Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, dalam perbincangan kita yang terakhir kita sudah membahas sedikit tentang akar penyebab dari kecanduan seksual ini. Bagaimana kelanjutan penjelasan Bapak ?
SK : Jadi yang terakhir saya menyampaikan bahwa kita hidup tumbuh rata-rata dengan kebutuhan dasar untuk dikasihi dan kebutuhan untuk memiliki makna yang tidak terpuaskan oleh orang tua kita dalam masa tumbuh kembang sebagai anak. Itu pun masih ditambah beberapa dari kita mengalami peristiwa pengabaian oleh orang tua kita secara aktif atau pasif, beberapa orang mengalami pelecehan termasuk pelecehan seksual, atau kebingungan dengan identitas jenis kelamin. Semua itu akhirnya membuat kita memunculkan sisi-sisi perasaan, emosi, pergumulan dengan rasa kesepian, rasa tidak aman dengan diri kita, rasa kecemasan, rasa kekosongan makna (emptiness), rasa tertekan, rasa malu, rasa takut, rasa bersalah. Perasaan-perasaan ini menyatu membentuk suatu kehidupan emosi yang akhirnya tidak nyaman. Pada akhirnya kita merindukan penawar rasa sakit. Di sisi yang lain, kita hidup di dalam budaya yang mengajarkan kita untuk menghindari penderitaan dan rasa sakit. "Buat apa susah-susah ? Buat apa kamu galau ? Anak muda kok galau ? Carilah kesenangan! Buat apa serius-serius ? Mau cari konselor, hamba Tuhan untuk masalah kesepian ? Ih, kamu kayak orang gangguan jiwa. Sudah nikmatilah ini. Kita bersenang-senang saja !" Jadi kita ingin mencari cara yang mudah. Itulah budaya sekitar kita: "Gitu aja kok repot ?" Nah, inilah yang membuat akhirnya kita sejak kecil hidup dengan pola untuk menghindari rasa sakit.
H : Menghindari rasa sakit bisa dilakukan dengan banyak cara. Ketika kita sudah memasuki masa remaja, saat sedang mengalami masa puber, ada kematangan organ-organ reproduksi, saat itulah gejala kecanduan seksual itu bisa dimulai ?
SK : Ya, jadi waktu memasuki masa remaja ini kerinduan terdalam kita akan relasi dan keintiman, akan rasa bermakna dan dihargai, kerinduan yang sebenarnya murni dan baik ini terbelokkan di masa remaja karena kita mulai mengalami pubertas. Dan kerinduan yang sesungguhnya hanya bisa dipuaskan dalam relasi intim dengan Tuhan Bapa di Surga dan juga dipuaskan dengan relasi yang sehat dengan sesama manusia, akhirnya kita lampiaskan dengan mengejar objek-objek pengganti yang lebih rendah, dalam hal ini berkaitan dengan berbagai jenis perilaku seksual.
H : Seperti apa itu, Pak ?
SK : Perilaku seksual ini macam-macam. Bisa berkaitan dengan fantasi seksual, membayangkan sesuatu yang erotis, melihat film-film remaja romantis, sinetron Indonesia, film Korea, film Hollywood yang berciuman, bergandengan tangan. "Kalau aku mempunyai pacar betapa nyaman hatiku. Kami bisa berpegangan tangan, berpelukan, berciuman di tengah matahari yang tenggelam." Jadi imajinasi itu tumbuh dalam diri kita. Sampai akhirnya perilaku seksual yang jadi penawar rasa sakit itu muncul dalam bentuk pornografi. Awalnya kaget, ngeri, malu. Tapi kok membayangkan sensasinya begitu enak. Rasa enak inilah penawar rasa sakit dari kegalauan hati kita. Akibat kebutuhan yang tak terpenuhi, akhirnya kita kembali kepada pornografi, masturbasi, dalam perilaku-perilaku seksual yang makin lama makin berkembang. Ketika dalam hati kita muncul kegalauan, kesepian, ketakutan, rasa tidak berharga, dan kosong, kita akan kembali pada bentuk perilaku seksual yang sudah memberikan rasa nyaman kepada kita. Suasana hati kita terasa stabil gara-gara perilaku seksual tadi. Mulai dari hanya berfantasi sampai yang nyata, dari pornografi, masturbasi, sampai perilaku seksual yang melibatkan orang lain. Dari sinilah awal dari kecanduan atau adiksi seksual !
H : Jadi pada saat itu dia sudah mulai kehilangan kendali ?
SK : Awalnya belum. Awalnya dia merasa dia pegang kendali tentang ingin melakukan perilaku seksual tersebut atau tidak. Pada titik awal ini orang tidak merasa kecanduan. Merasa itu adalah pilihan. Kalau dia tidak melakukannya ya tidak apa-apa. Misalnya, "Aku tidak bermasturbasi tidak apa-apa. Cuma kalau sedang kepingin aku akan bermasturbasi." "Aku tidak membaca novel porno juga tidak apa-apa, Cuma kalau lagi kepingin." Awalnya seperti itu. Tapi itu sudah terjadi tindak penipuan pada diri sendiri. Sebenarnya yang terjadi ketika emosinya turun, perasaannya galau, dia kembali kepada perilaku itu. Setelah dilakukan itu, dia merasa nyaman dan merasa tidak akan melakukan lagi. Tapi begitu emosinya turun dia melakukan itu lagi. Jadi habituasi atau kebiasaan. Sesungguhnya rentetan kecanduan seksual ini sudah terjadi tanpa dia akui dan tanpa dia sadari.
H : Jadi ada tindakan kesengajaan untuk melakukan atau mencari objek pemuasan seksual itu ? Atau itu bisa terjadi secara tidak sengaja, Pak ?
SK : Bisa terjadi karena tidak sengaja. Awalnya bukan berarti sengaja. Beberapa bisa sengaja, beberapa bisa kebetulan. Intinya ketika dia menemukan kenyamanan ketika melakukannya, dia jadi mengkompromikan. Misalnya, "Kok enak ya. Perasaanku membaik. Semula aku susah konsentrasi belajar, tapi melihat gambar porno ini kok bagus. Memang dosa sih, tapi aku 'kan laki-laki. Mana ada laki-laki yang tidak pernah melihat gambar porno ? Boleh 'kan ? Teman-temanku juga melakukannya. Aku tidak lebih baik dari mereka kok. Setelah melakukannya aku tetap bisa belajar, bisa berdoa, bisa baca Alkitab, bisa pelayanan dengan baik di gereja. Asas manfaat ! Kalau itu bermanfaat ya tidak apa-apa dilakukan. Toh aku tidak kecanduan, cuma sesekali melakukannya."
H : Jadi awalnya bisa disebabkan oleh ketidaksengajaan, tapi karena dia merasakan "manfaat dan rasa nyaman" dia jadi mengulangi perbuatan itu. Secara tidak sadar apakah dia sudah "terpenjara", Pak ?
SK : Ya, itu sudah mulai. Dia memberi ilusi keyakinan bahwa dia bisa mengendalikan kehidupan emosionalnya padahal dia hanya berpuas diri dengan keintiman yang palsu. Pada titik itulah dia sebenarnya mulai kehilangan kendali dan dia masuk ke dalam penjara ketidakpuasan, sekaligus dia telah masuk ke dalam kondisi penyembahan berhala, Pak Hendra.
H : Wah, seperti apa penyembahan berhala itu, Pak ?
SK : Dia mulai mendewakan ! Dia mulai mengilahkan dan menjadikan itu sebagai hal yang penting, hal yang utama, menjadi pusat hidupnya. Jadi kalau dia sedang galau dia akan datang kepada perilaku seksual itu agar dia tenang. Semestinya dia datang kepada Tuhan, melakukan apa yang Tuhan mau dan tidak mengikatkan diri kepada pola-pola dosa ! Ini 'kan pola dosa dan ketidakmurnian. Maka ketika seseorang melakukan hal-hal yang terikat dengan dosa atau yang tidak ada hubungannya bahkan melawan Allah, itu jadi berhala kita. Perilaku hawa nafsu, perilaku kecanduan seksual ini adalah berhala karena kita menyembah ilah-ilah palsu dengan cara menyerahkan tubuh dan jiwa kita kepada kuasa hasrat seksual ini. Kita sudah menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan toh keinginan kita ini tidak akan pernah terpuaskan. Kita akan haus dan haus lagi. Jadi pemberhalaan, keterikatan dan kecanduan ini semakin merasuk ke dalam diri kita. Jadi benar kata Pak Hendra, pada titik itulah kita sedang masuk ke dalam "penjara". Bukan penjara kepuasan atau kenikmatan ! Ironisnya itu adalah penjara ketidaknikmatan, penjara ketidakpuasan.
H : Jadi penjara ini berarti dia berada dalam situasi yang terkurung, tertutup dan tidak bisa merdeka, Pak ?
SK : Ya, jadi tanpa sadar akhirnya dia masuk dalam kondisi "Aku tidak bisa ke lain hati." Hatiku pada pornografi. Hatiku pada masturbasi. Hatiku pada fantasi romantis" Khususnya ini pergumulan para wanita, "Hatiku pada hubungan seks dengan pacarku, dengan gonta-ganti pasangan di luar pernikahan." Jadi setiap kali rasa sakit itu muncul, secara otomatis kita bergerak menuju perilaku kecanduan. Awalnya kita merasa mengendalikan, akhirnya kita yang dikendalikan oleh perilaku kecanduan seksual tersebut.
H : Saya jadi teringat dengan seruan Rasul Paulus yang berkata, "Siapa yang akan menyelamatkan aku dari tubuh celaka ini ?" Kira-kira seperti itu gambarannya, Pak ?
SK : Ya, jadi dalam kondisi itu memang gambarannya seperti kita masuk ke dalam penjara yang telah terkunci dan kuncinya ternyata telah dibuang jauh-jauh. Kita terpenjara selamanya dalam penjara buatan kita sendiri. Kita merasa harapan untuk bebas sudah lenyap, tidak mungkin bisa bebas ! Dia merasa, "Inilah bagian dari kehidupanku yang tidak bisa aku hindari". Akhirnya orang itu frustrasi. Inilah yang membuat orang hidup dalam kemenduaan. Di gereja dia aktifis gereja, tapi ketika dia masuk kamar pribadinya dia menjadi pribadi yang lain. Begitu terobsesi, liar dengan fantasinya, dengan perilaku seksualnya itu. Tidak ada rasa bersalah. Tapi dia merasa frustrasi karena tidak bisa lepas. Sudah hafal ayat, sudah berdoa, sudah berjanji membuat resolusi awal tahun baru, tapi toh terus kembali ke dosa yang sama.
H : Tapi berita baiknya bukan tanpa harapan, Pak ? Pasti ada harapan untuk bebas dari kecanduan seksual ini ?
SK : Ya, berita baiknya bahwa sesungguhnya Tuhan kita menebus kita di kayu salib dan bangkit pada hari yang ketiga itu bukan sekadar untuk membebaskan kita dari hukuman maut yang kelak akan kita alami, bukan sekadar jaminan untuk masuk ke sorga kelak setelah kita meninggal dunia. Tetapi penebusan Kristus juga dimaksudkan untuk membebaskan kita hari ini juga dari pergumulan kecanduan seksual ! Inilah berita baiknya.
H : Untuk menolong pendengar memahami sifat khusus dari kecanduan ini apakah boleh Bapak jabarkan ? Sifat-sifat atau ciri khas dari kecanduan seksual ini seperti apa ?
SK : Sifat yang pertama dari kecanduan seksual adalah adanya toleransi. Awalnya kita membutuhkan dosis sedikit saja. Tapi kian lama dosis ini perlu ditambah untuk mempertahankan rasa senang dan sensasi kenikmatan itu. Atau bahkan memang ditambahkan untuk meningkatkan sensasi kesenangan ini. Jadi awalnya mungkin cuma melihat satu gambar porno. Satu gambar itu dilihat berulang-ulang. Lalu merasa bosan sehingga dia mencari gambar-gambar yang lain. Ternyata dia bosan lagi, akhirnya dia mencari yang bergerak. Maka dia mencari film porno dan seterusnya. Jadi menambah dosis, bertambah buruk, bertambah merusak. Jadi bermula dari masturbasi dan berkhayal akan menjadi kecanduan pornografi yang makin lama makin parah. Lari ke film-film porno, lari ke percakapan mesum melalu telepon atau internet, sampai akhirnya melakukan hubungan seks dengan lawan jenis. Dengan hubungan seks dengan lawan jenis juga bisa bergulir mencoba hubungan seks dengan sesama jenis. Dia menjadi bi-seksual. Dia jijik tapi juga merasa nikmat. Bahkan paling parah dia bisa melakukan hubungan seks dengan binatang. Yang membuat miris adalah seseorang bisa melakukan hubungan seks yang berujung kepada tindak bunuh diri. Beberapa tahun lalu di media nasional diberitakan ada seorang bintang film action Hollywood terkenal di tahun 1980-an bernama David Carredine. Dia ini meninggal di daerah Thailand. Ditemukan terjerat oleh tali dan kepalanya terbungkus oleh tas plastik, tubuhnya terikat oleh tali. Dia nampak seperti orang yang bunuh diri. Tapi sesungguhnya itu adalah aksinya untuk mencapai orgasme dengan cara menjerat lehernya sendiri (Autoerotic Asphyxiation), tapi sayang di saat dia mencapai orgasme, dia tidak bisa melepaskan diri ikatan tali itu sehingga terjerat dan mati seketika. Begitu liarnya kecanduan seksual ini sampai orang melakukan aksi yang bisa membunuh dirinya sendiri tanpa sengaja.
H : Mengerikan sekali ya, Pak !
SK : Ya. Jadi nilai dirinya hanya ditentukan oleh nilai kepuasan daging semata. Inilah, betapa harkat martabatnya diobral dengan parahnya. Seharusnya ini membuat kita sedih dan bertanya kenapa kita biarkan ini terjadi.
H : Dalam sifat toleransi ini bermula misalnya hanya melihat gambar, kemudian masturbasi dan semakin meningkat kadarnya. Apakah sudah pasti seperti itu ? Adakah kemungkinan langsung parah tanpa melalui hal yang sederhana misalnya melihat gambar porno ?
SK : Bisa ! Itu adalah gambaran umum. Bisa langsung parah, orang ingin melompat itu tergantung keberaniannya. Maksudnya tergantung kepada kenekatannya, tergantung pada nilai moral yang dia pegang. Kalau hidupnya ada warna religius, dibentuk dalam standar iman tertentu akhirnya dia punya kepekaan hati nurani, ini menjadi penahan atau katup. Jadi walaupun penahan ini terbuka, level peningkatannya akan pelan-pelan. Tapi orang yang berangkat dari kondisi yang bebas, miskin nilai dan tidak memiliki hati nurani yang kuat, dia akan gampang ikut arus yang permisif (terbuka, serba memperbolehkan), yang sangat longgar dan liar. Memang bukan berarti setiap orang dari pornografi pasti sampai sungguh-sungguh melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Ada yang terus bertahan dalam pornografinya. Tapi rata-rata yang terjadi di titik tertentu orang kurang puas sehingga menambah levelnya.
H : Selain toleransi, sifat kecanduan seksual yang berikutnya apa, Pak ?
SK : Sifat kecanduan seksual yang kedua adalah adanya gejala menarik diri. Maksudnya, ketika orang tidak melakukan aktivitas kecanduan seksualnya selama beberapa saat, akan muncul perasaan tertekan, cemas, gelisah, mudah marah dan akhirnya itu membuatnya butuh kembali pada perilaku kecanduan seksualnya. Dalam bahasa saat ini disebut "sakau" (sakit yang menyiksa). Seperti orang yang menggunakan narkoba. Tidak lagi pakai suntikan, putau, sabu-sabu, maka dia merasakan badannya menggigil, perasaannya kacau. Tubuhnya ketagihan. Tubuhnya menagih untuk dipuaskan oleh zat adiktif itu. Itu pola yang sama yang terjadi pada kecanduan seksual. Jadi kalau dia lama tidak bermasturbasi, seperti ada irama biologis yang menagih, dia seperti lepas kendali. Saat itulah dia kembali pada perilaku kecanduan seksualnya. Akhirnya muncul perilaku menarik diri, perilaku untuk kembali pada muntahannya tersebut.
H : Sakau adalah gejala yang paling jelas orang itu sudah kehilangan kendali, ya Pak ?
SK : Betul.
H : Selain sifat menarik diri, sifat apalagi, Pak ?
Sk : Yang ketiga yaitu menipu diri. Terjadi pemikiran-pemikiran yang memudahkan yang mengurangi tingkat rasa bersalah, tingkat masalah diri. Seperti penyangkalan bahwa dirinya tidak bermasalah. Dia menolak menyebut dirinya kecanduan. Dia merasa normal atau merasionalisasi. Dia sadar dirinya kecanduan tapi mencari-cari alasan untuk membenarkan diri. "Cuma masturbasi kok, paling jauh cuma pornografi. Saya bukan seks mania yang memperkosa orang. Saya tidak mengganggu dan tidak merugikan orang lain ! Itu pun tidak membuat saya sampai tidak bisa berdoa. Saya tetap bisa pelayanan, tetap bisa bekerja." Menipu diri bisa juga berupa menunda. "Saya tahu ini masalah. Saya pasti akan mencari pertolongan." Tapi dia tidak melakukannya. Menipu diri bisa berupa kekalahan yang pasif. "Saya benar-benar menyerah ! Saya sudah mencoba tapi terus gagal menghentikan perilaku kecanduan seksual itu." Yang lain merasa diri gagal dan hancur, "Saya memang tidak punya harga diri. Saya memang sampah. Hidup saya berantakan." Lalu mulai berfantasi, "Bagaimana kalau saya bunuh diri saja ?" "Seandainya saya pindah kerja, pindah kota atau pindah gereja, ke tempat dimana orang tidak mengenal saya, saya bisa memulai hidup baru." Jadi muncul khayalan yang sebenarnya hanya cara dia membius diri untuk tetap pada perilaku kecanduaan seksualnya itu.
H : Apakah menipu diri sama dengan distorsi diri ?
SK : Distorsi diri ini sisi yang lain. Distori itu mengurangi atau menyimpangkan. Dalam hal ini sifat kecanduan yang berulang ini membuat kita meyakini beberapa pernyataan keliru yang menyimpang tentang diri kita. Distorsi diri ini sifat kecanduan yang keempat, Pak Hendra. "Saya memang maniak seks, libido saya memang tinggi. Tapi kalau saya melihat DNA saya, saya memang maniak seks. Ini bukan yang saya kehendaki, tapi Tuhan yang membuat saya seperti ini." Jadi dia memakai istilah-istilah ilmiah sebagi pembenaran diri. "Saya memang maniak seks dan cabul. Lihatlah silsilah keluarga saya. Satunya pemerkosa, satunya poligami, satunya pernah melakukan perzinahan. Ini keturunan! Bukan salah saya. Apa boleh buat." Atau distorsi diri bisa berpikir, "Allah tidak mungkin mengampuni saya. Saya berada pada level neraka yang terdalam. Tidak akan ada yang mau menerima saya kalau orang tahu apa yang saya lakukan. Saya memang sampah dan menjijikkan. Saya bagai muntahan yang bau." Jadi dia menganggap citra dirinya hancur, harga dirinya berada pada titik yang paling rendah. Inilah sifat yang keempat.
H : Kalau sifat ketiga tadi dia menyangkal dan menipu diri, sifat yang keempat ini dia langsung membenarkan diri bahwa dirinya memang maniak seks, memang bermasalah dan tidak mau mencari pertolongan ?
SK : Ya. Karena itu sudah melekat dengan dirinya sendiri.
H : Apakah ada hubungannya dengan kesombongan, Pak ?
SK : Ya, ini bentuk dari sifat yang kelima, yaitu kesombongan atau merasa yakin mampu mengatur perilaku kecanduannya. "Saya bisa berhenti kapan pun saya mau. Saya bisa mengontrolnya sendiri. Saya bisa berubah kalau saya mau." Keyakinan ini lahir karena sebenarnya orang itu tidak memahami sifat dan kekuatan kuasa dari kecanduan seksual ini. Jadi sisi lain dari kecanduan adalah kesombongan.
H : Jadi kesombongan ini menjadi penghalang besar bagi seseorang untuk mengalami pemulihan, Pak ?
SK : Betul.
H : Adakah sifat yang lain, Pak ?
SK : SIfat berikutnya yaitu keterpakuan. Jadi perasaan terikat kepada sesuatu secara berlebihan. Saya merasa sudah terjerat dengan perilaku kecanduan seksual. Tiap hari saya tidak bisa hidup tanpa memikirkan seks. Apa pun yang saya rencanakan selalu tentang seks. Energi, perhatian, kegiatan saya direbut oleh seks. Seks bukan lagi anugerah, tapi segala-galanya hanya saja dengan pengertian yang dangkal. Inilah sifat yang keenam, Pak Hendra. Orang merasa disedot seks mulai bangun pagi sampai tidur malam, seks menguasainya.
H : Secara singkat, apa pengertian dangkal dan mekanis itu apa, Pak ?
SK : Maksudnya ya akhirnya hanya berpusat tindakan-tindakan yang bersifat fisik semata, tentang bagaimana mencapai orgasme atau kepuasan biologis saja. Padahal seksualitas adalah relasi. Bahkan sisi lain seksualitas itu spiritualitas, keintiman dengan Allah, keintiman relasi yang sehat dengan sesama kita. Jadi dia hanya tindakan orgasme, tindakan untuk memuaskan sensasi seks secara fisik imajinatif belaka.
H : Apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan untuk menutup sesi kedua ini ?
SK : Saya bacakan dari Galatia 5:1, "Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan." Jadi kita bicara tentang satu bentuk keterbelengguan seksual dan itu adalah rancangan iblis dan dunia yang tidak mengenal Allah. Rancangan Allah, kita merdeka. Jadi mari kita berani datang kepada Allah untuk menjalani proses kemerdekaan dari kecanduan seksual ini.
H : Terima kasih, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.