Bencana Alam 2

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T205B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Lanjutan dari T205A

Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

T 205 a+b "Bencana Alam" (I dan II) oleh Pdt. Paul Gunadi

Sebagaimana kita ketahui beberapa tahun terakhir ini, bencana alam susul-menyusul menghujam bumi Nusantara. Selain merenggut materi dan nyawa, sesungguhnya bencana alam memberi dampak mendalam pada korbannya. Berikut ini kita akan melihat dampak bencana pada manusia dan reaksi yang ditimbulkan pada diri korban. Setelah itu kita akan melihat upaya pemulihan yang diperlukan.

Elizabeth Kubler Ross memaparkan rangkaian reaksi yang tercetus tatkala kita menghadapi krisis. Karena bencana alam masuk dalam kategori krisis, maka saya kira pada tempatnya bila kita menerapkan rangkaian reaksi ini pada korban bencana alam.

Reaksi 1: Penyangkalan
Reaksi awal adalah ketidakpercayaan, bukan pada fakta bahwa bencana telah terjadi melainkan pada kehilangan yang ditimbulkannya, misalnya kehilangan kerabat, tempat tinggal, dan lainnya. Secara rasional kita tahu bahwa mereka telah tiada namun kita masih belum sepenuhnya menyadari bahwa mereka tidak ada untuk selamanya. Kita berharap bahwa esok tatkala kita terbangun dari tidur, mereka semua akan kembali ada sebab apa yang terjadi seakan-akan hanyalah mimpi buruk belaka. Pada tahap awal ini, kita seakan-akan berada di persimpangan antara mimpi dan kenyataan.

Reaksi 2: Kemarahan
Hari-hari selanjutnya kita benar-benar disadarkan bahwa mereka telah tiada dan bahwa ini bukanlah mimpi melainkan kenyataan. Pada umumnya kita marah kepada Tuhan yang kita anggap bertanggung jawab penuh atas semua kehilangan ini. Namun kemarahan ini dapat pula dilimpahkan kepada manusia-pihak yang kita anggap bertanggung jawab atas musibah ini. Itu sebabnya fase atau reaksi marah ini dapat berlarut dan meluas bila unsur peran kesalahan manusianya besar.

Kemarahan juga dapat memburuk tatkala kita mulai membandingkan diri dengan orang di sekitar. Jika kebetulan ada tetangga atau kenalan yang tidak mengalami kehilangan, di satu pihak kita bersyukur untuk mereka namun di pihak lain, kita makin dibuat marah karena merasa bahwa Tuhan atau hidup ini sungguh tidak adil. Itu sebabnya penting bagi pihak penolong atau siapa pun yang terlibat untuk memberikan perlakuan yang adil kepada korban. Ketidaksamaan perlakuan akan cepat menyulut kemarahan.

Makin susah dan berat penderitaan hidup setelah bencana berlalu, makin mudah terpancing kemarahan kita. Hidup dalam penampungan dapat menyuburkan kemarahan tetapi dapat pula mengurangi kemarahan. Menyuburkan kemarahan akibat keterbatasan yang harus kita lewati dan kesusahan yang kita tanggung hari lepas hari. Namun hidup dalam penampungan juga dapat mengurangi kemarahan akibat adanya kesamaan nasib. Bagaimanapun rasa sepenanggungan memberi kekuatan sebab kita tidak merasa sendirian menanggung derita. Itu sebabnya penting sekali dalam masa transisi, kesatuan dan rasa sepenanggungan terus dibangun.

Reaksi 3: Tawar menawar
Pada tahap ini kita mencoba tawar menawar dengan Tuhan agar dibebaskan dari penderitaan. Di dalam penampungan dan masa transisi, banyak waktu yang tersisa untuk merenungkan kehilangan. Pada momen seperti inilah biasanya kita memohon kepada Tuhan agar kita diberkati supaya cepat bangkit dari keterpurukan. Kita mulai mengembangkan pengharapan bahwa penderitaan ini segera berlalu dan pertolongan akan datang dengan segera. Penting bagi konselor untuk memandu korban untuk tetap realistik dalam berharap. Ada kecenderungan pada tahap ini kita terlalu berpikir terlalu sederhana dan tidak realistik; perlu bantuan agar korban dapat merencanakan hidup secara realistik berdasarkan apa yang ada, bukan apa yang diharapkan.

Reaksi 4: Putus asa
Tanpa perencanaan dan dukungan yang kuat, korban dengan mudah meluncur ke lembah depresi. Pada tahap ini, korban sungguh-sungguh menyadari kehilangannya dan mengalami dampak kehilangan. Misalnya, tidak ada lagi istri untuk diajak bercengkerama; tidak ada lagi suami yang dapat mencari nafkah; tidak ada lagi anak yang bisa dipeluk sayang; tidak ada lagi rumah untuk kita pulang. Kesadaran ini memukul korban dan berpotensi membuatnya kehilangan harapan dan semangat. Jika upaya bangkit atau proses penyaluran bantuan berjalan lamban, ini juga akan menambah beratnya penderitaan dan keputusasaan. Dalam kondisi rentan, korban bisa tergoda untuk mengakhiri hidup karena merasa tidak sanggup mengubah nasibnya.

Sebagaimana telah disinggung di atas, hidup dalam penampungan bersama teman senasib bisa berakibat positif karena adanya faktor sepenanggungan dan saling dukung. Namun hidup bersama dengan teman senasib juga bisa menimbulkan efek domino yang negatif. Tatkala satu putus asa, yang lain dapat turut putus asa. Hilangnya pengharapan dan semangat juang menulari satu sama lain; pemikiran negatif akhirnya makin menguat akibat pengaruh dari satu sama lain.

Itu sebabnya penting bagi penolong untuk hadir dalam jumlah yang relatif banyak sehingga kehadirannya bukan saja menambah semarak hidup tetapi juga memberi pengaruh kuat untuk tetap mempertahankan semangat dan pengharapan. Bilamana pemikiran negatif atau keputusasaan mulai menyebar, jumlah penolong yang relatif banyak akan dapat menetralisirnya.

Reaksi 5: Menerima dan bangkit
Dengan kesadaran penuh menerima semua kehilangan dan dengan realistik menyusun langkah untuk membangun kembali hidup. Pada fase ini, korban sudah berhasil berdamai dengan sumber kemarahannya dan menerima keterbatasan hidup akibat kehilangan yang dialami. Sekali lagi, dukungan moral dan moril sangat diperlukan pada tahap ini. Perlu pula pengarahan untuk memikirkan cara mengisi kehilangan dan merajut kembali kehidupan yang terputus. Kuncinya terletak pada kesediaan memulai dengan apa yang tersisa dan kejelasan masa depan, setidaknya untuk suatu jangka pendek misalnya setahun di muka. Makin tidak menentu masa depan, makin menyulitkan korban untuk bangkit.

Firman Tuhan : Sembuhkanlah aku, ya Tuhan, maka aku akan sembuh; selamatkanlah aku, maka aku akan selamat; sebab Engkaulah kepujianku! (Yeremia 17:14)