T 205 A
Lengkap
"Bencana Alam (I)" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Bencana Alam". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, yang namanya bencana alam memang suatu kejadian yang sulit diperkirakan, sekalipun dengan peralatan yang canggih tapi tetap saja bencana alam ini terjadi dan korbannya bisa menimpa kita manusia. Apalagi akhir-akhir ini kita melihat di mana-mana, bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh belahan dunia ini, bencana alam terjadi dengan begitu dahsyat baik itu gempa bumi, angin topan, banjir, gelombang tsunami. Nah sebenarnya bagaimana kita harus menyikapinya?
PG : Pertama kita harus menyadari dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam itu pada diri korban, karena sebetulnya ada hal-hal yang dialami oleh para korban itu. Dengan kita menyadarinya kitadapat menolong mereka dengan lebih tepat.
Untuk menolong kita perlu melihat reaksinya, saya akan menggunakan teori yang dipaparkan oleh Elizabeth Kubler Ross, yang dikenal sebagai pakar dalam hal menghadapi krisis kehilangan. Berdasarkan teori beliau itu saya akan mencoba untuk meneropong reaksi para korban tatkala menghadapi krisis. Yang pertama adalah pada waktu bencana itu datang biasanya merenggut kepemilikan kita, misalkan harta benda kita, rumah; bisa juga merenggut nyawa orang-orang yang kita kasihi dan orang-orang yang dekat dengan kita. Reaksi pertama pada waktu itu terjadi kita seolah-olah tidak percaya bahwa ini telah terjadi, bahwa kehilangan telah terjadi, orang yang ada di dekat kita sekarang tidak ada lagi, kita seolah-olah masih berada dalam masa transisi antara kenyataan dan mimpi. Kita masih beranggapan bahwa ini adalah mimpi buruk, bahwa besok setelah saya bangun tidur saya akan mendapatkan semuanya masih tetap sama seperti biasa. Inilah tahap yang disebut oleh Kubler Ross sebagai tahap penyangkalan, kita masih belum benar-benar bisa mengakui, menerima fakta bahwa ini sungguh-sungguh telah terjadi; yang telah tiada itu tidak akan kembali lagi.
GS : Tetapi penyangkalan yang dialami oleh orang yang secara tiba-tiba menderita karena bencana alam, apakah itu bukan salah satu bentuk pertahanan diri orang itu?
PG : Betul Pak Gunawan, ini adalah reaksi untuk mempersiapkan diri masuk ke dalam kenyataan yang memang sangat buruk itu. Kita tidak bisa langsung masuk terjun ke dalam kenyataan yang begitu mnyakitkan, kita perlu langkah-langkah transisi untuk memasuki alam kenyataan yang begitu buruk.
Maka secara tidak sadar kita membentuk pertahanan untuk melindungi diri kita dari keterpukulan yang terlalu dasyat. Langkah pertama sudah disebutkan di atas yakni dengan penyangkalan, seolah-olah dengan menyangkal kita sedang memisahkan atau memberi jarak antara diri kita dan bencana yang telah terjadi atau kehilangan yang baru saja kita alami.
GS : Tapi biasanya orang-orang di sekeliling itu mau menyadarkan dia bahwa ini bukan mimpi, bahwa ini suatu fakta Pak Paul?
PG : Saya kira itu reaksi yang seharusnya dibiarkan untuk sementara. Sebab para korban ini memerlukan waktu untuk sampai pada sebuah pengakuan bahwa sungguh-sungguh kehilangan itu telah terjadi. Penyangkalan di sini bukan penyangkalan terhadap peristiwanya sebab waktu banjir atau gempa terjadi, waktu tsunami menyerang, itu adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Jadi yang saya maksud dengan penyangkalan adalah bukan penyangkalan terhadap peristiwanya tetapi penyangkalan terhadap kehilangan yang kita alami, bahwa suami, istri atau anak atau kerabat kita itu tidak ada lagi dan tidak akan ada lagi bersama dengan kita, kita masih tetap berharap ini semua tidak terjadi. Namun biasanya penyangkalan ini umumnya tidak berlarut-larut, mungkin hanya berlangsung sekitar 2, 3 hari. Tapi apakah ada orang yang terus-menerus masuk ke dalam penyangkalan? Ada, dalam kategori itu kita katakan si orang tersebut hidup dalam alam tidak nyata, dalam halusinasinya. Dia akhirnya mengalami gangguan jiwa. Jadi ada orang-orang yang akhirnya tidak mau menerima fakta itu, terus berkata bahwa anaknya masih ada, bahwa ibunya masih hidup dan dia akan terus mencarinya. Diajak orang berbicara tidak mau menjawab tetap berkata, "semuanya masih ada, baru saja saya lihat anak saya di sini." Nah kalau itu sudah terjadi berarti si korban telah menyeberang dari alam yang nyata ke alam yang tidak nyata, dari alam yang rasional ke alam yang irrasional. Berarti memang memasuki gangguan jiwa yang lebih serius.
GS : Tetapi ada juga sebagian yang menggunakan istilah berharap, dia belum terlalu yakin karena belum melihat jenazahnya, dan mengatakan, suatu saat dia pasti ke sini untuk menemui saya lagi.
PG : Kalau itu tidak apa-apa sebab saya kira pengharapan itu positif dan baik karena pengharapan itu memberikan dia kekuatan untuk bertahan. Mungkin dalam masa-masa mendatang dia akan anjlok, ungkin dia akan putus asa.
Nah pada waktu dia mengalami perasaan yang ambruk itu dia diingatkan bahwa masih ada anaknya atau ibunya, nah dia harus bertahan, dia harus mencarinya, itu akan memberikan dia kekuatan. Jadi pengharapan tidak apa-apa, yang perlu kita waspadai adalah kalau orang tersebut bukan saja mengatakan bahwa orang ini tidak ada tapi malahan dia berkata orang ini masih ada dan tadi berbicara dengan dia, itu yang perlu kita waspadai. Sebab kalau itu yang terjadi berarti dia sudah mengalami gangguan jiwa. Mungkin Pak Gunawan pernah mendengar bahwa ada sebagian korban yang seperti itu, yang tidak bisa menerima fakta akhirnya benar-benar memasuki kategori gangguan jiwa. Waktu ditanya berbicara dengan siapa, dia menjawab bahwa dia berbicara dengan anaknya padahal tidak ada yang melihat anaknya. Nah itu adalah suatu bukti bahwa daya tahannya tidak lagi sanggup menanggung derita ini akhirnya dia ambruk dan mengalami gangguan jiwa.
GS : Jadi reaksi penyangkalan ini sifatnya spontan dari seseorang yang mengalami bencana alam ini?
PG : Biasanya itu spontan, jadi secara alamiah memang selalu akan ada pertanyaan apakah ini sungguh-sungguh terjadi, apakah ini bukan mimpi buruk saja. Namun biasanya hanya berlangsung sekitar2, 3 hari setelah itu dia akan menerima fakta bahwa memang tidak ada lagi orang-orang yang dikasihinya itu.
GS : Apakah itu juga terjadi dalam diri anak-anak, Pak Paul?
PG : Sudah tentu kalau anak itu masih sangat kecil misalnya di bawah usia 5 tahun, memang anak-anak kecil itu belum mempunyai pengertian yang dalam dan yang sangat tepat tentang kematian. Jadiwaktu kita katakan bahwa ibunya tidak ada lagi, ibu sudah pergi dan sebagainya dia memang belum memahami bahwa ibunya itu pergi untuk selama-lamanya.
Sebab konsep kematian anak kecil masih sangat sederhana dibandingkan dengan pengertian kita orang dewasa. Tapi ketika anak itu sudah lebih besar seharusnya dia akan lebih mengerti bahwa orangtuanya tidak ada lagi. Nah pada usia yang lebih besar itulah si anak berpotensi atau biasanya memasuki tahap penyangkalan ini juga. Dia akan tetap berkata, "O....ini mungkin mimpi buruk, besok saya bangun semua akan kembali seperti biasa." Kalau anak usia di bawah 5 tahun lain lagi, dia akan menangis mencari mamanya, besoknya dia bangun nangis lagi mencari mamanya, ini bukannya penyangkalan. Karena anak usia itu belum mengerti tentang kematian dia hanya merasakan kehilangan dan dia terus mencari orangtuanya.
GS : Pak Paul katakan bahwa proses penyangkalan ini bisa terjadi 2, 3 hari, nah setelah itu apa yang terjadi dengan orang itu?
PG : Elizabeth Kubler Ross mengatakan bahwa tahap berikutnya setelah orang itu benar-benar menyadari telah terjadi kehilangan dia akan marah, karena itu reaksi alamiah manusia. Sesuatu yang sagat berarti darinya kemudian direnggut, tidak ada lagi pada dirinya reaksinya adalah kemarahan.
Biasanya orang akan marah kepada Tuhan, sebab bencana alam benar-benar sebuah bencana yang tidak bisa dikerjakan oleh manusia sehingga pada akhirnya kita menuntut Tuhan bertanggung jawab, (jadi kita harus garis bawahi konsep ini bertanggung jawab). Kita menuntut Tuhan karena kita menganggap Tuhan bertanggung jawab, bertanggung jawab atas bencana ini, Dia bisa menghentikannya tapi Dia tidak menghentikannya. Kita langsung mengaitkannya dengan kasih Tuhan; kalau Tuhan mengasihi saya kenapa Tuhan membiarkan ini terjadi, kalau Tuhan benar-benar peduli dengan saya mengapakah Dia tidak melindungi keluarga saya. Mungkin kita akan berkata, "Bukankah setiap malam saya berdoa, setiap saat berdoa; bukankah saya telah hidup seturut kehendak Tuhan, bukankah saya telah menjaga kesalehan saya tapi Tuhan kok membiarkan bencana ini terjadi pada diri saya." Akhirnya dia marah. Mungkin terungkapkan dengan verbal atau dengan langsung tapi mungkin juga kita tidak mengucapkan secara langsung tapi dalam hati kita marah kepada Tuhan. Kita menyalahkan Tuhan karena Dia tidak melindungi kita dari bencana ini.
GS : Kemarahan kepada Tuhan itu apakah bisa membuat seseorang itu meninggalkan imannya?
PG : Bisa, jadi ada orang-orang karena kehilangan yang sangat-sangat besar dan marah kepada Tuhan, menganggap Tuhan kok tega akhirnya mengalami kepahitan dan meninggalkan Tuhan. Mungkin orang ni akan berkata, "Kalau Tuhan tidak peduli dengan saya mengapakah saya harus mempedulikan Tuhan."
Jadi dalam kekecewaan yang sangat dalam, manusia akhirnya bisa meninggalkan Tuhan. Tapi kemarahan ini bukan hanya terhadap Tuhan, ini yang harus kita sadari; kadang-kadang korban bencana mulai membandingkan diri dengan sesamanya, nah waktu dia mulai membandingkan diri dengan sesamanya, dia terus melihat, "Kenapa tetangga saya hanya kehilangan rumah, tapi anak-anaknya semuanya utuh tidak ada yang hilang sementara saya kehilangan rumah, kehilangan ayah, kehilangan ibu, kehilangan anak dan sebagainya." Kalau kita mengalami kehilangan yang sama, itu akan lebih mudah pada waktu kita menerimanya. Pada waktu kita mengalami kehilangan, tapi tidak sama dan dalam penilaian kita kehilangan kita lebih besar itu lebih memperparah kehilangan. Kita makin marah karena bukan saja Tuhan itu tidak melindungi saya tapi sekarang kita tambahkan lagi dengan satu tuduhan Tuhan itu tidak adil. Tidak adil karena mengapakah orang ini tidak mengalami kehilangan sebesar saya tapi saya harus mengalami kehilangan seperti ini. Apalagi kalau kita merasa kita telah sungguh-sungguh hidup dalam Tuhan, dan tetangga kita misalkan tidak terlalu dekat hidup dengan Tuhan. Itu benar-benar bisa membuat kita bertambah marah.
GS : Ada orang yang juga marah terhadap dirinya sendiri, seolah-olah dia tidak bisa menolong keluarganya yang sedang ditimpa bencana itu, kenapa dia sendiri yang selamat sedangkan anak atau istrinya tidak selamat.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi adakalanya para korban ini marah terhadap diri sendiri, karena itu dia menyalahkan diri yang tidak berdaya untuk menolong. Ada yang misalkan sudah menggenggam anakya, kemudian anaknya terlepas dari tangannya; ada yang sudah berhasil membawa keluarganya ke tempat yang lebih tinggi tapi kemudian ada salah satu anggota keluarganya berkata, saya mau turun sebentar mau ambil apa dan dia tidak melarang, akhirnya dia benar-benar hilang.
Nah hal seperti ini bisa membuat si korban menyalahkan dirinya, "kenapa saya tadi tidak melarang dia pergi, kenapa saya tidak mencegahnya untuk ke sana. Kalau saja sejak tadi saya mencegahnya maka dia tidak akan pergi dan dia akan diselamatkan." Ini adalah reaksi yang alamiah, reaksi manusiawi; kita seolah-olah beranggapan bisa berbuat sesuatu untuk mengubah nasib, untuk mengubah apa yang telah terjadi. Dan untuk menyadari bahwa kita tidak bisa dan gagal mengubahnya kita menimpakan kesalahan pada diri kita. Susah sekali orang berkata ini memang harus terjadi dan saya tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Kita terus menyalahkan dan marah terhadap diri sendiri dan sudah tentu ini akan memperparah dan membuat proses kita keluar dari kemarahan ini makin sulit. Kemarahan juga bisa bertambah buruk kalau penderitaan hidup kita terus berkepanjangan. Kita terus hidup dalam penampungan, tidak ada air bersih, makanan juga tidak bisa didapat setiap kali; kalau kita tahu kapan akan keluar dari penampungan, kalau kita tahu kapan kita bisa kembali ke tempat tinggal kita, ke daerah kita itu akan menolong. Masalahnya dalam masa-masa transisi ini sering kali kita tidak bisa menentukan dengan pasti kapan kita akan pulang dan sebagainya. Akhirnya kita bisa tambah marah. Jadi penderitaan yang menyusul setelah kehilangan itu berpotensi besar menambah kemarahan-kemarahan kita. Kita juga bisa merasa bahwa ini tidak benar, Tuhan sudah membiarkan saya kehilangan begini besar sekarang di penampungan saya harus menderita dan terus-menerus menderita tidak ada pertolongan. Nah itu akhirnya menambah buruk kemarahan kita.
GS : Dan itu sering kali karena mereka merasa sama-sama marah di dalam penampungan itu bisa menjadi kekuatan yang sangat besar sekali.
PG : Pada saat-saat ini kalau kita memang tim penyelamat, kita adalah penyelenggara atau kita yang ditugaskan mengurus mereka, diperlukan sekali kesensitifan untuk menolong mereka, perlu sekalipengertian yang dalam juga untuk menolong mereka.
Karena pada fase ini mereka mudah sekali beremosi tinggi, bisa saling berkelahi misalnya meributkan air, nah suasana bisa sangat panas sekali. Jadi hidup bersama dalam penampungan mempunyai efek positif sekaligus negatif. Yang tadi Pak Gunawan munculkan adalah efek negatifnya, dimana akhirnya kemarahan-kemarahan itu bisa tambah memanaskan situasi. Dan sering kali kita dipengaruhi lingkungan, kalau rekan-rekan di sekitar kita marah-marah kita ikut terbawa marah, sedikit-sedikit kita ikut marah. Jadi akhirnya satu orang marah membuat tiga orang ikut marah, 3 orang marah membuat 6 orang ikut marah, terus dan akhirnya bisa satu tempat penampungan panas, situasinya menjadi tegang karena banyak kemarahan. Sekali lagi kemarahan akhirnya bisa berkembang biak saling menularkan kemarahan, tapi kalau di dalam penampungan kita bisa menolong dan mengarahkan mereka dengan tepat, memberikan pengertian, perlakuan yang baik kepada mereka semua, itu justru menjadi aset; mereka bisa saling menopang satu sama lain sehingga kemarahan bisa surut. Itu adalah salah satu efek positifnya, efek positif yang lain adalah tatkala kita bersama-sama dengan orang yang senasib dengan kita, penderitaan memang akan lebih dapat ditanggung. Kita tidak sendirian bahwa kita hanyalah sebagian kecil dari sejumlah orang yang mengalami penderitaan yang sama, ini akan memberikan kekuatan kepada kita.
GS : Tapi biasanya orang yang mengalami bencana seperti itu, bukankah mereka menuntut untuk dikasihi, menuntut untuk diperhatikan pada hal petugas jumlahnya sedikit sekali sehingga mereka marah-marah pada sistem, pada pemerintah dan sebagainya karena bantuan terlambat, petugasnya sedikit nah ini bagaimana Pak Paul?
PG : Pada umumnya dalam penyelenggaraan pertolongan pasti ada ketidaksempurnaan di mana pun. Contohnya adalah bencana alam Katrina di New Orleans di Amerika. Kita tahu Amerika menolong korbankorban bencana di banyak negara, nah waktu terjadi Katrina di New Orleans, itu menimbulkan keluhan dan kritikan yang sangat banyak dari rakyat.
Kenapa, sebab mereka mengatakan sangat lambat, mengapakah Amerika bisa menolong negara-negara lain dengan lebih cepat-menolong warganya sendiri lambat. Sudah tentu pihak yang dikritik berkata, kami telah melakukan dengan semaksimal mungkin, ini bencana skala besar tidak bisa ditolong sekaligus, perlu persiapan dan sebagainya. Jadi mereka mencoba untuk memberikan penjelasan bahwa ini bukan sesuatu hal yang mudah dilakukan.
GS : Jadi betul segala upaya untuk menolong akan tidak sempurna dan akan berpotensi menyulut kemarahan orang. Apa yang harus dilakukan, pertama waktu kita menghadapi para korban jangan membenarkan diri. Kita mesti memang memberikan penjelasan-penjelasan tapi jangan membenar-benarkan diri karena itu tidak akan membantu, itu malah membuat orang tambah marah. Kita katakan memang ini tidak sempurna, yang seharusnya dilakukan tidak dilakukan, yang seharusnya sudah datang belum datang, kita akui semua itu, setelah kita akui, kita tidak membela-bela diri. Barulah kita katakan, "tapi sekarang di sini kita bersama, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menopang, dari pada saling menuding, dari pada saling melampiaskan kemarahan kita makin menghancurkan diri kita lebih baik kita saling menopang. Ayo pikirkan apa yang bisa kita lakukan bersama, kita harus bertahan, harus bisa melewati semua ini bersama-sama." Dan kita tekankan kepada mereka bahwa kekuatan kita terletak pada kebersamaan bukan pada tudingan-tudingan. Makin menuding makin tidak ada kebersamaan, makin tidak ada kebersamaan makin tidak ada kekuatan. Jadi kita tekankan bahwa kekuatan ada pada kebersamaan kita. Kita bangkit bersama, kita lewati bersama-sama.
GS : Dalam proses marah seperti itu, janji-janji itu rupanya tidak ada gunanya Pak Paul?
PG : Kalau kita membuat janji yakinlah itu janji yang akan dapat dipenuhi, jangan sampai kita akhirnya membuat janji-janji yang tidak dapat dipenuhi itu akan tambah menyulut kemarahan. Karena rang akan berkata ini janji kosong.
Dan satu kali janji tidak dapat dipenuhi itu akan menurunkan kredibilitas sewaktu janji akan diberikan kedua kalinya. Waktu janji diberikan kedua kalinya kepercayaan orang sudah makin hilang apalagi terulang lagi dan terulang lagi. Nah sewaktu tidak ada lagi kepercayaan berarti kerja sama sudah tidak ada lagi, nah ini akan susah. Karena kalau tidak ada lagi kerja sama akibat tidak adanya kepercayaan, berarti kita susah mengatur mereka. Sedangkan kita tahu dalam masa transisi seperti ini perlu pengaturan; kalau tidak ada keteraturan akan muncul anarki atau kekacauan. Makanya penting sekali pihak penyelamat harus bisa menepati janji, kalau tidak bisa menepati jangan berjanji.
GS : Orang yang sedang marah cenderung menginginkan pihak lain mengalami seperti dia. Misalnya dia kehilangan harta bendanya, dia menginginkan orang lain juga kehilangan harta bendanya seperti dia.
PG : Betul, maka perlu peka bagi pihak penyelamat untuk tidak memberikan kesan terlalu berbeda dengan para korban. Misalnya dalam cara berpakaian, cara hidup, jangan sampai terlalu berbeda ata sangat mencolok karena itu akan sangat-sangat berpotensi untuk menyulut kemarahan.
Sebab para korban akan berkata, "Kami menderita seperti ini ya kalian datang menolong kami, tapi kalian hidup seperti ini." Itu makin membuat mereka marah sebab mereka berkata ini tidak adil. Tidak adil dan tidak sensitif, dan karena mereka melihat tidak sensitif orang-orang mungkin bisa menuduh, "Kalian ini memang hanya ingin mengksploitasi kami, kalian memang melakukan ini tidak dengan sungguh-sungguh, tidak benar-benar mau membantu kami, hanya untuk nama saja dan sebagainya." Ingat para korban dalam fase marah, jadi dalam fase marah ini mesti berhati-hati jangan sampai menambahkan kemarahan itu.
GS : Biasanya proses kemarahan ini bisa berlangsung berapa lama Pak?
PG : Kalau penderitaannya berlangsung lama, kemarahan cenderung untuk bertahan. Kita sudah tahu bahwa kemarahan ini belum tentu terjadi sekaligus pada semua orang. Misalnya dalam satu camp peampungan ada misalnya 1000 orang, bisa jadi yang marah itu bergantian.
Di sektor yang mana satu atau dua orang marah akhirnya melibatkan yang lain-lain. Nanti ini sudah tenang, di sektor yang lain timbul lagi masalah, ada yang marah lagi ada yang bertengkar dan sebagainya. Jadi memang fase ini tidak bisa dikatakan akan selesai dengan mulus, akan muncul lagi, muncul lagi dan muncul lagi.
GS : Dan kesadaran terhadap apa yang disangkali itu tidak bisa sekaligus, barang kali tadinya sadar kemudian marah lagi.
PG : Betul, ini biasanya fase yang sangat lama sebab fase ini susah reda akibat kondisi kehidupan yang memang minim, selama kondisi kehidupan tidak di pihak kita kemarahan itu memang akan mudahmuncul.
Ini fase yang lama, penyangkalan hanya 2, 3 hari tapi fase kemarahan ini bisa sangat lama. Tapi sekali lagi bagaimanakah kita mengekspresikannya tergantung pada masing-masing pribadi. Ada yang memang lebih ekspresif sehingga akhirnya kemarahannya dinyatakan dengan lebih jelas, ada yang bersifat fisik dalam menyatakan kemarahan sehingga akhirnya maunya memukul, berkelahi, tetapi ada juga yang menyimpan tapi ketus bicaranya dan sebagainya. Atau tidak mau kooperatif, tidak mau memenuhi permintaan dan sebagainya, tapi emosinya sama yaitu kemarahan.
GS : Pak Paul ini rupanya kita akan bicara banyak hal tentang bencana alam ini, kita baru berbicara tentang dua reaksi orang terhadap bencana alam yang dialami yaitu tentang penyangkalan dan kemarahan. Rupanya masih ada beberapa poin lagi yang harus kita bicarakan sedangkan waktu kita terbatas sehingga kita harus melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Tapi sekali lagi banyak terima kasih karena perbincangan ini akan menolong banyak orang yang saat-saat ini mengalami banyak penderitaan akibat bencana alam. Sekali lagi terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Bencana Alam" bagian pertama dan kami akan melanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.