Salah satu akibat buruk bertumbuh besar dalam keluarga yang sarat dengan tuntutan adalah hilangnya kesempatan untuk mengembangkan diri. Pada akhirnya kita senantiasa bertanya-tanya, Sebetulnya siapakah saya? Nah, kecenderungan kita dalam mencari jawabannya adalah dengan melihat keluar dan mencari jawabannya di luar diri. Mungkin kita bertekad untuk melakukan sesuatu yang berbeda, dengan harapan bahwa pengalaman yang berbeda itu akan dapat menyingkapkan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Sayangnya usaha mencari jawaban siapakah saya seperti itu tidak tepat.
Berikut akan dipaparkan beberapa masukan.
Hal pertama yang penting kita sadari adalah, sesungguhnya pertanyaan siapakah saya dalam konteks ini TIDAK TEPAT. Pertanyaan, siapakah saya mengandung asumsi bahwa di dalam diri kita sudah ada sebuah diri yang kita sebut saya dan bahwa tugas kita sekarang adalah menemukannya dan mengangkatnya keluar. Seakan- akan jika saja kita dapat menemukannya, maka semua masalah yang berkaitan dengan identitas diri selesai sudah. Asumsi ini tidak tepat sebab pada dasarnya kita BELUM mempunyai diri. Singkat kata, yang kita sebut diri sesungguhnya adalah PEMENUHAN TUNTUTAN belaka, yang diembankan orang kepada kita--mula-mula orang tua dan akhirnya orang-orang di sekitar kita. Itu sebabnya kita tidak perlu berusaha menemukannya lagi sebab memang diri itu tidak pernah ada.
Jadi, tugas kita bukanlah menemukan melainkan MEMBANGUN sebuah diri. Pertanyaan yang lebih tepat adalah, Bagaimanakah caranya membangun diri? Nah, untuk dapat membangun diri, kita perlu mengetahui sebetulnya apakah diri itu. Yang kita sebut diri sudah tentu bukanlah sebuah wujud fisik saja yang kita kenali sebagai diri sendiri. Pada hakikinya yang kita sebut diri merupakan gabungan konsep yang berisikan RESPONS kita terhadap apa yang kita alami dalam hidup.
Dalam membangun diri, sebenarnya yang diperlukan adalah melihat ke dalam dan menanyakan tiga pertanyaan mendasar sewaktu kita tengah menghadapi sesuatu.
(1) adalah, Apakah pendapat saya? Oleh karena kita terbiasa mengikuti pendapat orang, pertanyaan ini pada mulanya membingungkan. Mungkin untuk menjawabnya, kita akan mengutip pendapat orang yang telah tertanam pada diri kita. Itu sebab kita mesti bertanya, sesungguhnya apakah pendapat kita sendiri? Singkat kata kita berusaha memikirkan apa yang tengah terjadi dan mencoba menangkap pendapat kita sendiri, terlepas dari apa yang orang lain katakan.
(2) adalah, Apakah yang saya rasakan? Apakah kita sesungguhnya merasa senang ataukah kita menunjukkan rasa senang karena itulah yang diharapkan? Apakah kita marah? Apakah kita kecewa? Mungkin pada awalnya pertanyaan ini pun terdengar asing sebab kita tidak terbiasa menanyakan hal seperti itu.
(3) adalah, Apakah yang saya inginkan? Buat kita yang terbiasa untuk menekan keinginan pribadi dan hanya melakukan keinginan orang, pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Bukan saja kita telah terbiasa, pada akhirnya kita malah bergantung pada orang. Kadang kita bahkan merasa bersalah memikirkan keinginan sendiri. Memang kita tidak usah repot dan tegang memikirkan keinginan sendiri tetapi pada akhirnya harga yang harus dibayar adalah mahal. Kita tidak pernah berkesempatan membangun diri. Nah, inilah waktunya kita mulai menanyakan pertanyaan ini sebab jawaban yang jujur terhadap pertanyaan ini akan mulai membangun diri kita yang lebih otentik.
Lewat tiga pertanyaan ini, perlahan tetapi pasti kita akan mulai membangun diri. Pada akhirnya tindakan dan keputusan kita akan lebih konsisten dengan siapakah diri kita sesungguhnya.
Amsal 14:15 mengingatkan, Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya. Mungkin di masa lalu kita percaya setiap perkataan karena memang kita tidak mempunyai pilihan lain. Masalahnya adalah setelah sekian lama hanya bergantung pada orang, kita menjadi miskin pengalaman dan kehilangan hikmat. Hikmat diperoleh lewat pemikiran dan pergumulan pribadi,
bukan lewat meminjam pendapat orang. Kita mesti belajar bukan saja untuk mendengarkan suara orang, tetapi juga suara sendiri. Inilah langkah yang membawa kita kepada hikmat.
Ketika Kematian Membayang|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T434A|T434A|MasalahHidup|Audio|Kita tahu bahwa kematian adalah awal dari kehidupan bersama Tuhan kita Yesus di surga, namun kita tetap akan takut tatkala membayangkan kematian. Sesiap-siapnya kita menghadapi kematian, sewaktu mendengar berita bahwa hari-hari kita hidup sudah mulai dapat dihitung, kita akan tetap merasa gelisah. Kenapa kita bisa menjadi begitu takut dan bagaimana cara menghadapi ketakutan itu, di sini akan dibahas dengan lebih rinci.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T434A.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Ketika Kematian Membayang. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, sekalipun kita menjumpai kematian tiap hari dan kita sadar suatu saat kita akan mengalami kematian, tetapi kematian masih tetap merupakan suatu misteri kehidupan ini. Ada banyak hal dimana kita tidak bisa memahami dan malah cerita atau tayangan-tayangan yang ada bukannya memperjelas, tapi malah mengacaukan pandangan kita tentang kematian. Sebenarnya bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Ini topik yang penting kita angkat. Memang akhir-akhir ini saya dipertemukan dengan beberapa teman yang bergumul dengan berbagai sakit penyakit yang berat. Walau relatif masih muda mereka sudah harus membayangkan akhir dari perjalanan hidup mereka. Jadi ini membuat saya bertanya-tanya apa yang harus dilakukan tatkala kematian mulai membayang. Jadi marilah kita melihat sikap yang tepat menghadapi finalitas hidup. Sebab kendati kita tahu bahwa kematian bukanlah akhir kehidupan melainkan awal kehidupan bersama Tuhan di surga, pada umumnya kita tetap akan terguncang tatkala membayangkan kematian secara lebih nyata. Sesiap-siapnya kita menghadapi kematian, sewaktu mendengar hari-hari kita sudah mulai dapat dihitung biasanya kita akan merasakan kegelisahan.
GS : Seringkali orang menanggapi bahwa kita sebagai orang beriman tidak perlu takut, namun kita secara spontan tiba-tiba saja dicekam oleh perasaan takut ketika kita berbicara tentang kematian, bahkan ada sebagian orang yang tidak menganjurkan membicarakan tentang kematian pada saat-saat tertentu.
PG : Betul. Memang sebetulnya ada beberapa tahapan, tapi umumnya di awal-awal pastilah ada kegelisahan. Kalau kita bisa melewati fase kegelisahan itu pada akhirnya kita bisa berdamai menantikan saat dimana Tuhan membawa kita pulang ke rumah-Nya. Tapi tetap saya kira ada masa di mana kita tidak bisa tidak harus bergumul dengan kecemasan kita.
GS : Sebenarnya apa yang membuat seseorang gelisah ketika sadar bahwa kematian sudah dekat ?
PG : Sebenarnya ada tiga yang bisa saya pikirkan. Yang pertama adalah ketidak tahuan akan pengalaman kematian itu sendiri. Apa pun yang kita ketahui tentang kematian bukanlah informasi yang kita peroleh dari pengalaman hidup baik dari diri kita sendiri atau orang lain. Sebagai contoh, mungkin kita belum pernah pergi ke Eropa namun ada banyak orang yang pernah pergi ke Eropa
dan mereka dapat menceritakan pengalaman itu kepada kita secara konsisten, misalnya menara Eiffel yang mereka lihat adalah menara Eiffel yang sama, berbentuk yang sama dan berlokasi yang sama, dan tidak ada yang berkata kalau mereka melihat menara Eiffel yang berbentuk bola. Tidak demikian dengan kematian, kematian mengandung unsur misteri sebab kita tidak memunyai pengalaman pribadi tentang kematian dan kita tidak bisa memeroleh informasi tentang kematian dari orang lain dan kita tidak bisa bertanya, Bagaimana rasanya mati tidak bisa ! Sebab mereka pun tidak memiliki pengalaman tentang hal itu. Oleh sebab itu saya mengatakan kematian mengandung unsur misteri sebab pada esensinya tidak banyak yang kita ketahui tentang kematian secara nyata. Itu sebabnya yang tidak kita ketahui tapi harus kita lalui, hal ini yang menimbulkan kecemasan.
GS : Kalau ada orang yang berkata bahwa dia pernah mengalami kematian untuk sesaat dan kemudian hidup kembali dan bercerita macam-macam tentang pengalamannya, apakah cerita-cerita seperti itu bisa langsung kita percayai, Pak Paul ?
PG : Memang kita tidak bisa berkata itu benar atau tidak benar karena memang sangat subjektif, memang ada yang bisa kita simpulkan sebab ada beberapa yang pernah mencatatkan pengalamannya lewat buku yang ternyata memang memunyai beberapa kesamaan. Bisa jadi itu benar, tapi untuk kita berkata tidak benar pun kita tidak punya alasan. Tapi yang penting adalah kalau pun ada orang yang pernah berkata seperti itu dan kalau pun pernah dibukukan, tapi itu sangat jarang. Kalau kita misalkan berkata, Kota Bandung itu seperti ini... akan ada orang yang berkata, Benar, Bandung seperti ini ... karena banyak orang yang pernah pergi ke kota Bandung. Tapi kalau untuk kematian tidak akan ada orang yang menanggapi, saya kira menemukan orang yang pernah mengalami kematian tidak mudah. Jadi intinya setahu-tahunya kita tentang kematian sebetulnya pengetahuan kita tentang kematian hanyalah sedikit.
GS : Dan rupanya Alkitab juga tidak terlalu jelas mengungkap tentang apa yang akan kita alami pada saat kita mengalami kematian.
PG : Betul, kita hanya tahu bahwa ada kematian setelah manusia jatuh ke dalam
dosa, tapi pengalaman kematian itu sendiri tidak dijabarkan oleh firman Tuhan sebab penekanan firman Tuhan bukan pada kematian, tapi pada kehidupan sebab Tuhan menciptakan kita supaya kita hidup.
GS : Hal lain yang membuat kita gelisah apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua, kematian memisahkan kita dari segala sesuatu yang kita kenal dan sayangi. Singkat kata, kematian menimbulkan kegelisahan sebab perpisahan yang merupakan akibat dari kematian merupakan lawan dari kodrat manusiawi yang kita miliki yaitu kerinduan untuk bersama dan ditemani oleh sesama. Itu sebabnya kematian menciptakan kegalauan. Tidak bisa tidak, tatkala kita membayangkan kematian, kita membayangkan kesepian, kesedihan baik bagi kita yang meninggalkan atau pun bagi mereka yang ditinggalkan. Atau kita mungkin membayangkan bahwa kematian akan menciptakan kesusahan yang besar, baik dalam diri kita maupun dari diri orang yang kita kasihi sebab perpisahan akan membawa perubahan dalam kehidupan. Dengan kata lain,
perpisahan dalam hal ini kematian cenderung menghasilkan kesedihan dan kesusahan, itu sebabnya kecemasan atau kegelisahan yang akan muncul sebab kita sudah membayangkan kesedihan dan kesusahan.
GS : Tapi itu adalah bayangan kita, sebetulnya apa dasarnya, Pak Paul ?
PG : Membayangkan kesedihan dan kesusahan mungkin sekali karena kita pernah mengalaminya, gara-gara orang tua kita meninggal dan kita sedih, kita melihat teman kita ditinggalkan oleh suami atau istrinya atau anaknya mereka benar- benar dirundung oleh kesedihan dan hidupnya menjadi sangat susah dan sebagainya. Jadi akhirnya semua yang pernah kita saksikan itu tidak bisa tidak mengingatkan kita bahwa kematian itu membawa kesedihan yang dalam dan membawa perubahan yang mungkin sekali menyusahkan orang yang ditinggalkan.
GS : Jadi kegelisahan itu muncul karena ada kekhawatiran bahwa akan ada orang di
sekeliling kita akan menderita karena kita meninggal, begitu Pak Paul ?
PG : Betul. Mungkin istri kita bersedih ditinggal kita, anak-anak kita akan sedih kita tinggal, kita pun juga akan bersedih meninggalkan mereka. Jadi itulah yang membuat kita cemas waktu membayangkan kematian.
GS : Yang terakhir sumber kegelisahan ini apa, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah kematian kerap diasosiasikan dengan kesakitan atau penderitaan menahan sakit. Mungkin kita pernah melihat seseorang meregang nyawa dan menyaksikan penderitaannya menanggung rasa sakit, tidak bisa tidak bayangan kematian pun menimbulkan ketakutan sebab pada umumnya kita tidak menyukai kesakitan, sedapatnya kita ingin hidup tanpa rasa sakit dan meninggalkan dunia tanpa rasa sakit pula. Saya ingat pernah berbicara dengan seseorang yang menderita kelumpuhan, dia membagikan ketakutannya menjalani hari tua menghadapi kelumpuhannya itu, dia mengatakan bahwa sekarang dia masih dapat berfungsi relatif bebas walaupun lumpuh, namun di usia yang beranjak tua dia sering mengalami gangguan kesehatan dan dia tidak dapat membayangkan menjalani hidup dalam penderitaan yang lebih berat lagi daripada kelumpuhannya sekarang ini. Memang bayangan akan hidup dalam kesakitan dan penderitaan menjelang kematian membuat kita gamang tatkala memikirkan tentang kematian.
GS : Tetapi tidak semua orang mengalami kegelisahan yang sama. Ada orang-orang tertentu yang mengabaikan apa yang akan terjadi di depan dan merasa semua orang bakal meninggal, jadi dia tidak ada kegelisahan yang besar dalam dirinya.
PG : Ada orang yang tidak memikirkan atau terpengaruh dan ada orang yang melihat kematian itu sebagai bagian dari kehidupan, jadi dia terima dengan pasrah. Memang betul tidak semua orang memberikan reaksi yang sama tentang kematian.
GS : Sebenarnya sikap yang benar menghadapi kematian itu seperti apa, Pak Paul ? PG : Ada beberapa yang bisa saya bagikan yang berkaitan dengan ketiga kecemasan
yang baru kita bahas. Yang pertama adalah kita perlu mengingat bahwa walaupun pengalaman kematian itu sendiri merupakan sesuatu yang misterius namun akhir dari kematian itu sendiri merupakan sesuatu yang terang bukan
misterius. Jadi kendati perjalanan kematian itu sendiri tidaklah jelas dan pasti, tapi akhir dari perjalanan itu adalah jelas dan pasti. Sebagai manusia biasa Tuhan Yesus pun pernah menjalani kematian selama 3 hari, namun setelah itu Dia bangkit. Dengan kata lain, akhir dari perjalanan kematian adalah kebangkitan atau kehidupan yang baru bersama Tuhan di surga. Inilah yang akan dialami oleh semua orang yang percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Jadi setiap kali kita membayangkan kematian yang mendekat usahakanlah untuk membayangkan akhir dari perjalanan kematian itu. Saya berikan contoh, saya pernah menjalani colonoscopy, jadi usus saya diperiksa dan harus dibius total. Saya masih ingat meskipun saya sudah mengetahui prosedur pelaksanaan dan resiko yang minimal, tapi ada sedikit kegelisahan menghadapinya. Ketika saya masuk di kamar operasi saya diajak bicara oleh dokter dan perawat, ternyata di waktu bersamaan mereka tengah membius saya tanpa saya menyadarinya, saya hanya mengingat bahwa saya kemudian menanyakan apakah prosedur itu segera akan dimulai. Yang mengagetkan adalah jawaban mereka bahwa sesungguhnya prosedur colonoscopy sudah dilaksanakan, saya tidak tahu kapan saya tertidur dan kapan saya terbangun, saya hanya merasa berada di antara dua kalimat tapi nyatanya saya telah tertidur lebih dari 30 menit. Demikian juga dengan kematian, kita tidak akan tahu kapan persisnya kita mati dan kita tidak tahu kapan tepatnya kita terbangun. Satu hal yang kita ketahui dengan pasti adalah tiba-tiba kita sudah bersama Tuhan Yesus di surga.
GS : Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan iman seseorang kepada Tuhan Yesus, jadi makin seseorang itu beriman, maka makin tenanglah ia menghadapi kematian itu. Tapi bagaimana dengan orang yang setengah-setengah, berarti kegelisahannya semakin besar ?
PG : Sebab mereka tidak memunyai bayangan akan apa yang akan terjadi setelah kematian itu, itu benar - itu gelap bagi mereka. Jadi sesuatu yang kita tidak bisa ketahui dengan pasti biasanya akan menimbulkan kecemasan, tapi kita tahu anugerah Tuhan sudah diberikan kepada kita dan pengampunan-Nya telah diberikan kepada kita, kita nanti sudah menerima pengampunan dari Tuhan. Jadi kita bisa berkata bahwa meskipun perjalanan kematian itu tetap tidak kita ketahui, gelap dan misterius, tapi akhir perjalanan itu sudah saya ketahui bahwa saya akan bangkit dan saya nanti akan hidup bersama Tuhan.
GS : Apakah hal ini bisa kita sampaikan kepada seseorang yang kita hadapi yang
sedang mengalami saat-saat menjelang ajalnya, Pak Paul ?
PG : Bisa, misalkan kita bisa menggunakan firman Tuhan membacakan dari 1
Tesalonika 4:14 yang berkata, Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.
Jadi kita bisa memberikan kata-kata penghiburan ini sehingga sedikit banyak ini akan dapat mengurangi kegelisahan kita sewaktu membayangkan kematian.
GS : Tapi ada juga orang yang menolak membicarakan tentang itu sebab dia merasa dia harus tetap hidup dan dia harus bisa bertahan dan dia menyangkali keadaan yang sebenarnya.
PG : Ada orang yang tidak siap meninggal atas dasar misalnya anak-anak masih kecil, dia tahu dia masih dibutuhkan oleh anak-anaknya atau dia tahu istrinya sangat bergantung pada dia, atau suaminya sangat menyayanginya sehingga tidak bisa hidup tanpa dia. Jadi banyak alasan mengapa banyak orang yang tidak siap meninggalkan hidup ini. Namun sampai titik-titik terakhir saya kira kita harus mengatakan bahwa, Baiklah meskipun saya tidak siap, tapi rasanya kereta akan membawa saya ke sana maka kita harus menengok bukan saja ke belakang apa yang akan kita tinggalkan, tapi kita harus mulai menengok ke depan Siapa yang akan menyambut kita di sana.
GS : Sebenarnya persiapan seperti ini bisa kita persiapkan jauh-jauh hari sebelum kita menghadapi kematian, begitu Pak Paul ?
PG : Saya kira ya. Misalkan jauh-jauh hari kita lebih sering merenungkan firman
Tuhan yang mengatakan tentang hal seperti ini sehingga kita dikuatkan meskipun kematian adalah sebuah misteri yang tidak kita ketahui, tapi akhir kematian itu sudah kita ketahui bahwa saya akan hidup bersama Tuhan selamanya dan saya akan dibangkitkan setelah saya meninggal.
GS : Hal kedua apa yang harus kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Yang kedua adalah bahwa perpisahan dengan semua yang terkait dengan hidup di dalam dunia merupakan keniscayaan, yang sudah saya singgung bahwa biasanya kita cemas tatkala membayangkan kita harus berpisah karena kematian dengan orang-orang yang kita kasihi, tapi kita harus berpisah dengan relasi yang selama ini kita kenal, sebab di dalam surga relasi yang akan ada bukanlah relasi seperti yang kita pahami selama ini, kita akan saling mengenal namun pengenalan akan diri atau identitas diri tidak memicu reaksi emosional dan mental yang sama. Jadi kita harus menerima fakta ini. Misalkan firman Tuhan mencatat tentang pertanyaan orang-orang Saduki kepada Tuhan, Bagaimana kalau orang ini sudah meninggal, tapi dalam hidupnya dia menikah dengan yang satu dan istrinya meninggal dan kemudian dia menikah lagi dengan yang satu dan seterusnya kemudian bertanya nanti dia istrinya siapa di surga. Tuhan berkata, Engkau tidak mengerti tentang surga sebab di dalam surga tidak ada lagi kawin mengawin, tapi kita bisa mengenali satu sama lain, ternyata ikatan-ikatan yang kita bangun di dalam dunia ini di surga tidak ada, lain. Memang sebuah konsep yang tidak bisa kita pahami namun intinya adalah kita akan saling mengenali tapi keterikatan emosional atas dasar pengenalan itu ternyata sudah berbeda sekali, kita tidak akan berkata, Engkau adalah istriku, anakku, suamiku tidak seperti itu. Memang kita akan berpisah dengan relasi yang kita kenal sekarang ini. Juga kita pun harus menyerahkan siapa yang akan bersama dengan kita di surga ke tangan Tuhan sendiri. Kita harus berserah ke dalam kehendak-Nya yang sempurna dan adil. Mungkin kita harus berpisah selamanya dengan orang-orang tertentu namun kita harus merelakan hal itu terjadi karena kita percaya Tuhan tidak membuat kesalahan dalam pemilihan-Nya, bukankah pada akhirnya tujuan hidup bukanlah bersama dengan orang yang kita kasihi, melainkan untuk melayani dan hidup bersama dengan Tuhan Yesus. Maka di Yohanes 14:2 firman Tuhan memberi kepada kita kepastian, Yesus berkata, Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika
tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.
GS : Memang ini agak sulit untuk dipahami sebab kita di dunia menjalin relasi keluarga misalnya dengan istri, suami, anak-anak sebaik mungkin dan itu menimbulkan ikatan yang makin hari makin erat dan pada waktu menjelang kematian kita harus melepaskan ini hampir secara mendadak atau bahkan lebih cepat dari waktu kita membangunnya dan ini menimbulkan goncangan yang luar biasa dalam diri seseorang.
PG : Memang benar. Tapi kalau kita membayangkan surga tempat kita nanti berdiam bersama Tuhan maka kita harus menerima sebuah fakta yang baru yaitu nanti di surga ikatan emosional itu tidak ada lagi. Jadi misalkan bahwa nanti di surga mungkin kita tidak bertemu dengan anak kita, mungkin kita bisa tahu anak kita tidak ada di sana, tapi ternyata perasaan yang timbul tidak sama, sebab ikatan emosional antara ayah dan anak, ibu dan anak tidak ada lagi. Itu sebabnya Yesus berkata pada orang Saduki tidak ada kawin mengawin di surga, meskipun kita mengenali dia siapa dan mungkin saja kita masih ingat dia adalah istri atau suami kita tapi ternyata perasaan kita lain tidak sama seperti di sini. Jadi perasaan bahwa kita ada keluarga di sana atau tidak ada keluarga di sana, saya kira itu tidak ada lagi. Kita tidak bisa berkata, Senang ya bisa berkumpul bersama keluarga kita tidak seperti itu sebab ikatan-ikatan itu gugur dan kita di surga memunyai sebuah ikatan yang baru, ikatan sebagai keluarga Allah dimana kita berkumpul bersama.
GS : Karena fokus kita hanya pada Tuhan Yesus dan bukan pada hal-hal yang lain. PG : Betul. Jadi sebuah pengalaman yang berbeda. Kalau kita membayangkan
kematian kemudian kita bersedih harus berpisah dan sebagainya, memang kita harus mengingat bahwa kita harus berpisah dengan relasi atau ikatan emosional yang kita kenal sekarang, sebab di surga tidak ada lagi ikatan emosional seperti ini.
GS : Ada orang yang gelisah untuk meninggalkan dunia karena keterikatannya dengan harta benda, dia memikirkan kalau nanti saya meninggal, harta saya hilang semua karena saya tidak bisa membawanya.
PG : Padahalnya nanti di surga, bukan hanya itu tidak dibutuhkan tapi kalau pun ada
benda-benda itu, ikatan emosional dengan benda itu tidak ada lagi, semua digantikan. Tidak ada lagi ikatan seperti yang kita kenal sekarang ini.
GS : Mungkin dia mencarinya dengan susah payah bertahun-tahun, itu menimbulkan kegelisahan bagi orang-orang ini.
PG : Iya, tapi di surga dia harus berpisah dengan semua ini dan tidak ada jalan lain. GS : Hal yang lain apa, Pak Paul, yang berhubungan dengan ini ?
PG : Kita bisa melihat yang ketiga adalah derita dan rasa sakit adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Kita biasanya cemas membayangkan kematian karena membayangkan penderitaan dan rasa sakit menjelang kematian itu, tapi saya mau ingatkan bahwa derita dan rasa sakit adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Misalkan semua wanita yang pernah melahirkan pernah merasakan rasa sakit, semua yang pernah mengalami kecelakaan pernah mengalami rasa sakit dan semua anak yang pernah terjatuh pernah merasakan rasa sakit. Singkat
kata, sesungguhnya rasa sakit dan derita telah menjadi bagian hidup sejak awal. Jika demikian halnya tidak semestinya kita memandang rasa sakit menjelang kematian sebagai penderitaan yang khusus atau terlebih menyakitkan dibanding rasa sakit lain yang pernah kita alami sebelumnya. Bila dengan anugerah Tuhan kita dapat melalui semua rasa sakit itu dengan anugerah Tuhan yang sama, kita akan dapat melewati rasa sakit menjelang kematian jika memang hal itu harus terjadi. Jadi firman Tuhan sudah mengingatkan kepada kita di II Korintus 12:9, Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Kita tahu ini jawaban Tuhan terhadap permohonan Rasul Paulus supaya duri dalam dagingnya itu dicabut oleh Tuhan, penderitaan yang dialaminya itu disingkirkan oleh Tuhan tapi Tuhan berkata, Tidak, sebab Aku akan memberikan kasih karunia-Ku, anugerah-Ku dan itu akan cukup bagimu menghadapi penderitaanmu itu.
GS : Yang mungkin membedakan kalau ada wanita yang melahirkan, kita jatuh kemudian merasa sakit. Pada waktu kita hidup di dunia ini dan kita merasakan kesakitan kemudian ada orang di samping kita menghibur kita memberikan dukungan kepada kita, dan kesakitan menjelang kematian yang dikhawatirkan adalah orang-orang ini tidak ada lagi di sekitar kita dan kita merasa sendirian harus menderita dalam kesendirian, dan itu yang menggelisahkan.
PG : Walaupun sebetulnya kenyataannya adalah dalam rasa sakit menjelang kematian lebih besar kemungkinannya kita juga tidak mengetahui apa-apa lagi sebab kondisi mental kita sudah sangat terpengaruhi sehingga kita tidak begitu menyadari siapa yang ada di sebelah kita dan sebagainya. Saya mendampingi orang sakit dan pernah mendampingi orang yang coma meskipun itu adalah coma yang disengaja untuk menghilangkan infeksi di paru-parunya jadi memang dimasukkan ventilator ke dalam tubuhnya dan orang itu harus dibuat coma sampai infeksi di paru-parunya itu sembuh. Saya masih ingat dan saya bertanya setelah dia bangun dari comanya, Apakah dia menyadari apa yang telah terjadi ? sebab setiap hari saya datang ke sana, setiap hari saya menyanyi buat dia, saya berdoa buat dia, dia jawab, Sama sekali dia tidak tahu kalau saya datang. Jadi saya melihat dia begitu kasihan tapi ternyata dia tidak tahu apa-apa. Dengan perkataan lain, memang mungkin kita harus menderita kesakitan sebelum meninggal, tapi yang seringkali keliru adalah kita beranggapan menjelang kematian kesakitan itu tiba-tiba akan menjadi super besar, ternyata tidak, karena kita sudah dihantam kesakitan di masa yang lampau.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Ketika Kematian Membayang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami
juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Kendati kita tahu bahwa kematian bukanlah akhir kehidupan melainkan awal dari kehidupan bersama Tuhan kita Yesus di surga, pada umumnya kita tetap akan terguncang tatkala membayangkan kematian secara lebih nyata. Sesiap-siapnya kita menghadapi kematian, sewaktu mendengar berita bahwa hari-hari kita hidup sudah mulai dapat dihitung, kita akan tetap merasa gelisah.
Setidaknya ada tiga sumber yang dapat membuat kita gelisah.
1. Pertama adalah ketidaktahuan akan pengalaman kematian itu sendiri.
2. Kedua, yang membuat kita gelisah adalah kematian memisahkan kita dari segala sesuatu yang kita kenal dan sayangi.
3. Ketiga. Kematian kerap diasosiasikan dengan kesakitan atau penderitaan menahan sakit.
Pada umumnya ketiga sumber ini adalah penyebab kecemasan yang timbul tatkala membayangkan kematian. Sungguhpun demikian kita tidak harus terkapar di bawah bayang-bayang kematian. Berikut akan dijabarkan beberapa hal yang dapat memberi kita kekuatan menghadapi bayang-bayang maut :
PERTAMA, KITA PERLU MENGINGAT BAHWA WALAUPUN PENGALAMAN KEMATIAN ITU SENDIRI MERUPAKAN SESUATU YANG MISTERIUS, NAMUN AKHIR DARI KEMATIAN ITU SENDIRI MERUPAKAN SESUATU YANG TERANG. Kendati perjalanan kematian itu sendiri tidaklah jelas dan pasti, tetapi akhir dari perjalanan itu sendiri adalah jelas dan pasti. Sebagai manusia biasa Tuhan kita Yesus pun pernah menjalani kematian-- selama tiga hari--dan setelah itu Ia bangkit. Dengan kata lain, akhir dari perjalanan kematian adalah kebangkitan atau kehidupan yang baru bersama Tuhan di surga. Inilah yang akan dialami oleh semua orang yang percaya pada Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya. Jadi, setiap kali kita membayangkan kematian yang mendekat, usahakanlah untuk membayangkan akhir dari perjalanan kematian itu.
Saya pernah menjalani colonoscopy dan harus dibius total. Saya masih ingat meskipun saya sudah mengetahui prosedur pelaksanan dan risiko yang minimal, tetap ada sedikit kegelisahan menghadapinya. Setelah dibawa
masuk ke dalam kamar operasi, saya diajak bicara oleh dokter dan perawat. Rupanya pada saat yang
bersamaan mereka pun tengah membius saya tanpa saya menyadarinya. Saya hanya mengingat bahwa saya kemudian menanyakan apakah prosedur itu segera akan dimulai. Yang mengagetkan adalah jawaban mereka bahwa sesungguhnya prosedur sudah dilaksanakan. Saya tidak tahu kapan saya tertidur dan saya pun tidak
tahu kapan saya terbangun. Saya hanya merasa berada di antara dua kalimat tetapi nyatanya saya telah tertidur. Demikian pulalah dengan kematian. Kita tidak akan tahu kapan persisnya kita mati dan kita tidak tahu kapan tepatnya kita terbangun. Satu hal yang kita ketahui dengan pasti adalah tiba-tiba kita sudah bersama Tuhan kita Yesus di surga.
1 Tesalonika 4:14 mengingatkan, Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama- sama dengan Dia.
KEDUA, PERPISAHAN DENGAN SEMUA YANG TERKAIT DENGAN HIDUP DI DALAM DUNIA MERUPAKAN KENISCAYAAN. Kita harus berpisah dengan relasi yang selama ini kita kenal sebab di dalam surga, relasi yang akan ada bukanlah relasi seperti yang kita pahami selama ini. Kita akan saling mengenal namun pengenalan akan identitas diri tidak memicu reaksi emosional dan mental yang sama. Jadi, terimalah fakta ini. Yohanes 14:2 memberi kita kepastian akan hal itu, Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.
KETIGA, KITA MESTI MENGINGAT BAHWA DERITA DAN RASA SAKIT ADALAH BAGIAN TAK TERPISAHKAN DARI HIDUP. Semua wanita yang pernah melahirkan pernah merasakan rasa sakit; semua yang pernah mengalami kecelakaan pernah mengalami rasa sakit. Singkat kata, sesungguhnya rasa sakit dan derita telah menjadi bagian hidup sejak awal. Jika demikian halnya, tidak semestinya kita memandang rasa sakit menjelang kematian sebagai penderitaan yang khusus atau terlebih menyakitkan dibanding rasa sakit lain yang pernah kita alami sebelumnya. Dan, bila dengan anugerah Tuhan kita dapat melalui semua rasa sakit itu, dengan anugerah Tuhan yang sama, kita akan dapat melewati rasa sakit menjelang kematian. Firman Tuhan mengingatkan, Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi
sempurna. (2 Korintus 12:9)
1
Kefanaan Hidup|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T434B|T434B|MasalahHidup|Audio|Untuk banyak hal dalam hidup ini kita bersedia mempersiapkan diri, namun sedikit di antara kita yang bersedia mempersiapkan diri menghadapi kematian. Kita perlu melihat fakta tentang kematian dengan jernih agar dapat mempersiapkan diri dengan tepat.|3.3MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T434B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Kefanaan Hidup, kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita menyadari bahwa hidup ini singkat saja, artinya kita tidak mungkin hidup selama-lamanya di dunia ini. Tetapi masalahnya kita kadang-kadang tidak mempunyai perhatian khusus untuk mempersiapkan diri menghadapi akhir dari hidup kita di dunia ini. Bagaimana menurut Pak Paul?
PG : Setuju sekali Pak Gunawan, ironis ya sebab untuk hal-hal yang lebih sederhana dan temporal, lebih sementara, kita itu rela mencurahkan cukup banyak waktu atau mempersiapkan diri. Kita mau menjadi seorang dokter, kita mempersiapkan diri dengan melewati jenjang pendidikan yang berliku-liku dan panjang. Menjadi seorang teknisi, kita belajar dan akhirnya kita menjadi seorang teknisi dst. Tapi ada satu hal yang akan kita semua lewati yakni kematian. Namun sedikit waktu yang kita curahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi fakta dalam hidup ini.
GS : Karena mungkin banyak orang yang menganggap bahwa semua orang pasti mengalami dan berpendapat sudah meninggal ya sudah, sudah habis tidak ada ceritanya jadi tidak perlu ada sesuatu yang dipersiapkan.
PG : Nah, masalahnya adalah sebagian besar dari kita sebetulnya mencoba menghindar dari topik kematian. Ada orang yang sampai-sampai tidak berani hadir di dalam upacara kematian. Tidak berani melihat jasad yang terbujur dalam peti, sama sekali tidak berani. Meskipun tidak mempunyai trauma-trauma tertentu, tidak mempunyai pengalaman buruk, kita hanya tidak mau melihat kematian atau orang yang mati. Kenapa? Karena ada rasa takut kalau saya nanti kena getahnya, nanti keluarga saya yang mengalami musibah ini dan sebagainya. Dengan kata lain banyak di antara kita yang menjauhkan diri dari fakta yang begitu riil ini.
WL : Sebenarnya bertindak seperti itu karena memang takut, kematian merupakan suatu dunia yang sangat menakutkan atau asing, sungguh-sungguh asing. Kita bertanya kepada siapa, semua orang hidup; waktu orang itu mati dia tidak kembali lagi ke kita dan menceritakan pengalaman dia. Itu benar-benar area yang tidak pernah kita masuki, kalau misalnya menikah, kita masih bisa bertanya kepada orang tua kita walaupun ada
yang gagal atau sukses; sekolah atau bisnis masih bisa ada yang ditanya. Kalau orang sudah meninggal tidak bisa Pak Paul, itu benar-benar suatu dunia yang menakutkan atau asing sekali, sehingga orang akhirnya menghindar, Pak?
PG : Saya kira pengamatan Ibu Wulan tepat, bahwa salah satu sumber ketakutan kita terhadap kematian adalah ketidaktahuan kita tentang dunia orang mati, sesuatu yang asing bagi kita. Dan segalanya yang asing tidak kita ketahui, memberikan rasa takut dalam diri kita. Namun menurut saya bukan hanya itu, itu salah satunya; yang lainnya
mungkin ini sama kuat atau malah bisa lebih kuat, kita takut dengan kematian karena kita takut terputus dari kehidupan sekarang ini. Karena kita tahu, begitu kita melangkah masuk ke dunia kematian maka relasi kita dengan dunia yang ada dan yang kita kenal ini, dengan orang-orang, dengan rumah kita, dengan tempat kerja, dengan tempat di mana kita hidup dsb akan terputus. Dan kita takut kehilangan atau lepas dari orang-orang atau dunia yang kita kenal ini. Jadi saya kira ini juga salah satu faktor yang membuat kita takut untuk memasuki dunia yang asing ini yaitu dunia kematian.
GS : Katakan kita mau untuk mempersiapkan diri, apa yang bisa kita lakukan Pak Paul?
PG : Pertama adalah kita mesti menyadari bahwa kematian ialah bukti kefanaan hidup. Hidup ini fana jadi kita harus benar-benar menerimanya seperti apa adanya, jadi kita mesti berdamai dengan keterbatasan kita. Nah memang secara alamiah kita sebetulnya ingin hidup tidak terbatas, kita tidak mau cepat tua, kita tidak mau tubuh kita renta, kita
tidak mau pikiran kita atau memori kita atau otak kita kehilangan daya ingatnya dan sebagainya. Kita seolah-olah menolak untuk maju dalam hidup ini dan menuju pada titik di mana kita makin hari makin terbatas; kita ingin hidup tidak terbatas. Nah, ini yang kita harus singkirkan, kita harus terima bahwa kita ini tidak hidup selamanya. Firman Tuhan menegaskan di Mazmur 90:5 dan 6, Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu. Itulah manusia, pagi hari bertumbuh berkembang, di waktu petang lisut dan layu, ini yang harus kita terima bahwa kita ini terbatas. Dan makin hari kita makin harus menghadapi dan menerima keterbatasan kita. Sampai makin tua-makin tua, makin besarlah keterbatasan yang harus kita terima, di mana puncaknya adalah kita benar-benar dibatasi, stop, berhenti, tidak lagi bernafas. Kita pindah dari dunia hidup ke dunia kematian.
WL : Benar ya, seperti tadi Pak Paul jelaskan, kita itu tidak suka menjadi tua. Jadi saya pikir kita cuma sekadar tahu di kepala ya kita memang fana, tetapi kenapa kecenderungan kita justru mau melawannya atau menolaknya. Misalnya kita berjalan-jalan ke suatu tempat, lalu melihat pemandangan yang indah sekali, gunungnya bagus dsb. Lalu kita otomatis ingin mengabadikan; istilah fotografi mengabadikan, jadi kesannya ingin abadi terus dan kita bisa membawa pulang ke kota kita, bisa kita lihat terus, begitu Pak. Beda sekali dengan faktanya bahwa kita memang fana.
PG : Saya kira pada kenyataannya kita mempunyai dorongan untuk menembus dan melawan
keterbatasan merupakan bukti bahwa kita adalah makhluk spiritual, makhluk rohani. Dan pada dasarnya atau pada awalnya, Tuhan menciptakan kita dengan tujuan kita hidup selamanya. Namun kita tahu dosa masuk ke dalam dunia ini mencemari kita dan seluruh
isi dunia ini, sehingga pada akhirnya hidup manusia tanpa lagi adanya keterputusan. Hidup manusia akhirnya harus melewati keterputusan yakni kematian itu. Itu sebabnya karena kita ini ciptakan Tuhan sesuai dengan gambar Allah dan Allah adalah sempurna dan kekal. Karena kita diciptakan sesuai dengan gambar Allah, jadi kita sekarang mengerti bahwa pada mulanya Tuhan menciptakan kita untuk hidup kekal bersama dengan Dia, namun karena adanya dosa maka kekekalan itu diputus oleh kematian. Nah, kedatangan Kristus untuk menaklukkan kematian atau menyingkirkan kematian itu, sehingga nanti kita memang tetap harus melewati kematian, tapi itu hanya untuk sementara waktu. Setelah kematian nanti kita akan bersama dengan Tuhan kembali.
GS : Bahwa orang hidup pasti meninggal itu banyak orang bisa menerima Pak Paul, tetapi tadi yang Pak Paul singgung bahwa setelah meninggal itu ada kehidupan lagi, itu tidak semua orang bisa memahaminya.
PG : Betul, karena ini bergantung sekali pada nilai-nilai rohani atau agama yang diyakininya, sehingga akhirnya ada orang-orang yang berkata: Ya, saya setelah mati ya sudah stop di situ, tidak akan ke mana-mana, tidak akan ada lagi kehidupan. Kalau ada lagi kehidupan bagaimana? Ya, terserah tidak mau peduli. Nah ada orang yang juga seperti itu. Namun saya kira dengan adanya pengetahuan kalau kita itu ingin menembus keterbatasan dan ingin hidup kekal, saya kira itu membuktikan bahwa memang kita diciptakan pada awalnya untuk hidup kekal. Maka kita harus mempunyai perspektif hidup yang meliputi kekekalan, bukan justru kita menyingkirkan aspek kekekalan.
GS : Lalu apakah ada hal yang lain yang bisa kita persiapkan atau mempersiapkan diri, Pak
Paul?
PG : Ada pelbagai cara yang Tuhan gunakan untuk menghentikan hidup, dan kita tidak bisa memilihnya. Sama seperti kita tidak bisa memilih melalui siapakah kita datang ke dunia
ini. Jadi kita tidak bisa memilih dengan cara apa kita datang (maksud saya melalui siapa) dan kita tidak bisa memilih dengan cara apakah kita akan keluar dari dunia ini. Saya pernah mendengar kesaksian dari seorang pemuda yang terlibat narkoba (ini di negara lain). Dalam kehancuran hidupnya yang terlibat narkoba, dia menjatuhkan diri dari sebuah apartemen (dari lantai berapa saya lupa) tapi tinggi sekali, menghantam mobil tapi dianya hidup, tidak mati hanya duduk di kursi roda. Dengan kata lain, secara manusia kita sudah menganggap orang itu pasti mati lompat dari tingkat berapa di apartemen. Namun Tuhan tidak berkehendak dia mati, maka dia tetap hidup. Maka saya simpulkan kita tidak bisa memilih dengan cara apakah kita meninggalkan dunia ini. Jadi sebetulnya Pak Gunawan, tidak ada cara baik atau cara buruk, tidak ada kebetulan atau kesengajaan, semua hanyalah sarana untuk memindahkan kita dari dunia ini. Saya mau menekankan hal ini, bukannya berarti tidak ada cara yang buruk untuk mati, misalkan membunuh diri (sudah tentu ini cara yang tidak baik). Maksud saya adalah misalkan seseorang meninggal dunia karena penyakit, yaitu penyakit yang tidak merusakkan tubuhnya, hanya jantung yang tiba-tiba mendadak kemudian meninggal dunia. Justru ada orang yang meninggal dunia karena penyakit tetapi sebelum meninggal tubuhnya itu benar-benar dilumat oleh penyakit sehingga tubuhnya rusak sama sekali. Kita tidak bisa berkata: O...yang penyakit jantung itu matinya kok bagus, yang kena penyakit yang satu itu matinya kasihan, matinya buruk. Tidak, jadi sebetulnya dalam pengertian ini tidak ada cara baik atau cara buruk, tidak ada kebetulan atau kesengajaan. Semua hanyalah sarana yang Tuhan pakai untuk memindahkan kita dari dunia ini. Nah, firman Tuhan menjelaskan seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku. Tetapi Yesus berkata kepadanya: Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka. Di ambil di Matius 8:21 dan 22. Apa yang bisa kita simpulkan dari perkataan Tuhan Yesus ini? Tuhan memang tidak mempersoalkan kematian itu, engkau hidup harus ikut Aku, yang sudah mati ya sudah mati. Jadi Tuhan memang tidak mempersoalkan, nah kalau tidak mempersoalkan sudah tentu caranya juga sebetulnya di mata Tuhan, Tuhan tidak mempersoalkan, jadi kita jangan mempersoalkannya. Kita terima bahwa caranya itu benar-benar hak eksklusif Tuhan dan tidak ada cara yang buruk atau cara yang baik, semua hanyalah sarana, di mata Tuhan semua sama sahnya.
WL : Pak Paul, ini berarti masuk ke wilayah kedaulatan Allah. Rasanya kalau bicara tentang sovereignty of God itu mudah-mudah sulit dicerna. Maksud saya mudah bagi orang- orang yang memang dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang cukup bahagia, cukup baik-baik. Tapi sulit bagi orang yang dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang amburadul setengah mati, sulit atau yang miskin sekali. Nah, di tengah-tengah kesusahannya, pada umumnya orang-orang seperti ini mempertanyakan kedaulatan Tuhan, demikian juga masalah meninggal.
PG : Saya kira yang Ibu Wulan katakan itu sangat benar, waktu kita mengalaminya sudah
tentu sangatlah sulit. Untuk melewati masa-masa setelah ditinggal mati oleh seseorang yang kita anggap kematiannya itu mengenaskan atau tidak enak. Misalkan, waktu kita mendengar teman kita mati tenggelam, waduh kita terganggu sekali, bagaimana ya. Menjelang kematiannya apa yang dia pikirkan, itu akan sangat mengganggu sekali dan
sudah tentu itu akan kita alami. Yang ingin saya angkat dan tekankan adalah pada akhirnya kita harus menerima, bahwa caranya itu memang hak eksklusif Tuhan dan semua cara di mata Tuhan itu cara yang sama-sama sah. Tidak ada cara yang lebih kudus, cara yang kurang kudus; kalau memang itu yang harus terjadi, itu sama kudusnya, sama baiknya dengan orang yang meninggal di tempat tidur. Saya ini ingin mengusir atau menepis mitos, kalau orang meninggal di tempat tidur dan sebelum meninggal pendetanya berkhotbah, berdoa, pas mengatakan 'amin' dia mengambil nafas panjang dan langsung mengakhiri hidupnya dan menutup usianya. Wah kita katakan dia benar-benar mati dengan indah sekali, nah ini yang ingin saya tepis. Yohanes Pembabtis mati dengan mengenaskan, kehilangan kepalanya, dipenggal oleh Herodes. Tuhan Yesus mati dengan mengenaskan, Dia dipaku di kayu salib. Nah apakah kematian Yesus dan Yohanes kematian yang buruk dan kematian orang tua yang lain di tempat tidur setelah mendengar khotbah dan berdoa langsung menarik nafas dan pergi, apakah itu kematian yang indah? Tidak. Semua kematian orang-orang kudus adalah baik, indah di mata Tuhan, tidak ada yang lebih mulia dan tidak ada yang lebih tercemar.
GS : Ayat yang tadi Pak Paul kutib dari Matius 8, itu sering kali menimbulkan kesan seolah-
olah Tuhan Yesus itu mengajarkan bahwa kita sebagai anak tidak perlu perhatian lagi dengan orang tua kita yang meninggal, yang penting ikut Aku, yang mati biar mati.
PG : Memang kalau kita hanya melihat secara sepenggal, mudah sekali kita menyimpulkannya seperti itu. Tapi kalau kita melihatnya secara keseluruhan tentang Tuhan dan sikap-Nya terhadap orang tua, kita akan melihat bahwa tidak, Tuhan tidak seperti itu. Contoh, waktu Tuhan disalib, di atas kayu salib Tuhan berkata kepada Yohanes, Inilah ibumu. Dengan kata lain, Tuhan meminta Yohanes untuk memelihara ibunya di dunia ini, yakni Maria. Apa yang bisa kita simpulkan, Tuhan meminta seseorang yang lain untuk memelihara dan mengawasi ibunya, jadi Tuhan peduli dengan keluarganya, tetap sayang. Misalkan di Perjanjian Lama, waktu Tuhan memanggil umat Israel untuk pergi berperang. Tuhan memberikan kesempatan kepada yang baru menikah untuk tidak pergi berperang, silakan diam di rumah, engkau baru menikah uruslah keluargamu dulu, jangan engkau memaksakan diri untuk pergi berperang. Jadi Tuhan di sini memikirkan, peduli dengan keluarga, maka ayat ini tidak bisa kita tafsir hanya sepenggal. Sebab secara keseluruhan kita melihat Tuhan adalah Tuhan yang memikirkan keluarga, maka ada perintah juga hormatilah ayah dan ibumu atau orang tuamu.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan untuk menghadapi kefanaan hidup ini, Pak
Paul?
PG : Sebagaimana yang dikatakan oleh Pdt. Rick Warren, kematian bukanlah terminasi melainkan transisi, peralihan. Jadi hal terpenting menghadapi kematian adalah kepastian kemanakah kita pergi, kita melangkah ke mana itu yang penting. Kadang kita mengagungkan atau sebaliknya menghindar dari kematian. Wah orang ini mati sahid, orang ini mati mulia dan sebagainya atau kita lari dari kematian. Tuhan sendiri tidak membesar-besarkan kematian, kematian hanyalah sebuah transisi. Maka di Roma 8:11
Tuhan berkata, Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang
diam di dalam kamu. Jadi kita jelas tahu, setelah kematian kita akan mengalami
kebangkitan dan kita akan hidup bersama Tuhan. Jadi kita tahu tujuan kita, ini adalah
peralihan, kematian hanyalah menghantar kita masuk ke sebuah tempat di mana kita
akan hidup bersama dengan Allah.
GS : Bagaimana seseorang bisa memperoleh kepastian bahwa setelah meninggal dia akan hidup bersama dengan Allah?
PG : Nah, kita di sini harus kembali pada janji Tuhan di Yohanes 3:16, firman Tuhan berkata: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Kematian dan kehidupan berhubungan erat Pak Gunawan, apa yang kita lakukan sekarang atau yang tidak kita lakukan sekarang berdampak pada apa yang akan terjadi kelak. Maka Tuhan berkata kalau kita percaya kepada Kristus, kita tidak akan binasa. Berarti ini berkaitan dengan yang nanti, yaitu kita tidak akan binasa selamanya melainkan kita akan beroleh hidup yang kekal, hidup yang selamanya bersama dengan Allah. Nah, yang nanti itu ditentukan oleh yang sekarang. Yang sekarang ini apa? Tuhan berkata percayalah kepadaKu, percayalah kepada Kristus Yesus maka kita akan memperoleh yang nanti itu yakni hidup yang kekal. Dan ini menjadi kepastian buat kita, waktu kita meninggal kita tahu ke manakah kita akan pergi, sebab sekarang kita mengerti kematian itu hanyalah transisi saja, peralihan memasuki sebuah tempat yang berbeda.
WL : Bagaimana dengan orang-orang yang memang sudah di dalam Tuhan, yang sudah memperoleh keselamatan, kaitannya dengan penjelasan Pak Paul tentang apa yang kita lakukan sekarang akan berdampak terhadap apa yang terjadi kelak. Berarti nanti, saya punya angan-angan, di sorga nanti bagaimana apakah ada perbedaan kelas-kelas karena perbuatan kita atau pelayanan kita yang berbeda. Atau saya pikir-pikir, tidak mungkinlah kita setara dengan rasul Paulus, rasul Petrus dan sebagainya. Bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira ini alamiah, yaitu kita semua ini anak Allah, kita telah mengaku percaya
kepada Kristus, tapi kita harus menyadari dan menerima fakta bahwa tidak semua anak itu sama dekatnya dengan orang tua. Tidak semua anak itu sama-sama mematuhi orang tua dengan sepenuh hati, ada anak yang mematuhinya kadang-kadang, ada anak yang mematuhinya sering, ada anak yang konsisten mengutamakan orang tuanya, menyenangkan orang tuanya, ada anak-anak yang setengah-setengah menyenangkan orang tuanya, menyenangkan dirinya juga dan sebagainya. Jadi saya kira di sorga pun
nanti ada banyak tipe anak-anak Tuhan. Ada anak yang memang sangat patuh, ada anak yang kurang patuh dan sebagainya, tapi semua anak-anak Tuhan. Otomatis nanti saya kira di dalam rumah Tuhan itu, kedekatan dengan Allah juga tidak akan sama karena di
dunia pun semua anak Tuhan tidak mempunyai kedekatan yang sama dengan Allah Bapa, jadi di sorga pun saya percaya nanti ada perbedaan itu. Maka di firman Tuhan dikatakan perbuatan kita itu nanti diuji, ada yang terbuat dari emas, ada yang terbuat dari perak, tapi yang paling buruk adalah yang terbuat dari jerami karena akan terbakar habis. Namun dikatakan oleh Paulus, kita tetap akan lulus, kita tetap akan diterima Tuhan, namun kita itu tipe jerami. Tapi ada atau tidak yang tipe emas? Ada, sebab saya kira keadilan Tuhan tetap ditegakkan di sorga. Masa seseorang yang hidup sepenuhnya untuk Tuhan, benar-benar berkorban sepenuhnya untuk Tuhan disamakan dengan orang yang pokoknya ikut Tuhan, sembarangan, tetap percaya kepada Yesus tapi kedekatannya hanya seperti itu. Saya kira memang tidak akan disamakan oleh Tuhan.
GS : Sebelum mengakhiri perbincangan kita pada saat ini, mungkin Pak Paul ada sesuatu yang ingin Pak Paul sampaikan tentang bagaimana kita sebagai anak-anak Tuhan ini harus
hidup. Supaya menjadi anak Tuhan yang baik.
PG : Saya kira intinya adalah kita ini hidup harus bisa menghargai hidup ini sepenuhnya, tapi pada akhirnya kita harus berani merangkul kematian, jangan sampai berat sebelah. Ada orang yang memberi penghargaan, memberikan penilaian yang tinggi pada kehidupan sehingga tidak mau menghadapi kematian. Atau ada orang yang mau merangkul kematian karena sudah benar-benar tidak menghargai hidup ini, jangan, kita mesti seimbang. Berterima kasihlah kepada Tuhan yang memberikan hidup kepada kita, hargai hidup ini namun rangkullah kematian. Karena kematian juga nanti adalah wadah atau sarana yang
Tuhan gunakan membawa kita masuk ke dalam rumah-Nya.
GS : Ya, terima kasih, saya percaya bahwa apa yang sudah kita perbincangkan akan banyak bermanfaat bagi para pendengar kita. Terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kefanaan Hidup. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina
Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e- mail dengan alamat telaga@indo.net.id Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Sebelum menikah kita mempersiapkan pernikahan; sebelum ujian, kita mempersiapkan diri belajar; untuk banyak hal dalam hidup ini kita bersedia mempersiapkan diri. Namun sedikit di antara kita yang bersedia mempersiapkan diri menghadapi kematian. Faktanya adalah kita mesti mempersiapkan diri untuk hidup dan mati. Kita pun perlu melihat fakta tentang kematian dengan jernih agar dapat mempersiapkan diri dengan tepat.
Menghadapi Kematian
• Kematian adalah bukti kefanaan hidup, jadi, manusia mesti berdamai dengan keterbatasannya: Kita tidak hidup selamanya! Firman Tuhan menegaskan, Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu. Mazmur 90:5-6
• Ada pelbagai cara yang Tuhan gunakan untuk menghentikan hidup dan kita tidak bisa memilihnya, sama seperti kita tidak bisa memilih melalui siapakah kita datang ke dunia ini. Jadi, tidak ada cara baik atau cara buruk; tidak ada kebetulan atau kesengajaan; semua hanyalah sarana untuk memindahkan kita dari dunia ini. Firman Tuhan menjelaskan, Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya berkata kepada-Nya: Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku.' Tetapi Yesus berkata kepadanya,
'Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka. (Matius 8:21-22)
• Sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Rick Warren, kematian bukanlah terminasi melainkan transisi. Jadi, hal terpenting dalam menghadapi kematian adalah kepastian ke manakah kita akan pergi. Kadang kita mengagungkan atau sebaliknya, menghindar dari kematian; Tuhan sendiri tidak membesar-besarkan kematian; kematian hanyalah sebuah transisi. Firman Tuhan berkata, Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan
Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya yang diam di dalam kamu. Roma 8:11
• Kematian dan kehidupan berhubungan erat; apa yang kita lakukan sekarang berdampak pada apa yang akan terjadi kelak. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Yohanes 3:16
2
Laki-laki dan Ambisi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T435A|T435A|Dewasa|Audio|Laki-laki kerap diidentikkan dengan ambisi, dan banyak orang yang memandang ambisi secara negatif. Apakah yang salah dengan ambisi? Apakah memang ambisi adalah sesuatu yang selayaknya dihindarkan? Di sini akan dibahas tentang ambisi agar kita dapat menempatkan hal ini secara tepat.|3.3MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T435A.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Laki-laki dan Ambisi. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang semua orang pasti punya ambisi tetapi laki-laki yang ada lebih sering berkaitan dengan ambisi ini. Hal-hal apa yang bisa kita bicarakan ?
PG : Begini, saya boleh ibaratkan laki-laki dan ambisi seperti sepasang sepatu, jadi laki-laki cenderung punya ambisi. Yang saya mau angkat adalah apakah ambisi itu salah, sebab kadang-kadang kita ini beranggapan ambisi itu salah dan tidak boleh punya ambisi. Kenapa kita beranggapan ambisi salah, apakah memang ambisi yang sesuatu yang selayaknya dihindarkan ? Jadi penting bagi kita melihat hal ini dengan lebih seksama sehingga kita tidak sampai jatuh ke dua ekstrem. Ekstrem yang pertama adalah kita takut untuk memunyai ambisi tapi sekaligus kita juga jangan sampai membolehkan apa saja, itu yang perlu kita lihat.
GS : Mungkin bagi kita orang Kristen seringkali dikaitkan dengan sifat rendah hati, sebagai orang Kristen harus rendah hati, pasrah. Sehingga kalau ada orang Kristen yang berambisi dianggapnya angkuh, serakah, begitu, Pak Paul ?
PG : Betul. Saya kira ada pandangan seperti itu bahwa orang Kristen tidak boleh memunyai ambisi dan itu berarti memikirkan sesuatu yang terlarang seolah- olah tidak rohani kalau punya ambisi. Jadi kita harus melihat apakah memang seperti itu ?
GS : Hal-hal apa yang mau kita pikirkan tentang ini, Pak Paul ?
PG : Sesungguhnya ambisi hanyalah berupa keinginan untuk mencapai sesuatu. Jadi sebetulnya ambisi itu sendiri bukan sesuatu yang salah atau berdosa, sebab ambisi hanya sebuah keinginan dan ambisi dapat menjadi sesuatu yang salah atau berdosa bila objek keinginan itu adalah sesuatu yang salah atau berdosa. Atau cara kita mewujudkannya untuk mendapatkan ambisi itu adalah salah dan berdosa. Misalnya kita ingin menempati jabatan yang lebih tinggi, sudah tentu kedudukannya bukan sesuatu yang salah dengan kata lain, keinginan untuk mencapainya bukan sesuatu yang berdosa, namun apabila kita mendapatkan jabatan itu dengan cara menjelek-jelekkan orang yang sekarang menempatinya, atau kita memberikan sogokan kepada orang supaya kita memeroleh jabatan itu, maka hal itu menjadi salah.
GS : Artinya menghalalkan segala cara demi mencapai apa yang diinginkan dan ini yang kita tidak bisa terima di dalam kekristenan ini, begitu Pak Paul.
PG : Betul. Jadi keinginan itu sendiri tidak salah, yang bisa salah jadinya apa itu yang diinginkan. Kalau yang diinginkan misalnya saya ingin mengambil
seseorang menjadi istri saya masalahnya dia sudah menjadi istri orang lain. Kita tidak bisa berkata, Tidak apa-apa punya keinginan itu salah. Isi keinginan itu atau objek keinginan itu jelas-jelas salah dan berdosa. Dan yang kedua adalah cara kita mendapatkannya, mungkin objek itu sendiri tidak salah kita ingin mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, tapi kalau cara mendapatkannya salah maka menjadi salah.
GS : Memang yang dikhawatirkan disitu. Jadi pada awalnya memang tidak ada keinginan untuk memeroleh itu secara tidak halal dengan segala cara, tetapi dengan berkembangnya waktu dan makin kita didesak oleh keinginan kita, kita bisa saja jatuh pada dosa keserakahan itu tadi.
PG : Saya kira ini banyak terjadi. Apalagi kita laki-laki mendasarkan penghargaan diri kita atas karier, kalau tidak hati-hati kita akhirnya terobsesi dan kita harus menempati jabatan yang tinggi dan kita akhirnya menghalalkan segala cara. Ambisi seperti itulah yang salah.
GS : Yang lainnya lagi apa, Pak Paul ?
PG : Tentang ambisi yang lainnya adalah, meskipun ambisi itu sendiri sesuatu yang bersifat netral, ada objek ambisi yang jelas-jelas salah. Jadi saya mau membahas sekurang-kurangnya ada dua ambisi yang mesti diwaspadai terutama oleh laki-laki. Yang pertama adalah kekayaan dan uang. Firman Tuhan di 1 Timotius 6:9-10 mengingatkan, Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Jadi firman Tuhan jelas berkata tentang uang dan kekayaan, kita tidak bisa berkata netral. Jadi orang yang mau kaya mengejar-ngejar kekayaan, justru Tuhan berkata salah. Jadi ambisi mau kaya itu ambisi yang sudah langsung Tuhan katakan ini berbahaya dan kita juga tahu firman Tuhan jelas berkata, Akar segala kejahatan adalah cinta akan uang, kalau ada orang berambisi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya karena dia cinta uang, jelas keinginan itu sendiri sudah salah. Tadi saya sudah singgung keinginan memang netral, tapi khusus Alkitab menyebut ada beberapa hal yang memang kalau kita inginkan itu salah.
GS : Tapi keinginan akan kekayaan dan uang itu harapan dari semua orang yang bekerja, berusaha tentu ingin mendapatkan uang, mendapatkan kekayaan, Pak Paul.
PG : Masalahnya adalah kita memikirkan untuk mencukupi diri kita ataukah kita memikirkan untuk mengumpul-ngumpulkan harta itu. Jadi yang penting adalah kita bekerja supaya dapat mencukupkan kebutuhan kita. Kalau kita dipromosikan, pekerjaan kita berhasil, usaha kita membuahkan banyak keuntungan, sehingga kita tiba-tiba menjadi lebih banyak uang, maka terimalah itu memang adalah berkat yang Tuhan berikan kepada kita. Tapi yang Tuhan mau adalah kita tidak mengejar-ngejarnya dan kita melakukan kewajiban kita, biar Tuhan yang memberkati kita dan kita jangan mengejar-
ngejarnya sebab firman Tuhan berkata kalau kita mengejar kekayaan dan mencintai uang, maka kita tinggal tunggu waktu akan mengalami kehancuran.
GS : Kekayaan ini termasuk harta benda tentunya. Jadi bukan hanya uang dan kekayaan ini. Tapi apakah ada hal lain yang tadi Pak Paul katakan, ada 2 hal yang patut diwaspadai.
PG : Buat laki-laki hal yang kedua yang juga perlu diwaspadai adalah kuasa.
Sesungguhnya kalau kita pikir, ambisi akan kuasa atau ambisi memiliki kuasa adalah keinginan untuk menguasai orang lain, ujung-ujungnya itu. Kenapa orang mau berkuasa karena dia ingin menguasai orang lain. Tujuan mungkin beragam, tapi pada umumnya kita menguasai orang untuk memeroleh hormat dan pengabdian dari mereka. Itu saya kira yang memang menjadi akarnya, kita mau orang itu dalam kuasa kita supaya kita dihormati mereka dan mereka mengabdi kepada kita dan mereka memberikan yang kita inginkan. Jadi kita memang harus berjaga-jaga jangan sampai kita haus kuasa, karena banyak orang yang jatuh ke dalam dosa akibat haus kuasa. Sebagai contoh yang nyata adalah hampir semua raja yang memerintah Israel di dalam Alkitab akhirnya terjeblos ke dalam dosa karena kuasa. Jadi firman Tuhan mengajarkan bahwa kita tidak boleh menguasai orang, satu-satunya orang yang perlu dikuasai adalah diri sendiri. Firman Tuhan sangat jelas dalam hal ini, orang mencari kuasa supaya bisa menguasai orang lain. Tuhan berkata tidak seperti itu tapi kita harus menguasai diri kita sendiri, itu yang paling penting. 1 Petrus 4:7 mengingatkan, Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain dari sini kita bisa belajar bahwa satu-satunya cara untuk dapat melawan ambisi untuk menguasai orang adalah dengan cara mengasihi orang. Inilah yang Tuhan tekankan.
GS : Disini seringkali terkait dengan yang pertama tadi yaitu kekayaan dan uang, orang menggunakan atau memanfaatkan kekayaan dan uangnya untuk menguasai orang lain.
PG : Seringkali seperti itu. Jadi ujung-ujungnya memang kita melimpahkan uang dan kekayaan kepada orang sehingga kita bisa mengaturnya atau menguasainya.
GS : Ada lagi orang yang tidak menghiraukan sama sekali, tetapi yang lebih diutamakan adalah kuasanya, dia merasa puas kalau dia bisa menguasai orang lain walaupun mungkin tidak menghasilkan uang yang cukup.
PG : Betul. Jadi dalam hal itu yang dibutuhkan adalah yang tadi saya sebut yaitu penghormatan dan juga pengabdian, ada orang-orang yang memang haus akan penghormatan. Orang harus menghormati dan pengabdian orang harus benar-benar mengabdi kepada dia. Dalam hal ini mungkin saja dia tidak mencari-cari uang mereka, tapi yang dicari adalah penghormatan dan pengabdian orang terhadapnya.
GS : Itu bisa juga terjadi dalam pekerjaan-pekerjaan yang katakan sifatnya rohani, Pak Paul.
PG : Tepat. Memang sebetulnya tidak melibatkan uang, tidak ada uang yang terlibat dan tidak ada uang yang dilibatkan, tapi karena orang itu haus pengabdian dan
penghormatan orang sehingga dia sibuk menguasai orang supaya nanti orang tetap hanya melihat dia, menghormati dia, semuanya mengidolakan dia. Ada orang yang tidak bisa melepaskan kuasa karena tidak bisa membayangkan dirinya dilupakan orang, dia tidak bisa membayangkan dirinya tiba-tiba tidak ada. Jadi dia selalu ada supaya orang tetap melihat dia orang yang patut dihormati.
GS : Dan itu juga termasuk ambisi itu tadi dari laki-laki itu, Pak Paul.
PG : Saya kira dalam hal ini lebih banyak laki-laki yang bermasalah dengan ambisi seperti ini dibandingkan perempuan sebab ada bedanya, perempuan sudah tentu akan senang jika orang menghormatinya, mengabdi kepadanya, tapi yang lebih dibutuhkan adalah dikasihi dan disayangi. Jadi selama dia mendapatkan itu maka semua cukup, kalau laki-laki lebih membutuhkan penghormatan dari orang. Jadi akhirnya lebih mudah jatuh ke dalam ambisi yang salah ini.
GS : Pak Paul menganjurkan kita untuk mengasihi orang lain supaya kita tidak
termakan oleh ambisi dalam hal kekuasaan, ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Obatnya bukan bagaimana membuang ambisi menguasai orang, kadang kita berpikir, Saya mau buang dan saya tidak mau menjadi orang yang menguasai orang. Sebetulnya cara membuangnya sudah diberitahu Tuhan yaitu Tuhan berkata, Tetapi yang terutama kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain. Jadi resepnya adalah kita mengasihi orang, kalau kita mengasihi orang maka kita tidak akan pusing bagaimana menguasai orang dan kita tidak akan pusing bagaimana membuat orang selalu memikirkan kita, mengabdi kepada kita dan menghormati kita, tidak. Karena waktu kita mengasihi orang, fokus kita bukan pada diri kita, tapi pada orang itu memikirkan apa yang paling baik buatnya.
GS : Apakah masih ada hal lain yang perlu diperhatikan, Pak Paul ?
PG : Satu lagi adalah kita juga perlu mewaspadai ambisi karena ada potensi untuk membuat kita kurang berterima kasih. Jadi karena kita ini terus memikirkan keinginan ambisi kita akhirnya bukannya melihat apa yang dimiliki tapi kita malah melihat apa yang tidak dimiliki, bukannya puas dan bersyukur tapi kita malah mengeluh. Jadi kita harus berhati-hati agar jangan sampai gara-gara ambisi kita berubah menjadi orang yang tidak pernah puas. Firman Tuhan di Filipi 4:11-12 mengingatkan, Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Jadi Paulus berkata, dia belajar mencukupkan diri alias dia belajar untuk berterima kasih, puas, menerima. Kalau orang memikirkannya hanyalah ambisinya, apa yang ia mau dan apa yang dia mau, ujung-ujungnya tidak bisa menghargai apa yang Tuhan telah berikan kepadanya dan terus memikirkan, Saya harus begini sebab saya tidak punya dan saya mau mendapatkan ini karena saya tidak punya ini. Akhirnya yang dilihat yang tidak dimilikinya dan dia gagal bersyukur atas apa yang diberikan kepadanya.
GS : Ini yang membedakan dengan orang yang tidak punya gairah untuk bekerja atau untuk maju, bagaimana Pak Paul ?
PG : Orang yang memusatkan perhatiannya pada berikanlah yang terbaik, persembahkanlah yang terbaik kepada Tuhan, maka dia tidak akan memikirkan tentang uangnya, hasilnya, yang penting adalah dia melakukan yang terbaik. Waktu dia melakukan yang terbaik, kemudian Tuhan menambahkan maka itulah berkat Tuhan. Tapi yang paling penting adalah dia melakukannya bukan supaya dia mendapatkan yang lebih, tapi karena dia mau bertanggung jawab, Tuhan sudah memberikan tugas dan dia kerjakan dengan sebaik-baiknya. Beda dengan orang yang malas sehingga apapun yang diberikan, kesempatan apapun yang Tuhan bukakan dia kerjakan separuh hati, asal-asalan tidak memberikan yang terbaik. Jadi sekali lagi fokus kita mestilah pada memberikan yang terbaik, hasilnya serahkan kepada Tuhan dan jangan itu yang kita kejar- kejar.
GS : Celakanya orang yang tadi Pak Paul katakan malas, seringkali berlindung dibalik perkataan, Saya tidak berambisi untuk itu, saya pasrah kepada Tuhan ini pasrah yang keliru saya rasa.
PG : Saya setuju. Kita dituntut Tuhan untuk menjadi juru kunci yang baik, kita menerima pemberian Tuhan, karunia dan kesempatan yang Tuhan bukakan dan manfaatkanlah, jangan sia-siakan sebab kita hidup hanya sekali dan kesempatan itu diberikan kepada Tuhan. Jadi kita harus menggunakan dengan sebaik-baiknya, jangan sampai karena malas malah mengatas namakan semua yang penting saya bersyukur.
GS : Jadi sebenarnya ambisi masih tetap kita butuhkan untuk memberikan gairah dalam hidup kita. Hanya masalahnya bagaimana kita mengelola ambisi itu.
PG : Dan menetapkan ambisi itu dengan benar. Jadi ambisi benar-benar sebuah hal yang netral yaitu keinginan saja, namun setelah kita bahas kalau ambisinya adalah untuk mencari kekayaan dan uang, Alkitab jelas katakan salah jangan kita kejar kekayaan. Kemudian yang kedua, ambisi akan kuasa, tidak boleh. Tuhan memanggil kita bukan untuk menguasai orang lain, tapi Tuhan memanggil kita untuk menguasai diri sendiri. Jadi sekali lagi fokusnya bukan menguasai orang lain tapi diri kita sendiri. Dan yang berikut telah kita bahas adalah hati-hati dengan ambisi, meskipun ambisi itu benar dan tidak salah namun hati-hati sebab kalau kita tidak hati-hati, mata kita akhirnya hanya tertuju pada apa yang kita tidak punyai dan akhirnya gagal berterima kasih atas apa yang kita punya.
GS : Hal lain yang harus diperhatikan agar ambisi itu tidak merugikan kita dan orang lain, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah kita harus berhati-hati dengan ambisi sebab ambisi dapat membuat kita melupakan Tuhan dan menginjak-injak manusia. Maksud saya begini, oleh karena terfokus pada apa yang kita inginkan kita malah mengabaikan apa yang diinginkan Tuhan misalnya kita mau mendapatkan posisi yang bagus di dalam pekerjaan kita, maka kita terus fokuskan itu, sehingga kita lupa dan mengabaikan apa yang Tuhan inginkan sebab belum tentu itulah yang Tuhan inginkan, misalnya kita mau masuk ke jurusan tertentu
dalam perkuliahan, kita berambisi pasti akan ke sana, tapi kita lupa berdoa dan bertanya, Tuhan apakah itu yang Kau inginkan ? Jadi kita harus berhati-hati dan juga hati-hati dengan ambisi karena ambisi bisa membuat kita menginjak- injak manusia, karena mata hanya tertuju pada apa yang kita kejar dan kita kurang memedulikan perasaan orang di dekat kita. Mungkin kita memeralatnya, mungkin kita malah menginjaknya. Singkat kata, ambisi dapat membuat kita kehilangan kekudusan sehingga kita tidak lagi melihat Tuhan dan sesama manusia. Ini Paulus pernah menjadi orang yang berambisi namun setelah dia mengenal Kristus, ambisinya hanyalah terpusat pada satu hal sebagaimana diungkapkannya pada Filipi 3:10, Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, itulah ambisinya.
GS : Demi memenuhi ambisinya, kadang keluarga bisa menjadi korban, yang Pak
Paul katakan menginjak manusia, bisa jadi manusia itu adalah orang yang dekat dengan dia. Jadi bisa istri atau suami atau juga anak-anaknya.
PG : Seringkali seperti itu, kadang-kadang kita tidak ingat bahwa gara-gara saya mengejar posisi atau jabatan ini akhirnya keluarga kita menderita, mereka tidak bahagia dan mereka sengsara, tapi kita tidak pusing sebab yang penting kita mendapatkan yang kita inginkan itu dan kita hanya menuntut keluarga kita mengerti tapi kita gagal mengerti mereka. Hati-hati ambisi itu sendiri belum tentu salah, tapi jangan sampai gara-gara ambisi itu akhirnya orang-orang di sekitar kita menjadi korban kita sendiri.
GS : Seringkali orang-orang yang berambisi seperti itu sulit sekali untuk disadarkan atau diingatkan terutama kalau yang mengingatkan adalah orang-orang terdekat dia. Tapi kalau kita tidak mengingatkan, kita menjadi korbannya dan ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sebab kita harus mengingatkan karena tugas kita mengingatkan, belum tentu orang itu mendengarkan kita, namun setidak-tidaknya kalau kita mengingatkan dia bisa diingatkan meskipun hanya berlangsung sementara, tapi setidak-tidaknya dia diingatkan. Siapa tahu waktu dia dalam proses mengejarnya kemudian dia mengalami sesuatu misalnya kegagalan maka dia ingat apa yang kita katakan dan ingatan itu bisa membuat dia sadar, Benar, saya sudah salah, saya harus mundur jadi tetap mengingatkan itu penting.
GS : Dan seringkali ambisi ini ada latar belakangnya. Misalnya masa kecil atau masa
muda dulu dia tidak bisa mencapainya dan sekarang dia ada kesempatan maka dia akan gunakan untuk meraih apa yang dulunya tidak sempat dia raih.
PG : Betul sekali. Kadang latar belakang kita yang kurang akhirnya membuat kita terlalu bersemangat mengejar apa yang menjadi kekurangan dan dalam prosesnya kadang kita malah mengorbankan orang lain. Saya masih ingat cerita sejarah, yaitu tidak ada negara yang bisa menguasai Uni Soviet atau Rusia saat ini, karena negara itu begitu luas dan musim dingin di sana sangat parah. Kita tahu ada yang pernah mencoba yaitu Napoleon, tapi yang terjadi adalah kalah. Orang kedua yang mencoba untuk menguasai Uni Soviet saat itu adalah Hitler, dia juga berusaha dan dia kirimkan tentara ke sana, tapi akhirnya ribuan tentara Jerman mati di sana, mati bukan karena perang tapi karena kelaparan
dan kedinginan di musim dingin. Ini adalah contoh orang yang tidak mau belajar dari sejarah, kenapa ? Karena ambisi menguasai negara Rusia ini. Tapi dalam prosesnya dia menginjak-injak orang dan mengorbankan orang begitu banyak. Ini contoh buruk dari ambisi.
GS : Jadi banyak ambisi disertai kediktatoran dengan menguasai orang lain dan mengorbankan orang lain ?
PG : Seringkali seperti itu karena kita gelap mata dan yang penting kita mendapatkan apa yang kita inginkan dan kita tidak peduli dengan orang lain. Jadi kita harus kembali kepada apa yang firman Tuhan ajarkan yaitu jangan kita kuasai orang, kuasai diri sendiri. Itu yang Tuhan inginkan.
GS : Sebenarnya Alkitab memberikan contoh yang cukup banyak untuk kita di dalam hal mengelola ambisi ini, hanya masalahnya kita mau atau tidak.
PG : Betul sekali. Kadang-kadang kita tahu apa yang benar, tapi kita gelap mata karena kita sudah begitu mendambakan apa yang kita inginkan itu.
GS : Seringkali tuntutan di sekeliling kita yang membuat kita salah didalam menggunakan ambisi karena kita melihat orang lain sukses, orang lain bisa maju. Secara tidak kita sadari lalu kita terpacu untuk itu.
PG : Tidak bisa disalahkan lingkungan itu memang berpengaruh, teman kita punya ini dan tetangga kita punya itu, maka kita akhirnya tergoda dan terbakar dan kita juga harus punya itu dan ini dan akhirnya kita jatuh ke dalam dosa.
GS : Satu-satunya kita harus kembali kepada Tuhan memohon pertolongannya dan kita terus belajar dari kebenaran firman Tuhan.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Laki-laki dan Ambisi. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Laki-laki dan ambisi dapat diibaratkan seperti sepasang sepatu yang tak terpisahkan. Sebagai orang Kristen, kadang kita memandang ambisi secara negatif. Apakah yang salah dengan ambisi ? Apakah memang ambisi adalah sesuatu yang selayaknya dihindarkan ? Berikut akan dibahas tentang ambisi agar kita dapat menempatkan masalah ini secara tepat.
* Sesungguhnya ambisi hanyalah berupa keinginan untuk mencapai sesuatu. Jadi, sebetulnya ambisi itu sendiri bukan sesuatu yang salah atau berdosa sebab ambisi hanyalah sebuah keinginan. Ambisi dapat menjadi sesuatu yang salah atau berdosa bila obyek keinginan itu adalah sesuatu yang salah dan berdosa. Atau, cara mewujudkannya adalah salah dan berdosa. Misalkan kita ingin menempati jabatan yang lebih tinggi. Kedudukan itu sendiri bukanlah sesuatu yang salah; dengan kata lain, keinginan untuk mencapainya--ambisi--bukan sesuatu yang berdosa. Namun apabila kita mendapatkan jabatan ini dengan cara menjelek-jelekkan orang yang sekarang menempatinya, maka perbuatan itu menjadi salah.
* Meskipun ambisi itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat netral, ada obyek ambisi yang jelas salah. Khusus bagi laki-laki ada dua yang mesti diwaspadai. Pertama adalah KEKAYAAN DAN UANG. 1 Timotius 6:9-10 mengingatkan, Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta akan uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.
* Kedua adalah KUASA. Sesungguhnya ambisi akan kuasa adalah keinginan untuk MENGUASAI ORANG LAIN. Tujuannya mungkin beragam tetapi pada umumnya kita menguasai orang untuk memeroleh hormat dan pengabdian dari mereka. Kita pun mafhum betapa banyaknya orang yang jatuh karena haus kuasa. Contoh nyata adalah hampir semua raja yang memerintah Israel akhirnya terjeblos ke dalam dosa karena kuasa. Firman Tuhan mengajarkan bahwa kita tidak boleh menguasai orang; satu-satunya orang yang perlu dikuasai adalah diri sendiri.
1 Petrus 4:7 mengingatkan, Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain . . . . Dari Firman Tuhan ini kita belajar bahwa satu-satunya cara untuk dapat melawan ambisi untuk menguasai orang adalah dengan cara mengasihi mereka.
* Satu hal lagi yang perlu diwaspadai tentang ambisi adalah potensinya untuk membuat kita KURANG BERTERIMA KASIH. Bukannya melihat apa yang dimiliki, kita malah melihat apa yang tidak dimiliki. Bukannya puas dan bersyukur, kita malah mengeluh. Jadi, kita harus berhati-hati agar jangan sampai gara-gara ambisi, kita berubah menjadi orang yang tidak pernah puas.
Filipi 4:11-12 mengingatkan, Kukatakan ini bukan karena kekurangan sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.
* Terakhir, kita pun mesti berhati-hati dengan ambisi sebab ambisi dapat membuat kita MELUPAKAN TUHAN DAN MENGINJAK-INJAK MANUSIA. Oleh karena terfokus pada apa yang kita inginkan, kita malah mengabaikan apa yang diinginkan Tuhan. Dan, karena mata hanya tertuju pada apa yang kita kejar, kita kurang memedulikan perasaan orang di dekat kita.
Mungkin kita memperalatnya; mungkin kita malah menginjaknya. Singkat kata, ambisi dapat membuat kita kehilangan kekudusan sehingga pada akhirnya kita tidak lagi melihat Tuhan dan sesama kita manusia. Paulus pernah menjadi orang yang berambisi, namun setelah mengenal Kristus, ambisinya hanyalah terpusat pada satu hal sebagaimana diungkapkannya, Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya . . . . (Filipi 3:10)
Wanita, Karier dan Keluarga|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T435B|T435B|Dewasa|Audio|Berbeda dengan pria, acap kali peran istri dan karier tidak berjalan harmonis. Ada empat prinsip yang bisa digunakan untuk mempertimbangkan hal ini. Yaitu (1) Tetapkanlah prioritas tujuan hidup, (2) Tuhan tidak menetapkan satu model pernikahan, (3) Perhatikan dan terimalah kodrat masing-masing, (4) Gantilah apa yang telah kita ambil dari keluarga.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T435B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Wanita Karier dan Keluarga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, dalam beberapa dekade ini semakin banyak wanita yang berkarier di luar rumah, khususnya yang bekerja di kantor, di tempat-tempat tertentu dan itu selalu menimbulkan pro dan kontra. Menurut pandangan Pak Paul bagaimana?
PG : Betul Pak Gunawan, dan memang ini sering kali menjadi masalah bahwa
perempuan bekerja, istri bekerja, ini kadang-kadang menimbulkan masalah dalam keluarga. Ada yang tidak bisa menerima, ada yang menerimanya, ada yang melakukannya dengan hati lapang, ada yang melakukannya dengan hati bersalah. Ada wanita yang bekerja tapi terus dirundung rasa bersalah karena menganggap dia seharusnya di rumah. Jadi ini adalah beberapa isu-isu yang muncul dan sebaiknya kita membahasnya sehingga para ibu, wanita atau istri yang bekerja dan mempunyai keluarga bisa melihat prinsip yang benar.
GS : Untuk hal itu apakah Alkitab juga memberikan prinsip-prinsipnya?
PG : Ada Pak Gunawan, ada beberapa yang akan saya coba uraikan. Yang pertama adalah saya kira kita harus menetapkan prioritas tujuan hidup kita, ini berlaku baik untuk yang perempuan maupun pria. Yaitu kita mesti memiliki sistem prioritas yang jelas dan alkitabiah. Makin saya mengenal Tuhan, makin saya menyadari bahwa di hati Tuhan 'siapa' atau 'menjadi' menempati urutan teratas dalam daftar prioritasnya. Siapa sudah tentu merujuk kepada manusia sedangkan apa merujuk pada benda atau objek. Tuhan selalu menekankan manusia, Tuhan selalu menekankan siapakah kita ini, dalamnya. Tuhan tidak menekankan benda, materi, Tuhan tidak mementingkan status, tidak mementingkan jabatan kita, kita sebagai apa, bukan itu. Selalu yang Tuhan pentingkan adalah diri kita di dalamnya. Firman Tuhan di Efesus 1:4 dan 5 berkata, Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercela di hadapanNya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya. Jadi Tuhan sangat jelas, kita dijadikan supaya kudus tak bercela, sekali lagi sebuah kwalitas. Sekali lagi Tuhan tidak memusingkan status kita, pekerjaan kita, jabatan kita, tetapi siapa kita supaya menjadi seperti Kristus menjadi kudus tak bercela. Ini hal yang paling
penting. Nah prioritas inilah yang seharusnya menjadi prioritas kita sehingga kita tidak terjerat di dalam jabatan, status. Ada orang yang mengejar-ngejar itu sehingga mengorbankan hal-hal yang lebih penting, yakni keluarganya dan dirinya juga.
ET : Tapi konsep siapa ini yang kadang-kadang buat ukuran manusia juga susah memilahnya. Misalnya ada orang yang memang benar-benar sekolah untuk mencapai gelar itu, sehingga waktu ada pertanyaan tentang siapa anda, gelarnya yang disebutkan duluan. Atau misalnya saya seorang direktur, jadi siapanya ini tetap berkaitan erat dengan status-status tersebut. Sudah tentu apa yang disediakan oleh Tuhan untuk kita ya kita coba kembangkan. Kita tidak berkata, Saya menjadi apa pun tidak apa-apa dan tidak ada usaha, tidak ada inisiatif untuk meningkatkan, memperbaiki hidup kita, itu juga tidak benar. Namun yang saya minta adalah kita mengerti bahwa yang penting bukan itu, kalau itu Tuhan berikan terimalah, kita mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri kita, kembangkanlah;Tuhan memberikan kesempatan kepada kita untuk melakukannya, lakukanlah. Tapi kita tidak benar-benar mengejar-ngejar, memaksa-maksakan diri. Sebab firman Tuhan juga berkata, Siapa yang mencintai uang, akhirnya akan terjebak dalam kejatuhan. Kita tidak boleh mengejar-ngejarnya. Kita lakukan apa yang bisa kita lakukan, hasilnya kita kembalikan kepada Tuhan biarkan Dia nanti yang menentukan dan memberikannya sesuai dengan kehendak Dia.
GS : Berarti di dalam menetapkan prioritas tujuan hidup itu, faktor apa yang harus kita pertimbangkan?
PG : Misalkan kita harus pikirkan keluarga kita, jangan sampai kita akhirnya mengorbankan keluarga. Misalnya ada orang yang gara-gara mau mendapatkan kedudukan yang lebih baik dia merelakan dirinya untuk pergi ke luar kota, tiga bulan baru pulang sekali. Akhirnya keluarganya berantakan atau dia pergi kerja dari pagi, pulang jam 12 malam, akhirnya kehidupannya lebih sering di luar rumah, masalah mulai muncul dalam keluarganya. Nah kalau kita memang tidak ada uang dan kita harus bekerja seperti itu, silakan, tapi itu berarti dalam satu kurun saja tidak selama-lamanya begitu. Namun sebisanya setelah keadaan kita lebih baik, sudah korbankan tidak usah melakukan semuanya itu, kita pentingkan yang di rumah, kita pentingkan manusia yang ada di sekitar kita, ini yang harus kita pikirkan.
GS : Prioritas itu bisa berubah-ubah Pak Paul dalam diri seseorang?
PG : Saya kira demikian, sebab memang bergantung pada kondisi di mana kita hidup.
Misalkan anak-anak masih kecil, selagi anak-anak kecil kita harus tempatkan diri kita di rumah, kita tidak bisa semaunya pergi dari pagi sampai malam, bagaimana dengan anak-anak. Jadi kita harus pikirkan, OK! Saya harus di rumah, sebab anak-anak membutuhkan saya. Jadi untuk masa itu mungkin karier harus kita korbankan, namun nanti akan ada kesempatan di mana anak-anak sudah mulai besar, kita bisa kembali bekerja. Jadi benar-benar kita memikirkan manusia- manusia yang ada dalam tanggungan kita, ini yang harus kita prioritaskan,
manusia-manusia yang Tuhan tempatkan dalam hidup kita, ini yang harus kita prioritaskan. Nanti masanya berubah, mereka tidak lagi dalam tanggungan kita, kita lebih bisa keluar, lebih luang waktu kita, silakan kita kerjakan. Apa yang bisa kita kerjakan di luar rumah, coba kita kerjakan.
GS : Prinsip yang lain apa Pak Paul?
PG : Tuhan tidak menetapkan satu model pernikahan Pak Gunawan, ini prinsip penting sekali. Kadang-kadang kita mempunyai prinsip yang terdengar rohani tapi sebetulnya tidak alkitabiah. Yaitu ada orang yang berkata perempuan seharusnya di rumah, tugasnya membesarkan anak-anak, melayani suaminya (titik). Persoalannya adalah apakah itu rencana Tuhan, apakah itu sudah pasti rencana Tuhan untuk masing-masing wanita atau masing-masing istri. Saya kira justru tidak, Alkitab justru mempunyai beberapa contoh kasus yang berkebalikan dengan gambaran ini. Misalkan di Amsal 31, itu Amsal yang diidentikkan dengan Amsal wanita bijak. Justru memperlihatkan peran wanita sebagai pekerja bukan hanya ibu rumah tangga. Coba kita melihatnya, Ia mencari bulu domba dan rami, dan senang bekerja dengan tangannya. Ia membeli sebuah ladang yang diingininya, dan dari hasil tangannya kebun anggur di tanaminya. Ia membuat pakaian dari lenan dan menjualnya, ia menyerahkan ikat pinggang kepada pedagang. Amsal
31:13, 16 dan 24. Dari penjabaran ini dapat kita simpulkan bahwa selain sebagai ibu rumah tangga yang baik, ia adalah seorang pengusaha dan jenis usahanya pun ternyata beragam. Yaitu dia menjual bulu domba, rami, anggur, pakaian, ikat pinggang, jadi kalau istilah sekarang adalah 'she is business woman' bukan hanya sebagai ibu rumah tangga. Firman Tuhan yang lain yang juga memberikan contoh yang berbeda kepada kita adalah Lydia, seorang petobat yang pertama di Eropa, dari Filipi Makedonia. Dia adalah seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira, ini dicatat di Kisah Para Rasul 16:14. Dengan kata lain dia seorang yang aktif berdagang dan dia menjadi petobat yang baru di Eropa. Nah kita tidak melihat satu model pernikahan Pak Gunawan. Jadi tidak ada firman Tuhan yang berkata, istri diwajibkan berdiam diri di rumah dan suami mencari nafkah di luar rumah, tidak harus begitu. Model apakah yang jadinya kita terapkan, kita peluk untuk keluarga kita. Jadi jawabannya adalah disainlah model yang paling sesuai dengan kondisi keluarga kita sendiri. Acapkali pilihan antara karier dan keluarga bukan sebuah harga mati yang harus diputuskan sekali dan selamanya. Pilihan antara keduanya lebih merupakan sesuatu yang bersifat cair, mengalir secara temporer, tergantung situasi dan kebutuhannya. Misalnya ada waktunya bagi suami mengalah dan mendahulukan karier istrinya sebab itulah tindakan yang paling bijak dan paling sesuai bagi keluarga ini. Sebaliknya kadang istrilah yang harus mengalah mendahulukan kepentingan suami dan anak. Pada dasarnya prinsip yang berlaku di sini adalah ambillah keputusan yang bijak, bijak artinya melihat kembali kepentingan masing-masing anggota keluarga pada masa itu sehingga kita tidak kaku.
ET : Ini mungkin yang rasanya masih agak asing bagi kebanyakan kita, karena entah dari mana kebanyakan pria beranggapan bahwa dialah yang harus menjadi kepala keluarga yang mencari nafkah keluarga sehingga, kalau konsep suami harus mengalah demi karier istri ini rasanya mungkin masih sulit, Pak?
PG : Ya karena memang dalam konsep kita ini siapa yang memegang uang dialah yang memegang kuasa. Jadi kami-kami yang pria ini sedikit banyak termakan dengan konsep itu. Jadi kami-kami ini berusaha mencari uang dan kami menganggap kami yang menjadi kepala keluarga gara-gara kami mencari uang. Sebetulnya bukan itu, sudah tentu Tuhan tidak menginginkan pria-pria ini malas tidak bekerja, sudah tentu baik bekerja dan seharusnyalah bekerja. Tapi seharusnya penghargaan diri kita tidak didasarkan atas itu, sebab memang bukan itu, Tuhan tidak meminta hal itu. Yang Tuhan tekankan adalah kita menjadi kepala keluarga dengan cara kita mengasihi istri kita, anak-anak kita, kita bertanggung jawab untuk mereka, pada akhirnya itu yang paling penting untuk mereka. Dan kadang- kadang kalau itu yang dibutuhkan, gara-gara kepentingan istri kita dan kita memang bisa mengalah terlebih dahulu, mengalah-lah. Misalkan, bukannya istri yang ikut suami pindah-pindah tapi kadang-kadang silakan suami pindah-pindah ikut istri kalau memang itu yang terbaik buat istrinya dan dia siap mengalah dan tidak apa-apa. Sekali-sekali lakukan untuk itu juga dan tidak apa-apa. Saya kira keuntungannya akan dicicipi oleh mereka berdua, bukan hanya untuk satu orang.
GS : Memang yang dikhawatirkan banyak suami adalah kalau penghasilannya lebih rendah dari penghasilan istrinya, Pak?
PG : Dan tidak seharusnya menjadi masalah, sebab kalau si istri bisa membawa diri dengan baik, dia tidak menguasai si suami, dia tidak mendikte si suami, uang itu dia simpan di tempat yang umum maksudnya di tempat di mana suaminya pun bisa memegangnya dan sebagainya, itu tidak apa-apa. Tapi ada suami yang merasa terancam karena istrinya menghasilkan uang lebih besar daripada dia. Saya kira tidak perlu, menurut saya biarkan, sebab memang kita tidak tahu rencana Tuhan dan cara Tuhan memberkati kita. Adakalanya Tuhan memberkati keluarga kita lewat kita, kepala keluarga, tapi kadang kala Tuhan memberkati kita lewat pasangan kita, dan bersukacitalah dan bersyukurlah asal kita jangan menjadi benalu yang terus-menerus menyedot uang istri kita, hidup foya-foya sebab istri kita beruang sekarang. Jangan Itu juga salah. Intinya adalah terbukalah, Tuhan memiliki banyak cara memberkati kita, lewat kita tapi kadang-kadang lewat istri kita pula.
ET : Tapi memang hal seperti ini memang benar-benar membutuhkan kebesaran hati dari kaum pria, dari para suami. Karena memang secara umum, entah kita golongkan masyarakat di Timur ini memang masih menganggap wanita dan pria itu beda status, beda peran. Bahkan ada pepatah Jawa yang mengatakan wanita itu tugasnya 3M, Masak, Macak atau berdandan dan Melahirkan anak. Jadi tentu hal ini benar-benar membutuhkan kebesaran hati.
PG : Dan ini harus kita pelajari Ibu Ester, budaya tidak selalu alkitabiah. Penekanan kita bukan pada budaya, pada kebiasaan, pada lingkungan, tapi pada apa yang Alkitab katakan. Alkitab tidak mengatur-atur perempuan harus begini atau begitu, yang Tuhan tekankan adalah kita orangtua bertanggung jawab, kita suami bertanggung jawab, kita istri bertanggung jawab, masing-masing melakukan tugas dan kewajibannya. Nah kalau semua bertanggung jawab dan kita masih diberi kesempatan untuk mengembangkan diri kita ya tidak apa-apa.
GS : Apakah ada prinsip yang lain Pak Paul?
PG : Berikutnya adalah perhatikan dan terimalah kodrat masing-masing. Ada wanita yang senang berkarier di luar rumah lebih daripada di dalam rumah. Bagi mereka kehidupan yang aktif dan dinamis bukan saja menambah gairah hidup tapi merupakan energi untuk hidup. Dengan kata lain bagi wanita-wanita ini tanpa kegiatan di luar rumah mereka akan kehilangan semangat hidup. Seperti api pada lilin yang semakin meredup, sebaliknya bila mereka dapat mengaktualisasi diri di luar rumah, mereka menjadi diri mereka yang terbaik dan ini berarti mereka bisa menjadi ibu rumah tangga yang lebih baik pula. Jika dipaksakan diam dalam rumah, mereka tidak menjadi istri yang terbaik, menjadi diri mereka yang terbaik, menjadi ibu yang terbaik, dan hal ini akan berdampak pada keluarganya pula. Tapi ada sebagian wanita senang berada dalam rumah dan bagi mereka aktualisasi diri justru terletak pada peran di dalam rumah. Sebagai istri, sebagai ibu rumah tangga, mereka bisa mengasuh anak, mengatur rumah tangga. Nah itu pilihan yang juga baik, kalau itu memang menjadi tujuan dan makna hidup mereka, silakan. Saya mengerti, bagi mereka pencapaian tertinggi adalah melihat suami bahagia, anak-anak bertumbuh sehat dan kuat, tidak apa-apa, ini pilihan yang baik. Namun intinya adalah siapapun yang memilih keputusan ini jangan merasa minder, karena diam di rumah tidak identik dengan bodoh atau terbelakang.
GS : Memang ada beberapa istri yang mungkin kurang yakin atau kurang percaya diri, kalau ditanya pekerjaannya apa, dia selalu menjawab ikut suami. Sebenarnya dia bisa mengatakan saya ibu rumah tangga.
PG : Betul sekali, dan itu sebuah pekerjaan, karena di rumah dia harus mengurus anak sampai malam, lebih berat dari pekerjaan di luar yang hanya sampai sore saja. Jadi di rumah pun sebuah pekerjaan dan sama-sama terhormatnya. Sebab misalkan kita bayangkan si suami tidak mempunyai istri dan ada anak-anak, bukankah dia harus meminta orang dan membayar orang, untuk mengurus anak- anaknya dan mengurus rumah tangganya. Jadi itu pun sebuah pekerjaan. Dan sama-sama terhormatnya tapi intinya adalah kita harus melihat dan menerima kodrat kita, jangan kita bandingkan dengan orang lain. Otomatis suami jangan membandingkan istrinya dengan orang lain, Perempuan ini kok bisa begini, begini, kenapa kamu tidak bisa? Ya masing-masing orang lain-lain, dan kita memang harus terima dan jangan merasa minder kalau kita tidak bisa melakukan yang orang lain dapat lakukan.
GS : Mungkin faktor pendidikan banyak berpengaruh di sana, Pak Paul?
PG : Saya kira demikian, makin berpendidikan saya kira orang semakin terbuka dengan hal-hal ini.
GS : Dan mungkin cenderung berkarier di luar rumah.
PG : Betul, tapi ada juga orang yang setelah berkarier di luar rumah, terus menikah kemudian memutuskan untuk meninggalkan kariernya dan benar-benar mencurahkan waktunya di rumah menjadi ibu rumah tangga. Itu pun baik, tapi jangan sampai merasa minder kok teman-temannya statusnya terus menanjak, saya begini, begini saja menjadi ibu rumah tangga. Jangan sampai merasa begitu.
ET : Ya soalnya kadang-kadang ada yang menjawab, saya hanya ibu rumah tangga saja. Atau kadang-kadang suami-suami yang menjawab seperti itu, Istri bagaimana? O....istri saya hanya ibu rumah tangga. Kenapa harus ada kata hanya, itu yang kadang-kadang akhirnya membuat istri bertanya-tanya.
PG : Betul, jadi karier di dalam rumah atau pun karier di luar rumah, keduanya adalah
karier, dua-duanya adalah pilihan dan ambillah pilihan itu sesuai dengan kodrat kita masing-masing. Kita harus hidup dengan diri kita, jadi kalau kita mencoba untuk menghidupi kodrat orang lain, kita sengsara dan tidak menjadi diri kita yang terbaik. Akhirnya keluarga kita pun tidak bisa mendapatkan manfaat dari hidup kita ini.
GS : Ada banyak juga wanita karier yang mengatakan terpaksa bekerja karena mereka membutuhkan dana untuk kehidupan rumah tangga mereka.
PG : Itu lain lagi, itu keterpaksaan dan harus dilakukan meskipun ada pengorbanan, tidak bisa lebih banyak waktu di rumah untuk anak-anak. Jadi memang kadang- kadang kondisi mengharuskan kita untuk berbuat seperti itu.
GS : Apakah masih ada prinsip yang lain lagi, Pak Paul?
PG : Yang terakhir adalah gantilah apa yang telah kita ambil dari keluarga. Maksud saya adalah salah satu fakta dalam hidup yang tidak dapat kita tawar adalah kita tak dapat selalu menyenangkan dan memenangkan semua pihak. Hampir dapat dipastikan setiap keputusan yang kita ambil akan berdampak positif sekaligus negatif. Menguntungkan satu pihak sekaligus merugikan pihak yang lain. Demikian pulalah dengan pilihan mengembangkan karier di luar rumah, tidak bisa tidak waktu dan keberadaan kita di dalam rumah akan terbatasi berhubung meningkatnya tuntutan untuk berada di luar rumah. Ini berarti kita mengambil sesuatu dari dalam rumah untuk kepentingan di luar rumah. Jadi jika ini yang harus kita lakukan, kita mesti merencanakan dan mempersiapkan segalanya dengan secepat mungkin. Misalnya, waktu yang kita berikan untuk keluarga haruslah menjadi waktu yang eksklusif. Maksudnya eksklusif adalah di luar kehadiran orang lain dan tidak diisi dengan urusan luar rumah. Saya berikan satu contoh kegagalan menciptakan waktu yang eksklusif. Kita mungkin berbangga hati karena dapat menyisihkan satu hari dalam seminggu untuk keluarga, namun setiap kali kita pergi bersama dengan keluarga, kita pun mengajak kerabat atau teman untuk bergabung. Atau secara fisik kita bersama keluarga, namun telinga dan mulut kita untuk orang lain, yang menghubungi kita lewat telepon atau
handphone. Alhasil yang terjadi adalah kendati bersama keluarga tapi sesungguhnya kita bersama orang lain. Jadi ingatlah waktu yang eksklusif menuntut kita bersikap tegas terhadap gangguan pihak luar.
GS : Memang itu agak sulit menjaga keterasingan dengan pihak lain, di mana sekarang itu sarana untuk komunikasi itu gampang sekali, misalkan saja HP. Nah HP itu disediakan oleh perusahaan tempat dia bekerja dengan syarat tidak boleh dimatikan. Artinya sewaktu-waktu dia bisa dihubungi, pada saat mereka berekreasi dengan keluarga justru ada kebutuhan untuk dihubungi.
PG : Nah misalkan itu yang harus terjadi ya kita batasi, artinya selama kita berekreasi kita hanya menerima telepon dari perusahaan dan kita melihat nomornya, kalau memang dari perusahaan baru kita ambil, kalau bukan dari perusahaan, kita diamkan kita tidak usah ambil. Jadi ini yang diperlukan, misalkan ibu rumah tangga yang akhirnya harus bekerja di luar, kalau itu yang harus dilakukan ya silakan tapi gantilah waktu itu. Nah waktu menggantinya benar-benar sepenuh hati menggantinya. Jangan sampai waktu kita mau menggantinya di rumah atau pergi dengan keluarga, kita pun sibuk dengan orang lain, ajak si ini rame-rame sehingga anak-anak benar-benar tidak bisa mendapatkan kita sepenuhnya. Kita selalu dicabik-cabik dan diambil oleh orang lain.
ET : Kadang-kadang sebagai wanita karier justru banyak waktu dengan orang lain dan waktu dengan suami juga berkurang, mungkin kencan dengan suami diperlukan juga dalam keadaan ini, Pak?
PG : Tepat sekali, dan waktu kencan memang benar-benar kencan, benar-benar pergi berdua atau pergi dengan keluarga. Sering kali kita itu lebih bisa terima meskipun kita suami dan istri kita bekerja, tapi waktu dia bersama kita dia benar-benar memberi sepenuhnya kepada kita, rasanya tergantikan meskipun hari-hari lain dia sibuk, tapi waktu bersama kita dia sepenuhnya untuk kita dan dia benar-benar menomorsatukan kita. Dia tidak menerima telepon dari orang lain, kecuali dari perusahaannya saja, benar-benar dia berikan sepenuhnya untuk kita. Nah kita, baik anak maupun suami akan sangat berterima kasih, dan kita tahu kita diutamakan, ini yang penting, jadi ini yang saya maksud dengan prinsip menggantikan. Yang berikutnya tentang menggantikan berkaitan dengan anak Pak Gunawan, yaitu kepada siapakah kita menyerahkan tanggung jawab pengawasan anak-anak sewaktu kita tidak berada di rumah. Ada dua kriteria yang ingin saya bagikan yaitu aman dan nyaman. Siapapun itu yang bertanggung jawab menjaga anak, haruslah menyediakan lingkungan yang aman dan harus memberikan perhatian yang memadai pada anak dan melindunginya dari bahaya. Jangan kita menyerahkan tanggung jawab mengurus anak kepada orang yang tidak mempedulikan keamanan dirinya sendiri atau orang lain. Juga jangan serahkan mengurus anak kepada orang yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri, jika ia tidak dapat mengurus dirinya sendiri bagaimana mungkin dia sanggup mengurus orang lain. Tentang nyaman, yang saya maksud adalah ini, dia haruslah seseorang yang bisa memberi suasana nyaman kepada anak lewat kasih sayang dan
kesabarannya. Jangan sampai anak merasa ketakutan atau tertekan, ditinggal bersama seseorang yang tidak sabar dan ketus. Kita mesti peka mendengarkan suara anak dan mengutamakannya di atas rasa sungkan. Misalnya saya mengerti kadang-kadang kita sungkan kepada orangtua sendiri yang bersedia atau memaksa menjaga anak kita. Perhatikanlah reaksi anak dan dengarkanlah isi hatinya, jangan sampai masa ditinggal orangtua menjadi masa penderitaan bagi si anak.
GS : Ini sesuatu hal yang penting sekali yang Pak Paul sudah sampaikan. Mungkin Pak
Paul bisa menyimpulkan dan melandasinya dengan firman Tuhan?
PG : Saya akan mengambil dari Ibrani 13:5, Janganlah kamu menjadi hamba uang dan
cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman:
Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan
meninggalkan engkau. Tuhan sekali lagi menetapkan prioritas, bukan uang,
bukan status dan sebagainya, jangan menjadi hamba semua itu. Sedangkan yang
Tuhan minta cukupkan dengan apa yang Tuhan telah berikan kepada kita sebab Tuhan akan memelihara. Jadi sekali lagi prioritaskan keluarga, tentang yang lain- lainnya itu nomor dua, nanti Tuhan akan cukupi yang penting kita tidak merugikan keluarga kita.
GS : Jadi sebenarnya wanita berkarier itu tidak bertentangan dengan firman Tuhan?
PG : Tidak, Pak Gunawan, semuanya tidak bertentangan, pria berkarier tidak, perempuan berkarier pun juga tidak, asal dua-duanya memenuhi tanggung jawab dan memang mempunyai prioritas yang benar. Dia tidak menghamba pada karier atau status itu.
GS : Semoga perbincangan kita ini bisa mencerahkan pikiran banyak orang yang khususnya ragu-ragu untuk menempuh jalur itu. Terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Ester. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Wanita Karier dan Keluarga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Berbeda dengan pria, acap kali peran istri dan karier tidak berjalan harmonis. Ada orang yang berkeyakinan bahwa sepatutnyalah istri diam di rumah dan mengurus keluarga. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat kita pertimbangkan.
1. Tetapkanlah prioritas tujuan hidup. Baik pria maupun wanita harus memiliki sistem prioritas yang jelas dan alkitabiah. Tuhan lebih mementingkan manusia dan pertumbuhannya dibandingkan pencapaian atau perbuatannya.
Jika inilah sistem nilai Tuhan, seyogianyalah kita mengikutinya dan ini berarti, dalam pengambilan keputusan, manusia atau keluarga akan kita dahulukan di atas pekerjaan atau karier. Dan ini berlaku baik bagi pria maupun wanita, tanpa kecuali. Secara praktisnya, setiap keputusan yang mengharuskan kita memilih antara karier dan keluarga, pilihannya adalah keluarga. Sudah tentu kewajiban memenuhi kebutuhan dasar keluarga merupakan tuntutan yang harus kita upayakan namun di atas kebutuhan dasar, keluargalah yang mesti kita utamakan. Jika Tuhan mementingkan faktor manusia, kita pun harus mementingkannya pula.
2. Tuhan tidak menetapkan satu model pernikahan. Mungkin ada di antara kita yang langsung berkomentar bahwa sudah seharusnyalah perempuan tidak berkarier sebab Tuhan menghendaki wanita menjadi ibu rumah tangga dan suami menjadi pencari nafkah. Kendati keyakinan ini terdengar rohani namun kenyataannya adalah, keyakinan ini tidaklah alkitabiah, dalam pengertian Alkitab sendiri tidak pernah menawarkan rumus ini.
Sesungguhnya Alkitab sendiri menyediakan pelbagai contoh peran wanita. Amsal 31 yang sering kali diidentikkan dengan amsal wanita bijak, justru memperlihatkan peran wanita sebagai pekerja, bukan hanya sebagai ibu rumah tangga.
Contoh lain dari wanita yang bekerja sebagai pengusaha adalah Lidia, seorang penjual kain ungu dari kota Tiatira (Kisah 16:14); Priskila, istri Akwila, yang kadang keduanya pergi bersama Paulus mengabarkan Injil (Kisah 18:19). Dari semua contoh ini terlihat jelas bahwa para wanita ini adalah orang-orang yang terlibat aktif dalam pelayanan atau bekerja di luar rumah.
3. Perhatikan dan terimalah kodrat masing-masing. Janganlah kita menggantungkan penghargaan diri pada penilaian orang; terimalah kodrat masing-masing dan berkembanglah sesuai dengan kodrat itu. Ada satu pepatah berbahasa Inggris yang layak kita simak, Be yourself, but be the best of you! (Jadilah dirimu sendiri, namun jadilah dirimu yang terbaik.) Kita tidak akan dapat memberi yang terbaik apabila kita sendiri tidak menjadi diri yang terbaik.
4. Gantilah apa yang telah kita ambil dari keluarga. Tidak bisa tidak, waktu dan keberadaan kita di dalam rumah akan terbatasi berhubung meningkatnya tuntutan untuk berada di luar rumah. Ini berarti, kita mengambil sesuatu dari dalam rumah untuk kepentingan di luar rumah. Jika ini yang harus kita lakukan, rencanakan dan persiapkan segalanya
Tangga ke Rumah|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T436A|T436A|Suami-Istri|Audio|Penyebab dari masalah yang sering timbul dalam keluarga yang terutama adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Antara lain ialah Gaya Hidup Bermasalah, Cara Komunikasi Bermasalah dan Mekanisme Memenuhi Kebutuhan. Disini akan dijelaskan secara jelas mengenai tiga hal tersebut.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T436A.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Tangga Ke Rumah. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Suatu judul yang sangat menarik tentang tangga ke rumah. Biasanya kita mendengar istilah rumah tangga tetapi ini tangga ke rumah, maksudnya bagaimana?
PG : Begini Pak Gunawan, bukankan istilah rumah tangga itu berlatar belakang dari
konteks kehidupan kita dimasa lampau yaitu pada umumnya rumah berada diatas tanah sehingga untuk masuk kerumah, orang memerlukan tangga. Jadi judul tangga ke rumah ini untuk membicarakan hal-hal apa yang perlu kita persiapkan untuk memasuki rumah tangga. Saya memiliki sebuah pertanyaan, apa yang harus kita persiapkan untuk masuk ke dalam rumah tangga? Saya melihat terlalu banyak rumah tangga yang bermasalah. Saya masih ingat waktu saya kuliah pun ada seorang dosen saya yang berkata Saya tidak percaya dengan pernikahan, dan saya ingat ada satu teman saya yang mengajukan pertanyaan kepada beliau Kenapa Ibu tidak percaya pada pernikahan?, dan Ibu itu berkata Karena saya melihat terlalu banyak pernikahan yang hancur. Setelah bertahun-tahun saya terjun kedalam pelayanan, saya harus mengakui kebenaran dari pengamatan Ibu dosen saya itu, banyak sekali pernikahan bermasalah. Saya kira lebih dari setengah pernikahan itu bermasalah, memang semua tidak berakhir dengan perceraian. Namun lebih dari setengah tidak sungguh-sungguh menikmati kehidupan pernikahannya. Jadi banyak orang hanya menjalani kehidupan nikah tetapi tidak menikmatinya, ini membuat saya bertanya-tanya mengapakah demikian. Memang sudah tentu banyak hal yang perlu kita pelajari untuk berelasi yang baik dengan pasangan kita, harus menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Namun pada dasarnya, ini semua berpulang dari pribadi yang bersangkutan, maksud saya kalau pribadi yang bersangkutan memang dewasa, siap nikah, matang kepribadiannya, sudah tentu ini akan memudahkan proses penyesuaian. Kalau pribadinya tidak matang atau bermasalah sudah tentu ini akan menghambat proses penyesuaian. Jadi melalui kesempatan ini, saya ingin mengajak kita semua memfokuskan pada pribadi kita. Bagaimana kita bisa mematangkan diri, sehingga waktu kita menikah kita lebih siap untuk mengalami penyesuaian dan perubahan.
GS : Sebelum kita bahas lebih lanjut Pak Paul. Kelihatan ada keluarga-keluarga yang dari luar tidak ada masalah tetapi dengan tidak ada masalah justru didalamnya penuh dengan masalah.
PG : Itu pengamatan yang tepat. Jadi banyak rumah tangga yang sebetulnya menyimpan masalah tapi karena malu untuk menceritakannya akhirnya menutupi masalah tersebut. Pada intinya barometer yang kita gunakan adalah apakah seseorang itu menikmati kehidupan nikahnya. Kalau kita tanyakan kepada para responden yang telah menikah saya menjadi khawatir, mungkin lebih dari setengah akan berkata mereka tidak menikmati kehidupan nikahnya, mereka hanya menjalani. Ada yang menjalaninya atas dasar anak, atas dasar reputasi nanti apa kata orang dan sebagainya. Maka tidak lagi menikmati kehidupan nikahnya.
GS : Memang ini suatu hal yang penting menikmati pernikahan. Ada orang makan dan
makan saja, ada orang yang sekadar makan tetapi ada juga orang yang menikmati apa yang dia makan. Sehingga dia bisa bersyukur, tetapi dia betul-betul menikmati. Dan pernikahan saya rasa seperti itu, Pak Paul?
PG : Dan kalau kita menikmati kehidupan nikah kita, itu akan berdampak luas. Misalnya berdampak pada penyelesaian konflik, setiap kita pasti ada konflik karena kita harus menyesuaikan diri dengan perbedaan. Kalau kita menikmati kehidupan nikah kita, itu menjadi modal yang besar sekali untuk meredakan konflik. Sebaliknya kalau kita tidak menikmati kehidupan nikah kita, konflik itu semakin mudah muncul sebab hal-hal kecil pun menjadi besar seolah-olah siap bertempur, itu akan memberi pengaruh pada konflik. Kalau kita menikmati kehidupan nikah maka kita menjadi semakin tenang, senang, hidup makin efektif. Jadi sekali lagi, hidup ini menjadi sebuah lingkaran yang saling mengisi. Masalah-masalah ini benar-benar memaksa saya untuk berfikir keras, kenapa begitu banyak pernikahan yang retak. Dan dapat saya simpulkan semua berawal dari pribadinya yang memasuki pernikahan itu. Saya berikan contoh kalau kita bekerja di sebuah tempat dan kebetulan rekan kerja itu matang kepribadiannya, bukankah kita menikmati bekerja dengan dia. Masalah mungkin timbul tetapi karena dia orangnya matang, maka mudah untuk kita menyelesaikan masalah itu karena pengertian lebih mudah dibangun. Jadi sekali lagi ini terpulang pada pribadinya. Dan ini yang ingin kita fokuskan.
GS : Kalau berbicara tentang pribadi, masalah-masalah apa yang sering timbul dalam pribadi itu, sehingga orang tidak menikmati hidup pernikahannya?
PG : Kita akan bagi pembahasan kita dalam 3 bagian besar, nanti dalam siaran berikutnya kita akan bahas bagian kedua. Bagian pertama yang akan kita bahas adalah gaya hidup bermasalah. Jadi ada orang-orang yang membawa gaya hidup bermasalah masuk ke dalam pernikahan. Gaya hidup bermasalah ini dapat dipastikan membuahkan masalah didalam pernikahannya.
GS : Masalah macam apa yang dibawa oleh seseorang didalam hidup pernikahannya?
PG : Saya akan bagi dalam 3 jenis, tapi saya akan mengunakan istilah pertanian. Yang pertama adalah gaya hidup yang tidak mau menanam dan tidak mau menuai
maksudnya gaya hidup yang tidak bertanggung jawab. Orang yang tidak bertanggung jawab tidak mau menanam, tidak mau menuai tapi mau tersedia. Gaya hidup tidak bertanggung jawab misalnya mengharuskan pasangan menjadi penanggung jawab atas hidupnya, pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya, tidak boleh mengecewakannya, seyogianya memahami keinginannya tanpa dia harus menyuarakannya. Atau pasangannya dituntut senantiasa bisa memperhatikan gejolak didalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Jadi pasanganlah yang harus bekerja, harus menanam, harus menuai dan orang ini hanya tinggal makannya. Ada orang yang memasuki pernikahan dengan kepribadian seperti ini, tidak mau menanam dan tidak mau menuai, inginnya semua tersedia. Tidak bisa tidak pasangannya akan keletihan, akan frustrasi dan merasa sayalah yang harus bekerja didalam pernikahan ini dan dia tidak mau apa- apa, maunya semua beres. Sudah tentu pada akhirnya timbul kemarahan dari pihak pasangannya, pasangannya akan angkat tangan dan berkata Kamu urusi semuanya, saya tidak mau lagi, kamu mau apa terserah, mau minta apa terserah. Orang yang terbiasa tidak mau menanam, tidak mau menuai akan marah dan berkata, Lihat kamu kok marah, tidak mau apa-apa, tidak mau bekerjasama, seharusnya suami-istri itu bekerjasama, dsb. Tetapi pasangannya akan berkata Siapa yang kerjasama, hanya saya sendiri yang bekerja, kamu tidak pernah berbuat apa-apa.
GS : Mengapa orang bisa berbuat seperti itu, menurut pengertian saya itu sangat egois? PG : Ada orang yang terlalu dipuaskan dan dipenuhi pada masa pertumbuhannya, sehingga sebelum dia meminta sesuatu, orang sudah tahu apa yang dia inginkan. Misalnya orangtua, karena terlalu memperhatikan anak sehingga orangtua tahu
apa yang dirasakan oleh si anak. Apa yang menjadi kebutuhan anak, orangtua memberikan sehingga anak tidak pernah terlatih untuk menyuarakan dirinya, untuk bekerja, untuk mendapatkan sesuatu karena semuanya tersedia dengan mudah. Atau kebalikannya ada orang yang latar belakangnya sangat sempit tidak ada interaksi dengan orang lain, orangtua di rumah juga tidak terlalu dekat, tidak mempedulikannya. Jadi dapat dikatakan dia hidup sendirian, karena dia hidup sendirian dia tidak terbiasa berbuat untuk orang lain. Jadi hidupnya berputar- putar pada dirinya sendiri, memikirkan hidupnya sendiri, mengupayakan hidupnya sendiri, dan semua sendiri. Orang seperti ini waktu memasuki pernikahan, dia akan sendirian pula meskipun dia menikah ada istrinya atau ada suaminya tapi dia tidak berbuat untuk pasangannya. Kalau diminta mungkin yang pertama dia tidak tahu apa yang harus dia perbuat, kedua dia merasa tertekan diminta-mintai pertolongan dan akhirnya muncullah konflik demi konflik.
GS : Apakah itu termasuk orang-orang yang asosial, Pak Paul?
PG : Betul, jadi ada orang-orang yang memang dibesarkan dalam rumah terisolasi dengan lingkungan, hidup sendirian saja, akhirnya tidak mengembangkan keterampilan sosial, tidak mengembangkan naluri sosial pula. Jadi hidup benar- benar sendirian.
GS : Ada salah seorang teman saya yang punya prinsip hidup seperti itu, saya tidak mau merepotkan orang lain dan saya juga tidak mau direpotkan.
PG : Meskipun dia menikah tetapi kalau tidak ada saling merepotkan berarti tidak ada relasi yang intim antara keduanya.
GS : Akhirnya dia mengurus dirinya sendiri, istrinya mengurus dirinya sendiri lalu makna pernikahan itu tidak dapat dinikmati karena hidupnya sendiri-sendiri. Lalu bagaimana seharusnya sikap seorang istri menghadapi suami atau suami yang menghadapi istri yang mempunyai kecenderungan seperti itu?
PG : Pertama sebisanya dia tidak mengajukan tuntutan, karena waktu dia mulai menuntut, tidak semua orang menerima tuntutan itu. Dia tidak terbiasa, dia akan bingung, dia akan marah. Jadi saya menganjurkan lebih baik istri atau suami memberikan saran-saran praktis, misalnya Kalau kamu nanti akan pulang terlambat tolong telepon saya. Misalkan dia lupa telepon si suami atau istri yang telepon, waktu telepon tanya apa kabar? dan sebagainya, dan berkata Karena kamu tidak telepon maka saya telepon, dan itu dilakukan terus berulang kali. Sehingga lama kelamaan dia terkondisi untuk menelepon kalau dia akan pulang terlambat. Ini adalah proses yang sangat panjang, boleh dikata hampir setiap hal harus diajarkan. Karena orang yang sudah terbiasa dengan hidup yang seperti ini, memang susah untuk keluar dari gaya hidup tidak mau mananam tidak mau menuai, apalagi kalau di rumah sudah biasa disediakan dan sekarang pasangannya juga menyediakan, dia tidak mau mengeluarkan keringat untuk menyediakan bagi pasangannya.
GS : Selain itu apakah ada gaya hidup bermasalah yang lain, Pak?
PG : Gaya hidup menuai tanpa harus menanam, biasanya berawal dari masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah. Berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersusah payah menanam. Misalnya ada orang yang ingin cepat kaya, dia akan spekulasi kanan kiri, proyeknya selalu ada dan selalu optimis tidak mau memperhitungkan kemungkinan gagal, dia selalu punya ambisi pasti berhasil. Saya kira ini muncul dari keinginan ingin cepat menuai, ada orang yang menikah dengan ambisi yang begitu besar. Menanam sedikit saja yang penting cepat menuai, ini biasanya akan menimbulkan goncangan dalam pernikahan karena pasangannya akan hidup dalam kecemasan terus-menerus sebab suaminya terlalu berani hutang sani-sini, resikonya terlalu tinggi tapi tetap berani melakukan. Akhirnya tidak bisa tidak akan menimbulkan konflik sebab pasangannya tidak tahan, apalagi kalau benar-benar terbukti. Tapi kalau orang yang ingin cepat menuai biasanya tidak mudah jera, dia akan mencoba dan coba lagi dengan hidup Andaikan, andaikan dia menuai.
GS : Khususnya pada akhir-akhir ini gaya hidup ini ditawarkan oleh lingkungan di sekeliling kita bahwa dengan bekerja yang tidak terlalu berat anda dapat mendapatkan hasil yang begitu besar.
PG : Benar, memang saya kira ini ada pengaruh juga dengan lingkungan. Begitu banyak ceramah-ceramah yang mengajarkan tidak lagi bekerja untuk mencari uang tapi
biarlah uang itu yang bekerja untuk kita. Saya tidak menyangkal kalau ada sebagian orang yang memiliki keberuntungan yang baik dengan cara-cara yang seperti itu, tapi saya kira mayoritas orang di dunia ini harus mencucurkan keringat dan baru mendapatkan upah. Jadi seyogianya orang memasuki pernikahan dengan konsep yang seperti itu, bahwa dia harus bersusah payah menanam baru bisa menuai. Selain dari pengaruh lingkungan, kadang-kadang ada pengaruh keluarga. Misalkan dia dibesarkan oleh orangtua yang berada dan sukses, dia merasa harus sesukses orangtuanya atau dia membandingkan diri dengan saudaranya, kalau saudaranya bisa cepat maju maka dia juga harus cepat maju. Akhirnya dia mudah mengambil resiko dan menjadi berantakan. Akan menjadi repot kalau ada orang memasuki pernikahan dengan kepribadian ini dan tidak heran pernikahan ini pasti hancur.
GS : Sebagai pasangan apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?
PG : Biasanya kalau pasangannya itu bicara, susah didengarkan oleh suaminya karena istri tidak dianggap. Sebagai solusi diperlukan orang lain yang lebih berpengaruh, yang lebih bijaksana apalagi kalau orang itu mengerti bidang yang digeluti oleh pasangannya. Kita mencoba bicara dengan orang lain, minta dia bicara dengan pasangan kita, mudah-mudahan setelah itu dia mau mendengarkan.
GS : Apa gaya hidup yang ketiga yang sering memimbulkan masalah, Pak Paul?
PG : Ini kebalikannya Pak Gunawan, yaitu hidup yang terus menanam tapi tidak menuai artinya orang yang membuat dirinya dan orang lain sengsara karena orang ini tidak dapat menikmati hidupnya. Dan celakanya orang yang tidak bisa menikmati hidupnya melarang orang lain menikmati hidupnya pula. Jadi dia selalu menghemat, tidak boleh senang-senang tidak boleh rekreasi, kalau mau rekreasi yang dipikir adalah Buat apa. Kalau yang dipikir itu maka keluarga tidak akan pernah kemana-mana. Makan di restoran pun juga sangat susah, dalam setahun bisa dihitung. Pokoknya hidup itu harus susah payah tidak boleh senang-senang. Anak juga diwajibkan harus susah tidak boleh senang-senang, sebab kalau anak terlalu senang nantinya akan jadi apa. Gaya hidup seperti ini tidak bisa tidak akan menyengsarakan semua orang di rumahnya, tidak ada lagi yang bisa tertawa pokoknya harus selalu susah. Dia mungkin senang tapi semua orang yang di rumah sengsara.
GS : Biasanya berlatar belakang dari kehidupan dulunya susah atau melihat keluarganya susah atau bagaimana?
PG : Saya kira demikian Pak Gunawan, jadi dia memiliki ketakutan yang besar meskipun dia sendiri tahu secara rasional dia memiliki harta yang cukup, tapi dia selalu dibayang-bayangi ketakutan bahwa dia akan jatuh miskin. Atau dia takut kalau dia menikmati hidup maka dia menjadi lengah, dan kalau dia lengah maka habislah semua itu. Jadi benar-benar dia hidup dibayang-banyangi oleh ketakutan bahwa dia akan jatuh lagi dan dia tidak mau hal itu terulang. Atau dengan kata lain dia selalu melihat dirinya miskin meskipun dia sudah kaya, jadi karena dia menganggap dirinya miskin maka orang harus hidup dengan standart kemiskinan
itu. Ini menjadi sulit karena ada pasangan dan anak-anak hidupnya menjadi merana sekali dengan dia.
GS : Alasan yang sering kali dikemukakan ialah kita hidup pada zaman ini harus hidup hemat, tapi ini sudah melangkah kepada kekikiran bukan lagi hemat?
PG : Betul, jadi dia benar-benar anti senang, tidak boleh melihat senang karena bagi dia hidup itu susah. Tapi kalau kita katakan kepadanya seperti itu maka mungkin sekali dia akan menyangkal. Sebab pada dasar hatinya, hidup itu tidak boleh bersenang-senang, hidup itu harus susah payah. Jadi penekanannya, hidup itu harus bekerja, harus mengencangkan ikat pinggang sehingga lama kelamaan orang yang ada di rumah tidak tahan.
GS : Dalam hal ini, apa yang pasangan bisa lakukan untuk menolong segenap keluarga ini?
PG : Mungkin pasangannya bisa berkata, Saya mau mengerti maksud baik kamu, kamu ingin melindungi kami dari kemiskinan, dari kejatuhan tapi bukankah ada baiknya juga kalau sekali-sekali kamu jadwalkan kita bisa makan di restoran, misalnya dia berkata Dua kali dalam satu bulan dan kita mencoba mengikuti kemauannya dulu. Jadi minta kesediaan dia untuk menetapkan jadwal, mungkin sekali pada awalnya dia tidak suka makan di restoran, mukanya panjang, cemberut, tapi tetap ikuti saja lama kelamaan tambah lagi dengan aktifitas yang lain. Jadi benar-benar harus sedikit demi sedikit, kalau dipaksa dia akan berontak dan pasti menolak.
GS : Selain membuatkan jadwal, apakah anggaran juga bisa menolong? Jadi sejak awal suami istri sudah bicara tentang pembagian anggaran. Selama itu masih didalam anggaran, mungkin dia akan merasa aman.
PG : Betul, jadi dianggarkan itu akan sangat menolong sekali, Pak Gunawan. Dan misalkan uang yang dianggarkan itu dipegang oleh pasangannya dan bukan oleh dia sebab orang yang seperti dia, begitu uang dipegang maka tidak bisa lagi keluar. Jadi sebaiknya yang dianggarkan itu, mintalah untuk pasangannya yang memegang dan bukan dia sendiri.
GS : Tapi orang-orang tipe ini lebih senang memegang uangnya daripada diserahkan kepada pasangannya. Ada kekhawatiran tertentu nanti dibelanjakan untuk hal yang lain dan dia tidak bisa kontrol.
PG : Betul, dan ini penting sekali pasangan berkonsultasi untuk membeli sesuatu sebab
dia penuh dengan kecurigaan. Kalau pasangannya tiba-tiba membelanjakan sesuatu yang dia tidak tahu maka dia akan marah meskipun pasangan memberitahukan bahwa ini penting, tapi dia akan tetap marah.
GS : Yang seringkali dikhawatirkan memang hal-hal yang terjadi diluar perhitungannya.
Walaupun sudah dianggarkan dia selalu bilang Jangan dulu, nanti kalau ada apa- apa, misalnya anaknya sakit atau orangtuanya mendadak membutuhkan uang maka dia tidak bisa membantu, jadi sebetulnya kekhawatiran yang berlebihan.
PG : Betul, jadi orang seperti dia memang senantiasa berikhtiar untuk menyediakan ban serep tapi tidak pernah habis ban serep itu.
GS : Akhirnya yang terkumpul hanya ban serep saja, padahal yang dipakai hanya itu-itu saja. Pak Paul, apakah gaya hidup bermasalah seperti ini sepertinya bisa dirubah dalam seseorang?
PG : Sudah tentu bisa, memang memerlukan waktu yang sangar panjang, perlu kesensitifan, kelembutan, kesabaran.
GS : Tapi yang penting dari pribadi yang bersangkutan harus mau berubah?
PG : Betul, kalau dia tetap beranggapan dia benar dan tidak perlu berubah itu susah.
Jadi pasangannya harus berkata Ayo kita kerjasama, saya tidak bisa terus- menerus hidup seperti ini, tolong kamu mengalah sedikit. Tapi kita berbicara dengan lembut.
GS : Memang tidak bisa dipaksakan, kalau kita paksakan malah mengurung diri dan susah mengeluarkannya. Dalam perbincangan ini, apakah ada Firman Tuhan yang melandasinya.
PG : Saya akan bacakan kitab Pengkhotbah 2:22-25 Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? Jadi ada 2 hal yang penting, Tuhan menghendaki kita berjerih payah tapi yang kedua Tuhan menghendaki kita juga menikmati jerih payah kita dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih payah itu, kita tidak bisa menikmati jerih payah di luar Tuhan. Jadi prinsip yang penting untuk memiliki gaya hidup yang sehat, kita memang harus berjerih payah, mengeluarkan tenaga dan usaha tapi tetaplah belajar untuk menikmati apa yang telah kita upayakan itu.
GS : Memang ini sangat penting diperhatikan, justru sebelum pernikahan itu di langsungkan Pak Paul?
PG : Betul.
GS : Terima kasih sekali Pak Paul untuk perbincangan kali ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Tangga ke Rumah dengan sub judul Gaya Hidup Bermasalah ini merupakan bagian yang pertama dari judul Tangga ke Rumah dan kami berharap Anda sekalian dapat mengikuti perbincangan lanjutan dari acara ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan
terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Jika kita memperhatikan pasangan nikah di sekitar kita, tidak bisa tidak kita harus mengakui begitu sedikit pasangan yang sungguh-sungguh menikmati pernikahannya. Bahkan cukup banyak yang sebenarnya tidak lagi hidup dalam pernikahan meski masih mempertahankan status nikah. Pertanyaan yang timbul adalah, mengapakah demikian?
Pada akhirnya saya menyimpulkan kendati ada banyak faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan, namun sering kali penyebab pertama dan mungkin terbesar adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Bukankah pribadi yang bermasalah bermuara pada gaya hidup bermasalah, cara berkomunikasi bermasalah, dan mekanisme memenuhi kebutuhan bermasalah? Dan bukankah gaya hidup, cara berkomunikasi, dan mekanisme untuk memenuhi kebutuhan semuanya berkaitan langsung dengan pernikahan itu sendiri?
A. Gaya Hidup Bermasalah
Ada beberapa gaya hidup bermasalah yang kerap dibawa masuk ke dalam pernikahan. Pertama adalah gaya hidup tidak mau menanam dan tidak mau menuai. Ini adalah gaya hidup tidak bertanggung jawab. Pada umumnya gaya hidup tidak bertanggung jawab mengharuskan pasangan untuk menjadi penanggung jawab hidupnya. Pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya dan tidak boleh mengecewakannya. Pasangan seyogianya memahani keinginannya tanpa ia harus menyuarakannya. Pasangan senantiasa harus memperhatikan gejolak di dalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Gaya hidup tidak bertanggung jawab sesungguhnya menempatkan diri pada posisi tidak pernah salah.
Kedua adalah gaya hidup menuai tanpa harus menanam. Masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah, berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersusah payah menanam. Atau, ada orang yang senantiasa membandingkan diri dengan saudara atau orangtuanya dan merasa bahwa ia kurang. Namun untuk mengisi kekurangannya bukannya ia menempuh jalan panjang, ia malah mencari jalan pintas. Misalnya ia ingin cepat kaya dengan cara semudah mungkin. Gaya hidup seperti ini acap kali diikuti dengan gaya hidup penuh spekulasi yang berakhir dengan kehilangan besar. Masalahnya adalah, ia tidak bersedia melihat realitas; sesungguhnya ia hidup dalam khayalannya.
Ketiga adalah gaya hidup terus menanam dan tidak menuai. Gaya hidup ini membuat dirinya--dan orang lain--sengsara sebab orang ini tidak dapat menikmati hidup dan melarang orang menikmati hidup pula. Orang ini mungkin sekali bergelimang dengan kelimpahan namun ia senantiasa melihat dirinya kurang. Ia selalu berusaha irit dan memandang kenikmatan sebagai musuh yang harus dilawan. Ia penuh ketakutan dan menciptakan banyak larangan guna menghindar dari ketakutannya.
Firman Tuhan
Salah satu tema utama Kitab Pengkhotbah hidup dalam keseimbangan. Misalnya Pengkhotbah 2:22-25 Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam
1
hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? mengajarkan kepada kita bahwa tidak benar bagi kita untuk terus bekerja (menanam) tanpa menuai. Selanjutnya Pengkhotbah 2:24-26 menekankan bahwa Tuhanlah yang mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menikmati buah kerja kita. Jadi, Tuhanlah yang memberi kita kesempatan untuk bekerja dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih lelah kita.
B. Cara Komunikasi Bermasalah
Pribadi bermasalah kerap membawa cara berkomunikasi bermasalah ke dalam pernikahan. Ada beberapa yang sering menjadi duri dalam pernikahan dan yang pertama adalah cara berkomunikasi yang saya panggil, meliuk. Cara berkomunikasi ini tidak langsung dan samar; apa yang dikatakan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan. Hari ini berkata, tidak, besok berkata, ya, namun apa yang sesungguhnya ada di hati tidak pernah tercetus keluar.
Tidak bisa tidak, gaya berkomunikasi seperti ini membingungkan dan berakhir dengan frustrasi. Kita tidak tahu bagaimana harus bereaksi sebab kita tidak tahu isi hatinya dan harus mereka-reka maksudnya. Kalaupun terpojok, ia sulit mengakui keinginan atau pendapatnya; malah ia sering melemparkan masalah kembali kepada kita seolah-olah kitalah yang salah mengertinya.
Cara berkomunikasi bermasalah lainnya adalah menukik. Saya sebut menukik sebab arah pembicaraan seakan-akan selalu memojokkan dan merendahkan lawan bicara. Apa pun yang dikatakannya, pada akhirnya kita akan merasa dilecehkan atau disalahkan. Ia selalu benar dan tahu, sedangkan kita tidak pernah benar dan selalu tidak tahu apa-apa. Gaya bicara menukik sukar membuka kesempatan terjadinya dialog sebab gaya bicara ini cenderung searah dan bermuatan instruksi.
Cara berkomunikasi lain yang juga sering menimbulkan masalah adalah cara berkomunikasi memercik--sudah tentu yang saya maksud adalah percikan api emosi. Ada orang yang penuh ketegangan sehingga mudah sekali meledak namun ada pula orang yang sebenarnya tidak penuh ketegangan namun sangat tidak sabar dengan ketidaksempurnaan sehingga mudah marah. Orang ini biasanya menuntut kita untuk berbicara dengannya dengan cara yang pas dengan suasana hatinya sebab ia sendiri pun dikuasai oleh suasana hati.
Firman Tuhan
Semua gaya komunikasi bermasalah berhulu pada putusnya tali komunikasi dan jika tali komunikasi sudah terputus, tali relasi pun akan putus. Efesus 4:25 mengajarkan kita untuk berkata benar kepada satu sama lain. Amsal 18:21, Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya. mengingatkan kita akan pengaruh atau kuasa lidah yang dapat menghancurkan atau memberi hidup kepada sesama. Relasi nikah bergantung pada komunikasi dan komunikasi bergantung pada lidah--dan lidah orang benar membangun pernikahan.
2
C. Mekanisme Memenuhi Kebutuhan
Masing-masing kita membawa kebutuhan masuk ke dalam pernikahan. Tidak ada yang salah dengan kebutuhan untuk dikasihi dan dihargai; masalah timbul tatkala kita menggunakan cara yang salah untuk mendapat pemenuhan kebutuhan itu. Salah satu mekanisme yang salah adalah melimpahkan masalah pada pundak pasangan padahal kitalah yang mempunyai kebutuhan itu. Kita menolak mengakui bahwa sebenarnya kitalah yang mempunyai kebutuhan itu; sebaliknya, kita menuduh pasangan seakan-akan dialah yang tidak mampu menyediakan kebutuhan itu. Tema utama yang kerap kita lontarkan adalah bahwa dia tidak cukup baik dalam memenuhi kebutuhan kita. Sudah tentu pasangan menjadi frustrasi dan lama kelamaan kehabisan tenaga memenuhi kebutuhan kita.
Mekanisme kedua yang bermasalah adalah senantiasa memunculkan masalah. Ada orang yang terus menerus memunculkan masalah; setiap hal menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Masalah mungkin berkaitan dengan kita mungkin juga tidak, namun pada intinya ia tidak pernah dapat berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah sesungguhnya mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidup namun ia tidak tahu bagaimana; alhasil ia selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu.
Mekanisme ketiga yang salah adalah meniadakan masalah. Pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong menolong; di dalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang. Namun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhannya dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kita beranggapan bahwa kita sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu karena memang ini adalah kebutuhan kita. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak. Daripada dihina atau ditolak, lebih baik tidak membagi kebutuhan sama sekali.
Firman Tuhan
Apa pun itu yang kita lakukan, yang pasti adalah, cara yang keliru dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Amsal 22:9, Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin, mengajarkan
kita bahwa orang yang murah hati akan diberkati. Murah hati berawal dari hati yang memberi
dan dalam pernikahan, hati yang memberi akan menerima kembali dengan berkelimpahan.
3
Tangga ke Rumah|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T436B|T436B|Suami-Istri|Audio|Penyebab dari masalah yang sering timbul dalam keluarga yang terutama adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Antara lain ialah Gaya Hidup Bermasalah, Cara Komunikasi Bermasalah dan Mekanisme Memenuhi Kebutuhan. Disini akan dijelaskan secara jelas mengenai tiga hal tersebut.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T436B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang Tangga Ke Rumah. Kami akan memasuki bagian yang kedua tentang Cara Komunikasi Bermasalah. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan bagian yang pertama.
Supaya para pendengar dapat mengikuti perbincangan ini secara utuh, apakah Pak Paul bisa mengulas sekilas tentang apa yang telah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu ?
PG : Pembahasan kita kali ini bersumber dari pengamatan. Pengamatan terhadap kondisi pernikahan, kenapa begitu banyak pernikahan yang bermasalah dan tidak sedikit yang akhirnya mengalami perceraian. Memang kita bisa membahas tentang faktor-faktor penyesuaian diri yang akhirnya pasangan nikah ini tidak bisa hidup rukun. Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, akhirnya saya dapat simpulkan mengapa begitu banyak pernikahan bermasalah adalah karena pribadi yang menikah itu sudah membawa masalah. Sebab asumsinya adalah kalau pribadi itu matang otomatis itu akan jauh lebih mudah terlibat dalam proses penyesuaian diri dengan pasangannya. Bukankah kalau kita bekerja sekantor dengan orang yang berkepribadian matang maka akan enak sekali, kalau pun ada masalah kita dapat selesaikan dengan kematangannya. Saya kira inilah duduk masalah, begitu banyak orang yang mengalami masalah dalam kehidupannya dan menjadi orang-orang yang tidak hidup dengan efektif. Waktu memasuki pernikahan, masalah ini dibawa masuk sehingga akhirnya mempengaruhi relasi nikah itu. Jadi kalau kita mau menciptakan pernikahan yang lebih kuat maka kembali pada pribadi itu. Seyogianya pribadi itu membereskan dirinya sebelum dia menikah dan ini yang saya maksud dengan tangga ke rumah sebab tangga berarti kita itu menaiki tangga agar bisa masuk ke dalam rumah yaitu ke dalam pernikahan, tangga itu adalah pribadi kita sendiri.
GS : Didalam hal itu Pak Paul juga sudah menyampaikan tentang gaya hidup yang bermasalah, mungkin Pak Paul bisa mengulang sejenak?
PG : Kita bahas pada kesempatan yang lampau bahwa salah satu masalah yang dibawa kedalam pernikahan adalah gaya hidup yang bermasalah. Misalkan gaya hidup yang tidak menanam dan tidak menuai artinya orang yang hidup sendirian tidak
mau berelasi sehingga pasangannya yang seolah-olah harus memiliki beban pernikahan. Ada juga orang yang mempunyai gaya hidup menanam sedikit tapi menuainya mau cepat. 0rang-orang mau cepat kaya, dan semuanya ingin gampang dan gaya hidup ini cenderung menimbulkan masalah dalam pernikahan. Dan yang terakhir gaya hidup yang mananam terus-menerus tidak bisa menuai artinya mempunyai filosofi kehidupan bahwa orang itu harus bekerja keras, sengsara dalam hidup tidak boleh senang sehingga dia menuntut pasangan, anak- anak dan semua harus bekerja keras. Jadi benar-benar menyengsarakan satu rumah. Gaya hidup inilah kalau kita bawa kedalam pernikahan, akan menimbulkan masalah dalam pernikahan.
GS : Sekalipun banyak orang yang mengalami hal itu, sebenarnya kalau dia mau berubah maka akan membawa perubahan didalam kehidupan rumah tangganya, Pak Paul?
PG : Betul sekali, jadi kuncinya adalah kesediaan dia untuk melihat kekurangannya dan mengakui bahwa ini adalah masalah saya dan saya harus berbagi. Selama dia tidak mengakui ini masalahnya dan menuntut pasangannya saja yang harus berubah maka tidak akan ada titik temu.
GS : Dan kita sampai pada pokok pembicaraan kali ini tentang masalah lain yang timbul karena cara komunikasi yang bermasalah, dan ini bagaimana Pak Paul?
PG : Jadi asumsinya adalah ada orang-orang yang sebelum menikah sudah memiliki masalah dalam berkomunikasi, saya akan uraikan tiga hal. Yang pertama adalah orang yang cenderung berkomunikasi meliuk-liuk seperti ular yang meliuk-liuk. Ini adalah orang tidak bisa berbicara to the point atau langsung, jadi selalu berputar kiri dan kanan dan mengharapkan orang mengerti tanpa dia harus mengatakannya, dan pada waktu orang tidak mengerti dia frustrasi, akhirnya dia kecewa dengan cara mungkin dia menutup diri atau marah. Gaya bicara yang meliuk-liuk ini seringkali membingungkan orang, membingungkan pasangan sehingga lama kelamaan si pasangan akan berkata Saya capek, saya tidak mau lagi terus menerus mereka-reka atau menebak-nebak apa yang kamu maksudkan? pasangannya meminta supaya bicara yang jelas tapi tetap saja bicaranya berputar-putar. Jika ditanya setuju atau tidak setuju, tetap saja berputar-putar atau kalau dia sudah bilang setuju, kemudian dia bilang lagi tapi saja juga ada tidak setujunya. Orang yang bicaranya meliuk-liuk itu menimbulkan masalah dengan pasangannya maupun nanti dengan anak-anaknya, karena anak- anak pun tidak mengerti maksud dari orangtua.
GS : Biasanya faktor apa sehingga seseorang bisa seperti itu?
PG : Misalnya itu adalah gaya orangtuanya dulu, sehingga dia mengadopsi gaya bicara orangtuanya yang seperti itu. Kedua yang juga umum adalah orangtuanya terlalu keras kepada dia sehingga kalau dia mengatakan hal yang salah maka habislah dia. Oleh karena itu dia mengembangkan gaya bicara yang meliuk-liuk supaya tidak bisa ditangkap atau dipegang dan dia akan selalu selamat. Jadi umumnya apa motivasinya sehingga dia bicara meliuk-liuk, itu karena ingin selamat sehingga
orang tidak bisa benar-benar mengatakan kamu salah atau kamu benar, itu tidak bisa karena dia selalu punya cadangan pembelaan dirinya.
GS : Orang-orang seperti ini rupanya tidak berani atau kurang berani mengambil resiko, Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, itu memang yang membuat dia akhirnya tidak mau mengeluarkan pendapatnya sendiri karena dia takut nanti ada resikonya. Tapi ada juga yang meliuk-liuk karena dia tahu bahwa nanti dia harus bayar harga, karena kalau dia sudah mengatakan maka dia harus konsisten. Jadi dia mengambil mudahnya biarkan orang lain yang mengerjakan dan tanpa melakukan sesuatu maka semuanya bisa terjadi. Orang-orang yang seperti ini nantinya susah mendapatkan respek dari pasangannya, kalau orang itu sudah kehilangan respek, pernikahan itu sudah dapat dipastikan bermasalah.
GS : Kalau dia sebagai kepala keluarga maka itu akan memberikan dampak yang lebih
buruk dibanding kalau dia kerja. Tapi jika di dalam rumah tangga istrinya yang terus mengambil keputusan maka istrinyalah yang akan menanggung resiko.
PG : Betul, istrinya akan resiko dan lama kelamaan istri tidak lagi menghormati suami karena istri akan berkata Kamu ini mau mudahnya saja, kalau ditanya bilangnya begini, tapi kalau sampai ada yang tidak beres kamu buru-buru cuci tangan dan berkata saya tidak bicara begitu. Jadi benar-benar ucapannya tidak bisa dipegang atau diandalkan, itu akan merapuhkan fondasi pernikahan.
GS : Sebagai pasangan apakah yang dapat dilakukan untuk menolong partnernya?
PG : Sudah tentu yang jangan dilakukan oleh pasangannya adalah mengkonfrontasi sebab kalau dia takut maka akan semakin meliuk, jadi harus diciptakan suasana aman. Dengan cara diyakinkan bahwa ini keputusan bersama dan pasangannya pun memiliki pandangan yang serupa, jadi kita hadapi bersama. Perlahan-lahan semakin hari semakin tahu bahwa dia tidak sendirian dan itu dapat menguatkan dia. Kedua ialah tidak cepat disalahkan, kalau pasangannya cepat marah dan cepat menyalahkan maka dia akan semakin meliuk. Jadi pasangan juga harus meyakinkan bahwa kalau pun salah saya tidak akan marah dan tidak akan menyalahkan kamu sebab ini adalah keputusan kita berdua. Jadi perlahan-lahan dia tahu kalau pun dia salah, dia tidak dimarahi sehingga dia semakin tenang sebab kemungkinan dia dibesarkan di rumah dengan latar belakang kalau dia berbuat salah maka habislah dia. Dan sekarang pasangannya bersikap berbeda, tidak lagi mencerca dia atau memarahi dia kalau dia keliru. Perlahan-lahan dalam kondisi aman seperti ini dia akan lebih terbuka dan dia akan lebih berani untuk berbicara.
GS : Apakah orang yang seperti ini memang mengalami krisis percaya diri?
PG : Seringkali, dasarnya adalah takut dengan pertimbangannya, dengan pemikirannya.
Dia takut salah, dia selalu meragukan dirinya, jadi dia mengambil jalan yang paling aman yaitu samar jangan sampai posisinya terlalu jelas.
GS : Aman buat dia tetapi tidak aman buat orang lain?
PG : Betul, jadi lama-lama orang menjadi frustrasi. Kalau dia sendiri menyadari ini, seyogianya dia bicara bahwa saya takut untuk berterus terang, karena saya takut nanti terjadi apa-apa, dan pasangannya setelah mendengar pengakuan seperti itu juga jangan melecehkannya, justru mengangkatnya dan mengatakan ini adalah keputusan bersama, bukan hanya kamu saja tapi saya juga setuju dengan kamu. Jadi kalau terjadi sesuatu, nanti kita tanggung bersama-sama. Dengan keyakinan seperti ini mudah-mudahan dia bisa lepas.
GS : Selain gaya komunikasi yang bermasalah yaitu meliuk ini tadi, apakah ada bentuk komunikasi yang lain yang juga menimbulkan masalah?
PG : Yaitu gaya komuniksi menukik, menukik berarti turun menyerang yang di bawah.
Ada orang yang bicara itu membuat orang lain kesal, jengkel sebab selalu merendahkan orang selalu mengatakan kamu tidak benar, saya yang benar, kamu tidak bisa sebaik saya, saya lebih baik dari pada kamu, kamu pokoknya harus dengarkan saya karena saya yang lebih tahu. Tema-tema itu maksudnya sama dengan gaya hidup menukik, akhirnya kalau gaya bicara ini yang kita bawa ke dalam pernikahan maka sudah pasti lama-kelamaan pasangannya tidak mau bicara, karena setiap kali dia bicara dengan kita, dia akan terluka direndahkan lagi, dilecehkan lagi dan memang ada orang-orang seperti itu. Seolah-olah dia baru senang kalau dia bisa merendahkan orang dan menunjukkan kalau dirinya itu yang paling hebat.
GS : Gaya bicara ini sepertinya berlawanan dengan gaya bicara yang awal tadi?
PG : Betul Pak Gunawan. Gaya hidup ini bisa muncul dari 2 kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah dia terlalu dipuja-puja di rumah, semua mendengarkan dia saat dia bicara karena dia yang paling cerdas sehingga kalau anak-anak yang lain bicara orang tuanya tidak mendengarkan sebab sejak dia kecil orang tuanya selalu memuja dia, dari semua anak dia yang paling cerdas, dibanggakan, sekolahnya juga bagus akhirnya anak ini kecil-kecil sudah jadi raja dan harus selalu diutamakan sebab pendapatnya yang paling benar. Dan saat dia menikah itulah yang dia bawa, dia selalu benar, orang lain tidak tahu, orang lain selalu salah. Akhirnya orang seperti dia tidak sabar dengan kelemahan orang lain, yang tidak sama dengan dia dan menurut dia saat orang berbagi pendapat dengan dia berarti orang itu salah, dia tidak membuka kemungkinan bahwa dia yang keliru padahal bisa saja yang keliru adalah dia.
GS : Bagaimana kalau dia mengemukakan sesuatu dan ternyata apa yang disampaikan itu salah. Apakah orang seperti ini dengan gampang lalu mengatakan minta maaf?
PG : Biasanya tidak karena dia sudah yakin kalau dia benar, waktu salah biasanya dia akan salahkan faktor-faktor lain, kenapa bisa keliru dan bukan dirinya yang keliru dan dia berkata Kalau semua seperti yang saya katakan maka hasilnya akan terjadi seperti yang telah saya katakan. Tapi bisa juga orang seperti ini berasal dari keluarga yang kebalikan dari yang tadi saya sebut. Bukannya dipuja-puja tetapi justru sering dilecehkan, ada orang-orang yang masih kecilnya itu terlalu sering dilecehkan dan waktu dia sudah besar dan ingin membuktikan dirinya
bahwa dia itu bisa, sehingga dia tidak menerima koreksi dari orang lain dan dia menuntut untuk orang lain mendengarkan dia. Jadi sumbernya bisa dari kebalikannya juga. Yang kedua ialah orang ini justru tidak mempunyai kepercayaan diri tapi dia membabi buta ingin menunjukkan dia tahu dan dia bisa sehingga yang dia lakukan adalah menukik, bicaranya selalu merendahkan orang dan menyalahkan orang bahwa mereka semua salah dan dia yang benar.
GS : Mungkin itu untuk menutupi kekurangannya?
PG : Betul, jadi harusnya dia mengakuinya. Tetapi pasangannya tidak bisa diskusi dengan dia karena benar-benar 'mati kutu' atau tidak bisa bergerak sebab bicara apa pun dengan dia maka akan balik lagi ke kita dan membuat kita tidak semangat berbicara dengan dia kalau akhirnya akan dilecehkan.
GS : Ini bisa terjadi baik pada suami maupun istri?
PG : Betul, ini bisa juga dilakukan oleh istri kepada suami. GS : Dan sebagai pasangan bagaimana harus bersikap?
PG : Pertama kita bisa beritahukan kepadanya bahwa Saya mengerti maksudmu, waktu kamu berkata, sebetulnya kamu mau mengatakan kamu percaya kamu benar. Maksudmu sebenarnya bukan ingin menjatuhkan saya dan bisa tidak mengatakan bagian kamu saja tanpa kamu harus menyebut-nyebut saya. Dan lain kali waktu dia mulai bicara dan mulai menukik maka pasangan seolah-olah menghentikan dia dan berkata Nah, ini yang kamu lakukan baru saja kamu bicara, tapi langsung kamu menyerang saya, merendahkan saya, saya tidak tahu apa-apa, bisa tidak kamu tidak mengucapkan yang itu, kamu katakan yang kamu ingin katakan tentang pendapat kamu itu. Terus-menerus kita ingatkan hal itu, kalau dia sadar ini masalah dia dan dia harus berubah, dengan pertolongan pasangan yang mengingatkan dia maka seharusnya dia akan berubah.
GS : Biasanya kalau orang diingatkan seperti itu, rasanya belum lengkap pembicaraan saya kalau saya belum menukik dan itu yang menjadi masalah?
PG : Betul, memang sudah menjadi kebiasaan dan rasanya belum lengkap kalau dia tidak tambahkan kata-kata merendahkan.
GS : Pak Paul, apakah ada pola komunikasi yang lain yang bisa menimbulkan masalah? PG : Ini yang saya sebut memercik artinya memercikkan api emosi. Jadi ada orang-
orang tertentu kalau bicara tidak bisa lama sebab kalau dia bicara sedikit lama maka emosinya langsung meninggi, suhunya langsung memanas. Orang seperti dia memang benar-benar dikuasai emosi, kalau bicara dengan dia menjadi ribut karena dia akan beremosi. Jadi susah bicara dengan dia, jika ada diskusi wajahnya mulai menegang matanya mulai membelalak, suaranya mulai meninggi, dia tidak bisa santai. Ini gaya bicara yang bisa memancing dua reaksi. Reaksi pertama membuat pasangannya malas bicara dengan dia. Dan reaksi yang kedua adalah membuat pasangannya seperti dia, menjadi sama-sama marah, sama-sama berkelahi sebab pasangannya tidak terima Kenapa kamu bicara dengan saya harus seperti itu, harus suara keras, harus marah-marah. Jadi akhirnya si pasangan belajar untuk berbuat hal yang sama. Kalau keduanya sudah saling berbicara maka
seolah-olah menunjukkan sisi marahnya dulu, mau menakut-nakuti satu sama lain. Tapi untuk reaksi yang pertama membuat pasangannya tidak mau bicara sebab baru bicara sebentar inginnya selalu marah. Memang ada orang-orang tertentu waktu berbicara selalu maunya marah.
GS : Biasanya orang-orang demikian ini kehidupan sehari-harinya memang tegang, Pak Paul? Dia seorang pimpinan di kantor dan di rumah banyak masalah sehingga ada sesuatu yang memicu dia untuk bicara secara emosional?
PG : Betul, kalau dia dibesarkan di rumah dan orang tuanya sering bertengkar, maka suasana di rumah itu menjadi panas dan mungkin sekali akhirnya menjadi terpengaruh. Jadi kalau mau bicara bawaannya marah sebab dia sudah menyimpan api kemarahan itu, tapi ada juga yang tidak berawal dari masa lalu yang seperti itu tapi kehidupan yang sekarang terlalu tegang. Kemungkinan yang ketiga adalah orang yang dari dulu baik-baik saja tapi belakangan mengalami banyak masalah, masalah yang datang bertubi-tubi. Dan orang seperti ini mudah tegang sehingga mudah marah saat berbicara sedikit inginnya marah, karena benar-benar tidak ada lagi kesabaran untuk bisa menahan atau menoleransi perbedaan.
GS : Karena itu seringkali ada pasangan yang merasa kecewa terhadap pasangannya karena dulu waktu pacaran tidak seperti itu. Waktu pacaran dia lemah-lembut dsb, tapi setelah menikah kelihatan bahwa dia tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan seringkali marah-marah.
PG : Ada orang yang setelah marah-marah menyesal kemudian meminta maaf, hal itu lebih baik meskipun lama-kelaman pasangannya akan berkata Percuma minta maaf, tidak lama kamu akan mengulang lagi, sehingga minta maafnya tidak terlalu efektif. Tapi ada juga yang tidak mau minta maaf, justru pasangannya yang harus minta maaf karena pasangannya yang sudah membuat saya marah. Sekali lagi hal-hal seperti ini akan sangat merusak jalinan relasi, membuat pasangan akhirnya dingin sehingga tidak ada lagi cinta. Kalau ini terus terjadi yang akan terpengaruh adalah relasi intim hubungan suami-istri hubungan seksual. Pasangan tidak mungkin mau berhubungan sebab dia adalah orang yang selalu menyakiti hatinya, dan bagaimana mungkin melayani dia secara seksual. Jadi akhirnya keintiman terkikis habis, pembicaraan juga semakin sedikit sebab dari pada ribut lebih baik tidak perlu bicara lagi. Dan yang terjadi pada anak ialah anak pun belajar untuk diam sebab mereka tahu kalau nanti bicara orangtuanya marah- marah.
GS : Menghadapi masalah seperti itu, bagaimana peran pasangan untuk membantu menurunkan marah, dan sebagainya?
PG : Pertama dia harus mengingatkan pasangan yang suka marah itu, bahwa kamu itu sebetulnya mengharapkan orang berbicara dengan kamu dengan cara yang paling cocok untuk kamu. Karena sedikit kurang cocok kamu sudah tidak suka dan itu merupakan tuntutan yang susah untuk dipenuhi. Jadi kita harus katakan apa adanya kepada dia kalau suasana hati kamu tidak enak, maka semuanya sudah pasti tidak enak, tapi masalahnya adalah orang tidak selalu tahu suasana hati dan
apa penyebabnya. Jadi pasangan bisa berkata Sebelum kamu marah, kalau suasana hati kamu sudah tidak enak, bisa tidak kamu bilang saya lagi tidak enak jangan bicara dulu. Jadi tolong beritahukan sehingga saya tidak salah bicara, sebab saya tidak tahu kalau kamu sedang tidak enak. Jadi lain kali bicara langsung, jangan bicara dulu sebab kamu sedang tidak enak, sampai kamu sudah tenang, reda maka barulah saya bicara. Jadi kita bisa mengajarnya untuk yang pertama mengenali perasaan dia sendiri, kalau suhunya sudah meninggi dia bertanggung jawab untuk memberitahu kita. Yang kedua minta kita untuk memberitahukan cara apa yang kamu inginkan sehingga saya tahu bagaimana kalau bicara begini kamu bisa terima dan kalau bicara begitu kamu tidak terima, jadi diberitahu terlebih dahulu. Kita mau mengajaknya bekerjasama sehingga dia bisa bertanggung jawab, sehingga tidak menjadi tanggung jawab orang lain, karena dia merasa oranglah yang tidak mau mengerti dia sehingga dia punya alasan untuk marah.
GS : Biasanya orang seperti itu tidak menyadari kapan suasana hatinya tidak enak? Atau bisa juga dia tidak mau mengakui bahwa suasana hatinya sedang tidak enak. Pemicunya ini belum tentu dari orang serumah, kemungkinan ada tamu yang datang ke sana lalu mengeluarkan hal-hal atau kata-kata yang menyakitkan dia sehingga membuatnya tidak senang dan orang serumahlah yang terkena amarahnya.
PG : Kita harus memintanya tetap ambil bagian, meskipun kadang-kadang dia menyangkal Saya tidak tahu, dan dari pihak kita sebisanya menjanjikan Kalau saya melihat suasana hati kamu sedang panas maka saya akan diam. Tolong waktu saya diam kamu mengerti kenapa saya diam karena saya tidak mau memperpanjang masalah. Jadi minta dia bekerjasama dengan kita, masing- masing saling mengawasi. Jadi selalu tekankan Mari kita bicara sewaktu suhu sudah reda, waktu suhu sudah reda barulah kita bicara jangan teruskan kalau misalnya suasana sudah panas.
GS : Apakah ada ayat-ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan Amsal 18: 21 firman Tuhan berkata Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya. Ini perkataan yang sangat indah, Pak Gunawan. Hidup dan mati dikuasai lidah, tadi kita bicara cara berkomunikasi bukankah itu masalah lidah. Dan betul sekali cara berkomunikasi lidah yang bermasalah itu akan mematikan. Tapi orang yang bisa menggunakan lidah dengan tepat dan baik justru akan menciptakan kehidupan didalam pernikahannya maka jangan sampai kita salah menggunakannya. Jangan sampai kita memakan buah yang justru meracuni kita sendiri.
GS : Terima kasih untuk peringatan yang begitu jelas dari Firman Tuhan yang Pak Paul sampaikan kepada kami dan para pendengar sekalian terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Tangga ke Rumah bagian yang kedua yaitu tentang Cara Komunikasi
Bermasalah Dan perbincangan ini masih kami akan lanjutkan pada perbincangan yang akan datang. Jadi kami sangat mengharapkan anda sekalian bisa mengikutinya pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Jika kita memperhatikan pasangan nikah di sekitar kita, tidak bisa tidak kita harus mengakui begitu sedikit pasangan yang sungguh-sungguh menikmati pernikahannya. Bahkan cukup banyak yang sebenarnya tidak lagi hidup dalam pernikahan meski masih mempertahankan status nikah. Pertanyaan yang timbul adalah, mengapakah demikian?
Pada akhirnya saya menyimpulkan kendati ada banyak faktor yang dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan, namun sering kali penyebab pertama dan mungkin terbesar adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Bukankah pribadi yang bermasalah bermuara pada gaya hidup bermasalah, cara berkomunikasi bermasalah, dan mekanisme memenuhi kebutuhan bermasalah? Dan bukankah gaya hidup, cara berkomunikasi, dan mekanisme untuk memenuhi kebutuhan semuanya berkaitan langsung dengan pernikahan itu sendiri?
A. Gaya Hidup Bermasalah
Ada beberapa gaya hidup bermasalah yang kerap dibawa masuk ke dalam pernikahan. Pertama adalah gaya hidup tidak mau menanam dan tidak mau menuai. Ini adalah gaya hidup tidak bertanggung jawab. Pada umumnya gaya hidup tidak bertanggung jawab mengharuskan pasangan untuk menjadi penanggung jawab hidupnya. Pasangan berkewajiban menyenangkan hatinya dan tidak boleh mengecewakannya. Pasangan seyogianya memahani keinginannya tanpa ia harus menyuarakannya. Pasangan senantiasa harus memperhatikan gejolak di dalam dirinya dan berusaha menenangkannya. Gaya hidup tidak bertanggung jawab sesungguhnya menempatkan diri pada posisi tidak pernah salah.
Kedua adalah gaya hidup menuai tanpa harus menanam. Masa kecil yang susah atau masa kecil yang manja dan mudah, berpotensi menciptakan ambisi untuk cepat menuai tanpa harus bersusah payah menanam. Atau, ada orang yang senantiasa membandingkan diri dengan saudara atau orangtuanya dan merasa bahwa ia kurang. Namun untuk mengisi kekurangannya bukannya ia menempuh jalan panjang, ia malah mencari jalan pintas. Misalnya ia ingin cepat kaya dengan cara semudah mungkin. Gaya hidup seperti ini acap kali diikuti dengan gaya hidup penuh spekulasi yang berakhir dengan kehilangan besar. Masalahnya adalah, ia tidak bersedia melihat realitas; sesungguhnya ia hidup dalam khayalannya.
Ketiga adalah gaya hidup terus menanam dan tidak menuai. Gaya hidup ini membuat dirinya--dan orang lain--sengsara sebab orang ini tidak dapat menikmati hidup dan melarang orang menikmati hidup pula. Orang ini mungkin sekali bergelimang dengan kelimpahan namun ia senantiasa melihat dirinya kurang. Ia selalu berusaha irit dan memandang kenikmatan sebagai musuh yang harus dilawan. Ia penuh ketakutan dan menciptakan banyak larangan guna menghindar dari ketakutannya.
Firman Tuhan
Salah satu tema utama Kitab Pengkhotbah hidup dalam keseimbangan. Misalnya Pengkhotbah 2:22-25 Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Seluruh hidupnya penuh kesedihan dan perkerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam
1
hari hatinya tidak tenteram. Ini pun sia-sia. Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa ini pun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? mengajarkan kepada kita bahwa tidak benar bagi kita untuk terus bekerja (menanam) tanpa menuai. Selanjutnya Pengkhotbah 2:24-26 menekankan bahwa Tuhanlah yang mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menikmati buah kerja kita. Jadi, Tuhanlah yang memberi kita kesempatan untuk bekerja dan Tuhanlah yang memampukan kita untuk menikmati jerih lelah kita.
B. Cara Komunikasi Bermasalah
Pribadi bermasalah kerap membawa cara berkomunikasi bermasalah ke dalam pernikahan. Ada beberapa yang sering menjadi duri dalam pernikahan dan yang pertama adalah cara berkomunikasi yang saya panggil, meliuk. Cara berkomunikasi ini tidak langsung dan samar; apa yang dikatakan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan. Hari ini berkata, tidak, besok berkata, ya, namun apa yang sesungguhnya ada di hati tidak pernah tercetus keluar.
Tidak bisa tidak, gaya berkomunikasi seperti ini membingungkan dan berakhir dengan frustrasi. Kita tidak tahu bagaimana harus bereaksi sebab kita tidak tahu isi hatinya dan harus mereka-reka maksudnya. Kalaupun terpojok, ia sulit mengakui keinginan atau pendapatnya; malah ia sering melemparkan masalah kembali kepada kita seolah-olah kitalah yang salah mengertinya.
Cara berkomunikasi bermasalah lainnya adalah menukik. Saya sebut menukik sebab arah pembicaraan seakan-akan selalu memojokkan dan merendahkan lawan bicara. Apa pun yang dikatakannya, pada akhirnya kita akan merasa dilecehkan atau disalahkan. Ia selalu benar dan tahu, sedangkan kita tidak pernah benar dan selalu tidak tahu apa-apa. Gaya bicara menukik sukar membuka kesempatan terjadinya dialog sebab gaya bicara ini cenderung searah dan bermuatan instruksi.
Cara berkomunikasi lain yang juga sering menimbulkan masalah adalah cara berkomunikasi memercik--sudah tentu yang saya maksud adalah percikan api emosi. Ada orang yang penuh ketegangan sehingga mudah sekali meledak namun ada pula orang yang sebenarnya tidak penuh ketegangan namun sangat tidak sabar dengan ketidaksempurnaan sehingga mudah marah. Orang ini biasanya menuntut kita untuk berbicara dengannya dengan cara yang pas dengan suasana hatinya sebab ia sendiri pun dikuasai oleh suasana hati.
Firman Tuhan
Semua gaya komunikasi bermasalah berhulu pada putusnya tali komunikasi dan jika tali komunikasi sudah terputus, tali relasi pun akan putus. Efesus 4:25 mengajarkan kita untuk berkata benar kepada satu sama lain. Amsal 18:21, Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya. mengingatkan kita akan pengaruh atau kuasa lidah yang dapat menghancurkan atau memberi hidup kepada sesama. Relasi nikah bergantung pada komunikasi dan komunikasi bergantung pada lidah--dan lidah orang benar membangun pernikahan.
2
C. Mekanisme Memenuhi Kebutuhan
Masing-masing kita membawa kebutuhan masuk ke dalam pernikahan. Tidak ada yang salah dengan kebutuhan untuk dikasihi dan dihargai; masalah timbul tatkala kita menggunakan cara yang salah untuk mendapat pemenuhan kebutuhan itu. Salah satu mekanisme yang salah adalah melimpahkan masalah pada pundak pasangan padahal kitalah yang mempunyai kebutuhan itu. Kita menolak mengakui bahwa sebenarnya kitalah yang mempunyai kebutuhan itu; sebaliknya, kita menuduh pasangan seakan-akan dialah yang tidak mampu menyediakan kebutuhan itu. Tema utama yang kerap kita lontarkan adalah bahwa dia tidak cukup baik dalam memenuhi kebutuhan kita. Sudah tentu pasangan menjadi frustrasi dan lama kelamaan kehabisan tenaga memenuhi kebutuhan kita.
Mekanisme kedua yang bermasalah adalah senantiasa memunculkan masalah. Ada orang yang terus menerus memunculkan masalah; setiap hal menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Masalah mungkin berkaitan dengan kita mungkin juga tidak, namun pada intinya ia tidak pernah dapat berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah sesungguhnya mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidup namun ia tidak tahu bagaimana; alhasil ia selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu.
Mekanisme ketiga yang salah adalah meniadakan masalah. Pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong menolong; di dalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang. Namun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhannya dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya. Kita beranggapan bahwa kita sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu karena memang ini adalah kebutuhan kita. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak. Daripada dihina atau ditolak, lebih baik tidak membagi kebutuhan sama sekali.
Firman Tuhan
Apa pun itu yang kita lakukan, yang pasti adalah, cara yang keliru dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya memisahkan kita dari orang yang kita cintai. Amsal 22:9, Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin, mengajarkan
kita bahwa orang yang murah hati akan diberkati. Murah hati berawal dari hati yang memberi
dan dalam pernikahan, hati yang memberi akan menerima kembali dengan berkelimpahan.
3
Tangga ke Rumah|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T436C|T436C|Suami-Istri|Audio|Penyebab dari masalah yang sering timbul dalam keluarga yang terutama adalah pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Antara lain ialah Gaya Hidup Bermasalah, Cara Komunikasi Bermasalah dan Mekanisme Memenuhi Kebutuhan. Disini akan dijelaskan secara jelas mengenai tiga hal tersebut.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T436C.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami beberapa waktu yang lalu tentang Tangga Ke Rumah dan kami akan memperbincangkan bagian yang ketiga yaitu tentang Mekanisme Memenuhi Kebutuhan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, semakin menarik saja kita berbicara tentang tangga ke rumah ini, sudah dua sesi kita lampaui dan kali ini kita memasuki sesi yang ketiga dan terakhir yaitu tentang mekanisme memenuhi kebutuhan. Mungkin ada para pendengar kita yang tidak sempat mengikuti perbincangan kita yang pertama dan yang kedua. Dan sebelum kita membicarakan tentang mekanisme memenuhi kebutuhan, mungkin Pak Paul bisa mengulas pembahasan yang pertama dan yang kedua, silakan Pak Paul.
PG : Latar belakang dari istilah rumah tangga masa dahulu ialah biasanya rumah itu berada diatas tanah sehingga kalau kita ingin memasuki rumah, kita harus menaiki tangga. Jadi tangga adalah sesuatu yang menghubungkan kita untuk masuk kedalam rumah. Saya sering mengamati pernikahan dan saya menyimpulkan banyak pernikahan bermasalah, saya lihat banyak orang menjalani kehidupan nikah tapi tidak sungguh-sungguh menikmati kehidupan nikah. Akhirnya saya menjadi bertanya mengapakah demikian? Mengapakah begitu banyak pernikahan yang tidak bahagia? Akhirnya saya simpulkan, meskipun banyak faktor yang terlibat dalam pernikahan itu sendiri, tapi awalnya adalah karena kita memiliki masalah didalam diri kita sendiri. Masalah-masalah itulah yang kita bawa kedalam pernikahan dan pada akhirnya mengganggu relasi kita dengan pasangan. Pada sesi yang lampau, kita telah membahas dua hal yang kerap kali membawa masalah dalam diri kita. Yang pertama kita membicarakan tentang gaya hidup yang bermasalah, kita bahas tentang orang yang cenderung untuk tidak mau menanam tidak mau menuai yang penting hidup dalam pernikahan, alias hidup berdua tetapi tidak sungguh-sungguh hidup bersama karena tidak ada saling berbagi, saling tolong-menolong dan akhirnya masing-masing hidup dalam dunianya sendiri- sendiri. Gaya hidup seperti itu yang nantinya pasti menimbulkan masalah dalam pernikahan. Kita juga membahas tentang orang-orang yang tidak mau bekerja keras dalam pernikahannya tetapi maunya menuai. Dan ini adalah gaya hidup yang bermasalah sebab nanti dalam pernikahan dia akan selalu bermimpi besar, mau
melakukan banyak hal tapi tidak menjadi kenyataan. Namun pasangannya tidak berhak untuk menghentikan langkahnya dan harus selalu menyetujui keinginannya sebab dia ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang cepat. Kemudian kita juga membicarakan tentang gaya hidup yang terus bekerja, terus memaksa diri tapi pada halnya tidak bisa menikmati apa yang telah dicapainya, orang seperti ini pun akan menimbulkan masalah dalam pernikahan karena pasangan dan anak- anaknya akan letih hidup dengan dia karena semua harus bekerja keras dan tidak boleh ada yang menikmati hidup. Kemudian kita juga berbicara tentang cara berkomunikasi yang bermasalah, kita berbicara tentang orang yang bicaranya tidak jelas, meliuk-liuk seringkali menimbulkan kebingungan dan akhirnya salah paham dan mengakibatkan pertengkaran. Atau ada orang yang kalau berbicara selalu menukik, tajam, menyerang, mengkritik, sehingga akhirnya orang merasa dilecehkan kalau berbicara dengan dia dan ini akan menciptakan jarak dalam pernikahan. Pasangannya tidak akan bisa tahan hidup dengan dia. Dan yang ketiga kita berbicara tentang orang yang cara berkomunikasinya itu meletup-letup, mudah sekali marah sehingga akhirnya pasangan menjauhkan diri dari dia, anak- anak menjauhkan diri dari dia karena takut terkena marah, sebab emosinya cepat sekali meledak. Inilah bahan-bahan yang kita bawa kedalam pernikahan, bahan- bahan bermasalah yang nantinya menimbulkan masalah dalam pernikahan. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas bagian yang ketiga.
GS : Pada bagian yang ketiga kita akan membahas tentang mekanisme memenuhi kebutuhan, jadi tidak seperti dahulu tentang cara berkomunikasi bermasalah dan gaya hidupnya yang bermasalah. Tapi ini adalah suatu mekanisme, apa ada suatu masalah yang lain yang dibawa dalam hidup pernikahannya?
PG : Kita semua mempunyai kebutuhan dan tidak ada yang salah dengan kebutuhan yang kita miliki. Yang menjadi masalah adalah cara atau mekanisme kita untuk memenuhi kebutuhan itu. Inilah yang nantinya akan kita bawa juga kedalam pernikahan. Ada juga diantara kita yang mempunyai cara-cara atau mekanisme- mekanisme yang tidak sehat, misalnya yang pertama ada orang yang memenuhi kebutuhan dengan cara melemparkan masalah pada orang lain atau melimpahkan masalah pada orang lain, setelah dia menikah dia selalu melimpahkan masalah pada pundak pasangannya. Dia tidak mau mengakui bahwa dialah yang sesungguhnya mempunyai kebutuhan itu, tapi dia menuntut pasangan untuk menyediakan pemenuhan kebutuhannya. Akhirnya tema yang sering kita angkat adalah Pasangan kita tidak cukup baik dalam memenuhi kebutuhan kita. Akhirnya pasangan menjadi sangat frustrasi, kehabisan tenaga untuk memenuhi kebutuhan kita. Jadi kita ini harus menyadari dan mengakui sebetulnya kita yang mempunyai kebutuhan ini, misalnya kita butuh diperhatikan karena pada masa pertumbuhan, kita kurang mendapatkan perhatian maka akuilah hal itu di depan pasangan dan berkata Saya punya kebutuhan yang tinggi untuk diperhatikan dan tolong bantu saya. Biasanya orang yang suka melimpahkan masalah pada orang lain, dia sulit untuk mengatakan kelemahannya itu. Dan yang dia lakukan justru
melimpahkan masalah pada pasangan. Kamu yang tidak becus memperhatikan saya, kamu sebagai suami atau istri seharusnya memberikan perhatian kepada saya seperti ini, jadi yang disalahkan orang lain. Mula-mulanya orang lain mungkin mencoba memenuhi kebutuhannya tapi lama-kelamaan dia akan angkat tangan dan berkata Tidak peduli, sebab tidak pernah cukup dan tidak pernah benar.
GS : Seringkali yang saya rasakan sebagai seorang suami itu butuh untuk dihargai. Ada kebutuhan untuk dihargai oleh pasangan, baik itu prestasi yang kecil atau yang besar. Ini menjadi kebutuhan saya dan sebaliknya istri saya sebagai wanita juga punya kebutuhan lain yaitu butuh untuk dikasihi. Apakah ini yang sering menjadi masalah?
PG : Saya kira ini sebagai akar masalah yang sering timbul dalam pernikahan. Saya
berikan contoh dari apa yang Pak Gunawan katakan, misalkan kita sebagai pria butuh dihargai, sudah tentu ini merupakan kebutuhan pokok pria, tapi ada sebagian kita yang mempunyai kebutuhan yang sangat besar untuk dihargai sehingga manifestasinya, gejalanya adalah dia cepat tersinggung, sedikit saja dia tidak mendapatkan pengakuan dari orang seperti tidak disapa atau tidak diberikan penghargaan, dia langsung marah dan tersinggung. Misalkan istrinya berbicara kepada dia dan saat berbicara, sepertinya dia lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan dari pada kita, akhirnya marah lagi dan tersinggung lagi. Itulah tanda bahwa kebutuhan kita untuk dihargai sebetulnya sangat besar maka kita menjadi orang yang super peka dalam hal ini. Kebalikan dengan wanita, wanita pada umumnya membutuhkan untuk dicintai. Kalau kebutuhan untuk dicintainya super besar, kita bisa melihat gejalanya, manifestasinya yaitu dia sama sekali tidak bisa membagi pasangannya, suaminya bahkan dengan pihak keluarga suaminya, dengan adiknya dengan mamanya, sama sekali tidak bisa, hubungan itu seolah- olah lenyap waktu menikah dengan dia. Dialah satu-satunya orang yang boleh hadir dalam diri suaminya, orang lain sama sekali tidak boleh. Akhirnya dia mulai mengikat suaminya sekeras dan sekencang mungkin supaya suaminya tidak bisa kemana-mana. Kalau kita memang mempunyai masalah dengan kebutuhan yang besar ini sebaiknya kita jangan melimpahkannya pada pasangan, seolah-olah pasangan yang tidak becus memberikan atau menyediakan kebutuhan kita. Sebaiknya kitalah yang mengakui bahwa kita yang mempunyai masalah ini. Tapi sebagian kita memang sudah mengembangkan mekanismenya, sudah mengembangkan cara memenuhi kebutuhan yang paling jitu, yaitu menyalahkan orang.
GS : Uniknya kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi kalau kita menuntut dari orang lain selain pasangan kita, tapi kenapa kita justru mengharapkan dari pasangan Pak Paul?
PG : Kemungkinan besar ialah karena kita hidup paling dekat dengan pasangan, jadi meskipun kita secara sadar mengatakan pada diri sendiri tidak perlu meminta pada pasangan, tapi karena kita hidup bersama dengan pasangan dalam hubungan
yang begitu akrab, intim akhirnya tidak bisa tidak ada tuntutan agar pasangan memenuhi kebutuhan tersebut. Cara yang lebih sehat misalkan tentang penghargaan ialah kita yang berikhtiar melakukan hal-hal yang baik yang positif sehingga pasangan melihat dan menghargainya. Tapi kalau kita memiliki kebutuhan yang terlalu besar dan membuat kita tidak bisa melihat bahwa kita yang harus berikhtiar melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan penghargaan, kita seolah-olah telah membabi buta menuntut pasangan harus menghargai kita.
GS : Kalau pasangan kita itu suka melimpahkan masalah ini kepada partnernya, apa yang bisa dilakukan oleh pasangan itu?
PG : Seharusnya dia berkata Saya akan berusaha sedapat mungkin memenuhi kebutuhanmu itu. Dengan catatan, memang orang tersebut mengakui kalau dia memiliki kebutuhan yang besar. Tapi si pasangan juga harus jelas berkata Akan ada waktu mungkin saya lupa, ada waktu mungkin saya tidak dapat melakukan semaksimal yang kau harapakan. Kalau itu terjadi, ini yang saya minta untuk kau lakukan yaitu kau ingatkan saya tapi jangan dengan nada marah, jangan dengan tuntutan. Kalau engkau tahu engkau akan marah, bisa tidak kau tuliskan saja di kertas dan tuliskan dengan kata-kata yang standart atau formal yaitu 'Saya tadi mengharapkan ini tapi saya tidak mendapatkannya darimu,' begitu saja. Waktu kau menuliskan itu dan saya membacanya, maka saya tahu kalau saya tadi tidak ingat untuk melakukan apa yang kamu inginkan, maka saya akan minta maaf kepadamu. Dengan kata lain mereka berdua harus mencipatakan sebuah sistem yang baru sehingga yang membutuhkan bisa mengutarakan permintaannya dan yang dibutuhkan bisa memberikan dengan lebih rela tanpa paksaan.
GS : Selain orang yang suka melimpahkan masalah, apakah ada hal-hal yang lain?
PG : Yang kedua adalah orang yang saya sebut dengan orang yang senantiasa memunculkan masalah, maksudnya ada orang yang terus memunculkan masalah sehingga setiap hal menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Masalah mungkin bisa berkaitan dengan kita dan mungkin juga tidak, namun pada intinya dia tidak pernah berbahagia dengan hidupnya. Orang yang selalu memunculkan masalah dan melihat hidup dari kacamata masalah, sesungguhnya orang ini mengalami kehampaan dan tidak mempunyai makna hidup. Ia ingin memenuhi kebutuhan akan makna hidupnya namun dia tidak tahu harus bagaimana. Alhasilnya selalu merasa tidak puas dan kerap menggerutu. Jadi orang ini memang mempunyai ketidakbahagiaan yang mendasar, itu sebabnya apa saja yang dilakukannya tidak membahagiakan. Apa saja yang orang lain perbuat pun tidak membahagiakannya, dia selalu melihat ada yang kurang. Jadi dia selalu memunculkan masalah karena yang selalu dilihatnya adalah masalah, dari dalam dirinya sudah tersedia genangan air, yaitu genangan ketidak puasan dan ketidak bahagiaan. Kebutuhan pokok ini akhirnya meminta untuk dipenuhi, dan karena tidak bisa dipenuhi baik oleh dirinya maupun orang lain akhirnya terus memunculkan masalah.
GS : Dalam hal ini apakah orang tersebut memang mencari-cari masalah atau memang masalah itu nyata?
PG : Sudah tentu masalah akan selalu ada karena bagi dia sesuatu yang tidak berjalan sesuai dengan yang dia inginkan, itu menjadi masalah. Kita tahu kalau kita hidup pada dunia yang tidak sempurna, akan ada hal-hal yang terjadi di luar kehendak atau selera kita, namun kita akan belajar menerimanya. Tapi orang yang dasarnya tidak bahagia, itu akan sulit sekali menerima ketidakberesan seperti itu karena pada dasarnya dia tidak bahagia, itu adalah kebutuhan pokok yang dia tidak bisa penuhi. Maka dia selalu memunculkan masalah. Dengan memunculkan masalah, memang dia berharap dia akan lebih bahagia tapi itu tidak mungkin sebab dia akan menjadi sibuk karena selalu menyoroti orang, dan dia berkata Mengapa kamu begini, kamu tidak seharusnya begini. Memang secara tidak sadar dia mengharapkan bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan kehendaknya, menciptakan anak yang lebih baik, menciptakan suami yang lebih sempurna, menciptakan istri yang juga lebih baik, maka dia akan mendapatkan kebahagiaan itu. Jadi dia memang bertumpu pada lingkungan di luar dirinya untuk memberikan kebahagiaan kepadanya, makanya dia selalu sibuk mengoreksi, mencoba memberitahukan orang apa yang benar dan apa yang tidak benar, tapi kita tahu itu adalah mustahil. Pertama orang tidak selalu memberi respons, yang kedua memang dunia itu tidak sempurna, jadi selalu ada ketidak sempurnaan. Masalah satu selesai muncul lagi masalah yang lain, maka dia akan lelah hati terus-menerus.
GS : Itu yang seringkali dimunculkan, bukan masalah-masalah yang terlalu prinsip.
Misalnya hanya meletakkan barang yang tidak tepat, atau janji yang meleset beberapa menit, itu juga bisa menjadi masalah?
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi dari segala sesuatu, bisa tentang orang di rumahnya, bisa tentang lingkungan dan sekali lagi tidak ada yang sempurna dalam lingkungan hidup kita. Dia selalu menggerutu kalau ada yang tidak beres dan seolah-olah dia beranggapan bahwa dia bisa menciptakan dunia yang lebih indah. Maka hidupnya pun lebih indah tapi dunia tidak akan lebih indah.
GS : Yang paling menderita adalah pasangannya atau anak-anaknya yang ada di sana.
Dan apa yang bisa dilakukan oleh pasangan untuk mengurangi supaya tidak terus disalahkan?
PG : Memang agak sulit Pak Gunawan, sebab orang ini pada dasarnya menyimpan ketidakbahagiaan. Sebetulnya dialah yang harus mencari pertolongan agar masalah yang mendasar itu dapat dibereskan. Misalkan dia berasal dari latar belakang keluarga yang sangat tidak bahagia, penuh dengan kepahitan dan dia masih membawa semua itu sampai saat ini. Tidak bisa tidak itulah yang harus dibereskan, jadi sebagai pasangan seyogianyalah dia menunjukkan pada orang tersebut bahwa kamu memang harus melihat akarnya. Sebab sampai kapan pun kamu tidak akan merasa puas, sampai kapan pun kamu akan terus menuntut lingkungan harus sempurna seperti yang kamu inginkan. Sebab kamu berharap
dengan sempurnanya lingkungan maka akan hilanglah kesengsaraan hatimu, tapi itu tidak akan terjadi. Apakah mudah melakukan hal ini? Kebanyakan susah, sebab orang yang bersangkutan tidak mau berubah, yang pertama karena dia tidak mau mengakuinya, dan dia akan berkata Memang kamu yang membuat masalah dan kamu memang melakukan ini, justru pasangan harus berkata Memang betul ini semua terjadi, tapi apakah kamu akan terus-menerus menyoroti dan membuat dirimu itu menderita seperti ini, apakah itu yang kamu inginkan? dan pasangannya memang harus mengkonfrontasi Kalau itu yang kamu inginkan, kamu akan membuat satu keluarga menderita dan saya tidak bisa menjanjikan saya akan terus tahan, kalau saya tidak tahan bagaimana? Kalau anak-anak tidak tahan bagaimana? Jadi perlu lebih konfrontatif dengan masalah seperti ini.
GS : Jadi yang bersangkutan perlu disadarkan dulu, yang dirugikan bukan saja orang lain tetapi juga dirinya sendiri.
PG : Betul, dia pun menderita tidak pernah mencicipi kebahagiaan. GS : Apakah ada mekanisme yang lain, Pak Paul?
PG : Yang ketiga adalah yang saya sebut dengan meniadakan masalah, pernikahan dimaksudkan menjadi ajang penyatuan dan tolong-menolong. Didalam proses inilah keintiman dibangun dan berkembang, namun ada di antara kita yang tidak nyaman dengan kebutuhan dan tidak bersedia melibatkan pasangan untuk memenuhi kebutuhannya. Orang ini beranggapan bahwa dia sendirilah yang harus memenuhi kebutuhan itu, karena itu memang kebutuhannya. Namun ada pula orang yang tidak bersedia membagi kebutuhannya karena gengsi atau takut ditolak, daripada dihina atau ditolak lebih baik tidak membagi kebutuhannya sama sekali. Intinya adalah orang ini tidak mau membagi, tidak mau meminta, tidak mau menyatakan kebutuhannya dan mengharap pasangan untuk memberikannya. Jadi dia selalu menolak atau menyangkal, meniadakan masalah dan tidak mau melihatnya. Memang sampai kadar tertentu dia mungkin bisa menghilangkan kebutuhan dengan cara meniadakannya, tidak lagi mau memikirkannya tapi faktanya adalah kebutuhan tetap ada dan kalau didiamkan terus maka lama-lama akan bocor. Mungkin sekali bocornya di tempat-tempat lain yang tidak berkaitan, dan pasangannya akan kaget kenapa kamu begini? Kenapa kamu marah, begini saja kamu tidak bisa terima, ada apa? Tapi pasangannya tidak akan mengerti dan dia pun tidak akan mengerti. Sesungguhnya dasarnya adalah dia mempunyai kebutuhan yang tidak terpenuhi.
GS : Orang-orang secara tidak sengaja mengingkari, kalau hal itu merupakan masalah dalam kehidupannya?
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Dan dengan tidak sengaja dia akan menciptakan masalah baru ditengah keluarganya?
PG : Betul sekali, meskipun dia tidak bermaksud demikian. Tapi akhirnya dia menciptakan sebuah masalah baru. Contohnya ada orangtua yang sangat tinggi menuntut anak-anaknya, mereka berharap anak-anaknya itu bisa berprestasi
sangat tinggi. Tapi alasan di balik itu semua adalah sebuah kebutuhan tertentu yaitu kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan di masyarakat, di kalangan teman-temannya. Tapi dia memang tidak mau melihat kebutuhan tersebut, dia meniadakan kebutuhan itu dan berkata Saya tidak ada masalah itu, atau pun kalau dia mengakui masalah itu , dia berkata Tapi bagaimana saya harus penuhi sendiri. Yang menjadi persoalan adalah dia akhirnya luber. Dalam hal ini lubernya ke anak, anak yang dituntut untuk berhasil. Sudah tentu dalam perkataannya dia tidak akan mengakui kalau dia memang mempunyai kebutuhan itu, yang dia akan lakukan adalah mengatakan kepada anak-anak Kamu harus berhasil karena kalau kamu tidak berhasil, kamu nanti tidak bisa maju tidak bisa sukses dalam hidup dan sebagainya. Padahal anak-anaknya sudah bekerja dengan baik bahkan sangat baik, tapi terus-menerus ditekan dan ditekan lagi. Jadi itu yang saya maksud dengan luber, gara-gara mengingkari kebutuhannya sendiri.
GS : Apakah karena orang yang bersangkutan memang tidak berani menghadapi masalah karena dia merasa tidak mampu mengatasi masalah, atau cuma hanya mencari mudahnya saja?
PG : Yang pertama memang betul, ada orang yang memang tidak mampu. Daripada tidak mampu dan mengakui tidak mampu lebih baik diingkari. Tapi ada juga orang yang memang berprinsip saya harus mandiri, saya harus memenuhi kebutuhan- kebutuhan saya. Misalkan kita sangat butuh untuk dikasihi, kita kurang menerima kasih sayang. Tapi kita berkata Kita harus penuhi kebutuhan ini sendiri, kita tidak boleh menuntut orang untuk memenuhinya, jadi kita tidak pernah meminta kepada pasangan. Kita mencoba melakukan semuanya sendiri, kita tidak mencoba meminta pasangan untuk memberikan perhatian khusus kepada kita dan itu terus kita lakukan. Padahal kebutuhan akan dikasihi itu tetap ada, karena tidak dapat kita penuhi dengan baik. Akhirnya bocor dan bocornya di tempat yang lain. Misalnya pasangannya lupa memberikan kartu ucapan ulang tahun, karena kelalaiannya maka bisa terjadi perang dunia. Padahalnya mereka sudah menikah
15 tahun dan tidak pernah lupa, hanya sekali saja lupa, maka marahnya bisa sampai satu bulan. Waktu ini terjadi, barulah pasangan menyadari Rupanya dia mempunyai kebutuhan yang besar sekali, tetapi tidak pernah mau mengakuinya. dan waktu ditanya, tetap saja tidak mau mengakui, dan tetap berkata Orang berulang tahun masa bisa sampai lupa, dia tidak mau menerima kalau orang bisa lupa. Akhirnya masalah berlarut-larut.
GS : Sebenarnya kalau masalah itu kita diamkan maka tidak mungkin bisa hilang
dengan sendirinya tanpa kita mau mengatasinya, Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi kita harus melakukan sesuatu.
GS : Dan kalau tidak, maka akan menimbulkan masalah lain yang lebih besar daripada masalah yang semula.
PG : Betul sekali.
GS : Apakah kita sebagai pasangan bisa menolong orang seperti itu?
PG : Kita memang harus dengan lembut mengatakan padanya bahwa Saya melihat inilah yang saya butuhkan dan saya mau sekali memenuhinya, saya mengerti tidak mudah bagimu untuk melihatnya. Mungkin di masa lampau kamu menerima kekecewaan karena apa yang kamu minta itu tidak diberikan oleh orang. Jadi kamu sekarang menutup diri, dan saya mau memberikan itu kepadamu. Mari kita kerjasama, tapi saya butuh bantuanmu, saya tidak selalu tahu apa yang kamu inginkan. Bisa tidak kalau kamu tidak bersedia bicara panjang butuh apa, misalkan kamu ingatkan saya dengan memberikan saya kartu kecil atau berikan saya isyarat yang lebih ringan supaya saya diingatkan apa yang kamu butuhkan, dan nanti saya bisa berikan kepadamu. Waktu hal itu terjadi yaitu dia meminta dan kita memberikan, kita langsung berkata lagi Bagaimana rasanya, senangkan yang kamu butuhkan kamu dapatkan, mari kita coba teruskan kerjasama ini.
GS : Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang melandasi perbincangan kita kali ini? PG : Saya akan bacakan Amsal 22:9 Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin. Orang yang baik hati akan diberkati intinya
kita mau membangun tangga yaitu menjadi orang yang baik hati, menjadi orang yang sehat, sehingga nanti itulah yang kita berikan. Dan waktu kita bawa dalam pernikahan tidak bisa tidak berkat demi berkatlah yang akan kita petik. Jadi cobalah sebelum kita menengok ke kiri dan ke kanan untuk menyalahkan orang, kita tatap diri sendiri dulu, kita coba melihat dan kita coba koreksi. Orang yang seperti ini menjadi orang yang akan menerima banyak berkat.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan yang sangat menarik ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Mekanisme Memenuhi Kebutuhan sebagai bagian yang ketiga dari tema Tangga ke Rumah. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.