[dampak_keberhasilan_istri_pada_suami] =>
Lengkap
"Dampak Keberhasilan Istri pada Suami"
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang"Dampak Keberhasilan Istri pada Suami". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada kesempatan yang lalu kita berbicara tentang dampak keberhasilan suami pada istri, dan sekarang kita akan bicara tentang dampak keberhasilan istri pada suami. Mungkin ada sebagian pendengar kita yang belum atau tidak sempat mendengarkan perbincangan yang pertama dulu, sebelum kita membicarakan perbincangan ini mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat apa yang kita perbincangkan pada kesempatan yang lampau.
PG : Seyogianya keberhasilan suami menimbulkan rasa bangga atau hal-hal yang positif dalam diri si istri tapi ternyata tidak selalu demikian, karena kadang-kadang dengan bertambahnya penghasila, dengan makin meningkatnya kegiatan si suami dalam pekerjaan, maka misalnya waktu kebersamaan akan juga berkurang dengan keluarga, dan ada waktu-waktu tertentu juga misalkan si suami akhirnya merasa terlalu berkuasa, terlalu sombong, takabur sehingga si istri merasa makin ditinggalkan dan tidak diperhatikan.
Jadi kita sudah membahas bahwa yang terpenting adalah dalam kondisi seperti itu suami tidak boleh sampai mengabaikan istri dan harus terus mengkomunikasikan penghargaan pada si istri dan menunjukkan kehangatan dan kasihnya pada istri. Meskipun pekerjaannya makin bertambah dan dia memang menjadi orang yang lebih sibuk, tapi tetap yang terpenting dalam hidupnya adalah si istri dan bukan pekerjaannya dan dia tidak akan melupakan sumbangsih serta pengorbanan si istri yang telah memungkinkannya untuk bisa meraih kedudukan yang setinggi ini sekarang.
GS : Kalau kita akan bicara tentang keberhasilan istri pada suami, dampaknya apa, Pak Paul ?
PG : Misalnya yang pertama adalah dikarenakan ketakutannya sendiri maka si suami tidak menyambut gembira keberhasilan istri. Dia mungkin merasa karena istrinya naik pangkat, penghasilannya bertmbah maka dia tidak bisa lagi menjadi kepala keluarga.
Kenapa bisa muncul perasaan seperti ini ? Kita harus mengerti bahwa kita ini hidup dalam dunia yang menjadikan uang dan kedudukan sebagai penentu kekuasaan dan pengaruh, artinya makin banyak uang dan makin tinggi kedudukan maka makin besar kuasa dan pengaruh. Itu sebabnya menanjaknya karier istri dapat menciutkan kepercayaan diri suami yang merasa bahwa sekarang dia berada di bawah kendali istri. Masalahnya adalah akhirnya dia menjadi sensitif dan cenderung menafsir tindakan istri sebagai upaya untuk mengendalikannya dan sebagai sikap yang tidak menghormatinya. Itu sebabnya dia cepat merasa tersinggung dan kerap kali bersikap kasar kepada istrinya untuk memperlihatkan bahwa dia tetap menjadi suami yang mengepalai keluarga ini.
GS : Hal ini terjadi kepada suami yang sama-sama bekerja atau suami yang menganggur, Pak Paul ?
PG : Kalau dia menganggur sudah tentu dampaknya lebih buruk, namun kalau sama-sama bekerja dan pekerjaan si istri itu sekarang di atas pekerjaan si suami, hal-hal ini juga bisa terjadi. Tapi seali lagi kita bisa mengerti kenapa bisa terjadi, karena tidak bisa disangkal di dalam dunia ini uang dan kedudukan itu berpengaruh sangat besar, siapa punya uang, siapa punya kedudukan, dia akan memunyai kuasa.
Jadi si suami pun akan berpikir,"Karena sekarang kamu yang punya kedudukan dan uang maka kamu yang punya kuasa" dan akhirnya sekarang terjadi perebutan kekuasaan. Bisa jadi si istri sebetulnya tidak terpikir akan hal ini dan dia hidup biasa saja, tapi si suami yang merasa begitu,"Sekarang kamu ingin menginjak-injak saya dan saya tidak terima" akibatnya sering bertengkar.
GS : Kalau si suami sekantor atau sepabrik atau setempat kerja dengan istrinya yang sedang menanjak kariernya, dampaknya bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu dia makin merasa malu dan dia makin merasa di mata teman-temannya yang kenal dia dan istrinya maka dia akan merasa terbanting. Maka kalau dua-dua bekerja di satu perusahaan yan sama, idealnya adalah kalau istrinya naik pangkat sebegitu tingginya dan dia tidak, kalau dia masih bisa tahan maka tidak apa-apa, tapi kalau berdampak buruk pada keluarga maka kalau memungkinkan biar suami mencari pekerjaan yang lain, karena kalau tetap di situ maka si suami sangat merasa tertekan, apalagi kalau si istri harus memberikan instruksi atau perintah kepada bawahan dan suami termasuk bawahan maka itu berat dan tidak mudah, karena mungkin teman-temannya akan mengejeknya,"Lihat istrimu yang menjadi kepala dan sekarang kamu menjadi buntutnya".
GS : Dan itu berpengaruh di dalam kehidupan rumah tangga karena tidak mudah membolak-balik seperti kalau di kantor dia menjadi kepala, namun kalau di rumah suaminya yang menjadi kepala, itu ‘kan tidak semudah itu, Pak Paul ?
PG : Sangat susah. Jadi biasanya kalau dalam kondisi seperti ini akhirnya masalah pekerjaan dibawa ke dalam rumah tangga.
GS : Dampak yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Mengapa suami tidak menyambut gembira keberhasilan istri adalah karena sekarang ia harus memikul beban mengurus rumah tangga, seringkali keberhasilan istri dalam karier mengharuskannya mennggalkan keluarga dan sebagai akibatnya tugas rumah tangga harus ditanggung suami dan sudah tentu tidak semua suami menyambutnya dengan gembira.
Dalam kondisi seperti ini mudah sekali bagi suami untuk beranggapan bahwa istri pergi untuk bersenang-senang, sedangkan dia harus di rumah mengurus keluarga. Kita tahu anggapan ini dapat membuatnya marah dan sudah tentu tidak ramah kepada istri dan mungkin dia akan berubah kritis terhadap istri dan mempersoalkan segala hal yang tidak penting untuk mengeluarkan rasa tidak puasnya kepada istri.
GS : Apakah ini bukan karena sebagai suami tidak terampil melakukan pekerjaan dalam rumah tangga, Pak Paul ?
PG : Saya kira ya. Jadi mungkin sekali karena tidak terampil atau karena tidak suka tapi terpaksa karena istrinya pergi. Jadi misalkan dia yang harus mengawasi PR anak-anak dan mengajari anak-aak, yang tadinya dia bisa relaks setelah pulang kerja malam tapi sekarang harus menjaga anak-anak, mengurusi PR nya, mengurusi makannya dan kalau ada yang sakit dibawa ke dokter.
Jadi dengan bertambahnya kedudukan istri harus sering pergi, tidak bisa tidak beban keluarga akan bergeser ke pundaknya suami. Jadi ada suami yang merasa bahwa ini adalah tugasmu sebagai istri di rumah dan ini adalah tanggung jawabmu, jadi dia tidak terima,"Sekarang kenapa saya yang harus mengerjakan semua ini ?"
GS : Tapi kalau dia mau memaksa sampai istrinya keluar dari pekerjaan, maka akan menambah kondisi rumah bertambah buruk, Pak Paul ?
PG : Bisa jadi. Karena nantinya si istri bisa beranggapan,"Kamu lebih memikirkan diri kamu dan kamu tidak mau berkorban sedangkan dulu sayalah yang berkorban dan sayalah yang di rumah, sayalah ang mengurus rumah tangga meskipun saya juga harus bekerja, tapi kenapa sekarang kamu tidak mau membantu saya, selama ini saya yang membantu kamu" kalau sampai itu yang terjadi yaitu suami memaksa istri untuk berhenti, itu akan menimbulkan ketegangan.
GS : Kalau si suami tetap bekerja dan memunyai pekerjaan, dan pekerjaan rumah tangganya dikerjakan oleh pembantu rumah tangga, mungkin tekanannya sedikit berkurang, Pak Paul ?
PG : Betul. Tekanan pasti akan berkurang tapi tetap kalau istri sibuk dan harus bepergian dan sebagainya, suami tetap harus mengambil alih sebagian dari tugas itu misalnya tugas anak, anaknya mnta ini dan itu maka dia yang harus meladeni.
Anaknya minta untuk dia membawakan atau membelikan sesuatu, maka dia tidak bisa menyuruh istrinya membelikan, karena dia tahu istrinya sedang bekerja, karena pulangnya malam. Jadi adakalanya ini menimbulkan ketidaksukaan pada suami.
GS : Apalagi kalau nanti istrinya pulang lalu melihat rumahnya berantakan dan kemudian marah-marah, maka suami bisa merasa sangat tertekan.
PG : Dan bisa juga tambah marah, karena sekali lagi kalau kita jadinya harus menderita karena orang lain, kita cenderung menganggap orang lain itu senang-senang, meskipun kita mengerti istri kia tidak senang-senang, tapi karena kita yang susah-susah sekarang, jadi kita rasanya tidak suka dan merasa istri kita enak-enakan.
GS : Menanggapi sikap seperti itu Pak Paul, memang ada banyak suami yang menjadi apatis atau sudah tidak mau tahu lagi tentang hal-hal yang di rumah dan dia menjadi orang yang malas.
PG : Kadang-kadang itu yang terjadi. Jadi ada kasus di mana istri makin naik pangkatnya, kedudukannya, penghasilannya, tapi suaminya menjadi malas dan beranggapan bahwa dia sekarang tidak haruslagi bekerja sekeras dulu dan mulai mengandalkan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Singkat kata dia memanfaatkan istri untuk mengongkosi kebutuhannya dan keluarga. Jadi motivasinya makin menurun, dan memang ada laki-laki yang seperti ini.
GS : Jadi hanya bercengkrama dengan tetangga dan teman-temannya, dia malah mengumpulkan teman-temannya datang ke rumahnya, sementara istrinya bekerja banting tulang.
GS : Dan kemalasan ini memang akan terus bertumbuh artinya dia sudah tidak mau bekerja, tidak mau mengurusi rumah tangga dan hanya senang-senang saja.
PG : Saya pernah bertemu dengan pria yang seperti ini. Jadi bagi kita ini sukar kita mengerti tapi itulah yang diinginkannya yaitu dia memang tidak suka bekerja tapi di rumah juga tidak mengurui rumah, maunya hanya diam-diam saja karena memang dasarnya agak pemalas.
Adakalanya karena istri makin berpenghasilan, suami bisa tambah malas.
GS : Malah ada hal yang lebih buruk lagi yaitu mengisi waktu luangnya itu untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Apakah hal itu bisa terjadi, Pak Paul ?
PG : Sangat-sangat mungkin, Pak Gunawan. Jadi adakalanya karena istrinya makin menanjak dalam karier, si suami malahan makin mengembangkan kebiasaan buruk seperti berjudi, mabuk-mabukan, berzinh.
Pertanyaannya,"kenapa bisa begitu ?" maka jawabannya adalah karena tersedianya kesempatan atau waktu untuk melakukan semua itu, apalagi misalkan di rumah ada pembantu yang mengurus anak-anak atau anak-anaknya sudah mulai besar, maka suaminya merasa bebas karena tidak ada lagi istri, jadi ketika istrinya pergi bekerja maka dia juga pergi tapi bukan pergi bekerja, namun dia pergi ke ‘night club’, bepergian dengan teman-teman dan terlibat dalam perilaku yang berdosa.
GS : Pak Paul, dengan meningkatnya karier istri, juga menimbulkan dampak buruk bagi keluarga karena istri mungkin sudah kelelahan dan di rumah masih mengerjakan pekerjaan rumah tangga, akibatnya istri menjadi suka marah-marah di rumah.
PG : Bisa sekali, Pak Gunawan. Jadi kadang-kadang istri pulang sudah capek dan anak-anak perlu diurus dan sebagainya, akhirnya kesabarannya menipis sehingga adakalanya anak-anak merasa Mama makn repot di tempat pekerjaan dan makin sering marah dan makin tidak suka.
Jadi si istri juga harus tahu batasnya, kalau memang dia tahu dengan dia menerima promosi ini, dia harus kehilangan relasi yang baik dengan anak-anak atau suaminya maka harus dipertimbangkan apakah dia harus menerima promosinya atau tidak.
GS : Bagi si suami yang memang sudah dasarnya malas dan mencari alasan, seringkali kemarahan istri ini dipakai alasan untuk dia meninggalkan rumah dan kemudian seperti yang Pak Paul katakan yaitu berjudi, berzinah, mabuk-mabukan dan seterusnya.
PG : Adakalanya itu yang terjadi, dia menemukan alasan sekarang,"Saya tidak betah di rumah karena sekarang sering ribut, lebih baik pergi" padahalnya dia memang mau melakukan semua itu bukan kaena istrinya.
GS : Lalu sebagai istri yang menanjak kariernya, apa yang seharusnya dia lakukan ?
PG : Untuk kita bisa menghindar atau mengurangi kemungkinan terjadinya masalah yang telah kita bahas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh istri, misalnya yang pertama istri harus bersika biasa kepada suami setelah peningkatan kedudukan dan penghasilan.
Dengan kata lain, usahakanlah agar keberhasilan ini tidak memunculkan sikap atau tindakan yang dapat digunakan suami untuk menuduh bahwa istri telah merendahkan dan tidak lagi menghormati dirinya. Jadi benar-benar jangan sampai mengubah sikap, perlakukan suami seperti dulu seperti biasa, kalau dulu dia bertanya sebelum dia mengambil keputusan, sekarang pun sama bertanya sebelum mengambil keputusan. Kalau dulu dia sebelum pergi selalu memberitahu dia mau pergi mana, sekarang sebelum pergi juga memberi tahu kemana dia mau pergi. Jadi hiduplah biasa, jangan karena peningkatan penghasilan atau kedudukan kemudian istri mengubah sikapnya. Ini mudah ditangkap oleh suami sebagai isyarat"kamu tidak lagi menghormati saya".
GS : Ini sebagai istri tentunya tetap menghormati suami, karena suami adalah kepala keluarga. Jadi sekalipun dia meningkat kariernya, tapi tetap dia harus menempatkan suami sebagai kepala keluarga.
PG : Betul sekali. Jadi apa yang telah dibina selama ini dimana suami yang memegang kendali dan dia adalah pendukung dan tunduk kepada suami, semua itu pertahankan. Jadi apa yang telah dibina aau cara mereka berelasi yang sudah baik, jangan diubah tetap pertahankan.
GS : Tetapi ada hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan, bahkan oleh suami istri yaitu tentang uang. Bagaimana si istri bisa menjaga perasaan suaminya di dalam membiarakan tentang masalah uang ?
PG : Memang kalau istri sudah lebih berhasil, gajinya bertambah, bisa-bisa si istri takut bicara soal uang karena takut dituduh mau menonjolkan diri bahwa penghasilannya sekarang di atas si suai.
Jadi ada istri gara-gara naik tingkat akhirnya susah untuk bicara masalah uang kepada suaminya. Justru saya mau mengatakan agar jangan takut untuk membicarakan soal uang. Misalnya bila memang harus dilakukan pembahasan tentang pemakaian atau penyimpanan uang, maka lakukanlah. Jadi jangan takut berkata kepada suami,"Saya kira tidak bijaksana beli ini karena kita sudah ada, untuk apa beli lagi" jangan takut waktu suami berkata,"Kamu ini karena gara-gara sudah ada uang, melarang saya beli barang dan sebagainya" kalau kita memang sudah biasa membicarakan ini seperti apa adanya dan memang tidak bijaksana untuk membeli ini dan itu, maka katakan. Jangan karena si istri berpenghasilan lebih besar, kemudian istri takut menyinggung perasaan si suami. Jadi yang terpenting adalah bersikap biasa dan sedapatnya sama seperti dulu. Kalau misalnya dulu biasa membahas hal-hal keuangan sebulan sekali setelah terima gaji maka lakukanlah sebulan sekali. Jika kita ini biasa membeli barang dan bersama-sama mendiskusikannya terlebih dahulu, maka lakukanlah hal yang sama. Dan terpenting sebagai istri jangan membesar-besarkan perihal kenaikan penghasilan atau kedudukan,"Saya sekarang jadi apa dan gaji saya seberapa", dan apalagi jangan sebut-sebut gaji si suami tapi tentang memakai uang dengan bijaksana jangan sampai kita takut untuk membicarakannya.
GS : Apakah perlu bagi istri ketika mendapat penawaran untuk peningkatan jabatan atau promosi, dia membicarakan dulu dengan suami sebagai kepala keluarga ?
PG : Sebelum menerima promosi maka sebaiknya istri merundingkannya terlebih dahulu dengan suami. Jadi bicarakan dampaknya pada tugas dan kewajibannya di rumah dan mengurus anak, tanyakan pendapt suami, beri waktu kepadanya untuk memertimbangkan hal ini.
Yang penting adalah jangan memaksa suami untuk cepat mengiyakan permintaan ini. Keterlibatan suami dalam pengambilan keputusan setidaknya akan membuat dia merasa berandil dalam proses ini dan akhirnya lebih siap untuk menanggung konsekuensinya.
GS : Tapi kalau si istri menghendaki atau menginginkan promosi itu, tentu pembicaraannya itu diarahkan supaya suaminya menyetujui permintaannya.
PG : Saya kira itu masuk akal dan manusiawi. Tapi sekali lagi di sini diperlukan kesensitifan dari pihak istri. Jadi jangan sampai istri terlalu memaksakan karena kalau dia memaksakan dan suamiya tidak setuju maka pada akhirnya si istri tidak memunyai damai sejahtera melakukan pekerjaannya, mungkin kalau dia pulang ke rumah, suaminya sudah menunggu dengan muka masam dan nanti akan terjadi konflik, maka untuk apa kalau semua ini harus terjadi.
GS : Ini bukan hanya mengenai promosi itu langsung, ada kadang-kadang di beberapa instansi, sebelum seseorang itu mendapat promosi, dia harus menjalani pendidikan terlebih dahulu. Dan masa pendidikan ini berarti dia harus meninggalkan rumahnya karena kemungkinan dia dikirim ke luar kota, ini juga harus dibicarakan dengan suami, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi kalau suaminya merasa keberatan, maka ini perlu diskusi dan rasa percaya bahwa si suami sebetulnya ingin istrinya naik pangkat, tapi mungkin dia merasa berat sekarang ini karen dia juga ada tugas.
Jadi mesti dibicarakan dengan rasa percaya yang tinggi bahwa tidak ada ambisi pribadi atau tidak ada niat untuk menyenangkan hati sendiri.
GS : Bagaimana halnya kalau si suami mau menerima dan dia sudah sanggup untuk melakukan tugas-tugas istrinya di rumah, apa yang harus dilakukan oleh si istri, Pak Paul ?
PG : Sering-seringlah kepada suami memberi penghargaan karena sekarang suami yang harus memikul beban keluarga, dan jangan berkata kepadanya,"Memang sudah semestinya kamu menanggung beban keluaga".
Hargailah dan berterima kasihlah atas kesediaannya mendukung istri sejauh ini.
GS : Itu bentuk penghargaannya lewat pujian, atau ada yang lain, Pak Paul ?
PG : Saya kira lewat pujian atau perkataan itu yang penting, jadi benar-benar utarakan dengan tulus dan katakan itu, misalnya istrinya pulang di malam hari dan anak–anak sudah beres semua, istr jangan hanya pulang dan diam saja tapi sering-seringlah berkata,"Terima kasih kamu telah mengurus anak dan maaf saya pulang malam".
Jadi dengan kata-kata seperti itu terobatilah pengorbanan si suami.
GS : Apakah hal itu menunjukkan bahwa si istri ini mengerti bahwa keluarga itu adalah sesuatu yang terpenting dalam hidup pernikahan mereka ?
PG : Tepat sekali. Jadi waktu si suami mendengar perkataan istri seperti itu, sebenarnya si suami melihat dengan jelas bahwa bagi istrinya, keluarga atau dirinya menempati porsi atau prioritas ang atas.
Sehingga kalau sampai terjadi masalah dalam keluarga yang menuntut pengorbanan istri untuk mengurangi atau bahkan melepaskan pekerjaan, istri juga siap untuk melakukannya. Inilah kesiapan yang harus dikomunikasikan sejak awal."Saya akan coba dan lakukan ini tapi kalau misalnya berdampak buruk bagi keluarga, maka saya siap untuk turun pangkat melepaskan jabatan ini dan tidak apa-apa".
GS : Hal itu yang sebenarnya bisa mencegah suami untuk melakukan perbuatan tercela yang tidak disukai oleh istri.
PG : Betul sekali. Jadi waktu si suami itu melihat istri menempatkan keluarga begitu tinggi maka dia lebih terdorong untuk menghormati rumah tangga ini dan juga menghormati istrinya.
GS : Tapi ada juga sebagian suami yang kalau istrinya meningkat jabatan atau kariernya lalu disalah gunakan, artinya dia memanfaatkan keadaan itu sehingga istrinya seperti ‘sapi perah’ saja.
PG : Ada yang begitu. Jadi ada suami yang mulai memanfaatkan istrinya. Misalnya dia minta istrinya belikan dia ini dan itu, atau untuk memberi uang kepada teman dan sebagainya. Kalau istri meliat ini pemanfaatan, maka tolaklah dan jangan ragu untuk menolak serta jangan ragu dituduh istri tidak mendukung suami atau menghina suami.
Jadi sekali lagi kita harus berani menolaknya, tapi hal ini hanya boleh dilakukan bila memang terlihat jelas suami telah berubah malas dan malah memanfaatkan istri untuk memenuhi kebutuhannya. Kadang sikap tegas adalah cara yang dibutuhkan untuk menyadarkan suami dari perbuatannya yang tidak terpuji.
GS : Si istri seringkali ragu untuk melakukan ketegasan seperti itu karena ada perasaan bersalah di dalam dirinya,"kenapa dia harus bekerja sekeras itu". Jadi ada kebimbangan di dalam diri istri, mana yang harus ditempuh, di satu sisi menginginkan pekerjaan itu, tapi di sisi lain dia tidak berani tegas kepada suaminya.
PG : Sudah tentu kita harus melihat suatu pola sebelum menolak. Misalnya suami minta uang untuk memulai sebuah usaha, kalau ini pertama kali dan perencanaannya baik dan istri juga bisa terlibatdalam proses ini maka tidak masalah, karena istrinya yang memang memunyai uang.
Tapi misalkan ini menjadi sebuah pola yaitu usaha ini gagal, usaha itu gagal tapi terus menerus meminta istri yang menyediakan uang untuk itu, berarti ini adalah sebuah karakter yang tidak baik, yang mau memanfaatkan istri dan tidak peduli nanti gagal atau bangkrut karena ini uang istri. Sikap seperti itu tidak dibenarkan, jadi saya anjurkan kepada istri, kalau itu yang terjadi maka harus bersikap tegas dan berkata,"Tidak, saya tidak bisa memberikan uang ini karena saya harus memikirkan kepentingan keluarga karena kita sudah memiliki anak dan kita harus memikirkan masa depannya, saya tidak mau uang ini dihabiskan untuk hal seperti itu". Suami pasti marah akan berkata,"Ini untuk kepentingan keluarga" tapi kalau ini sudah terjadi berkali-kali berarti ini adalah pola yang tidak sehat.
GS : Karena kalau nanti dibiarkan maka akan terjadi seperti tadi yaitu istri merasa sebagai ‘sapi perahan’ saja.
PG : Betul. Jadi hanya untuk kepentingan si suami supaya suami di luar terlihat bagus, naik mobil bagus, ada kedudukan, ada kantor dan sebagainya, padahalnya semua adalah kosong dan semuanya adlah uang dari si istri.
GS : Dengan si istri sering tidak di rumah, itu membuka peluang yang besar bagi si suami melakukan dosa misalnya saja dosa seksual. Kalau seandainya si istri itu akhirnya bisa membuktikan atau menemukan sendiri bahwa suaminya melakukan perbuatan hal yang seperti itu, kalau dia hanya marah-marah maka tidak akan menyelesaikan masalah. Lalu apa yang harus dilakukan oleh istri itu, Pak Paul ?
PG : Jika akhirnya suami terlibat perilaku berdosa karena istri jarang di rumah maka ajaklah suami untuk menjalani bimbingan atau konseling, agar rumah tangga dipulihkan kembali. Sekali lagi olh karena keluarga menempati prioritas atas maka istri harus mengkomunikasikan kesiapan untuk mengurangi dan melepaskan pekerjaan demi keselamatan keluarga.
Jadi misalkan dia sadar karena dia sering pergi maka akhirnya suaminya banyak waktu dan jatuh ke dalam dosa, maka demi kepentingan keluarga silakan kurangi jam kerja atau bahkan lepaskan jabatan itu. Kita ingat firman Tuhan yang berkata di Matius 6:33,"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu".
GS : Apakah istri tidak merasa bersalah karena dia bekerja begitu keras sehingga suaminya terabaikan dan melakukan dosa itu, sehingga ketika si suami diajak untuk ke konselor, biasanya suaminya menolak,"Ini bukan salahku tapi ini gara-gara kamu".
PG : Bisa. Jadi pada umumnya suami tidak begitu senang mencari bantuan dari pihak luar, tapi kalau memang si suami ini serius mau mengubah hidupnya, bertobat maka dia harus menjalani bimbingan ni supaya nanti mereka berdua bisa menyelesaikan masalah keluarga.
Jadi yang penting adalah dari pihak istri juga ada kesiapan untuk mengorbankan semua ini demi keutuhan keluarga. Sebab sekali lagi, untuk apa kita memeroleh uang kalau nanti keluarga kita hancur. Firman Tuhan dengan tegas tadi meminta kita mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepada kita.
GS : Nasehat Tuhan Yesus pasti sesuatu yang sangat bermanfaat. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan. Dan para pendengar sekalian terimakasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang"Dampak Keberhasilan Istri pada Suami". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.