GS | : | Pak Paul, sekalipun kita menjumpai kematian tiap hari dan kita sadar suatu saat kita akan mengalami kematian, tetapi kematian masih tetap merupakan suatu misteri kehidupan ini. Ada banyak hal dimana kita tidak bisa memahami dan malah cerita atau tayangan-tayangan yang ada bukannya memperjelas, tapi malah mengacaukan pandangan kita tentang kematian. Sebenarnya bagaimana ini, Pak Paul ? |
PG | : | Ini topik yang penting kita angkat. Memang akhir-akhir ini saya dipertemukan dengan beberapa teman yang bergumul dengan berbagai sakit penyakit yang berat. Walau relatif masih muda mereka sudah harus membayangkan akhir dari perjalanan hidup mereka. Jadi ini membuat saya bertanya-tanya apa yang harus dilakukan tatkala kematian mulai membayang. Jadi marilah kita melihat sikap yang tepat menghadapi finalitas hidup. Sebab kendati kita tahu bahwa kematian bukanlah akhir kehidupan melainkan awal kehidupan bersama Tuhan di surga, pada umumnya kita tetap akan terguncang tatkala membayangkan kematian secara lebih nyata. Sesiap-siapnya kita menghadapi kematian, sewaktu mendengar hari-hari kita sudah mulai dapat dihitung biasanya kita akan merasakan kegelisahan. |
GS | : | Seringkali orang menanggapi bahwa kita sebagai orang beriman tidak perlu takut, namun kita secara spontan tiba-tiba saja dicekam oleh perasaan takut ketika kita berbicara tentang kematian, bahkan ada sebagian orang yang tidak menganjurkan membicarakan tentang kematian pada saat-saat tertentu. |
PG | : | Betul. Memang sebetulnya ada beberapa tahapan, tapi umumnya di awal-awal pastilah ada kegelisahan. Kalau kita bisa melewati fase kegelisahan itu pada akhirnya kita bisa berdamai menantikan saat dimana Tuhan membawa kita pulang ke rumah-Nya. Tapi tetap saya kira ada masa di mana kita tidak bisa tidak harus bergumul dengan kecemasan kita. |
GS | : | Sebenarnya apa yang membuat seseorang gelisah ketika sadar bahwa kematian sudah dekat ? |
PG | : | Sebenarnya ada tiga yang bisa saya pikirkan. Yang pertama adalah ketidak tahuan akan pengalaman kematian itu sendiri. Apa pun yang kita ketahui tentang kematian bukanlah informasi yang kita peroleh dari pengalaman hidup baik dari diri kita sendiri atau orang lain. Sebagai contoh, mungkin kita belum pernah pergi ke Eropa namun ada banyak orang yang pernah pergi ke Eropa dan mereka dapat menceritakan pengalaman itu kepada kita secara konsisten, misalnya menara Eiffel yang mereka lihat adalah menara Eiffel yang sama, berbentuk yang sama dan berlokasi yang sama, dan tidak ada yang berkata kalau mereka melihat menara Eiffel yang berbentuk bola. Tidak demikian dengan kematian, kematian mengandung unsur misteri sebab kita tidak memunyai pengalaman pribadi tentang kematian dan kita tidak bisa memeroleh informasi tentang kematian dari orang lain dan kita tidak bisa bertanya, "Bagaimana rasanya mati" tidak bisa ! Sebab mereka pun tidak memiliki pengalaman tentang hal itu. Oleh sebab itu saya mengatakan kematian mengandung unsur misteri sebab pada esensinya tidak banyak yang kita ketahui tentang kematian secara nyata. Itu sebabnya yang tidak kita ketahui tapi harus kita lalui, hal ini yang menimbulkan kecemasan. |
GS | : | Kalau ada orang yang berkata bahwa dia pernah mengalami kematian untuk sesaat dan kemudian hidup kembali dan bercerita macam-macam tentang pengalamannya, apakah cerita-cerita seperti itu bisa langsung kita percayai, Pak Paul ? |
PG | : | Memang kita tidak bisa berkata itu benar atau tidak benar karena memang sangat subjektif, memang ada yang bisa kita simpulkan sebab ada beberapa yang pernah mencatatkan pengalamannya lewat buku yang ternyata memang memunyai beberapa kesamaan. Bisa jadi itu benar, tapi untuk kita berkata tidak benar pun kita tidak punya alasan. Tapi yang penting adalah kalau pun ada orang yang pernah berkata seperti itu dan kalau pun pernah dibukukan, tapi itu sangat jarang. Kalau kita misalkan berkata, "Kota Bandung itu seperti ini..." akan ada orang yang berkata, "Benar, Bandung seperti ini ..." karena banyak orang yang pernah pergi ke kota Bandung. Tapi kalau untuk kematian tidak akan ada orang yang menanggapi, saya kira menemukan orang yang pernah mengalami kematian tidak mudah. Jadi intinya setahu-tahunya kita tentang kematian sebetulnya pengetahuan kita tentang kematian hanyalah sedikit. |
GS | : | Dan rupanya Alkitab juga tidak terlalu jelas mengungkap tentang apa yang akan kita alami pada saat kita mengalami kematian. |
PG | : | Betul, kita hanya tahu bahwa ada kematian setelah manusia jatuh ke dalam dosa, tapi pengalaman kematian itu sendiri tidak dijabarkan oleh firman Tuhan sebab penekanan firman Tuhan bukan pada kematian, tapi pada kehidupan sebab Tuhan menciptakan kita supaya kita hidup. |
GS | : | Hal lain yang membuat kita gelisah apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang kedua, kematian memisahkan kita dari segala sesuatu yang kita kenal dan sayangi. Singkat kata, kematian menimbulkan kegelisahan sebab perpisahan yang merupakan akibat dari kematian merupakan lawan dari kodrat manusiawi yang kita miliki yaitu kerinduan untuk bersama dan ditemani oleh sesama. Itu sebabnya kematian menciptakan kegalauan. Tidak bisa tidak, tatkala kita membayangkan kematian, kita membayangkan kesepian, kesedihan baik bagi kita yang meninggalkan atau pun bagi mereka yang ditinggalkan. Atau kita mungkin membayangkan bahwa kematian akan menciptakan kesusahan yang besar, baik dalam diri kita maupun dari diri orang yang kita kasihi sebab perpisahan akan membawa perubahan dalam kehidupan. Dengan kata lain, perpisahan dalam hal ini kematian cenderung menghasilkan kesedihan dan kesusahan, itu sebabnya kecemasan atau kegelisahan yang akan muncul sebab kita sudah membayangkan kesedihan dan kesusahan. |
GS | : | Tapi itu adalah bayangan kita, sebetulnya apa dasarnya, Pak Paul ? |
PG | : | Membayangkan kesedihan dan kesusahan mungkin sekali karena kita pernah mengalaminya, gara-gara orang tua kita meninggal dan kita sedih, kita melihat teman kita ditinggalkan oleh suami atau istrinya atau anaknya mereka benar-benar dirundung oleh kesedihan dan hidupnya menjadi sangat susah dan sebagainya. Jadi akhirnya semua yang pernah kita saksikan itu tidak bisa tidak mengingatkan kita bahwa kematian itu membawa kesedihan yang dalam dan membawa perubahan yang mungkin sekali menyusahkan orang yang ditinggalkan. |
GS | : | Jadi kegelisahan itu muncul karena ada kekhawatiran bahwa akan ada orang di sekeliling kita akan menderita karena kita meninggal, begitu Pak Paul ? |
PG | : | Betul. Mungkin istri kita bersedih ditinggal kita, anak-anak kita akan sedih kita tinggal, kita pun juga akan bersedih meninggalkan mereka. Jadi itulah yang membuat kita cemas waktu membayangkan kematian. |
GS | : | Yang terakhir sumber kegelisahan ini apa, Pak Paul ? |
PG | : | Yang terakhir adalah kematian kerap diasosiasikan dengan kesakitan atau penderitaan menahan sakit. Mungkin kita pernah melihat seseorang meregang nyawa dan menyaksikan penderitaannya menanggung rasa sakit, tidak bisa tidak bayangan kematian pun menimbulkan ketakutan sebab pada umumnya kita tidak menyukai kesakitan, sedapatnya kita ingin hidup tanpa rasa sakit dan meninggalkan dunia tanpa rasa sakit pula. Saya ingat pernah berbicara dengan seseorang yang menderita kelumpuhan, dia membagikan ketakutannya menjalani hari tua menghadapi kelumpuhannya itu, dia mengatakan bahwa sekarang dia masih dapat berfungsi relatif bebas walaupun lumpuh, namun di usia yang beranjak tua dia sering mengalami gangguan kesehatan dan dia tidak dapat membayangkan menjalani hidup dalam penderitaan yang lebih berat lagi daripada kelumpuhannya sekarang ini. Memang bayangan akan hidup dalam kesakitan dan penderitaan menjelang kematian membuat kita gamang tatkala memikirkan tentang kematian. |
GS | : | Tetapi tidak semua orang mengalami kegelisahan yang sama. Ada orang-orang tertentu yang mengabaikan apa yang akan terjadi di depan dan merasa semua orang bakal meninggal, jadi dia tidak ada kegelisahan yang besar dalam dirinya. |
PG | : | Ada orang yang tidak memikirkan atau terpengaruh dan ada orang yang melihat kematian itu sebagai bagian dari kehidupan, jadi dia terima dengan pasrah. Memang betul tidak semua orang memberikan reaksi yang sama tentang kematian. |
GS | : | Sebenarnya sikap yang benar menghadapi kematian itu seperti apa, Pak Paul ? |
PG | : | Ada beberapa yang bisa saya bagikan yang berkaitan dengan ketiga kecemasan yang baru kita bahas. Yang pertama adalah kita perlu mengingat bahwa walaupun pengalaman kematian itu sendiri merupakan sesuatu yang misterius namun akhir dari kematian itu sendiri merupakan sesuatu yang terang bukan misterius. Jadi kendati perjalanan kematian itu sendiri tidaklah jelas dan pasti, tapi akhir dari perjalanan itu adalah jelas dan pasti. Sebagai manusia biasa Tuhan Yesus pun pernah menjalani kematian selama 3 hari, namun setelah itu Dia bangkit. Dengan kata lain, akhir dari perjalanan kematian adalah kebangkitan atau kehidupan yang baru bersama Tuhan di surga. Inilah yang akan dialami oleh semua orang yang percaya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Jadi setiap kali kita membayangkan kematian yang mendekat usahakanlah untuk membayangkan akhir dari perjalanan kematian itu. Saya berikan contoh, saya pernah menjalani colonoscopy, jadi usus saya diperiksa dan harus dibius total. Saya masih ingat meskipun saya sudah mengetahui prosedur pelaksanaan dan resiko yang minimal, tapi ada sedikit kegelisahan menghadapinya. Ketika saya masuk di kamar operasi saya diajak bicara oleh dokter dan perawat, ternyata di waktu bersamaan mereka tengah membius saya tanpa saya menyadarinya, saya hanya mengingat bahwa saya kemudian menanyakan apakah prosedur itu segera akan dimulai. Yang mengagetkan adalah jawaban mereka bahwa sesungguhnya prosedur colonoscopy sudah dilaksanakan, saya tidak tahu kapan saya tertidur dan kapan saya terbangun, saya hanya merasa berada di antara dua kalimat tapi nyatanya saya telah tertidur lebih dari 30 menit. Demikian juga dengan kematian, kita tidak akan tahu kapan persisnya kita mati dan kita tidak tahu kapan tepatnya kita terbangun. Satu hal yang kita ketahui dengan pasti adalah tiba-tiba kita sudah bersama Tuhan Yesus di surga. |
GS | : | Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan iman seseorang kepada Tuhan Yesus, jadi makin seseorang itu beriman, maka makin tenanglah ia menghadapi kematian itu. Tapi bagaimana dengan orang yang setengah-setengah, berarti kegelisahannya semakin besar ? |
PG | : | Sebab mereka tidak memunyai bayangan akan apa yang akan terjadi setelah kematian itu, itu benar - itu gelap bagi mereka. Jadi sesuatu yang kita tidak bisa ketahui dengan pasti biasanya akan menimbulkan kecemasan, tapi kita tahu anugerah Tuhan sudah diberikan kepada kita dan pengampunan-Nya telah diberikan kepada kita, kita nanti sudah menerima pengampunan dari Tuhan. Jadi kita bisa berkata bahwa meskipun perjalanan kematian itu tetap tidak kita ketahui, gelap dan misterius, tapi akhir perjalanan itu sudah saya ketahui bahwa saya akan bangkit dan saya nanti akan hidup bersama Tuhan. |
GS | : | Apakah hal ini bisa kita sampaikan kepada seseorang yang kita hadapi yang sedang mengalami saat-saat menjelang ajalnya, Pak Paul ? |
PG | : | Bisa, misalkan kita bisa menggunakan firman Tuhan membacakan dari 1 Tesalonika 4:14 yang berkata, "Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia." Jadi kita bisa memberikan kata-kata penghiburan ini sehingga sedikit banyak ini akan dapat mengurangi kegelisahan kita sewaktu membayangkan kematian. |
GS | : | Tapi ada juga orang yang menolak membicarakan tentang itu sebab dia merasa dia harus tetap hidup dan dia harus bisa bertahan dan dia menyangkali keadaan yang sebenarnya. |
PG | : | Ada orang yang tidak siap meninggal atas dasar misalnya anak-anak masih kecil, dia tahu dia masih dibutuhkan oleh anak-anaknya atau dia tahu istrinya sangat bergantung pada dia, atau suaminya sangat menyayanginya sehingga tidak bisa hidup tanpa dia. Jadi banyak alasan mengapa banyak orang yang tidak siap meninggalkan hidup ini. Namun sampai titik-titik terakhir saya kira kita harus mengatakan bahwa, "Baiklah meskipun saya tidak siap, tapi rasanya kereta akan membawa saya ke sana" maka kita harus menengok bukan saja ke belakang apa yang akan kita tinggalkan, tapi kita harus mulai menengok ke depan Siapa yang akan menyambut kita di sana. |
GS | : | Sebenarnya persiapan seperti ini bisa kita persiapkan jauh-jauh hari sebelum kita menghadapi kematian, begitu Pak Paul ? |
PG | : | Saya kira ya. Misalkan jauh-jauh hari kita lebih sering merenungkan firman Tuhan yang mengatakan tentang hal seperti ini sehingga kita dikuatkan meskipun kematian adalah sebuah misteri yang tidak kita ketahui, tapi akhir kematian itu sudah kita ketahui bahwa saya akan hidup bersama Tuhan selamanya dan saya akan dibangkitkan setelah saya meninggal. |
GS | : | Hal kedua apa yang harus kita perhatikan, Pak Paul ? |
PG | : | Yang kedua adalah bahwa perpisahan dengan semua yang terkait dengan hidup di dalam dunia merupakan keniscayaan, yang sudah saya singgung bahwa biasanya kita cemas tatkala membayangkan kita harus berpisah karena kematian dengan orang–orang yang kita kasihi, tapi kita harus berpisah dengan relasi yang selama ini kita kenal, sebab di dalam surga relasi yang akan ada bukanlah relasi seperti yang kita pahami selama ini, kita akan saling mengenal namun pengenalan akan diri atau identitas diri tidak memicu reaksi emosional dan mental yang sama. Jadi kita harus menerima fakta ini. Misalkan firman Tuhan mencatat tentang pertanyaan orang-orang Saduki kepada Tuhan, "Bagaimana kalau orang ini sudah meninggal, tapi dalam hidupnya dia menikah dengan yang satu dan istrinya meninggal dan kemudian dia menikah lagi dengan yang satu dan seterusnya kemudian bertanya nanti dia istrinya siapa di surga". Tuhan berkata, "Engkau tidak mengerti tentang surga sebab di dalam surga tidak ada lagi kawin mengawin", tapi kita bisa mengenali satu sama lain, ternyata ikatan-ikatan yang kita bangun di dalam dunia ini di surga tidak ada, lain. Memang sebuah konsep yang tidak bisa kita pahami namun intinya adalah kita akan saling mengenali tapi keterikatan emosional atas dasar pengenalan itu ternyata sudah berbeda sekali, kita tidak akan berkata, "Engkau adalah istriku, anakku, suamiku" tidak seperti itu. Memang kita akan berpisah dengan relasi yang kita kenal sekarang ini. Juga kita pun harus menyerahkan siapa yang akan bersama dengan kita di surga ke tangan Tuhan sendiri. Kita harus berserah ke dalam kehendak-Nya yang sempurna dan adil. Mungkin kita harus berpisah selamanya dengan orang-orang tertentu namun kita harus merelakan hal itu terjadi karena kita percaya Tuhan tidak membuat kesalahan dalam pemilihan-Nya, bukankah pada akhirnya tujuan hidup bukanlah bersama dengan orang yang kita kasihi, melainkan untuk melayani dan hidup bersama dengan Tuhan Yesus. Maka di Yohanes 14:2 firman Tuhan memberi kepada kita kepastian, Yesus berkata, "Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu." |
GS | : | Memang ini agak sulit untuk dipahami sebab kita di dunia menjalin relasi keluarga misalnya dengan istri, suami, anak-anak sebaik mungkin dan itu menimbulkan ikatan yang makin hari makin erat dan pada waktu menjelang kematian kita harus melepaskan ini hampir secara mendadak atau bahkan lebih cepat dari waktu kita membangunnya dan ini menimbulkan goncangan yang luar biasa dalam diri seseorang. |
PG | : | Memang benar. Tapi kalau kita membayangkan surga tempat kita nanti berdiam bersama Tuhan maka kita harus menerima sebuah fakta yang baru yaitu nanti di surga ikatan emosional itu tidak ada lagi. Jadi misalkan bahwa nanti di surga mungkin kita tidak bertemu dengan anak kita, mungkin kita bisa tahu anak kita tidak ada di sana, tapi ternyata perasaan yang timbul tidak sama, sebab ikatan emosional antara ayah dan anak, ibu dan anak tidak ada lagi. Itu sebabnya Yesus berkata pada orang Saduki tidak ada kawin mengawin di surga, meskipun kita mengenali dia siapa dan mungkin saja kita masih ingat dia adalah istri atau suami kita tapi ternyata perasaan kita lain tidak sama seperti di sini. Jadi perasaan bahwa kita ada keluarga di sana atau tidak ada keluarga di sana, saya kira itu tidak ada lagi. Kita tidak bisa berkata, "Senang ya bisa berkumpul bersama keluarga kita" tidak seperti itu sebab ikatan-ikatan itu gugur dan kita di surga memunyai sebuah ikatan yang baru, ikatan sebagai keluarga Allah dimana kita berkumpul bersama. |
GS | : | Karena fokus kita hanya pada Tuhan Yesus dan bukan pada hal-hal yang lain. |
PG | : | Betul. Jadi sebuah pengalaman yang berbeda. Kalau kita membayangkan kematian kemudian kita bersedih harus berpisah dan sebagainya, memang kita harus mengingat bahwa kita harus berpisah dengan relasi atau ikatan emosional yang kita kenal sekarang, sebab di surga tidak ada lagi ikatan emosional seperti ini. |
GS | : | Ada orang yang gelisah untuk meninggalkan dunia karena keterikatannya dengan harta benda, dia memikirkan kalau nanti saya meninggal, harta saya hilang semua karena saya tidak bisa membawanya. |
PG | : | Padahalnya nanti di surga, bukan hanya itu tidak dibutuhkan tapi kalau pun ada benda-benda itu, ikatan emosional dengan benda itu tidak ada lagi, semua digantikan. Tidak ada lagi ikatan seperti yang kita kenal sekarang ini. |
GS | : | Mungkin dia mencarinya dengan susah payah bertahun-tahun, itu menimbulkan kegelisahan bagi orang-orang ini. |
PG | : | Iya, tapi di surga dia harus berpisah dengan semua ini dan tidak ada jalan lain. |
GS | : | Hal yang lain apa, Pak Paul, yang berhubungan dengan ini ? |
PG | : | Kita bisa melihat yang ketiga adalah derita dan rasa sakit adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Kita biasanya cemas membayangkan kematian karena membayangkan penderitaan dan rasa sakit menjelang kematian itu, tapi saya mau ingatkan bahwa derita dan rasa sakit adalah bagian tak terpisahkan dari hidup. Misalkan semua wanita yang pernah melahirkan pernah merasakan rasa sakit, semua yang pernah mengalami kecelakaan pernah mengalami rasa sakit dan semua anak yang pernah terjatuh pernah merasakan rasa sakit. Singkat kata, sesungguhnya rasa sakit dan derita telah menjadi bagian hidup sejak awal. Jika demikian halnya tidak semestinya kita memandang rasa sakit menjelang kematian sebagai penderitaan yang khusus atau terlebih menyakitkan dibanding rasa sakit lain yang pernah kita alami sebelumnya. Bila dengan anugerah Tuhan kita dapat melalui semua rasa sakit itu dengan anugerah Tuhan yang sama, kita akan dapat melewati rasa sakit menjelang kematian jika memang hal itu harus terjadi. Jadi firman Tuhan sudah mengingatkan kepada kita di II Korintus 12:9, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Kita tahu ini jawaban Tuhan terhadap permohonan Rasul Paulus supaya duri dalam dagingnya itu dicabut oleh Tuhan, penderitaan yang dialaminya itu disingkirkan oleh Tuhan tapi Tuhan berkata, "Tidak, sebab Aku akan memberikan kasih karunia-Ku, anugerah-Ku dan itu akan cukup bagimu menghadapi penderitaanmu itu". |
GS | : | Yang mungkin membedakan kalau ada wanita yang melahirkan, kita jatuh kemudian merasa sakit. Pada waktu kita hidup di dunia ini dan kita merasakan kesakitan kemudian ada orang di samping kita menghibur kita memberikan dukungan kepada kita, dan kesakitan menjelang kematian yang dikhawatirkan adalah orang-orang ini tidak ada lagi di sekitar kita dan kita merasa sendirian harus menderita dalam kesendirian, dan itu yang menggelisahkan. |
PG | : | Walaupun sebetulnya kenyataannya adalah dalam rasa sakit menjelang kematian lebih besar kemungkinannya kita juga tidak mengetahui apa-apa lagi sebab kondisi mental kita sudah sangat terpengaruhi sehingga kita tidak begitu menyadari siapa yang ada di sebelah kita dan sebagainya. Saya mendampingi orang sakit dan pernah mendampingi orang yang coma meskipun itu adalah coma yang disengaja untuk menghilangkan infeksi di paru-parunya jadi memang dimasukkan ventilator ke dalam tubuhnya dan orang itu harus dibuat coma sampai infeksi di paru-parunya itu sembuh. Saya masih ingat dan saya bertanya setelah dia bangun dari comanya, "Apakah dia menyadari apa yang telah terjadi ?" sebab setiap hari saya datang ke sana, setiap hari saya menyanyi buat dia, saya berdoa buat dia, dia jawab, "Sama sekali dia tidak tahu kalau saya datang". Jadi saya melihat dia begitu kasihan tapi ternyata dia tidak tahu apa-apa. Dengan perkataan lain, memang mungkin kita harus menderita kesakitan sebelum meninggal, tapi yang seringkali keliru adalah kita beranggapan menjelang kematian kesakitan itu tiba-tiba akan menjadi super besar, ternyata tidak, karena kita sudah dihantam kesakitan di masa yang lampau. |
GS | : | Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketika Kematian Membayang". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telagatelaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang. |