Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen selama ± 30 menit akan menemani anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Sebagaimana biasa telah hadir bersama kami, Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Juga telah hadir bersama kami Ibu Idayanti Raharjo salah seorang pengurus di LBKK. Ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.
Lengkap
IR : Pak Paul, ini pengakuan dari ibu-ibu muda, sekalipun Firman Tuhan itu mengatakan dengan jelas bahwa di dalam dan melalui pernikahan pria dan wanita itu akan menjadi satu daging seperti dalam Kejadian 2:24, namun pada kenyataannya untuk menjadi satu itu tidak mudah Pak Paul?
PG : Ya sangat betul Ibu Ida, sebab menjadikan satu dari dua kepribadian yang sangat berbeda bukanlah perkara yang mudah. Jadi sudah pasti akan memakan waktu dan terlebih penting daripada meakan waktu dalam penyesuaian, akan ada bagian dari dalam diri kita yang harus direlakan termakan atau harus direlakan pergi, dikesampingkan, kalau tidak dua tidak bisa menjadi satu.
GS : Ada orang yang mengatakan, bahwa pernikahan itu seperti dua helai kertas yang direkatkan jadi satu, tetapi nyatanya pernikahan tidak semudah itu Pak Paul karena kita ini bukan kertas yang bisa ditempelkan begitu saja. Apa komentar Pak Paul dengan perumpamaan atau kiasan seperti itu?
PG : Saya sebetulnya sangat suka sekali Pak Gunawan dengan perumpamaan itu sebab memang kalau bisa, andaikan semua orang bisa dilekatkan seperti kertas Pak Gunawan, sudah tentu problem rumahtangga bisa dihilangkan.
Namun kenyataannya seperti tadi disinggung oleh Pak Gunawan tidaklah demikian, dua orang tidak bisa dengan mudah menjadi satu dan saya kira salah satu penyebabnya adalah kekurangpahaman kita tentang siapa suami kita dan siapa istri kita.
GS : Yang dimaksud tidak paham bagaimana? Selama masa pacaran 'kan sudah cukup kami mencoba saling memahami satu dengan yang lain, Pak Paul?
PG : Begini Pak Gunawan, memang dalam setiap pribadi ada hal-hal yang unik, namun sebetulnya pria dan wanita secara umum memiliki keunikan. Saya kira kita bisa belajar banyak kalau kita bisatahu apa yang menjadi ciri-ciri umum misalnya kaum pria dan kaum wanita.
Nah waktu kita memahami bahwa o.....pada umumnya pria seperti ini, o....pada umumnya wanita seperti ini, nah itu menolong kita akhirnya dalam tahap penyesuaian. Saya kadang-kadang berpikir misalnya, jujur istri saya kok begini, aneh sekali istri saya atau istri saya juga mempunyai pandangan yang sama suami saya kok aneh. Misalkan waktu dia merasa saya ini kok tidak sensitif, saya ini kok tidak bisa ngomong dengan terbuka, apa yang saya rasakan. Nah mula-mula istri saya menganggap sayalah satu-satunya yang bermasalah seperti ini, tapi tatkala dia mulai menyadari bahwa bukan saja saya yang bermasalah seperti ini dan sebetulnya hampir kebanyakan pria sulit untuk mengungkapkan perasaan. Nah dia akhirnya lebih menyadari bahwa ini bukanlah masalah, tapi ini adalah ciri atau keunikan yang dimiliki oleh kaum pria.
(1) IR : Pak Paul, pada dasarnya pria itu adalah makhluk yang angkuh, bagaimana pengaruh keangkuhan itu dalam aspek kehidupannya Pak Paul?
PG : Saya pikir ada kecenderungan pria itu lebih mudah untuk angkuh daripada wanita, karena ada latar belakangnya juga Ibu Ida. Perempuan itu sejak kecil dikondisi untuk lebih rendah hati, prempuan sejak kecil dikondisi untuk melayani, jadi peran melayani adalah peran yang sangat dilekatkan dengan keibuan, kewanitaan sedangkan pria sejak kecil justru dikondisi untuk memegang peranan pelindung, pemimpin, penanggung jawab.
Nah dalam peranan-peranan yang bersifat memimpin itu dia justru harus mempertahankan wibawanya, harus menjaga jangan sampai dia kelihatan tidak konsisten. Jadi saya melihat memang pria pada akhirnya mudah sekali jatuh ke dalam jerat keangkuhan ini. Karena apa? Karena ya pengkondisian sejak awal itu.
GS : Kalau sudah menikah Pak Paul, itu akan nampak dalam sisi-sisi kehidupan yang bagaimana di dalam diri pria itu?
PG : Yang mungkin biasa terjadi Pak Gunawan, kesulitan pria untuk mengatakan saya salah, karena ketakutan pria atau ketakutan suami adalah tatkala mengatakan saya salah wibawanya sebagai kepla rumah tangga akan merosot dan ada satu ketakutan yang dimiliki oleh hampir semua suami, yakni kita-kita ini yang pria takut sekali dianggap takut kepada istri.
Nah ini adalah hal yang tidak dialami oleh para istri atau para wanita. Wanita misalnya dikatakan o....engkau adalah istri yang takut kepada suami, itu suatu pujian, itu justru sesuatu yang akan membuat si wanita merasa pas dan berhasil dalam perannya sebagai seorang istri. Kebalikannya dengan pria kalau pria dikatakan o......engkau adalah suami yang takut kepada istri itu benar-benar suatu ejekan, jadi pria takut sekali dikatakan itu. Nah oleh karena ketakutannya itu pria cenderung lebih kaku dalam misalnya mengambil inisiatif, meminta maaf karena takut permintaan maaf itu menunjukkan ketidakkonsistenan dia dan akhirnya wibawanya akan merosot di mata istri. Jadi saya bisa bayangkan ada di antara kita yaitu suami-suami yang lebih tega atau rela meskipun tahu salah, bersikap salah, mempertahankan kesalahan daripada harus mengakui bahwa dia itu keliru dan harus meminta maaf kepada istrinya.
GS : Itu 'kan sebenarnya ketakutan suami dan itu tidak terlalu beralasan Pak Paul. Apakah sikap seperti itu perlu dipertahankan Pak Paul?
PG : Sudah tentu itu tidak boleh dipertahankan, jadi intinya adalah seorang suami harus membangun wibawa rohani; nah itu adalah wibawa yang muncul, wibawa yang ditanamkan bukan dari hal-hal eperti tidak mau meminta maaf, mempertahankan gengsi dan sebagainya.
Yang saya maksud dengan wibawa rohani adalah seorang pria atau seorang suami meneladani Yesus Kristus di dalam hidupnya. Jadi sewaktu dia salah ya dia minta maaf, sewaktu dia benar dia juga bisa penuh pengertian menerima istrinya yang mungkin keliru. Sewaktu istrinya perlu dukungan, dia bisa memberikan dorongan tidak malah menghinanya, nah dari semua inilah seharusnya suami akan menerima penghormatan dari si istri, karena si istri akan melihat bahwa suamiku adalah seorang suami yang rohani dan di situlah wibawanya baru akan muncul. Namun saya akui Pak Gunawan, bahwa ini tidaklah selalu bisa kita lakukan, meskipun kita tahu mana yang rohani dan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai anak Tuhan, tapi adakalanya kita susah sekali lepas dari ego kita sebagai seorang pria. Apakah Ibu Ida juga melihat hal itu?
IR : Ya itu bagaimana Pak Paul, kadang-kadang seorang suami tidak mengakui kelemahannya sehingga dia itu tetap angkuh dan dalam kerohanianpun kadang-kadang juga mereka itu tidak mau untuk dipimpin oleh seorang istri untuk menjadi rohani.
(2) PG : Ya, Ibu Ida memang mengatakan satu hal yang penting sekali, yakni pria itu memang alergi sekali dipimpin oleh istri. Jadi meski pria itu sadar dia salah, namun kalau dia harus mmberikan dirinya dipimpin oleh si istri lebih baik dia tidak mau mengakui kesalahannya.
Jadi mungkin timbul pertanyaan apa itu yang harus istri-istri lakukan, nah ini bukannya menuntut istri untuk lebih berkorban. Terus terang saya kadang-kadang suka tidak tega memberikan lagi permintaan, menyampaikan himbauan lagi kepada istri sebab saya sadar bahwa banyak istri yang sudah berkorban, Bu Ida. Jadi yang saya akan sampaikan bukan lagi suatu tekanan kepada istri, namun anggap sajalah sebagai suatu penjelasan bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan tepat kepada suami kita. Nah kalau misalkan ada yang harus istri sampaikan kepada si suami, si suami memang merasa terpojok, kalau diberi instruksi lagi atau nasihat lagi, si suami kemungkinan akan bereaksi dengan keras atau tidak menerima nasihat istri. Yang saya sarankan adalah kita sebagai wanita atau para ibu ini tidak boleh menghampiri si suami dengan suatu sikap, "Engkau salah!" dan menuntut si suami itu langsung meminta maaf. Ini adalah suatu taktik, suatu strategi jadi istri bukannya di sini dianjurkan atau saya menganjurkan istri untuk menoleransi hal yang keliru dari si suami, bukan! Tapi ada strateginya berbicara dengan pria. Pria itu sangat alergi dengan tantangan sebab waktu suami atau pria itu ditantang oleh si istri dia akan berbalik melawan kepada si istri dan tidak peduli dia salah atau tidak salah dia pasti akan lawan balik. Jadi anjuran saya jangan menciptakan atau menyudutkan suami sehingga dia merasa tertantang oleh si istri dan dia harus membuktikan dirinya sebagai seorang kepala keluarga, tatkala dia merasa terpojok dan dia merasa harus membuktikan diri sebagai kepala keluarga, biasanya suami langsung akan menunjukkan kuasanya meskipun dia tahu caranya salah. Jadi cara yang terbaik bagi si istri untuk nomor 1 adalah berbicara dengan lembut, dan nomor 2 isi pembicaraan itu janganlah menyudutkan si suami, supaya si suami itu harus bertekuk lutut dan mengakui kesalahannya. Lebih baik misalkan si istri berkata: "Saya melihat bahwa yang tadi terjadi (misalkan si suami itu bicara kepada seorang temannya secara tidak sopan atau kasar) nah si istri mau memberikan teguran, si istri bisa berkata: "Saya tadi melihat yang kau lakukan kepada temanmu. Saya bisa menyelami perasaanmu, mungkin tadi engkau agak tersinggung dengan temanmu itu, makanya engkau mengatakan hal-hal yang keras seperti tadi." Terus sudah diam biarkan suami yang berbicara, biarkan dia berkata: "Ya saya memang tersinggung dengan dia, karena dia gini, gini, gini." Nah setelah si suami cerita kenapa dia marah, kenapa dia tersinggung, si istri bisa dengan hikmat berkata kepada suaminya: "Saya hanya mau memberikan masukan kalau engkau tidak keberatan untuk mendengarnya. Adakalanya memang dalam keadaan beremosi kita mengeluarkan kata-kata yang keras, tapi setelah kejadian kita langsung memikir ulang dan menyadari bahwa kata-kata keras itu tidaklah pada tempatnya dan tidak harus saya katakan, nah ini masukan saya saja dari yang saya tadi amati, mungkin engkau bisa memikir ulang lagi apakah ada hal-hal yang lain yang bisa engkau katakan, ada kata-kata yang lain yang bisa engkau sampaikan dan tidak usah engkau menggunakan kata-kata yang keras itu, nah ini hanya masukan saya saja kepada engkau." Nah kalau Ibu Ida perhatikan dalam contoh ini si istri tidak memojokkan si suami jadi hanya memberikan masukan dan menghormati si suami dalam pengertian engkau boleh menerima masukan saya tapi juga boleh tidak, ini terserahmu. Nah kebanyakan suami jika mendapatkan masukan seperti ini dari istri, dia akan cenderung diam dan mendengarkannya, atau mungkin dia tidak langsung menerima namun perlahan-lahan dia mulai berpikir akan masukan dari si istri itu.
GS : Pak Paul sudah memberikan uraian yang panjang lebar tentang peran istri didalam membantu suami untuk mengatasi keperbedaannya dengan istrinya. Saya yakin sekali bahwa perbedaan antara suami dan istri sifatnya itu juga dari Tuhan, tapi setelah perbincangan ini saya justru merasa bahwa itu merupakan sesuatu yang menjebak diri saya sebagai seorang pria atau saya merasa terjebak tapi juga ingin keluar Pak Paul dari kondisi seperti itu. Itu 'kan sifat bawaan seorang pria (PG : Maksudnya terjebak?) kesombongan dan sebagainya itu 'kan sudah terbawa ya bahwa pria itu seperti itu. Tadi Pak Paul sudah uraikan bahwa peran istri itu besar sekali, dengan lemah lembut bisa memberitahu, saya percaya bahwa itu menolong sekali. Tapi sekarang dari pihak si suami atau saya sebagai seorang laki-laki bagaimana bisa keluar dari kondisi seperti ini Pak Paul?
PG : Dan jangan bersukacita dalam kelemahan kita Pak Gunawan?
GS : Ya betul.
PG : Jangan sampai kita berdalih memang saya sudah begini Jadi sudah pasti Pak Gunawan ya, seorang anak Tuhan tidak boleh dan tidak diperkenankan Tuhan untuk tinggal di dalam dosa terus-meneus.
Memang ini bawaan atau bentukan dari lingkungan, tapi kita tahu juga bahwa keangkuhan, misalkan tidak mau mengakui kesalahan itu adalah dosa. Jadi tetap suami yang rohani harus bisa mengatakan keangkuhan saya itu dosa, dan dia tidak boleh berkata kepada istrinya ya memang ini saya dan seharusnyalah engkau memahami saya. Nah yang tadi saya sarankan kepada istri adalah strategi supaya istri bisa berkomunikasi dengan tepat kepada si suami, namun si suami tidak boleh berkata bahwa saya tidak bisa berubah karena memang inilah saya. Jadi saya setuju sekali dengan komentar Pak Gunawan bahwa suami tidak boleh terjebak di dalam sifat keberdosaannya itu dan dia harus keluar, dan dia harus melawannya. Dengan cara apa dia melawannya, dengan cara meminta maaf, dengan cara mengakui bahwa saya salah tadi dan tidak segan-segan untuk meminta maaf, dan jangan takut bahwa wibawanya akan hilang gara-gara meminta maaf. Sebab dugaan saya mungkin Ibu Ida bisa koreksi saya, justru akan lebih terkesan dengan sifat suami yang 'gentleman', yang berani mengakui kesalahannya, betul Ibu Ida ya?
IR : Ya saya setuju sekali, tapi itu juga kembali lagi pada Firman Tuhan bahwa kalau suami itu mau rendah hati, mau mengakui, bahwa kalau Roh Kudus itu sudah memimpin kelemahlembutan hatinya dia akan berubah Pak Paul, dia akan bisa minta maaf. Dan permintaan maaf itu membanggakan seorang istri.
PG : Ya, dan si istri saya yakin akan merasa sangat dihargai Bu Ida, bahwa suaminya begitu rela meminta maaf.
IR : Ya saya juga mengalami Pak Paul.
GS : Jadi maksudnya begini Pak Paul, seorang pria yang berkata maaf/minta maaf kepada istrinya tatkala dia salah atau mengakui keunggulan-keunggulan istrinya, itu tidak berarti bahwa si suami ini atau si pria ini menjadi kalah di hadapan istrinya, tetapi ada juga pria-pria atau suami-suami yang memang betul-betul dikalahkan oleh istrinya Pak Paul, jadi bukan sekadar tidak angkuh tetapi sudah memang kalah dalam semua hal, itu bagaimana Pak Paul sikap seperti itu?
PG : Ini kadang-kadang memang terjadi Pak Gunawan, kenapa saya tadi sedikit tersenyum karena memang pernikahan itu tidak selalu ideal Pak Gunawan. Seharusnya memang suami itu memimpin tapi aakalanya ada istri yang justru memimpin suami, karena kemampuan si istri lebih tinggi daripada si suami dalam pengambilan keputusan nah ini saya pikir kuncinya yaitu pengambilan keputusan, si istri lebih memiliki hikmat.
Dalam kasus seperti ini saya tetap akan berkata kepada para istri berdasarkan Firman Tuhan bahwa suami itu adalah kepala keluarga, si istri tetap berperan sebagai pemberi masukan. Dia memberikan sumbangsih, nasihat dan gagasan, jalan keluar, anjuran dan sebagainya, namun dia tidak memaksakan dan membiarkan si suami untuk akhirnya mengambil keputusan. Saya juga mau berkata pada para pendengar bahwa yang saya katakan ini sedikit ideal. Sebab adakalanya saya juga bisa menyelami perasaan para istri yang jelas-jelas mau mencoba menolong si suami dan jelas-jelas si suaminya mengambil keputusan yang keliru, tapi si suami tidak mau mendengarkan masukan si istri. Dalam kasus seperti ini bagaimana, nah memang ya tidak bisa saya katakan pasti harus kiri atau pasti harus kanan, namun pada prinsipnya tetap istri itu berperan sebagai pemberi masukan dan berdoa agar Tuhanlah yang mengatur semuanya. Sebab Tuhan tetap bisa mengatur langkah yang keliru yang diambil oleh suami kita, dan membuat itu justru kebaikan, jadi kita percayakan rumah tangga kita ini pada kuasa Tuhan.
IR : Saya setuju sekali Pak Paul kita itu harus berdoa minta hikmat dari Tuhan karena istri-istri itu juga banyak kelemahannya Pak Paul, dan kalau kita juga mau menuntut suami berubah si istri harus berubah dulu supaya suami mau berubah.
PG : Ya sudah tentu memang keduanya harus berubah Bu Ida ya, saya teringat akan Firman Tuhan yang diambil dari Matius 7:12 yang sering disebut sebagai hukum emas ya (Golden Rule, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka itulah isi seluruh hukum taurat dan kitab para nabi."
Jadi memang Tuhan meminta masing-masing kita untuk proaktif ya mengambil inisiatif melakukan hal yang kita tahu kita akan hargai kalau orang lain berbuat itu kepada kita, nah kita perbuatlah ini kepada orang lain termasuk kepada suami dan istri kita. Kalau kita senang pasangan kita meminta maaf waktu dia salah ya kita juga begitu, kita juga minta maaf dan jangan kita terlalu berpikiran o.....saya laki-laki, o....saya wanita, o....saya kepala keluarga atau saya apa tidak ya. Jadi anjuran saya kepada para suami adalah jangan terlalu pikirkan peranan saya ini kepala keluarga, saya harus menjaga wibawa saya, tidak usah, tujukan mata kita hanya pada Kristus yaitu saya ingin menjadi anak Tuhan yang betul, itu yang paling penting.
GS : Memang membutuhkan suatu tekad yang kuat untuk mewujudkan kesatuan suami-istri itu, tetapi harus mulai dilatih dari hal-hal yang kecil yang tadi Pak Paul katakan. Yang agak sulit memang kadang-kadang kita hidup di suatu lingkungan yang tidak mendukung untuk kita mengupayakan kesatuan itu, maksud saya di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakat kita selalu menonjolkan diri bahwa pria itu yang menguasai segala sesuatunya itu Pak Paul.
PG : Dan ini memang sangat bertalian erat dengan identitas diri pria, bahwa pria itu diharapkan tahu semuanya, bisa semuanya dan tidak boleh kelihatan bingung atau kelihatan tidak tahu apa-aa.
Jadi akhirnya kita-kita ini terjebak oleh peran yang diembankan oleh masyarakat, oleh kita juga sebetulnya dan akhirnya kita mengorbankan kebenaran demi menegakkan peranan itu sendiri. Dan jadi langkahnya lebih keliru lagi.
GS : Tapi memang ada perbedaan yang esensial sekali Pak Paul antara peran pria dan wanita.
PG : Betul, sebab Alkitab sendiri pun membedakan akan peranan pria dan wanita, Pak Gunawan.
GS : Jadi semua itu kita terima sebagai anugerah Tuhan, bahwa Tuhan itu membedakan yang pria dan yang wanita untuk bisa saling mengasihi dan saling menolong, begitu Pak Paul ya.
Baiklah para pendengar sekalian, tadi telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi juga bersama Ibu Idajanti Raharjo. Apabila Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami melalui surat. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan Anda sangat kami nantikan, maka alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.END_DATA