Dampak Kekudusan dan Kerukunan pada Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T452A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kekudusan dan kerukunan adalah dua tiang yang menyangga rumah tangga.Tanpa salah satu di antaranya, pernikahan runtuh menimpa anak-anak yang bernaung di bawah atapnya.Kita harus menjaga pernikahan—bukan saja kekudusannya, tetapi juga kerukunannya.Keduanya sama penting dan mesti ada di dalam pernikahan.Bagaimana dampaknya bila kekudusan terjadi tanpa adanya kerukunan? Dan sebaliknya, apa akibatnya bila kerukunan terjadi tanpa disertai kekudusan?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kekudusan dan kerukunan adalah dua tiang yang menyanggah rumah tangga. Tanpa salah satu di antaranya pernikahan runtuh, menimpa anak-anak yang bernaung di bawah atapnya. Cerita tragis berikut ini memperlihatkan betapa pentingnya kekudusan dan kerukunan dalam perkembangan jiwa anak, sehingga tatkala keduanya terhilang, besarlah dampaknya pada anak.

Peristiwa tragis ini terjadi pada 12 Februari, 2008 di sebuah SMP bernama E.O. Green Junior High, di kota Oxnard, di pinggir Los Angeles. Pertanyaan yang tentu muncul adalah, apakah gerangan yang membuat Brandon tega melakukan pembunuhan hanya oleh karena merasa dipermalukan oleh teman sekelasnya? Untuk memahami perbuatannya kita mesti mengetahui latar belakangnya. Brandon dibesarkan oleh orang tua yang bercerai. Jauh sebelum ia lahir, orang tuanya sering berkelahi. Dalam suatu perkelahian, ayahnya bahkan sempat menembak lengan ibunya setelah sebelumnya menodongkan pistol itu ke arah kepala ibunya. Dalam perkelahian yang lain, ayahnya menjambak rambut ibunya dan mencekik lehernya yang membuatnya hampir semaput. Akhirnya mereka berpisah dan Brandon pun ikut dengan ibunya.

Namun itu tidak lama karena berikutnya ia pindah tinggal dengan ayahnya, berhubung ibunya menjalani program rehabilitasi kecanduan narkoba. Ayah Brandon bekerja jauh dari rumah sehingga hampir setiap hari Brandon ditinggalkan di rumah seorang diri. Brandon pun mulai bergaul dengan teman-temannya yang bermasalah. Itulah potret Brandon yang kelam—sama kelamnya dengan potret Larry.

Membaca semua ini di Majalah Newsweek (28 Juli 2008) saya tertegun. Sekali lagi saya diingatkan betapa pentingnya peran keluarga dalam perkembangan jiwa seorang manusia. Larry dan Brandon hanyalah serpihan ledakan yang ditimbulkan oleh orang tuanya. Kendati mereka mempunyai pilihan untuk menjadi manusia yang berbeda, namun kekuatan untuk memilih jalan hidup yang berbeda sangatlah lemah. Orang tua telah menguras hampir semua kekuatan mereka untuk memilih jalan yang berbeda.

Kita harus menjaga pernikahan—bukan saja kekudusannya, tetapi juga kerukunannya. Keduanya sama penting dan mesti ada di dalam pernikahan. Tidak heran di dalam satu pasal yang sama, Rasul Petrus menempatkan keduanya sejajar, "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu sebab Aku kudus" (1 Petrus 1:14-16).

Kemudian Petrus melanjutkan, "Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu saling bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu" (1 Petrus 1:22). JadI, pertama, Petrus menasihati kita, orang percaya, untuk hidup kudus, tidak menuruti hawa nafsu. Berikut, ia menasihati kita untuk hidup saling mengasihi; dengan kata lain, hidup rukun.

Mari sekarang kita melihat apakah dampaknya bila kita sebagai orang tua hanya menekankan kekudusan tetapi gagal membina kerukunan dalam keluarga. Kekudusan tanpa kerukunan berpotensi besar menciptakan kemunafikan, yang pada akhirnya membuat anak menjauh dari iman yang melahirkan kekudusan.

Ya, sewaktu anak melihat kita hidup tidak rukun, bukan saja ia akan sukar menerima nasihat kita tetapi juga ia akan cenderung menolaknya. Sesungguhnya ada dua alasan mengapa anak menolak atau menjauh dari iman yang kita ingin wariskan kepadanya dan mencap kita munafik.

(1) Anak menolak karena anak ingin melihat hidup kita rukun terlebih dahulu, sebelum kita memberikannya wejangan-wejangan rohani. Singkat kata, penolakan anak merupakan ungkapan isi hatinya yang ingin melihat kita, orang tuanya, membereskan masalah kita dan hidup rukun terlebih dahulu.

(2) Kedua, anak menolak karena anak menyimpulkan bahwa iman ternyata tidak berdaya mendamaikan orang tuanya. Di mata anak, menjadi orang Kristen tidak mengubah apa-apa—marah tetap ada, cekcok tetap sering. Jadi, ia pun bertanya, "Buat apa menjadi orang Kristen?"

Mari sekarang kita melihat apakah dampaknya bila kita sebagai orang tua hanya menekankan kerukunan tetapi gagal membina kekudusan dalam keluarga. Kerukunan tanpa kekudusan hampir mustahil terjadi namun kalau pun ada, berpotensi membangkitkan generasi anak yang bermoralitas relatif – tanpa standard dan tanpa batas.

Saya menyimpulkan hampir mustahil terjadi sebab saya tidak dapat membayangkan bagaimanakah kita dapat hidup rukun bila kita hidup menuruti hawa nafsu. Bagaimanakah kita bisa hidup rukun jika kita tidak setia kepada janji nikah dan hidup semaunya? Kalaupun itu dimungkinkan, saya khawatir dampaknya pada anak adalah anak bertumbuh besar tanpa panduan moral sama sekali. Semua boleh dilakukan bila dianggap baik.

Kesimpulannya jelas: Kita mesti menegakkan kekudusan dan kerukunan di dalam keluarga. Lewat kekudusan kita, anak melihat kekudusan Allah. Lewat kerukunan kita, anak melihat kasih Allah. Inilah bekal yang dapat kita berikan kepada anak.