Mengapa Sesuatu yang Indah Bisa Berubah Menjadi Begitu Buruk? ( I )

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T498A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Banyak pasangan menganggap pernikahan adalah sesuatu yang indah dan membahagiakan. Namun selang beberapa waktu, pernikahan mereka tidak berjalan harmonis dan ingin bercerai. Ini terjadi karena kekeliruan memahami pernikahan. Pernikahan bukan utopia melainkan ladang kosong yang musti ditanami sebelum dapat dituai hasilnya. Modal cinta haruslah berbuahkan cinta.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Hampir setiap orang pernah memimpikan pernikahan, tetapi hampir setiap orang juga pernah memimpikan perceraian. Kita memimpikan pernikahan, tiada lain tiada bukan, karena kita beranggapan bahwa hidup bersama dengan orang yang kita cintai merupakan puncak dari kebahagiaan hidup. Namun dalam perjalanannya, tidak jarang kita pun menginginkan perceraian, bukan selalu karena kita tidak mencintainya lagi, tetapi karena kita berkesimpulan bahwa kita tidak dapat lagi hidup bersamanya. Mulai dari titik itulah pernikahan pun berubah, dari sesuatu yang indah menjadi sesuatu yang buruk. Ada banyak penyebab mengapa sesuatu yang begitu indah, seperti pernikahan, dapat berubah menjadi sesuatu yang begitu buruk. Pada kesempatan ini kita akan menyoroti dua saja yaitu (a) kekeliruan kita memahami pernikahan dan (b) kegagalan kita memelihara pernikahan. Marilah kita melihat keduanya.

A. Mengerti Pernikahan

Sebelum melakukan apa pun kita perlu memiliki pemahaman yang benar tentang apa yang akan kita kerjakan dan apakah yang dituntut serta ditawarkan oleh apa yang akan kita kerjakan. Sebelum menikah, kita pun mesti mempunyai konsep yang tepat tentang pernikahan; kita juga harus mengerti dengan jelas apakah yang dituntut dan ditawarkan oleh pernikahan.

Nah, masalahnya adalah, oleh karena pernikahan begitu umum dan bukan merupakan sesuatu yang asing, maka kita pun berasumsi bahwa kita sudah mengetahui banyak—dan tepat—tentang pernikahan. Persoalannya adalah, acap kali pemahaman kita tentang pernikahan dan apa yang dituntut serta ditawarkan oleh pernikahan tidak tepat. Sebagai akibatnya, kita mulai menuai masalah tidak terlalu lama setelah kita masuk ke dalam pernikahan. Konflik demi konflik kita alami; relasi bukannya menjadi manis, malah pahit.

Sekarang marilah kita melihat apakah pernikahan itu, namun sebelumnya saya akan membahas satu konsep keliru yang umum kita miliki tentang pernikahan. Sering kali kita berpikir, oleh karena kita menikah atas dasar cinta dan cinta telah terbukti bertahan selama ini, maka cinta akan selalu ada dan menguasai relasi pernikahan. Pada kenyataannya, selama dan sekuat apa pun kita mencintai, cinta bisa luntur atau bertumbuh, bergantung pada kualitas pernikahan. Singkat kata, cinta adalah MODAL sekaligus BUAH dari pernikahan. Kita masuk membawa cinta dan kita membangun pernikahan dengan modal cinta yang kita bawa. Namun, modal ini—cinta—tidak selalu tersedia; suatu saat modal ini akan habis. Supaya tidak habis, modal ini harus menghasilkan buah—yang adalah cinta. Banyak pernikahan dimulai dengan modal cinta yang besar namun karena tidak menghasilkan buah cinta, maka perlahan tetapi pasti, modal cinta habis. Di dalam ketiadaan cinta, relasi nikah berubah kering serta mudah retak.

Hal yang sama dapat saya katakan tentang PERCAYA dan RESPEK. Tidak soal seberapa besar modal percaya dan respek yang kita terima dari dan berikan kepada pasangan, kita harus mengembangkannya sedemikian rupa sehingga akhirnya menghasilkan buah. Sebagai contoh, jika kita tidak setia, maka kepercayaan akan luntur. Sebaliknya bila kita terus setia, maka kepercayaan akan bertambah. Jika kita tidak hidup terhormat, maka respek dari pasangan akan luluh. Sebaliknya bila kita menjalani hidup yang mulia, maka respek akan bertumbuh.

Nah, dari sini kita dapat menarik satu kesimpulan tentang pernikahan. Kita tahu bahwa pernikahan adalah sebuah relasi. Kita pun mafhum bahwa relasi pernikahan adalah relasi terintim—tidak ada relasi yang seintim pernikahan. Mungkin yang belum terlalu kita sadari adalah, makin intim sebuah relasi, makin banyak usaha yang mesti dikeluarkan untuk memeliharanya dan makin besar pengharapan atau tuntutan yang diembankan pada pasangan. Saya berikan contoh. Misalkan kita memunyai seorang teman baik yang tinggal di luar kota. Secara berkala kita mengobrol dengannya baik lewat telepon atau surat. Suatu ketika ia ingin datang mengunjungi kita selama seminggu. Oleh karena ia adalah seorang teman, maka kita pun berusaha keras melakukan banyak hal untuk membuat kunjungannya menyenangkan. Kita menghabiskan banyak waktu, tenaga dan mungkin pula uang, untuk teman kita ini. Dan jangan lupa, ia pun mengharapkan semua itu dari kita. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa makin dekat sebuah relasi, makin banyak usaha yang mesti dikeluarkan untuk memeliharanya. Dan makin besar pengharapan dari pasangan bahwa kita akan melakukan semua itu. Pernikahan adalah sebuah relasi terintim—lebih intim daripada relasi orangtua-anak (yang telah dewasa). Jadi, besarlah usaha yang mesti dikeluarkan untuk memeliharanya dan besar pulalah pengharapan yang diembankan pasangan kepada kita. Bila kita melihat pernikahan sebagai sebuah KONDISI—bukan hanya relasi—maka kita dapat berkata bahwa kondisi "menikah" merupakan suatu kondisi yang sarat tuntutan dan pengharapan. Makin banyak yang terpenuhi, makin banyak buah cinta dan kebahagiaan yang akan dihasilkan. Sebaliknya, makin sedikit yang terpenuhi, makin sedikit pula cinta dan kebahagiaan yang dapat dinikmati. Saya ingin mengusulkan agar kita berhenti membayangkan pernikahan sebagai sebuah utopia—tempat yang begitu penuh dengan kebahagiaan, cinta, percaya dan respek. Sebagai gantinya pandanglah pernikahan sebagai sebuah tanah yang perlu digarap dan ditanami, sebelum dapat dituai hasilnya. Mazmur 126:5-6 mengingatkan, "Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak sorai sambil membawa berkas-berkasnya." Ya, kita yang terus berjalan maju dan tidak berhenti walau air mata berderai akan menuai hasilnya.