Tiga Tantangan yang dihadapi Guru Sekolah Minggu
Rick dan Kathy Hicks, dalam buku mereka, boomers, Xers, and Other Strangers, menjabarkan keempat generasi yang hidup pada abad 20 ini. Mereka yang lahir dalam kurun 1901-1945 mendapat julukan, builders; yang lahir di antara 1946-1964, baby boomers; yang lahir pada periode 1965-1976, Generation X atau Xers; sedangkan yang lahir dalam masa 1977-1997 disebut Net Generation atau N-Geners. Menurut mereka, ternyata setiap generasi memiliki karakteristiknya masing-masing, termasuk dalam soal pernikahan. Generasi builders pada umumnya menikah sekali untuk seumur hidup; boomers kebanyakan menikah kemudian bercerai terus menikah kembali; Xers hidup sebagai orangtua tunggal, baik karena pilihan atau perceraian; sedangkan pola N-Geners belum terlihat berhubung usia mereka yang masih muda.
Meski klasifikasi generasi di Amerika ini belum tentu seratus persen identik dengan pemilahan generasi di Indonesia, namun saya kira, sedikit banyak ada kesamaan di antara keduanya. bukankah mereka yang dilahirkan dan dibesarkan sebelum dan pada masa Perang Dunia II cenderung mempertahankan pernikahan mereka sampai kematian (builders)? bukankah kita mulai mengenal perceraian di kalangan mereka yang sekarang berusia sekitar empatpuluhan ke atas (baby boomers)? Walau saya tidak mempunyai data statistiknya, namun saya bisa memberi kesaksian bahwa cukup banyak dari mereka yang sekarang mencari bantuan konseling pernikahan adalah mereka yang berusia tigapuluhan (Generation-X). Saya kira fenomena di Amerika juga terjadi di Indonesia kendati dalam skala yang mungkin lebih kecil atau lebih tersembunyi.
Saudara sekalian, anak-anak yang Tuhan percayakan kepada Saudara termasuk dalam Net Generation atau Generasi Net. Dari pemberian namanya, kita bisa menduga bahwa generasi anak sekarang ini adalah generasi yang sangat akrab, bukan saja dengan penggunaan komputer, tetapi juga dengan dunia maya yang kita masuki dan jelajahi melalui Internet. Sebagai pembina kerohanian anak, kita mesti memahami lingkup kehidupannya sebab konteks di mana mereka hidup akan dengan pasti mempengaruhi, bukan saja jalan hidup, tetapi juga nilai hidup dan cara pikir mereka. Saya akan mencoba memaparkan tiga ciri Generasi Net ini agar kita bisa mulai mempersiapkan diri memberi didikan yang terarah kepada mereka.
Tantangan Zaman
Pertama, melebihi pendahulu mereka, Generasi Net akan memberi penekanan yang besar pada penampilan lahiriah. Saya mengantisipasi bahwa mereka akan memiliki tiga ketakutan, terutama pada masa remaja mereka, yakni: (a) takut gemuk. (b) takut bodoh. (c) takut miskin.
Gemuk berarti menjadi orang yang tidak menarik dan tidak sehat. Nilai-nilai kehidupan yang sekarang memasuki mereka membentuk pola pikir mereka untuk menjadi orang yang ramping. Tidak ramping, berarti tidak menarik. Mereka juga takut bodoh sebab nilai-nilai di sekitar mereka mengondisi untuk melombakan prestasi akademik mereka. Sejak kecil mereka diarahkan untuk masuk ke sekolah favorit agar mereka kelak menjadi manusia favorit pula. Dengan kata lain, tidak masuk sekolah favorit berarti tidak menjadi anak favorit.
Mereka pun takut miskin karena kemiskinan akan memisahkan mereka dari arus kehidupan sekarang yang sangat bergantung pada kemampuan moneter. Tanpa uang yang cukup, mereka tidak akan mampu membeli barang bermerek dan tanpa barang bermerek, seakan-akan mereka menjadi tidak bermerek pula. Belum pernah suatu generasi dikuasai oleh pentingnya merek seperti Generasi Net ini. Dahulu kala merek ada tetapi hanya untuk jenis barang tertentu dan secara kuantitas, tidak banyak merek yang beredar. Sekarang merek telah melanda hampir setiap jenis barang, dari shampoo, pasta gigi, kain, cat rumah, porselain, kendaraan bermotor dan tidak bermotor seperti sepeda; Saudara sebutkan jenis barangnya, hampir dapat dipastikan akan ada merek terbaiknya.
Beberapa tahun lalu anak-anak hanya dapat memimpikan memiliki hard-disk yang berkapasitas satu giga-bite. Sekarang, dengan mudah mereka mempunyai hard-disk berkapasitas sembilan giga-bite dan permainan yang tersedia makin hari makin canggih pula dan makin membutuhkan kecepatan yang bertambah tinggi dan ruang hard-disk yang bertambah besar. Games yang populer sebulan yang lalu dengan segera menjadi barang kuno yang usang. Untuk tetap mengikuti arus kehidupan, anak-anak Generasi Net harus terus-menerus membeli yang lebih baru dan lebih canggih. Saya ingin menggarisbawahi kata-kata "terus-menerus" dan "lebih" sebab itulah yang terjadi dan telah menjadi motor yang menggerakkan mereka.
Bukan itu saja! Pada setiap jenis barang dapat ditemukan beberapa, bukan hanya satu merek yang melambangkan mutu yang tinggi. Semua ini meminta satu prasyarat yakni uang; tidak heran uang menjadi sangat penting bukan saja untuk memuaskan hasrat pribadi tetapi juga untuk mendapatkan tempat di dalam kehidupan ini. Miskin berarti kehilangan tempat kita mendudukan diri di tengah masyarakat di sekitar kita. Itu sebabnya saya menyimpulkan bahwa Generasi Net akan sangat berorientasi pada penampilan, jauh melampaui generasi-generasi sebelumnya.
Kedua, sebagai perpanjangan dari penekanan yang kuat pada yang lahiriah, Generasi Net akan mengenal Tuhan demi pengenalan itu sendiri, bukan untuk menjadi seperti yang Tuhan kehendaki. Dengan kata lain, Generasi Net akan lebih menitikberatkan pada aspek knowing, lebih daripada doing atau being. Pengetahuan rohani akan menggantikan kehidupan rohani dan kepasifan akan mendominasi, baik ibadah maupun pelayanan.
Mengenal Tuhan akan menjadi proyek yang menggairahkan karena sarat dengan misteri dan memenuhi ruang keingintahuan manusia. Mengenal Tuhan di sini bukan saja dicapai melalui olahan mental tetapi melalui pengalaman. Masalahnya, pengalaman di sini bukanlah pengalaman aktif melainkan pengalaman pasif di mana manusia menjadi pengamat atau penonton yang kegirangan melihat Tuhan bekerja. Yang terhilang adalah melakukan yang Tuhan tuntut dan menjadi seperti yang Ia kehendaki. Yang bertaburan ialah para analis atau pengamat rohani yang pasif tetapi girang.
Pada umumnya gereja akan dipenuhi oleh dua jenis orang Kristen. Jenis pertama adalah mereka yang tertarik pada hal-hal rohani namun terbatas pada kedalaman intelektual belaka. Mereka akan berduyun-duyun menghadiri seminar rohani atau pembinaan iman tetapi berhenti sampai di sana. Kelompok jenis ini tidak terlalu bermotivasi untuk terlibat dalam pelayanan sebab pelayanan menuntut pengorbanan—suatu karakteristik yang akan makin langka di kalangan Generasi Net. Kelompok kedua adalah mereka yang akan rela terlibat dalam pelayanan namun tidak bertumbuh dalam kedalaman dan kekuatan otot iman, berhubung mereka lebih berperan sebagai penonton perbuatan Tuhan yang ajaib.
Kemakmuran yang dinikmati Generasi Net membuat mereka menjadi orang yang kurang berinisiatif dan kurang dipaksa merentangkan otot iman. Hidup yang serba tersedia mencetak mereka menjadi orang yang cukup dan tidak memerlukan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dunia maya dan kecanggihan teknologi komputer telah menciptakan mentalitas pengamat atau analis. Mengenal Tuhan menjadi sesuatu yang dinikmati karena—bak memainkan computer games—penuh tantangan dan rangsangan intelektual. Lebih lanjut, perkembangan e-commerce dan e-mail makin mendorong mereka menjadi orang yang pasif serta tidak sabar dengan yang namanya, proses.
Mengenal Tuhan secara mendalam menuntut proses, baik mental ataupun waktu; tidak ada jalan pintas atau pengkarbitan. Saya khawatir, Generasi Net tidak menoleransi dan tidak mengakomodasi perjalanan proses dalam pertumbuhan rohani mereka. Tanpa proses, mereka menjadi orang rohani yang dangkal. Bagi mereka yang menyukai stimulasi intelektual, mereka akan menjadi analis rohani. Bagi yang tertarik pada pengalaman, akan puas menjadi penonton performa Tuhan dalam hidupnya. Alhasil, gereja akan dipenuhi oleh bonsai-bonsai rohani.
Ketiga, Generasi Net adalah anak-anak yang kurang atau tidak mempunyai idealisme. Mereka dibesarkan di rumah yang jauh dari sempurna; sebagian dari mereka malah bertumbuh hanya dengan satu orang—bukan sepasang—orangtua. Mereka kurang atau tidak memiliki panutan moral yang dapat mereka teladani. Orangtua sering bertengkar atau tidak setia dan akhirnya bercerai. Masyarakat hidup dengan ketidakpastian moral dengan makin menjamurnya kasus korupsi serta ketidakadilan dan hampir tidak adanya balasan hukum yang setimpal. Figur hamba Tuhan yang berbudi luhur tanpa cacat moral dan penuh pengabdian menjadi makin langka dan gereja, yang seharusnya merupakan kumpulan orang berdosa yang berusaha hidup suci telah berubah menjadi kumpulan orang yang disucikan namun hidup penuh dengan dosa.
Generasi Net adalah generasi yang pesimis dan skeptik terhadap kebenaran. Bagi mereka, kebenaran merupakan wacana abstrak nan indah, yang telah kehilangan relevansinya dalam kehidupan konkret. Pembina kerohanian anak akan menghadapi tantangan dalam memotivasi anak melakukan hal yang luhur sebab mereka akan bertanya, "Masih adakah orang yang hidup saleh seperti Tuhan Yesus dan hamba-hamba-Nya? Masih adakah hamba Tuhan yang mengabdikan segenap hidupnya tanpa pamrih? Masih adakah orang Kristen yang tidak mementingkan uang? Masih adakah hamba Tuhan yang rela mati bagi Tuhan?" Pertanyaan yang absah—sangat absah—untuk mendapat jawaban yang jujur dan seadanya. Saya khawatir, kita akan menemukan kesulitan menemukan orang seperti itu. Generasi Net berkata, "Selamat tinggal, Idealisme!"
Respons Kristiani
Saya ingin menawarkan tiga saran untuk menjawab pengaruh zaman Generasi Net ini. Pertama, untuk merespons penekanan yang sangat kuat pada penampilan lahiriah, kita perlu mengembalikan definisi "indah dan buruk" kepada makna aslinya—makna Alkitab. Penampilan indah atau buruk, yang diwujudkan dalam ukuran gemuk-ramping, bodoh-cerdas, dan miskin-kaya, merupakan masalah nilai dan Firman Tuhan telah memberikan garis yang jelas tentang nilai. Tatkala Samuel memandang kakak Daud yang bernama Eliab, Samuel berpikir dialah yang akan diurapi Tuhan untuk menjadi raja Israel menggantikan Saul. Namun, perhatikan komentar Tuhan, "Janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." (I Sam. 16:7)
Pembina kerohanian anak perlu mengingatkan anak bahwa yang Tuhan lihat atau yang Tuhan nilai adalah hati. Jadi, hatilah yang bernilai, bukan penampilan lahiriah. Secara sistematik, kita harus terus menerus mengajarkan bahwa menjaga penampilan, itu bijak, namun mengagungkan penampilan, itu sesat. Sejak kecil anak mesti mendasari harga dirinya bukan atas kecantikan, kepandaian, dan kekayaannya. Anak perlu memiliki perspektif yang tepat tentang hal-hal lahiriah dan tugas kitalah menanamkan nilai-nilai kekal ini ke dalam sanubarinya. Anak harus menyadari bahwa misi hidupnya bukanlah untuk mengesankan manusia, tetapi Tuhan dan Tuhan tidak terpukau oleh kemilau penampilan fisik yang indah.
Kedua, untuk menjegal lajunya konsep mengenal Tuhan yang tidak seimbang, kita harus menggeser penekanan dari knowing (mengetahui), ke being (menjadi). Dengarlah Firman Tuhan tentang masalah "sekadar tahu belaka":
"Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya Pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri."
"Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, Ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah Pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya."(Yakobus 1:22-24)
Mengetahui tanpa perbuatan tidak akan menciptakan manusia kristiani; ia hanya akan mencetak pengamat kekeristenan. Mengetahui tanpa perbuatan hanyalah akan menghasilkan pemikir Kristen, bukan orang yang berpikir kristiani. Mengetahui tanpa perbuatan hanya akan membuahkan ahli kekristenan, bukan orang Kristen. Mengetahui tanpa perbuatan hanya akan menelurkan penguasa Kristen, bukan orang yang dikuasai Kristus.
Alkitab menggambarkan orang yang batal menjadi pelaku Firman adalah orang yang (a) menipu dirinya dan (b) lupa dirinya. Ia menipu dirinya karena ia tahu ia bukanlah seperti Firman yang diketahuinya. Ia lupa dirinya karena pada akhirnya ia kehilangan dirinya. Ia tidak mempunyai identitas yang jelas lagi. Anak-anak Generasi Net dengan mudah dapat terperangkap dalam kedua jebakan ini. Pembina kerohanian anak harus terus mengajarkan anak untuk menjadi pelaku Firman. Melakukan Firman adalah satu-satunya cara untuk mendalamkan iman, bukan ceramah atau seminar.
Ketiga, untuk menumbuhkan kembali idealisme yang luhur itu, tidak bisa tidak, kita harus menjadi idealisme anak. Kita harus menjadi contoh hidup yang dapat disentuh dan dilihatnya; yang dapat dikenang dan dikutipnya. Kita mesti menjadi pahlawan rohani baginya; kita harus menjadi yang langka dan hampir punah itu. Kita harus mengatakan kepada anak didik kita bahwa masih ada orang yang mengabdi tanpa pamrih, yang saleh seperti Tuhan Yesus, dan yang rela mati bagi Tuhan.
Pada waktu Allah menetapkan Yeremia sebagai nabi, ia menolak. Jawabnya,"Ah, Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda." Namun, perhatikan teguran Tuhan: "Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kusampaikan." (Yeremia 1:6-7)
Kita pun mungkin berkata, "Ah Tuhan, saya ini masih guru sekolah Minggu." Kita bukan sekadar guru, kita adalah pembina kerohanian anak yang telah diutus kepada anak-anak itu. Kepada merekalah kita pergi dan di hadapan merekalah kita menjadi kesaksian hidup dan contoh nyata orang Kristen yang dapat mereka idealkan.
Kesimpulan
Pembina kerohanian anak mengemban tugas yang berat melawan arus zaman yang mengalir dengan deras. Tidak ada resep lain kecuali, ajarkan Firman Tuhan dengan setia kepada mereka dan jadilah pelaku Firman yang hidup bagi mereka. Firman Tuhanlah kayu sandaran mereka untuk bertahan melawan arus dan kitalah contoh orang yang terus bertahan melawan arus. Sudah tentu kita pun merupakan mitra sepergumulan dengan mereka; pada waktu yang tepat bagikanlah pergumulan yang kita harus lalui agar mereka pun berkesempatan melihat idealisme yang realistik, idealisme yang dapat mereka gapai dan ikuti. biarlah Firman Tuhan menjadi pegangan mereka dan kita menjadi harapan mereka untuk terus berpegang pada Firman Tuhan. Sebagai penutup, saya ingin membagikan sebuah puisi doa yang ditulis oleh Leslie Pinckney Hill yang melukiskan pergumulan rohani pembina kerohanian anak.
Guru
Tuhan, siapakah aku ini sehingga boleh mengajarkan jalan-Mu hari lepas hari kepada anak-anak-Mu?
bukankah aku pun rawan tersesat?
Aku mengajarkan mereka pengetahuan,
namun aku menyadari
betapa kecilnya cahaya lilin pengetahuanku.
Aku mengajarkan mereka kuasa
untuk berkehendak dan berbuat
tetapi sekarang barulah aku melihat
kelemahan demi kelemahanku.
Aku mengajarkan mereka untuk mengasihi
semua manusia dan semua ciptaan Tuhan
namun aku menyadari
bahwa kasihku masih jauh dari cukup.
Tuhan, jika aku harus tetap menjadi
pemandu bagi mereka
Oh biarlah anak-anak kecil itu melihat
bahwa guru mereka bersandar erat-erat pada Engkau.
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 15250 kali dibaca