalah rasanya bukan dia, mungkin naik pesawat yang lain, atau nama itu bisa sama, orangnya belum tentu sama. Jadi sekali lagi reaksi kita adalah reaksi tidak percaya. Waktu kita bereaksi tidak percaya sesungguhnya kita ini sedang dalam proses mencoba menyangkal bahwa itulah yang telah terjadi. Sebelum kita buru-buru berkata bahwa penyangkalan adalah sesuatu yang tidak sehat, saya harus berkata bahwa adakalanya itulah yang dibutuhkan oleh seseorang. Sebelum dia sampai ke tahap menerima dan sebagainya, dia perlu masuk dulu dan berdiam dalam proses penyangkalan yaitu menyangkal bahwa bencana telah menimpanya. Kenapa saya katakan adakalanya memang diperlukan untuk orang itu berdiam dalam proses penyangkalan, sebab pada proses penyangkalan itulah seseorang sebetulnya sedang mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang luar biasa pahitnya.
GS : Tetapi kadang-kadang itu betul-betul terjadi di depan matanya Pak Paul, jadi misalnya seorang ibu yang menyaksikan anaknya menyeberang dan kemudian tertabrak. Atau beberapa waktu yang lalu kita melihat orang tengah melihat challenger pesawat ulang-alik itu langsung meledak di depan matanya, nah pada kasus-kasus seperti itu apakah orang yang melihat itu masih sempat menyangkal lagi?
PG : Saya kira masih tetap secara mental, kita masih tetap bisa berkata ini adalah impian atau rasanya ini tidak mungkin terjadi. Beberapa waktu yang lalu sudah cukup lama kita pernah mewawacarai dua orang ibu yang kehilangan suami mereka secara mendadak.
Dan saya masih ingat salah seorang ibu itu berkata: bahkan setelah suaminya meninggal dunia, dia yang memeluk suaminya waktu meninggal dunia, dia yang ikut membawa suaminya ke kamar jenazah dan sebagainya. Bahkan pada saat itupun, dia masih tidak mempercayai bahwa suaminya itu telah sungguh-sungguh meninggal. Jadi ini memang proses mental yang bertahap, pada tahap pertama memang seseorang berkata saya tahu dia sudah meninggal, namun rasa saya tahu itu rupanya belum sungguh-sungguh mengendap jadi belum sungguh-sungguh turun ke dalam sanubarinya dan memerlukan waktu untuk benar-benar pengakuan bahwa dia sudah meninggal itu baru bisa dirasakan.
ET : Kadang-kadang juga ada orang yang masih mengharapkan terjadinya mujizat, misalnya berkata pasti akan sembuh, pasti akan selamat, apakah ini juga bagian dari pertama?
PG : Saya kira demikian Ibu Esther, jadi pada saat-saat itu orang masih berpikir kalaupun benar-benar terjadi, pasti akan ada jalan keluarnya, Tuhan tidak akan membiarkan kita melewati ini. isalkan kita didiagnosis menderita kanker, kita masih bisa berkata ini sementara saja nanti Tuhan pasti bisa menyembuhkan, itu salah satu reaksi.
Cuma yang lebih umum adalah kita mengatakan mungkin ada kekeliruan, sering kali itu yang kita katakan, dokter bisa salah, alat-alat medis itu bisa salah, belum tentu. Ya sama juga dengan berita bahwa seseorang telah meninggal dunia dalam perjalanan atau apa tidak mungkin itu saudara kita atau pasti itu orang lain. Jadi memang rupanya tahap tidak percaya itu pasti muncul, jarang ada orang yang langsung bisa mengakui apa adanya. Jadi meskipun secara kognitif, intelektual berkata itu telah terjadi, namun pengakuan tersebut belum sungguh-sungguh mengendap turun.
GS : Katakan tahapan itu sudah dilewati Pak Paul, jadi akhirnya mau tidak mau dia harus menerima kenyataan itu, apa reaksinya?
PG : Biasanya adalah kemarahan Pak Gunawan, nah pada saat kita merekam, kita sekarang sedang menantikan reaksi negara Amerika Serikat terhadap orang yang ditunjuk bertanggung jawab atas usah teroris itu.
Kita tahu bahwa negara atau orang-orang di sana dalam keadaan marah, ingin berbuat sesuatu. Jadi reaksi marah adalah reaksi yang sering kali dimunculkan pada waktu kita benar-benar menyadari bencana telah menimpa kita. Pertama-tama kita ingin menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas bencana itu, nah kalau bencana alam sudah tentu kita tidak bisa menunjuk siapa-siapa selain Tuhan. Kita berkata Tuhan Engkau begitu jahat, kenapa Engkau membiarkan ini terjadi, Engkau bisa mencegahnya kenapa Engkau tidak mencegahnya. Kenapa Engkau menguji aku begitu beratnya, kesimpulannya adalah kenapa Engkau begitu kejam, sehingga Engkau menguji aku dengan begitu beratnya. Jadi kita ingin mengidentifikasi, menunjuk siapa yang bertanggung jawab, nah misalkan bencana itu lebih melibatkan manusia lainnya, orang yang kita kasihi ditabrak, kita akan mempunyai kemarahan yang luar biasa terhadap si pelakunya. Atau karena ada kesalahan alat-alat yang mati, alat-alat yang memang dioperasikan terus akhirnya rusak atau apa sehingga terjadi bencana, kita akan benci dan marah terhadap alat-alat tersebut dan tidak mempunyai kepercayaan lagi terhadap alat-alat tersebut. Jadi dalam tahap marah itu kita akan menunjuk siapa yang telah bersalah, kita ingin tahu siapa yang bertanggung jawab. Nah reaksi marah itu akhirnya diikuti dengan tekad, kita mau berbuat sesuatu, kita mau melampiaskan kemarahan kita, sebab kemarahan itu memang energi yang ingin kita keluarkan. Jadi kecenderungannya adalah setelah menunjuk kita ingin berbuat sesuatu untuk melampiaskan kemarahan. Seolah-olah kemarahan kalau sudah dilampiaskan, barulah dibayarkan kerugian akibat bencana tersebut.
GS : Apakah kemarahan itu bisa ditujukan kepada dirinya sendiri, Pak Paul?
PG : Point yang bagus sekali Pak Gunawan, jadi adakalanya sewaktu kita tidak bisa menunjuk orang-orang, Tuhan atau siapapun yang telah bersalah, dan kita hanya bisa menunjuk kepada diri sendri, kita sampai mati akan menyalahkan diri sendiri.
Biasanya terjadi pada orang-orang yang kehilangan orang yang dikasihi, lalu waktu terjadi peristiwa itu memang ada unsur pengabaian atau kelalaian dari pihaknya sendiri. Misalnya seorang yang tanpa sengaja menabrak anaknya sendiri misalnya begitu atau seseorang yang tanpa sengaja membiarkan anak itu di belakang motornya yang tidak begitu kuat memeluknya, sehingga waktu menikung misalnya agak miring akibatnya anak itu terpeleset jatuh, terlempar dari motor dan meninggal dunia atau apa. Nah itu kita tidak bisa salahkan siapa-siapa, kita hanya bisa salahkan diri sendiri. Bisa jadi sampai bertahun-tahun kemudian kita menyalahkan diri sendiri, marah dan benci dengan diri kita.
ET : Dan hal itu tampaknya juga bersifat konflik, Pak Paul. Dalam arti ada orang yang inginnya marah tetapi ketika dia sedang marah yaitu seperti pertentangan antara apa yang dia rasakan denan apa yang dia pikirkan.
Maksudnya secara kognitif dia sudah sepertinya bisa menerima ini memang sudah terjadi, tetapi dia juga ingin marah tapi dalam kemarahannya muncul lagi rasa bersalah, karena seolah-olah apalagi kalau kaitannya sudah menyalahkan Tuhan rasanya konflik sekali begitu apa yang dia alami.
PG : Jadi yang Ibu Esther ingin katakan adakalanya kita memang tidak bisa dengan bebas mengungkapkan kemarahan kita. Jadi kemarahan kita akhirnya tersumbat.
ET : Ya di satu sisi ingin marah, misalnya kalau bencana alam akhirnya harus marah kepada Tuhan, tetapi ketika marah dengan Tuhan akhirnya juga muncul perasaan lain yaitu merasa kenapa saya arah kepada Tuhan, tapi nyatanya saya memang harus mencari sesuatu untuk menjadi obyek kemarahan.
PG : Betul, adakalanya kita beranggapan bahwa kalau kita marah kepada Tuhan, Tuhan akan menghukum kita. Tapi kalau kita saja bisa mengerti sebagai manusia bahwa orang memang ingin mengungkapan kemarahannya akibat bencana yang dialaminya, apalagi Tuhan.
Tuhan pasti mengerti, Dia tidak kabur karena kita marah kepadanya. Jadi silakan misalkan kita mengalami bencana, kita mau marah karena kita mau lari ke mana lagi kalau bukan ke Tuhan ya, sebab bukankah kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya kepada Dia, kenapa masih bisa terjadi kemalangan seperti ini, musibah seperti ini. Jadi reaksi yang normal bagi orang yang sangat bergantung kepada Tuhan untuk mempunyai pertanyaan kenapa Engkau membiarkan ini terjadi. Tidak apa-apa, keluarkan kemarahan itu kepada Tuhan, Tuhan akan mendengarkan, Tuhan tidak akan marah, menghukum kita karena kita menyatakan kemarahan kita kepada Dia daripada tersumbat-tersumbat akhirnya justru akan menghalangi hubungan kita dengan Tuhan. Jadi ada orang-orang yang justru tidak mau lagi bersama dengan Tuhan, menyembah Tuhan karena kekecewaan yang dalam itu.
GS : Tetapi kemarahan itu sifatnya tidak terus menerus Pak Paul, pada saatnya orang itu akan berhenti dari kemarahannya. Kalau proses itu terjadi berarti dia sudah mulai memahami, lalu reaksinya bagaimana?
PG : Untuk bencana yang sudah terjadi biasanya tahap ini akan dilewati, tapi untuk bencana yang terus terjadi misalkan kasus penyakit terminal atau anak yang kita kasihi didiagnosis menderit penyakit terminal, nah kita memasuki tahap yang ketiga yaitu tahap bernegosiasi.
Dalam kasus seperti bencana yang terjadi di New York tidak bisa lagi bernegosiasi, sudah terjadi. Nah dalam kasus seperti penyakit, kita bisa bernegosiasi. Kita berkata kepada Tuhan, Tuhan saya mengaku saya pernah salah dahulu, saya pernah berdosa, nah sekarang ampuni saya. Saya berjanji kalau saya bisa dibebaskan dari bencana ini, saya tidak jadi kena kanker saya akan menjadi hamba Tuhan, saya akan serahkan anak saya untuk melayaniMu dan sebagainya, nah kita tawar menawar. Harapan kita adalah kita akan berhasil membujuk Tuhan agar Tuhan mengurungkan niat-Nya, tawar-menawar itu biasanya kita lakukan dengan sungguh-sungguh, kita benar-benar tadinya marah kepada Tuhan sekarang berbalik. Tuhan, jangan sampai saya ini menderita seperti ini, anak-anak saya masih perlu saya jangan sampai saya meninggal dulu, nanti kalau Tuhan sembuhkan saya, saya akan begini, begitu untuk Tuhan, saya akan menjadi orang yang berbeda atau apa. Jadi kita mencoba bernegosiasi.
GS : Konsep seperti itu apakah bisa diterima Pak Paul, secara iman Kristen atau bagaimana?
PG : Saya kira bisa, sebab kita melihat contoh yang jelas adalah sewaktu Tuhan menyatakan niatnya menghukum Sodom dan Gomora. Abraham diajak untuk berkonsultasi oleh Tuhan dan Abraham diberian kesempatan untuk bernegosiasi meskipun ini tidak persis sama seperti yang kita bicarakan, tapi itu juga bencana yang akan menimpa Sodom dan Gomora.
Abraham bernegosiasi akhirnya Tuhan berkata kalau 10 orang yang masih menyembah Tuhan, Tuhan tidak akan menghukum Sodom dan Gomora. Tapi memang tidak ada 10 orang lalu Tuhan menghukum, menghancurkan kedua kota itu.
GS : Dalam negosiasi tidak selalu permintaannya itu dikabulkan oleh Tuhan, nah kalau tidak apakah dia tidak bertambah marah lagi kepada Tuhan?
PG : Nah kita masuk ke tahap berikutnya, Pak Gunawan, ini memang tahap marah juga sebetulnya. Memang marah tapi marahnya sudah benar-benar terlalu dalam dan tidak bisa lagi diekspresikan seprti pada tahap sebelumnya.
Marah di sini adalah marah yang sudah berat, berat sehingga tidak bisa lagi dikeluarkan sebagai kemarahan, munculnya sebagai depresi. Makanya tidak heran banyak pasien-pasien penyakit terminal misalnya seperti kanker juga akhirnya menderita depresi. Memang secara emosional, secara sosial dia terputus dari lingkungannya, dia sendirian, dia terisolasi, dia kehilangan orang atau pekerjaan yang disukainya. Memang itu adalah hal-hal yang akan mengurangi kekuatannya dia menghadapi tekanan hidup ini. Tapi salah satu yang memang membuat dia depresi berat adalah kenyataan menghadapi tekanan hidup ini, kenyataan yang dia harus terima bahwa tidak ada jalan lain. Tawar-menawar tidak berhasil saya tetap menderita penyakit yang sama, bencana benar-benar telah datang dan saya tidak bisa lagi mengelak. Konsekuensi akibat buruk itu semua harus saya tanggung dan melihat ke depan benar-benar kesuraman bagaimana membangun lagi, rumah sudah hancur misalkan ini bencana alam, benar-benar menyadari dampak sepenuhnya. Uang yang hilang, uang yang tersisa dan mungkin tidak ada yang tersisa, orang-orang yang dikasihi sekarang tidak ada lagi atau segala macam. Pada tahap depresi sungguh-sungguh semua itu nyata tidak lagi dalam bayang-bayang, pada tahap sebelumnya masih dalam tahap bayang-bayang, karena memang emosi begitu kuat sehingga belum sempat untuk menghitung kerugian. Pada tahap depresilah kita menghitung kerugian dan sadar betapa besar kerugian yang harus kita bayar.
ET : Mungkin atau tidak Pak Paul, orang-orang yang ada di tahap depresi ini tetap menyangkali sesuatu, dalam arti masih berharap kalau memang doanya atau negosiasinya ini tidak terjadi dia seperti bisa terima, tapi di sisi yang lain masih berharap terjadi perubahan lagi?
PG : Kalau masih ada harapan kemungkinan besar memang dia tidak melewati tahap depresinya. Jadi kalau dia kembali ke tahap penyangkalan berarti dia keluar dari depresi. Dan saya percaya akanada orang yang seperti itu, saya kira pernah saya menghadapi seseorang yang seperti itu menghadapi kematiannya.
Jadi tetap berkata kalau Tuhan kehendaki saya mau hidup sebab saya masih mau bekerja untuk Tuhan dan tidak pernah membicarakan tentang finalitas kehidupannya bahwa saya akan meninggal dunia. Tetap berkata saya masih mau sembuh, Tuhan akan menolong saya dan saya kira itu hal yang tidak apa-apa. Jadi saya pun sedang menghadapi hal seperti itu saya diamkan, saya biarkan. Saya hanya bertanya apakah dia siap, dia bilang sudah siap kalau harus meninggal. Namun dia tetap mau hidup dan itu yang menolong dia, sehingga dalam rasa sakit yang amat sangat dia tidak ambruk. Dia tetap berharap sampai akhirnya koma dan meninggal dunia, nah itu mungkin lebih sehat daripada harus melewati depresi. Jadi apakah ada unsur penyangkalan, sedikit banyak di situ juga ada, karena tidak mau melihat fakta dengan sangat jelas. Tapi siapapun yang kuat melihat fakta, memang kadang-kadang kita tidak kuat dan tidak apa-apa kembali lagi ke tahap pertama penyangkalan sampai akhirnya kita meninggal dunia.
ET : Tapi batasannya dengan iman tipis sekali, bagaimana Pak Paul?
PG : Ya kita bisa berkata di sini apakah ada unsur iman bahwa Tuhan akan menolong? Ada, adakah unsur melarikan diri? Ya juga ada. Tapi saya kira Tuhan kita Maha Besar, Tuhan akan menerima keua-duanya.
Tuhan akan berkata: "Datanglah kepadaKu hai kamu yang letih dan berbeban berat." Sebab Tuhan pun 'kan dikatakan di kitab Mazmur Dia adalah gunung batuku, Dia adalah menara keselamatanku, aku berlari, berlindung di dalam Tuhan. Jadi Tuhan adalah tempat pelarian kita pula, jadi tidak apa-apa.
ET : Tapi apakah maksudnya tipe kepribadian tertentu bisa mempunyai pengaruh ke tahap-tahap ini Pak Paul? Orang-orang yang bagaimana akan masuk ke depresi, yang biasanya tetap bertahan di poisi pertama yang Pak Paul katakan tadi.
PG : Saya kira yang lebih berpengaruh meskipun ada pengaruh tipe kepribadian, tapi saya kira yang lebih penting adalah kematangan kepribadian seseorang. Semakin matang seseorang dia semakin elewati ini dengan cepat sampai kita masuk ke tahap terakhir nanti.
Tapi semakin kurang matang dia akan lebih mudah terombang-ambingkan begitu, di tipe apapun saya kira bisa terpukul dengan sangat berat, tipe apapun meskipun pengekspresiannya mungkin berbeda. Contoh misalnya orang yang plegmatik kemungkinan tidak akan terlalu mengekspresikan dirinya, namun dia mungkin mempunyai pergumulan batiniah yang luar biasa tapi dia tidak keluarkan.
GS : Pak Paul, kalau seandainya tahap depresi itu sudah dia lalui dan dia mulai sadar, mulai memahami, apa yang terjadi pada diri orang itu?
PG : Tahap terakhir adalah tahap kita ini mengumpulkan kembali hidup kita, kita mengintegrasikan kembali yang telah terjadi, baik kerugian ataupun yang tersisa. Jadi benar-benar secara nyatakita melihat kerugian yang harus kita tanggung tapi kita juga masih bisa menghitung yang tersisa pada diri kita atau kehidupan kita.
Akhirnya kita satukan kembali kepingan-kepingan hidup itu dan memulai hidup yang baru. Saya mau garisbawahi kata 'baru' di sini, Pak Gunawan, sebab adakalanya orang berkata atau berprinsip saya mau kembali seperti hidup yang dulu dan tidak bisa, yang dulu itu sudah tidak ada, misalkan kehilangan orang yang kita kasihi, kehilangan rumah yang dulu tidak akan ada. Jadi kita memang harus membangun sesuatu yang baru, tanpa orang itu, tempat atau benda yang kita sayangi, berarti memang harus memulai yang baru. Jadi di sini sebetulnya sangat diperlukan peranan orang-orang di sekitar kita yang bisa memberikan dukungan, kekuatan sehingga kita bisa bangun kembali, sebab kalau tidak ada dukungan, kekuatan atau alternatif kita akan terus-menerus terpuruk.
GS : Tetapi memberikan dukungan itu juga tidak mudah, Pak Paul, kadang-kadang yang saya alami itu kita cuma memberikan harapan-harapan yang palsu sehingga membuat dia makin terpuruk.
PG : Betul, jadi yang harus kita waspadai adalah memberikan janji atau harapan palsu, tidak akan terjadi. Yang lebih penting pada saat-saat ini adalah tindakan nyata, tindakan nyata misalkantindakan yang sederhana seperti membelikan dia barang-barang keperluan, hal seperti itu justru sudah sangat bermakna.
Sebab pada masa orang menghadapi bencana, kemampuan berpikir dan merencanakannya akan sangat terhambat begitu.
ET : Tapi saya melihat di sisi lain kadang-kadang justru orang yang berminat untuk memberikan dukungan tapi tidak memikirkan, memberi waktu seperti yang Pak Paul katakan. Jadi rasanya, tahap-tahap ini sudah tidak perlu lama-lama dilewati seperti cepat sampai ke tahap yang kelima, padahal tiap orang kapasitasnya berbeda-beda ya?
PG : Tepat, tepat sekali kapasitasnya berbeda dan berapa bermaknanya dalam diri orang juga tidak sama.
GS : Artinya kita tidak bisa paksakan seseorang untuk cepat-cepat ke tahap integrasi, Pak Paul?
PG : Betul, tahap integrasi memang harus muncul secara alamiah tidak bisa dikarbit.
GS : Nah Pak Paul, sekalipun bencana ini rasanya sulit untuk dihindari dan lagi pula kita tidak siap untuk mengantisipasinya, tetapi saya percaya ada firman Tuhan yang bisa dijadikan pegangan bagi kita semua kalau ada suatu bencana yang menimpa kita.
PG : Ada sebuah kesaksian yang akan saya ceritakan sebelum mengutip firman Tuhan, yaitu dari seorang pendeta yang kehilangan anaknya karena kematian. Pendeta ini sering memberikan penghiburn kepada jemaatnya, jadi jemaatnya sekarang ingin tahu apa yang dilakukan oleh si pendeta setelah kehilangan anak yang dikasihinya.
Ternyata si pendeta itu tabah, kuat melewati semuanya dan pada waktu anaknya dikubur, ia berkhotbah atau memberikan kata-kata seperti ini. Satu besi kalau dilempar ke air akan tenggelam, tapi besi yang dipasang dan dibangun menjadi sebuah kapal akan bisa mengapung. Dia berkata kematian anak saya ibarat satu besi itu, yang kalau dilempar ke laut akan tenggelam. Namun sebetulnya itu adalah satu besi yang Tuhan sedang pakai merancang sebuah kapal yang besar dan kapal itu memang tidak bisa saya lihat sekarang, tapi itu adalah rencana Tuhan. Saya kira kesaksian ini memberikan kita satu penghiburan bahwa apapun yang kita alami, akan ditangani oleh Tuhan dan akan menjadi kebaikan. Firman Tuhan di
Kejadian 50:20 berkata "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan." Meskipun jahat dan buruk, Tuhan bisa pakai itu untuk yang baik.
GS : Nah saya rasa ini kesaksian dari Yusuf yang mengalami banyak bencana, tetapi akhirnya Tuhan pimpin dia dengan begitu indah. Jadi itupun bisa terjadi pada setiap kita khususnya para pendengar yang pada saat ini mengikuti acara ini.
Terima kasih sekali Pak Paul dan juga Ibu Esther, saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Bencana". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.END_DATA