Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama dengan ibu Ester Tjahja. Kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Gaya Komunikasi Pria dan Wanita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, di dalam rumah tangga atau di dalam keluarga komunikasi mempunyai tempat yang sangat penting. Kita tiap-tiap hari berkomunikasi dengan pasangan kita, tapi justru dengan berkomunikasi ini sering kali juga menimbulkan masalah. Sebenarnya apa yang menyebabkan masalah ini timbul dalam kita berkomunikasi dengan pasangan kita?
PG : Memang kita tidak bisa menggeneralisasi semua pria seperti ini, semua wanita seperti itu tapi sampai titik tertentu saya kira kita bisa menemukan pola-pola tertentu yang khusus atau seringditemukan pada pria dan sering ditemukan pada wanita, termasuk di dalamnya adalah cara berkomunikasi.
Ini yang perlu kita sadari, sebab kalau tidak kita sadari akhirnya ini menjadi duri dalam pernikahan kita. Nah saya kira kesempatan ini adalah kesempatan yang baik untuk kita membahas beberapa perbedaan yang kerap ditemukan pada pria dan wanita yang kalau tidak bisa disadari dan diselaraskan akhirnya menjadi sumber konflik dalam keluarga. Misalkan yang pertama, dalam berkomunikasi dengan pasangan pada umumnya pria menuntut ketundukan istri kepadanya. Maksudnya, waktu suami dan istri berbicara, misalkan dia mengeluarkan sebuah gagasan, si suami mau istrinya tunduk tidak membantahnya, karena itu penting bagi dia. Kalau belum apa-apa istri langsung berkata, "saya tidak setuju atau ide itu benar-benar jelek, kenapa bisa berpikir seperti itu." Kata-kata yang langsung mengatakan ketidaksetujuan, bagi pria itu sering kali menjadi sinyal ketidaktundukan yaitu bahwa istri melawan dia, tidak lagi menghormatinya. Kalau ini yang dilihat oleh si suami tinggal tunggu waktu mereka akhirnya akan bertengkar. Sebab sekali lagi yang langsung ditangkap oleh si suami adalah, "kamu tidak lagi menghormati saya sebagai kepala keluarga sebab kamu begitu mudahnya membantah atau memprotes saya."
ET : Kadang-kadang mungkin yang ditemukan itu ada area-area tertentu yang memang suami kurang dibandingkan istri sehingga ketika suami menyampaikan gagasan tertentu istri langsung spontan saja,karena merasa saya dalam bidang ini saya lebih menguasai sehingga langsung membantah.
Itu bagaimana Pak Paul?
PG : Saya ingin mengajak kita semua melihat keluarga sebagai sebuah organisasi, sebab itulah yang Tuhan memang tetapkan dalam Efesus pasal 5. di Efesus pasal 5 sebenarnya Tuhan sedang mencoba ntuk menciptakan ketertiban di dalam keluarga.
Ketertiban yang dimaksudkan firman Tuhan itu, Tuhan menetapkan suami menjadi kepala istri. Sebetulnya suami kepala keluarga merupakan istilah yang kurang begitu pas, karena yang digunakan di dalam Efesus pasal 5 adalah suami itu sebagai kepala istri jadi bukan keluarga tapi karena dia kepala istri otomatis dia juga kepala keluarga. Nah Tuhan menetapkan suami sebagai kepala, dalam pengertian supaya ada ketertiban dalam organisasi kecil ini. Bukankah kita dalam pekerjaan misalkan atasan kita mengeluarkan sebuah gagasan dan kita melihat kekurangan atau kelemahan pada gagasan itu, kita juga dituntut untuk menyampaikan gagasan kita yang hendak memperlihatkan kekurangannya itu dengan cara yang berhati-hati, dengan cara yang tepat. Sebab bagaimanapun sewaktu si kepala merasa dia itu tidak lagi dihormati tapi malah dipermalukan, dia akan bereaksi, dia akan tidak suka meskipun dia tahu bahwa dia keliru dan bawahannya betul. Jadi saya kira di sini dituntut hikmat dari istri untuk bisa menyampaikan dengan lebih tepat. Misalkan dia tahu suaminya itu luput melihat satu aspek, nah bagaimana dia menyampaikannya? Nomor satu, jangan langsung dia berkata, "Kamu kok tidak lihat ini, kamu harus lihat ini juga dong." Nah itu artinya tunggu waktu berkelahi. Cara bicaranya seharusnya begini, "OK, saya kira itu ide yang baik, saya setuju, baik sekali." Setelah menunjukkan kesetujuannya baru dia misalkan berkata, "Boleh atau tidak saya ungkapkan pemikiran saya sebab saya ini tiba-tiba memikirkan sesuatu, atau misalkan dia tahu dia akan berbeda pandang dengan si suami, dari awal dia akan berkata, "Saya setuju apapun keputusan ini saya akan setuju, namun boleh tidak saya juga mengeluarkan pandangan saya, tapi sekali lagi saya akan ikut kamu." Barulah dia ungkapkan pikirannya tersebut. Saya temukan kebanyakan pria sewaktu langsung mendengar kesetujuan atau kepatuhan istrinya suami akan lebih siap mendengarkan argumentasi si istri, tapi kalau dari depan si istri sudah langsung mengajukan argumentasi dan tidak menjanjikan kepatuhan tersebut biasanya itu akan lebih memancing pertengkaran dari pihak si suami.
GS : Tapi ada juga Pak Paul, suami yang menghendaki istrinya bicara secara terus-terang, kalau tidak senang atau salah langsung ditegur. Hanya yang diharapkan dari pihak suami itu adalah caranya berbicara harus tepat, tidak melawan, di samping itu waktunya juga harus tepat jangan di saat suami lelah pulang kerja dan juga tempatnya harus tepat.
PG : Saya setuju, dan kuncinya saya kira adalah satu kata yang tadi Pak Gunawan katakan yaitu tidak melawan. Sebab suami umumnya akan peka menangkap gerakan atau geliat melawan dari istrinya. Kalau istri dengan jelas berkata, "Saya ikuti, apapun pendapatmu saya ikuti."
Kemudian meminta izin, "Boleh tidak saya mengungkapkan pendapat saya, namun saya akan ikuti apa yang kamu katakan tadi tapi saya ingin mengeluarkan pendapat saya." Biasanya suami akan lebih siap mendengarkan, justru kalau dia sudah mendengarkan tapi dia tahu istrinya akan ikut dan mematuhi dia, sering kali ini akan membuat si suami lebih berhati-hati. Dia akan benar-benar memikirkan ulang, "Ya, ya saya tadi benar atau tidak ya, kok istri saya tadi ngomong juga benar, mungkin saya yang keliru ada hal-hal yang luput saya lihat." Nah justru dia lebih mau mendengarkan. Tapi kalau dari awal istri memprotes, nah bagi suami ini seperti undangan berkelahi, apa yang dia akan lakukan? Dia makin memaksakan kehendaknya, dia makin bersikeras sebab dia seolah-olah terpanggil untuk menunjukkan kekuasaannya. "Saya kepala keluarga, saya yang harus menentukan kamu harusnya mengikuti saya." Jadi makin main keras, memang di sini sebetulnya masalah bisa dengan sangat mudah diselesaikan asalkan kita masing-masing mengerti peranan kita itu.
GS : Yang penting jangan dipermalukan, jangan kita itu sebagai suami merasa kalah dengan istri, ini memang agak peka dan mesti dihindari.
PG : Betul, kita sedang berbicara seperti ini bukan untuk mendewa-dewakan pria. Kita hanya mau membicarakan cara yang pas sehingga kita bisa menghindarkan konflik antara suami dan istri. Suda tentu kita pun tahu dengan sangat mendetail menjabarkan apa yang harus suami lakukan, suami harus mengasihi istrinya.
Artinya suami harus memikirkan kepentingan istri, itu tuntutan Tuhan kepada suami benar-benar mengasihi seperti mengasihi tubuhnya sendiri. Firman Tuhan berkata, "Barangsiapa mengasihi istrinya, dia mengasihi tubuhnya sendiri." Berarti perintah Tuhan sangat dalam dan sangat tegas kepada suami, namun dari pihak istri ini jugalah yang dituntut supaya konflik bisa terhindar.
GS : Kalau dari pihak si suami langsung tidak menyetujui gagasan istrinya, apakah juga terjadi sama seperti kalau suami tidak disetujui pendapatnya oleh istrinya?
PG : Saya kira tetap, bahasa, nada itu harus kita perhatikan, karena panggilan kepada suami adalah panggilan mengasihi. Tidak bisa kita itu mengasihi dan sekaligus kasar kepada istri kita. Mekipun kita tidak setuju dengan pandangan istri kita, kita tidak boleh bersikap kasar apalagi menghina atau melecehkannya, kalau kita tidak mau mengundang hukuman Tuhan atas kita.
Jadi perlakukanlah istri sebagai (kata firman Tuhan) pewaris kerajaan surga. Sama-sama pewaris, kita itu pewaris dan istri kita bukan, tidak demikian istri dan kita sama-sama pewaris kerajaan Allah, di mata Tuhan kita sama. Jadi sebagai suami penting kita bersikap lembut, tidak kasar meskipun kita berbeda pandang dengan istri kita.
GS : Hal apalagi yang perlu diperhatikan di dalam gaya komunikasi pria dan wanita ini?
PG : Berikutnya adalah dalam berkomunikasi dengan pasangan pada umumnya istri lebih mementingkan proses pembahasan dibanding hasil akhir atau keputusannya. Maksudnya begini, selama istri mempeoleh kesempatan untuk berunding dan mengungkapkan pikirannya, selama itu pulalah dia lebih siap untuk mengikuti kehendak suaminya.
Dengan kata lain inilah yang mesti diberikan suami kepada istri yakni proses, libatkan istri dalam pengambilan keputusan. Bagi si istri ini yang terpenting yaitu saya dilibatkan, saya tidak dikeluarkan dari proses pengambilan keputusan ini. Dalam pengertian ini kita bisa berkata pula bahwa sebetulnya wanita lebih siap menghadapi konflik di dalam pengambilan keputusan kalau terjadi perbedaan pendapat. Sebab yang terpenting bagi wanita adalah proses berkomunikasi itu sendiri, sebaliknya pria cenderung memandang konflik sebagai sinyal ketidakpatuhan, sinyal ketidakadaan dukungan istri terhadapnya. Tapi bagi si istri sebetulnya waktu dia berbicara, berunding misalkan dia tidak setuju dan sebagainya; bagi dia itu yang terpenting, hasil akhirnya seperti apa itu nomor dua bagi istri. Tapi bagi suami waktu terjadi dialog dan ketidaksetujuan biasanya suami jadi defensif, suami menganggap kamu memang sengaja tidak mau patuh, kamu memang mau memberontak.
ET : Sehingga kadang-kadang yang terjadi itu kalau sering kita lihat, bukannya antara ide yang pertama dimunculkan suami sampai hasil akhirnya sebenarnya sama, tapi prosesnya kadang-kadang bag suami ketika istri mengajak berpikir sudah menjadi ancaman, nanti berubah lagi keputusannya, padahal dalam banyak kasus ujung-ujungnya juga sama keputusannya.
PG : Betul, dan sering kali ini yang membuat suami sebelum terjadi diskusi sudah agak tegang. Khawatir nanti rencananya diobok-obok oleh si istri, jadi kalau dia tidak berhati-hati dia mudah skali mengembangkan pemikiran bahwa istrinya itu pengacau rencananya.
Ini kadang-kadang yang membuat si suami tidak mau cerita dengan istrinya, maka tadi Pak Gunawan sudah munculkan, penting sekali juga istri itu bersikap tepat waktu mengutarakan pendapatnya. Jangan melecehkan, merendahkan langsung mengatakan kamu salah, itu benar-benar membunuh komunikasi. Sekali lagi saya bukan mendewakan pria, tapi kita mesti mengerti keunikan pria dan wanita. Dalam hal ini pria tidak begitu mudah untuk menerima obok-obokan seperti ini dari istrinya. Tapi sebaliknya suami harus mengerti bahwa bagi istri yang terpenting adalah proses diskusinya, jadi libatkanlah istri, hasil akhirnya itu bagi istri adalah nomor dua. Sebab bukankah lebih sering pada akhirnya istri setuju dengan kita, mengikuti pendapat kita, tapi yang dia perlukan adalah proses itu. Dan mungkin ini ada pengaruh juga, sebagian wanita memang tidak terlalu cepat berubah, tidak terlalu cepat beradaptasi dengan perubahan, mungkin karena sifat wanita yang lebih domestik. Harus memelihara ketenteraman, kepermanenan dalam rumah tangga sehingga dia tidak terlalu cepat beradaptasi dengan perubahan. Mungkin kalau pria karena tuntutan pekerjaan di luar dan sebagainya akhirnya lebih dipaksa dan dikondisikan untuk beradaptasi dengan perubahan. Itu jugalah yang membuat wanita memerlukan waktu lebih panjang untuk benar-benar mencerna sesuatu yang baru saja dimunculkan. Dia mungkin harus pikir lagi, dia harus rasakan keputusan itu bukan hanya dia pikirkan, kalau pria prosesnya hanya satu yaitu dia pikirkan dampak keputusan itu; wanita harus pikirkan dan rasakan dampaknya seperti apa, anak-anak nanti merasa seperti apa kalau pindah, kalau ini, kalau itu, maka akan membutuhkan waktu yang lebih panjang, jadi suami mesti juga sensitif dengan kebutuhan wanita ini.
ET : Terutama juga kalau sang suami termasuk kurang bisa berpikir secara jauh sehingga dalam kasus-kasus sebelumnya sudah ngomong-ngomong istrinya memberikan pertimbangan dan akhirnya keputusanya berubah.
Jadi untuk kali ini jangan sampai terjadi perubahan.
PG : Ada suami yang seperti itu, ini memang membawa kita kepada satu point berikutnya yaitu sering kali suami kalau dia sudah menduga hasil akhirnya akan berubah atau istrinya tidak setuju dia idak akan ngomong.
Dia akan sembunyikan atau dia mengambil keputusan di luar pengetahuan istrinya. Nah ini makin membuat istrinya benar, mending kalau pasti benar kalau misalkan gagal di tengah jalan makin membuat si istri kehilangan kepercayaan kepada dia. Tapi inilah pria, pria memang cenderung menghindari konflik, mekipun bagi istri diskusi tidak apa-apa, berbeda pandang tidak apa-apa yang penting prosesnya. Tapi bagi suami, saya akan dibantah, saya akan ditentang; jadi kalau suami berpikir saya bakal ditentang, lebih baik tidak usah ngomong. Maka kita kembali pada point pertama tadi kalau memungkinkan waktu wanita tidak setuju, kata pertama jangan berkata saya tidak setuju tapi kata pertama adalah, "OK, saya pertimbangkan lagi, itu ide yang baik, coba boleh tidak saya pikirkan dulu besok saya akan berikan jawaban; atau saya setuju saya akan ikuti tapi boleh tidak saya mengeluarkan pendapat saya." Nah suami sudah tahu istrinya akan setuju, sekarang tinggal memberikan argumentasinya saja, dia akan lebih tenang, dia tidak akan terlalu defensif.
GS : Memang kadang-kadang proses itu yang membutuhkan waktu lama Pak Paul. Kita sebagai suami tidak sabar menunggu waktu itu. Boleh saja proses itu, tapi kita berikan deadline, katakan 3 hari lagi atau semingu harus sudah ada keputusan.
PG : Ya sebaiknya memang kita menentukan tenggang sebab kita tidak bisa berlama-lama, jadi kalau memang harus ada keputusan yang diambil sebaiknya diberikan sebuah tenggang. Meskipun kadang-kaang saya harus akui satu hal juga bagi sebagian wanita, waktu diberikan tenggang itu juga menjadi tekanan lagi buat dia, jadi dia tidak bisa berpikir dengan lebih tenang atau rileks.
GS : Kemudian mengatakan, terserah saja kalau kita diberi waktu kalau tidak ya terserah kamu saja yang memutuskan. Pada kesempatan lain kami biasanya mengambil keputusan sendiri. Urusan luar ini kita selesaikan terlebih dahulu, misalnya membeli suatu barang, ini kalau didiskusikan lagi salah-salah barang ini diambil orang. Pokoknya dibeli dulu, urusan dalam rumah tangga nanti kita selesaikan lagi.
PG : Itu akhirnya yang sering kali dilakukan oleh para pria, satu hal juga yang saya harus ingatkan adalah kita harus mengingat juga siapa yang lebih tahu. Orang yang lebih tahu akan mengambil eputusan yang lebih tepat atau berpotensi mengambil keputusan yang lebih tepat.
Jadi kalau si istri tahu dalam bidang ini memang suaminya lebih tahu, kalaupun dia ingin mengeluarkan pendapat ya keluarkanlah pendapat sebagai orang yang tidak mengetahui sebanyak suaminya. Atau kebalikannya kalau suaminya tahu dalam hal ini istrinya yang lebih tahu, ya keluarkanlah pendapat dan sikap bahwa dia tidak setahu istrinya. Jangan dia seolah-olah sok tahu, kata sok tahu sering kali menjadi masalah dalam rumah tangga sebab yang kurang tahu menjadi sok tahu, membuat yang satunya panas dan akhirnya bertengkar. Jadi tetap, saya pikir ini 'common-sense' kita harus gunakan, kalau memang pasangan kita lebih tahu kalau kita kurang jelas ya tanya, jangan langsung ini idenya jelek padahal dia lebih tahu dari kita. Bukankah itu membuat dia jengkel, kalau kita di perusahaan berbicara dengan atasan kita seperti itu, kita akan dipecat. Jadi ketertiban itu penting dalam rumah tangga. Di pihak lain suami harus sensitif, harus lembut kepada si istri; istri juga harus menempatkan dirinya sebagai pendamping suami.
GS : Jadi perlu ada semacam kesepakatan untuk pembagian wilayah?
PG : Betul, harus ada juga sebab kalau tidak akan kacau, sebab jadinya semua hal harus diributkan.
GS : Dan juga terlalu lama di dalam memutuskan sesuatu, hal lain yang perlu diperhatikan apa Pak Paul?
PG : Wanita cenderung lebih intuitif dan berorientasi pada perasaan, jadi bila dia melihat sikap atau panampakan suami yang menunjukkan ketidaksenangan itu akan sangat mempengaruhi nada komuniksinya.
Nah dalam pada itu komunikasi menjadi tidak berdasar fakta lagi kendati "fakta" yang dibicarakan namun sesungguhnya istri menghendaki sesuatu yang lain. Misalnya jaminan bahwa suami tetap mengasihi dia, tetap mengerti dia, tetap berpihak pada dia dan sebagainya. Jadi ini yang mesti disadari oleh suami, istri cenderung membaca sikap-sikap si suami. Kalau wajahnya sudah mulai menegang, tengokan kepalanya lebih keras, matanya sudah mulai lebih tajam, istri biasanya membaca semua ini; waktu dia membaca dia langsung bereaksi. Meskipun suami ngomongnya masih sama datarnya tapi waktu istri melihat perubahan pada bahasa tubuhnya, si istri langsung bereaksi pada bahasa tubuhnya. Ini yang sering kali luput dilihat oleh si suami. Istrinya berkata, "Kenapa kamu harus marah?" Suaminya berkata, "Saya tidak marah, nada suara saya masih sama." Tapi istri berkata, "Tidak, kamu marah." Tidak tahu dari mana bahasa tubuh itu, akhirnya si istri bereaksi keras terhadap bahasa tubuhnya, akhirnya konflik muncul. Kita juga mesti menyadari hal-hal yang seolah-olah kecil ini tapi berpotensi mengobarkan api konflik.
ET : Sehingga sering kali hal yang tampaknya bagi suami itu kecil tapi bagi si istri itu sudah sampai pada kesimpulan memang saya tidak berharga. Mungkin karena bahasa tubuh yang terbaca itu Pak?
PG : Betul, "ya kamu itu sebetulnya sudah tidak ingin ngomong dengan saya, makanya kamu ngomong pun wajahnya sudah begini." Jadi istri juga harus jaga kesensitifannya, suami mungkin sedikit jegkel tapi bukan berarti dia tidak mau ngomong dengan kita, istri juga harus peka.
GS : Memang kadang-kadang sulit meyakinkan, kita sebenarnya hanya beda pendapat bukannya mau meninggalkan atau tidak mengasihi. Tetap mengasihi, tetap mau bersama-sama tapi dirasakan seperti itu, lalu bagaimana Pak Paul?
PG : Kita harus turunkan nada suara kita, lembutkan lagi suara kita dan berkata, "Saya tetap mengasihimu, saya tetap memikirkan yang paling baik untuk keluarga kita, sudah kita jangan teruskanlagi pembicaraan ini nanti saja kita sambung, coba sekarang kita rileks, kita santai."
Perempuan perlu penyejukan seperti itu, kalau dipaksakan komunikasi saat itu juga terus-menerus akhirnya api konflik berkobar. Perlu diteduhkan kembali, diyakinkan bahwa si suami tetap mementingkan istri dan keluarganya dan apapun yang akan diputuskan ini yang akan diprioritaskan. Ini biasanya menyejukkan dan komunikasi akan lancar sekali. Pria harus menyadari ini sebab kalau tidak pria itu akan cenderung berkata kita berbicara faktanya, nah istri tidak hanya terpaku pada fakta baku itu, tapi justru pada yang menyelimuti fakta itu yakni perasaan-perasaan tersebut.
ET : Jadi sebenarnya kalau saya lihat yang Pak Paul bagikan beberapa point tadi, kalau masing-masing bisa mengingat hal ini, itu bisa menjadi seperti pengingat satu sama lain, bukankah kadang-kdang ada satu pihak yang lupa, misalnya ketika suami sudah mulai merasa istri tidak tunduk, demikian pula ketika suami merasa, saya tidak marah tapi kenapa istri menangkap saya marah, berarti ada sesuatu yang bisa diperbaiki.
Jadi sebenarnya bisa menjadi sebuah sistem pengingat yang baik.
PG : Betul sekali Ibu Ester, masing-masing memang tetap dituntut Tuhan untuk menyesuaikan. Di dalam penyesuaian itulah Tuhan membentuk kita menjadi manusia yang lebih baik daripada kemarin.
ET : Jadi bukannya membela diri, mempertahankan diri.
PG : Betul, makanya penting orang yang menikah itu memiliki sikap mau belajar, kalau tidak mau belajar, menganggap diri selalu benar tidak akan ada penyesuaian dan pada akhirnya tidak akan ada enyatuan.
GS : Memang belajar ini dituntut dari ke dua belah pihak, tidak bisa hanya satu pihak nanti pihak yang lain merasa dirugikan dan sebaliknya. Memang istri mempunyai kemampuan yang lebih dalam membaca bahasa tubuh, yang sulit bagi kita para suami ini kurang bisa membaca bahasa tubuh pasangan kita. Nah ini kita dituntut untuk mengerti; dia tidak berbicara-antara berbicara dan bahasa tubuhnya ini tidak sama. Ini kita yang kesulitan membaca bahasa tubuh.
PG : Sering kali alih-alih membaca bahasa tubuh pasangan kita, membaca bahasa tubuh kita sendiri saja tidak bisa apalagi membaca bahasa tubuh orang lain. Kita memang buta dengan hal-hal kecil eperti itu tapi buat istri sering kali itu menjadi hal besar.
Sikap-sikap bahasa tubuh kita itu benar-benar mengkomunikasikan sesuatu kepada dia.
GS : Jadi selain harus hati-hati ngomongnya juga harus hati-hati bersikapnya?
GS : Firman Tuhan apa yang Pak Paul mau sampaikan?
PG : Saya akan bacakan Amsal 30:33, "kalau hidung ditekan, darah keluar dan kalau kemarahan ditekan pertengkaran muncul atau timbul." Saya setuju ayat firman Tuhan ini indah sekali, "Kalau kemrahan ditekan pertengkaran timbul."
Artinya izinkanlah proses diskusi terjadi, sebagai suami juga jangan terlalu takut dengan bantahan istri sebagai istri juga jangan kedepankan bantahan, kedepankan ketundukan. Di dalam jiwa yang seperti inilah diskusi pertukaran pendapat akan terjadi, dan kalau ada ketidaksetujuan itupun bisa dikeluarkan. Justru kalau disembunyikan dan ditekan-tekan, malahan konflik yang lebih besarlah yang akan timbul.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, terima kasih Ibu Ester, saya percaya perbincangan ini akan banyak menolong pasangan suami-istri di dalam meningkatkan mutu dari komunikasi mereka. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gaya Komunikasi Pria dan Wanita". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.