Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini akan melanjutkan perbincangan kami pada kesempatan yang lalu yaitu tentang "Dampak Perceraian pada Anak". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lalu, kami sudah membicarakan tentang prosesnya dari seseorang yang tadinya kelihatan akrab, sepakat untuk menikah tapi akhirnya terjadi juga perceraian dan ada dampaknya yang mulai kita bicarakan tentang anak. Namun supaya pendengar kita kali ini bisa mengikuti seluruh pembicaraan ini dan mempunyai suatu gambaran yang lengkap, mungkin Pak Paul bisa mengulang sedikit yang pernah kita bicarakan.
PG : Pada intinya suami dan istri itu memulai pernikahan di dalam kecocokan, pasti ada ketidakcocokan tapi pada umumnya banyak kecocokan. Setelah menjalani pernikahan barulah mereka menyadari aa yang tidak cocok, dan yang biasanya mereka lakukan adalah mengoreksi ketidakcocokan itu supaya lebih cocok.
Namun ada pasangan-pasangan yang berhasil, ada juga yang tidak berhasil. Nah, yang tidak berhasil inilah akhirnya terlibat dalam suatu siklus, siklus pertengkaran yang tidak bisa selesai-selesai. Nah, pertengkaran demi pertengkaran membuat mereka pada akhirnya putus asa, merasa tidak berdaya, frustrasi tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan dan mereka merasa bahwa pasangan itu benar-benar di luar kendalinya, di luar kontrolnya. Apapun yang dia lakukan tidak lagi berdampak pada pasangannya, pasangannya tetap berbuat seperti yang tidak dia inginkan. Alhasil dia akan merasa masa bodoh, dia akan mendiamkan, memasabodohkan pasangannya. Namun dalam perasaan masa bodoh itu sebetulnya dia merasa sakit, luka karena dia harus hidup dalam rumah di mana awan begitu gelap, di mana tidak ada keceriaan sama sekali, tidak ada gelak tawa, tidak ada komunikasi jadi itu adalah suatu suasana yang sangat tidak nyaman dan membuat dia sangat terluka atau sakit. Nah inilah yang sering kali menjadi pencetus orang bercerai yaitu kalau rasa sakit itu tidak tertahankan. Ini dengan catatan kalau tidak ada orang ketiga yang muncul, kalau ada orang ketiga yang muncul biasanya masalah perceraian ini bisa dipercepat. Kalau tidak ada orang ketiga yang biasanya membuat orang mengambil tindakan untuk bercerai adalah rasa sakit yang tidak tertahankan itu.
(1) IR : Nah pada usia perkawinan berapa tahun Pak pasangan itu rawan dalam bercerai?
PG : Sebetulnya pernikahan itu sangat rawan pada masa 5 tahun pertama setelah pernikahan atau mungkin lebih kritis lagi 3 tahun pertama. Kalau 3 tahun pertama kita gagal untuk mencocokkan diri an menemukan celahnya, kita kecenderungannya akan terus membawa problem itu untuk tahun-tahun mendatang jadi 3 tahun pertama itu sangat krusial.
IR : Tapi ada pasangan yang sudah usia ke 26 tahun, bisa cerai Pak Paul?
PG : Nah fase kedua yang memang rawan terhadap perceraian adalah usia pertengahan yaitu usia sekitar 45-55. Rawannya adalah karena pada saat itu meskipun secara sejarah, latar belakang mereka sdah menikah 20 tahun misalnya, tapi saat itu adalah saat di mana anak-anak sudah besar.
Anak-anak itu sering kali menjadi pengikat orang tua dan sekaligus merupakan suatu pengalihan problem, waktu ada anak sedikit banyak problem itu dialihkan sehingga kita tidak langsung menatap pasangan kita. Ada yang harus kita urus yaitu anak-anak kita. Kalau anak-anak sudah besar berarti tidak ada lagi yang jadi pengalihan, kita harus menghadapi pasangan kita secara langsung. Nah, di situlah kecocokan kita diuji mati-matian. Kalau pada awal pernikahan sebelum punya anak, kita sudah bermasalah dan tidak dibereskan dengan tuntas pada waktu itu, kemudian muncul anak-anak dan kita repot membesarkan anak biasanya problem itu muncul kembali di usia pertengahan. Jadi betul sekali kata Bu Ida, ada orang yang sudah menikah 20 tahun-an, akhirnya bubar.
(2) GS : Nah, kalau begitu Pak Paul, perceraian itu justru sering kali terjadi ketika pasangan itu sudah punya anak ya Pak Paul, dan itu pasti ada dampaknya, yang pernah kita bicarakan juga. Nah, itu dampak-dampak apa yang sering kali dialami oleh anak itu?
PG : Yang pertama adalah anak merasa terjepit Pak Gunawan, terjepit di tengah-tengah sebab meskipun si anak itu tahu, misalkan saja mamanya yang kurang benar atau papanya yang kurang benar, tetp anak mengalami kesulitan untuk berkata saya memilih mama saya karena papa saya tidak benar misalnya.
Jadi karena anak sulit sekali memilih hal ini, memilih papa atau mama dia merasa sangat terjepit di tengah, siapa itu yang harus dia bela, siapa itu yang dia harus ikuti nantinya atau misalnya terjadi perceraian. Nah waktu terjadi perceraian di situlah anak mulai bingung, dalam keadaan terjepit dia suka bingung harus pilih siapa. Karena dia merasa sungkan berkata saya pilih mama atau saya mau pilih papa, dia sungkan terhadap orang tua yang satunya.
GS : Tapi sering kali yang juga terjadi itu memang sejak dini anak itu sudah bisa menilai orang tuanya, ayahnya atau ibunya, jadi kesalahan itu siapa yang salah sebenarnya, itu 'kan anak juga punya perasaan seperti itu Pak Paul?
PG : Betul, dalam hati dia sudah ada penilaian siapa yang lebih salah, dan siapa yang lebih benar. Namun waktu mereka menyadari orang tua sekarang bercerai, tetap ada rasa sungkan mengkhianati rang tuanya.
Jadi sering kali anak-anak itu tidak berani, saya itu mau pilih siapa, makanya salah satu dampak yang lain dari perceraian pada anak adalah anak sering kali mempunyai rasa bersalah, bersalah karena dia pilih orang tua yang satu bukan yang satunya, bersalah karena kadang-kadang kita susah mengerti, tapi kadang kala anak merasa bahwa marekalah yang menjadi penyebab perceraian. Sebab adakalanya dalam rumah tangga yang memang tidak cocok, yang memang sedang bermasalah itu salah satu bahan keributan adalah anak, sering kali kita ini bertengkar karena urusan anak, nah anak di dalam ketidakmengertiannya berkata papa, mama bercerai gara-gara saya, dulu mereka sering ribut karena saya tidak belajar, saya dulu agak malas sekolah, mama sering marahi saya waktu di rumah karena saya dimarahi mama terus-menerus, papa bela, akhirnya papa mama bertengkar, dan akhirnya ribut. Akhirnya mereka bercerai karena salah saya. Nah, sekali lagi ini adalah memang suatu proses yang alamiah, orang selalu mencari kambing hitam atau mencari penyebab atau mencari titik kesalahan, supaya mereka bisa mengerti, memahami dengan akal inilah sebabnya terjadi perceraian jadi orang selalu ingin tahu mencari penyebab atau siapa yang salah. Nah sering kali anak-anak menyalahkan diri mereka sendiri.
IR : Sekalipun perceraian itu akibat perselingkuhan Pak Paul? Masak anak merasa bersalah juga ?
PG : Kalau perselingkuhan, kemungkinan besar lebih gampang untuk anak cerna, ada orang ketiga itu lebih gampang.
GS : Tapi kalau cekcok tadi yang sulit ya Pak Paul?
PG : Betul, sebab sering kali kalau cekcok melibatkan anak.
GS : Tapi ada juga anak yang menjadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali itu Pak Paul, itu apa sebenarnya yang diharapkan oleh anak?
PG : Sebetulnya yang terjadi adalah si anak nomor 1 mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan dia mau melampiaskannya. Pelampiasannya adalah dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturn, memberontak dan sebagainya.
Atau yang kedua, yang sering terjadi waktu orang tua bercerai anak kebanyakan tinggal dengan mama. Nah berarti ada yang terhilang yakni figur otoritas, figur ayah. Waktu figur otoritas itu menghilang, anak sering kali tidak terlalu takut pada mama. Maka ini adalah suatu fakta yang saya pernah baca dalam suatu hasil riset yang menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan orang tua tunggal oleh seorang ibu cenderung nakal.
IR : Dan juga anak bisa kehilangan identitas sosialnya, Pak Paul?
PG : Ya, anak akhirnya merasa tidak pas karena dia melihat ke kiri, dia melihat ke kanan, teman-temannya punya papa, punya mama, kok saya tidak punya papa, kok saya tidak punya mama. Waktu dia icara dengan teman-temannya mereka membicarakan tentang papa dan mama, dia tidak bisa bicarakan papanya, papanya tidak tinggal serumah apalagi kalau papanya menikah lagi dengan orang lain dia lebih susah lagi bicara tentang papanya yang sudah punya istri yang lain.
Jadi dengan kata lain statusnya itu sebagai anak cerai memberikan suatu perasaan dia orang yang berbeda dari anak-anak lain. Nah ini tadi yang dimaksud dengan kehilangan jati diri sosialnya, identitas sosialnya itu. Dia tiba-tiba tidak masuk, tidak pas lagi dengan lingkupnya.
IR : Dan ada kasus Pak Paul kebanyakan anak-anak yang orang tuanya bercerai dia mencari pasangan, mencari latar belakang orang tuanya bercerai, karena dia punya perasaan minder, apa benar begitu?
PG : Betul, sering kali begitu mereka itu bisa membawa suatu perasaan bahwa mereka anak-anak yang cacat, anak-anak yang tidak setara dengan anak-anak lain. Oleh karenanya timbul suatu rasa taku kalau saya ini menikah dengan orang yang benar-benar, nanti saya dipandang rendah atau ada suatu perasaan saya tidak pantas berpasangan dengan orang yang dari keluarga benar-benar.
Jadi saya lebih cocoklah menikah dengan yang sejenis dengan saya, harapannya adalah yang sejenis dengan saya, lebih bisa menerima saya, senasib dan orang tuanya pun juga bisa menerima saya. Sebab dia tahu bahwa banyak orang tua tidak rela menikahkan anaknya dengan seseorang yang dari keluarga yang sudah broken-home seperti itu.
IR : Mereka punya image bahwa kelak mereka mungkin akan bisa bercerai, jadi kasihan anak-anak ini mereka menjadi korban.
PG : Dan korban yang kedua kalinya Ibu Ida, pertama kali waktu orang tuanya bercerai, kedua kali waktu mereka sudah dewasa, jadi ada rasa takut seperti itu, takut dihukum lagi oleh masyarakat.
GS : Nah Pak Paul, kalau kedua orang tua itu sangat mengasihi anak ini dan kebetulan anak ini cuma satu atau dua, apa yang terjadi dalam diri anak?
PG : Ada perasaan terbelah, ada perasaan dia itu dicabik-cabik, satu pihak harus ke mama satu pihak harus ke papa. Akan muncul suatu dorongan dalam diri si anak untuk menjadi perekat, untuk menadi penyatu.
Nah jadi apa yang dilakukan, dia akan menjadi juru bicara misalkan dari orang tuanya. Mama ngomong kepada dia tentang si papa dan nanti yang sampaikan bukan langsung si mama pada papa, si anak yang menyampaikan. Atau si papa ingin komunikasi dengan si mama tidak mau langsung, tapi melalui si anak. Jadi akhirnya si anak inilah yang menjadi jubir di antara kedua orang tuanya. Atau bisa juga dia yang menjadi peredam persoalan atau konflik di antara kedua orang tuanya yang sudah bercerai ini, karena dia tahu dua-duanya mengasihi dia dan dia mau dua-duanya itu jangan sampai lebih buruk lagi keadaannya. Jadi apa yang terjadi dialah yang akan meredam konflik, misalnya papanya marah-marah terhadap mamanya (di belakang mamanya maksud saya) waktu ketemu mamanya, mamanya tanya, "papa marah-marah atau tidak?" Dia akan bilang: "Tidak, papa tidak bilang begitu," dengan kata lain sejak kecil dia akhirnya belajar untuk mendistorsi fakta kehidupan.
GS : Ada yang pola seperti itu Pak Paul, karena kedua orang tuanya sudah bercerai. Lalu anaknya itu sebulan di rumah ibunya, sebulan lagi di rumah ayahnya, bergantian. Jadi kalau yang sulung di rumah ibunya, yang bungsu di ayahnya lalu sebulan sekali diganti begitu. Orang tuanya mengatakan kami bermasalah dengan pasangan kami, tapi dengan anak-anak kami tidak ada masalah, baik sekali. Sebenarnya pandangan seperti itu bagaimana?
PG : Dalam hubungan nikah yang sudah-sudah sangat jelek ya, pertengkarannya sudah sangat parah, kebanyakan anak-anak yang akan memilih untuk supaya mereka bercerai. Dan dari hasil riset yang saa pernah baca, memang diperlihatkan demi kesehatan jiwa si anak, anak-anak itu akan lebih tenteram sewaktu dilepaskan dari suasana seperti itu.
Jadi pada waktu orang tuanya tidak tinggal sama-sama mereka itu rasanya lebih tenang karena tidak harus menyaksikan pertengkaran. Nah akhirnya mereka lebih mantap, lebih damai hidupnya, dan lebih bisa berhubungan dengan orang tuanya secara lebih sehat.
GS : Atau dititipkan ke neneknya Pak Paul?
PG : Ada yang terjadi seperti itu juga betul, jadi akhirnya dititipkan kepada orang lain. Nah, apapun yang terjadi memang secara sepihak anak-anak ini bebas dari pertengkaran orang tuanya. Namu di pihak lain dia harus menanggung kerugian-kerugian yang sebetulnya juga berat, jadi dibebaskan dari pertengkaran itu suatu manfaat, itu suatu hal yang positif.
Tapi di samping manfaat anak cerai itu sebetulnya menanggung lebih banyak kerugian, banyak sekali. Saya pernah membaca hasil suatu riset yang menunjukkan bahwa bahkan sudah sampai 20 tahun kemudian, saya kurang ingat berapa, tapi sudah sangat lama berpuluhan tahun kemudian anak-anak korban perceraian tetap masih membawa luka-luka akibat perceraian orang tuanya, jadi dampaknya itu sangat panjang.
GS : Tapi saya melihat juga ada kasus di mana anak korban perceraian itu kita ambil sisi yang positifnya itu, anak itu seperti cepat dewasa Pak Paul, punya rasa tanggung jawab yang baik, bisa membantu ibunya. Kebetulan dia ikut ibunya itu memang bisa seperti itu ya Pak Paul?
PG : Bisa jadi, memang tadi kata Pak Gunawan ada yang bisa nakal luar biasa, tapi ada yang kebalikannya justru menjadi anak yang sangat baik dan bertanggung jawab. Yang terjadi adalah sebetulny pengkompensasian Pak Gunawan.
Si anak ini seolah-olah mengkompensasi kekurangan atau kehilangan dalam rumah tangganya. Misalkan dia tinggal dengan mamanya dia anak laki, papanya tidak ada lagi sudah bercerai dengan mamanya. Kecenderungannya adalah dia menggantikan fungsi papanya, dialah yang akhirnya menjadi teman bicara mamanya dan dia tidak bisa tidak karena keadaan dipaksa untuk menjadi lebih dewasa. Atau seorang anak wanita yang harus tinggal dengan papanya kalaupun dia tidak tinggal dengan papanya dia misalkan perwaliannya dengan ibu tapi seminggu sekali bisa pulang ke rumah papanya. Yang cukup umum si anak perempuan ini menjadi seperti mamanya terhadap si papa, menjadi teman bicara, menjadi orang yang mengerti isi hati papanya. Jadi lama-kelamaan si papa ada kekesalan atau apa, cerita dengan anak perempuannya. Jadi betul kata Pak Gunawan akhirnya didorong kuat untuk mengambil alih peran orang tua yang tidak ada lagi dalam rumah tangganya. Secara luar kita melihat sepertinya baik menjadi lebih dewasa tapi sebetulnya secara kedewasaan tidak terlalu baik, karena dia belum siap untuk mengambil alih peran orang tuanya itu.
GS : Mungkin dia kehilangan masa anak-anaknya itu Pak Paul?
PG : Tepat sekali, dia akan kehilangan masa kanak-kanak itu dan terpaksa menjadi orang dewasa.
(3) IR : Sebelum bercerai Pak Paul, misalnya kalau pasangan itu terlebih dahulu pisah itu memungkinkan atau tidak untuk memperbaiki hubungan mereka?
PG : Dari yang saya lihat Ibu Ida, kalau orang sudah berpisah, berpisah rumah kemungkinan kembali hampir tidak ada. Justru saya ini berupaya dalam konseling pernikahan yang memang sudah parah brusaha agar jangan mengambil jalan pisah rumah, karena sering kali kalau sudah pisah rumah tidak bisa disatukan lagi.
Kecuali dalam kasus-kasus di mana salah seorang itu benar-benar dalam keadaan terancam misalnya dipukuli secara sadis oleh suaminya. Nah, dalam keadaan seperti itu lebih baik mereka tidak serumah sebab itu sangat membahayakan jiwanya si wanita dan juga sangat membahayakan kesehatan jiwa anak-anaknya, menyaksikan mama dipukuli seperti itu. Dalam keadaan yang begitu rusak saya memang lebih suka melihat mereka tidak serumah, tapi kalau hanya pertengkaran demi pertengkaran saya kira jangan pisah rumah, kalau pisah rumah kemungkinan kembali hampir tidak ada.
IR : Karena mereka sudah menikmati rasa aman itu mungkin ya Pak Paul?
PG : Betul, mereka sudah rasa damai pisah rumah, dan mereka berpikir 1000 kali untuk gabung dan bertengkar lagi seperti dulu karena sangat menyakitkan hati.
GS : Tapi kalau mereka masih serumah kemudian terus bertengkar, masalahnya anak-anak itu yang menjadi korban Pak Paul, walaupun cuma pertengkaran mulut, tapi itu 'kan tidak baik didengarkan anak-anak?
PG : Seperti yang telah kita bahas, pertengkaran itu selalu menambah ketegangan anak, maka anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang tidak harmonis dan penuh pertengkaran sering kali menjadi aak-anak yang penuh keragu-raguan, mudah cemas, mudah takut, tidak percaya diri, tidak aman itu semua adalah dampak dari ketegangan-ketegangan yang harus dipikulnya.
GS : Makanya mungkin ada pasangan itu yang memutuskan tetap di dalam pernikahan walaupun sebenarnya mereka itu secara emosional sudah bercerai Pak Paul?
PG : Betul, ada satu hal yang menjadi pengamatan saya Pak Gunawan yaitu kita lebih berani mengakui gangguan fisik dibandingkan gangguan keluarga atau gangguan jiwa. Kita tidak berkeberatan oran mengetahui kita punya sakit jantung, kita punya sakit kanker.
Tapi kebanyakan kita berkeberatan orang tahu kita punya masalah keluarga. Akibatnya kalau kita tahu, kita sakit jantung kita ke dokter jantung. Tetapi kalau kita punya masalah keluarga kecenderungannya kita justru menyembunyikannya. Nah, sering kali persoalan-persoalan ini menumpuk tidak selesai, maka seperti ditulis oleh Marcia Lasswell dalam bukunya No Fault Marriage dia bilang kebanyakan orang mencari pertolongan pernikahan setelah parah dan rata-rata dia sudah hitung sekitar 7 tahun. Jadi rata-rata orang setelah 7 tahun bergumul dalam persoalan mereka, bukannya 7 tahun usia pernikahan bukan, 7 tahun bergumul dalam persoalan itu baru akhirnya mencari orang atau pihak ketiga untuk membantu mereka, konselor atau hamba Tuhan. Tapi setelah 7 tahun masalahnya itu diderita, nah kalau kita sakit kanker 7 tahun kita diam saja, ya sudah stadium 4.
GS : Sudah meninggal.
PG : Betul, tapi kita berpikir tidak apa-apalah kita diamkan, nanti bisa berubah kok. Memang beginilah pernikahan. Jadi kita sering kali berdalih-dalih kita tidak mau mencari pertolongan atau yng paling umum dalam konteks budaya kita adalah malu.
(4) GS : Nah tadi atau pada kesempatan yang lalu, Pak Paul sudah menguraikan prosesnya sampai seseorang itu bisa bercerai, dan kini kita bicarakan tentang perlunya orang ketiga yang bisa membantu. Sebaiknya dalam proses yang mana orang datang untuk membicarakan hal ini, entah pada konselor atau pada hamba Tuhan?
PG : Orang harus sudah mulai mencari bantuan pada pihak ketiga yaitu pendeta atau konselor, untuk membereskan persoalan mereka, jikalau mereka itu tiba-tiba sudah sadar bahwa persoalan yang saa muncul lagi terus menerus.
Berarti apa? berarti usaha mereka untuk memperbaiki tidak lagi efektif. Sama seperti kita misalkan dengan mobil kita, kita coba betulkan sendiri rusak lagi, betulkan rusak lagi, sudah waktunya kita bawa ke bengkel begitu.
GS : Ya memang itu masalahnya mau atau tidak membawanya atau mengungkapkannya secara jujur memang itu kalau tidak memang makin parah saja kehidupan pernikahan mereka.
GS : Nah kalaupun sudah terjadi perceraian dan ada dampak yang begitu besar terhadap diri anak-anak, tentunya melalui pembicaraan kita ini kita mengharapkan para pendengar bisa mengantisipasi kalau sudah ada masalah-masalah seperti itu. Tetapi saya percaya sekali bahwa kebenaran firman Tuhan itulah yang akan memberikan bimbingan yang paling pas untuk keluarga-keluarga di saat ini, begitu Pak Paul. Jadi mungkin Pak Paul akan membawakan sebagian dari firman Tuhan untuk ini?
PG : Saya menyadari Pak Gunawan bahwa hidup ini kompleks dan saya juga menyadari bahwa kita ini menikah untuk sungguh-sungguh, langgeng selamanya. Jadi kalau sampai ada orang yang menderita dalm pernikahan sering kali itu di luar kehendak mereka, di luar harapan mereka.
Jadi saran saya adalah sebisanya carilah bantuan, dua-dua, meskipun yang satu merasa saya tidak punya masalah, carilah bantuan karena sering kali ini bukanlah masalah satu atau yang satunya, tapi masalah berdua. Kedua yang saya ingin katakan adalah kita harus tetap kuat di dalam Tuhan, kita tidak bisa mengerti kenapa kita mendapat porsi kehidupan yang seperti ini. Ada kasus Pak Gunawan, memang bukan salah yang satu tapi benar-benar salah yang satunya. Ada yang memang menikah dengan orang yang sangat keliru misalnya sangat jahat dan sebagainya. Akhirnya dia terjebak dalam pernikahan seperti itu juga, kadang kala itulah porsi kehidupan kita yang memang pahit dan harus kita minum. Tapi untuk kasus-kasus yang lebih umum di mana mulai timbul perceraian-perceraian ada firman Tuhan untuk saudara-saudara yang mendengarkan. Firman Tuhan berkata: "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga." Ini dicatat oleh Injil
Matius 18:10. Tuhan Yesus menegaskan bahwa anak-anak itu berharga dan Tuhan memperhatikan mereka jadi Tuhan berkata ada malaikat yang menjaga mereka. Nah dengan kata lain, Tuhan mau kita mengingat anak-anak bahwa anak-anak itu penting dan berharga di mata Tuhan, jangan sampai gara-gara kita menuruti kehendak kita anak-anak menjadi korban jadi bertahanlah sebisanya. Bereskanlah itu sebisanya baik saudara yang wanita maupun saudara yang pria, rendahkanlah diri, mintalah bantuan dan bereskanlah masalah, jangan tunggu-tunggu lagi.
GS : Dan kita juga menyadari bahwa anak atau anak-anak itu adalah karunia Tuhan sendiri yang bahkan pemazmur bilang milik pusaka Tuhan yang dipercayakan Tuhan kepada kita, sebenarnya bukan untuk dijadikan korban karena kita tidak cocok dengan pasangan kita, tapi justru mesti dipelihara.
PG : Betul, saya sering katakan ini Pak Gunawan, mayoritas klien saya dalam konseling adalah orang dewasa tapi mayoritas klien saya adalah orang-orang yang menderita karena mereka membawa problm sejak masa kecil mereka.
Dengan kata lain mereka bermasalah sekarang, sebab pada masa kecil mereka, mereka sudah mengalami masalah akibat perbuatan orang tua mereka.
GS : Jadi itu seperti mata rantai yang tidak terputuskan, karena sekarang dia bermasalah anaknya juga mengalami hal yang sama nanti, jadi kalaupun terputus saya rasa semata-mata karena anugrah Tuhan.
PG : Betul, dan ada yang terputus karena anugerah Tuhan pada usia remaja atau dewasa akhirnya bertemu Tuhan, bertobat mempunyai teman-teman seiman yang mencintainya sehingga dia dibangunkan kemali, disusun kembali, dibentuk kembali menjadi manusia yang berbeda.
IR : Jadi masih ada pengharapan Pak Paul?
PG : Betul tetap masih ada pengharapan.
GS : Itulah keagungan dari kasih Tuhan kita yang kita kenal dalam Yesus Kristus itu.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan yang merupakan lanjutan dari perbincangan kami yang lalu tentang dampak perceraian terhadap anak, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 42 B
- Pada usia berapakah pasangan itu disebut rawan terhadap perceraian?
- Dampak-dampak apa sajakah yang ditimbulkan perceraian terhadap anak?
- Perpisahan sementara sebelum perceraian apakah memungkinkan untuk memperbaiki hubungan?
- Sebaiknya dalam proses yang mana seorang pasangan perlu datang pada pihak ketiga yaitu konselor atau hamba Tuhan?