Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Hendra akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Seni Menegur" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, dalam percakapan kita yang terakhir Bapak sudah menyinggung bahwa penting sekali untuk memiliki relasi dengan yang bersangkutan sebelum kita menegur. Apakah ada yang ingin Bapak tambahkan, Pak ?
SK : Berkenaan dengan hubungan yang baik, kita bisa memberikan suatu perbandingan dengan bentuk tabungan emosi atau rekening emosi. Misalnya ketika saya berbuat baik kepada Pak Hendra saya sedang menabung, mengisi tabungan emosi yang ada pada Pak Hendra. Kemudian ketika saya sedang merugikan Pak Hendra, maka sesungguhnya saya sedang menarik dari tabungan emosi itu.
H : Merugikan dalam arti Bapak sedang menegur saya, begitu ?
SK : Dalam arti apa pun. Misalnya saya menegur atau saya mengeluarkan kata-kata yang menyinggung hati Pak Hendra, itu berarti saya sedang merugikan Pak Hendra. Atau saya menghilangkan barang yang saya pinjam dari Pak Hendra, itu 'kan merugikan. Apapun yang saya lakukan dengan nada merugikan, itu saya sedang menarik dari tabungan emosi yang ada pada Pak Hendra. Kira-kira ketika saya lebih banyak menarik, apa yang terjadi ?
H : Berkurang.
SK : Bila terus berkurang, apa akibatnya ?
H : Bisa defisit.
SK : Kalau tabungan emosi yang ada pada Pak Hendra itu defisit, maka relasi saya dengan Pak Hendra akan bagaimana ?
H : Pastinya terganggu.
SK : Terganggu. Bahkan merasa tersakiti, menjauh, tidak ada rasa percaya kepada saya. Tapi apa yang terjadi kalau saya banyak melakukan hal-hal yang baik kepada Pak Hendra ? Baik itu dengan cara memberi bantuan, saya hadir saat Pak Hendra membutuhkan saya, sering memberikan kata-kata peneguhan, pujian, kedapatan bahwa saya banyak kali menunjukkan kepedulian kepada Pak Hendra, maka bagaimana tabungan emosinya ?
H : Bertambah.
SK : Bila terus bertambah maka banyak bahkan surplus. Maka apa yang terjadi dengan relasinya ?
H : Pastinya baik.
SK : Ya. Dan ketika suatu kali saya menarik tabungan emosi dari Pak Hendra itu melalui teguran, maka jumlah tabungan emosinya akan berkurang. Tapi karena selama ini saya banyak menabung, tetap sisanya banyak, saldonya tetap surplus. Dengan kata lain, karena tabungan emosi itu masih surplus, Pak Hendra masih nyaman dengan teguran dari saya. Masih bisa "excuse", memaklumi, menerima. Bahkan bukan hanya teguran yang tepat, mungkin suatu kali karena saya sedang tidak stabil dan emosional tidak bisa menguasai diri, saya melakukan sesuatu yang jelas-jelas menyakiti Pak Hendra, membuat Pak Hendra tersinggung. Tapi karena saya sudah terlalu banyak menabung di tabungan emosi, Pak Hendra akan bisa berkata, "TIdak apa-apalah. Biasanya Pak Sindu tidak seperti itu kok. Kali ini saja. Saya bisa memakluminya." Mungkin istri saya akan datang kepada Pak Hendra, "Maafkan suami saya ya Pak Hendra…" Pak Hendra mampu menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Saya bisa maklum kok. Biasanya Pak Sindu tidak seperti itu. Saya memang saya kaget, tapi juga kasihan kenapa Pak Sindu bisa seperti itu. Tapi tidak apa-apa." Malah menunjukkan sikap memaklumi. Karena terlalu banyak isi tabungan itu, diambil sekian pun masih sisa banyak. Ini menjadi salah satu cara memahami pentingnya membangun relasi yang baik dengan seseorang, sedapat-dapatnya sebelum kita menegur. Bahkan kita selalu berusaha membangun relasi yang baik dengan orang lain sehingga pada saat dibutuhkan, jadi bukan hanya karena mau menegur, ada cukup banyak saldo yang tersisa ketika kita terpaksa menarik tabungan itu.
H : Menarik sekali tabungan emosi ini, Pak ! Setelah kita membahas mengenai langkah-langkah persiapan sebelum kita menegur, saya pikir kita perlu tahu pedoman saat kita menegur. Apa saja pedomannya, Pak ?
SK : Pedoman pertama, kita perlu memperkuat hubungan kita dengan orang yang hendak kita tegur. Biarkan orang itu tahu bahwa kita menghargai dia. Kita peduli dengan hubungan kita dengannya. Kita bisa lebih dulu mengajaknya makan, misalnya. Atau kita bisa melakukan sesuatu yang baik bagi orang itu sehingga orang itu memunyai bantal tambahan ketika kita menegur. Atau bisa juga kita awali dengan sebuah pernyataan, "Aku mau mengatakan semangat dan hatiku sangat menghargai hubungan kita, aku sangat peduli padamu. Dan aku ingin bagaimana hidupmu berkembang dan bertambah maju. Aku bicara seperti ini agar kamu tahu isi hatiku terhadapmu. Jadi dengan semangat hati inilah aku merasa perlu bicara empat mata dengan kamu." Jadi kita bisa memberikan prolog (pendahuluan) menjadi salah satu cara menyatakan hal-hal yang memperkuat hubungan kita dengan orang yang akan kita tegur tersebut.
H : Pedoman kedua apa, Pak ?
SK : Yang kedua, tegurlah dengan singkat dan jelas. Dalam hal ini, nyatakan apa faktanya, apa yang sesungguhnya terjadi, kemudian apa yang kita rasakan, atau apa yang menjadi dugaan kita. Kita perlu mencoba untuk memusatkan perhatian pada apa yang kita amati dan kalau perlu pada perasaan kita sendiri mengenai hal itu, ataupun kita bisa utarakan keinginan kita berkenaan agar dia bisa mengubah sikapnya.
H : Yang dimaksud singkat itu sesingkat apa, Pak ?
SK : Dalam hal ini kalimatnya itu kalimat yang bersifat lugas, tidak berputar-putar, tidak berkepanjangan, tidak berbelit-belit, istilah Jawanya tidak ngalor-ngidul, sehingga membuat orang capek dan tidak mengerti apa yang kita bicarakan. "Apa sih maksudmu ? Aku tidak mengerti. Kok ambigu, kok kabur ? Kamu bicara aku baik dan bertanggung jawab, tapi kenapa kemudian kamu bicara seolah aku tidak bertanggung jawab. Apa yang terjadi ?" Atau karena panjangnya kalimat teguran itu sehingga membuat orang panas kuping, hatinya juga panas. Padahal dia ingin menjelaskan apa yang terjadi. Yang ingin kita sampaikan 'kan versi kita, satu keping kebenaran, satu keping fakta, sementara kepingan fakta yang lain ada pada dirinya. Kalau kita bicara berkepanjangan, kapan dia bisa menjelaskan ? Akhirnya kita mendominasi percakapan, nanti cenderung monolog dan akan membuatnya jengkel. Bukan jengkel karena ditegur, tapi jengkel karena cara kita bicara bertele-tele. Ini bisa mendistorsi, menjadi polusi dari pesan teguran yang sebenarnya baik. Gara-gara cara penyampaiannya bertele-tele dan kabur, jadi orang bereaksi tidak nyaman menerima teguran kita.
H : Memperkuat hubungan, menegur dengan singkat dan jelas, apalagi Pak ?
SK : Dalam konteks saat ini, saya menyampaikan tentang hal teknis. Yaitu kita lebih banyak gunakan kata ganti orang pertama misalnya: Aku, saya. Kita bisa bicara, "Aku kecewa. Aku merasa terganggu. Aku merasa ada ganjalan." Lebih baik demikian, daripada kita menggunakan kata ganti orang kedua: kamu, Anda. "Kamu memang tidak bertanggung jawab. Kamu pembohong. Kamu mengabaikan tugas-tugasmu. Kamu kedapatan sebagai orang yang suka menyakiti saya. Kamu orang yang suka membuat saya marah." Karena kata "kamu" itu 'kan menuding, melemparkan anah panah, apalagi disampaikan dengan nada yang tajam atau tinggi. Itu akan menyakiti perasaan orang itu. Kalau kita menggunakan kata, "Aku atau Saya" sebenarnya kita sedang merendah. "Aku yang merasakan. Aku yang sedang mengalami." Seperti kita sedang membuka wilayah atau zona suci kita, wilayah kerentanan kita untuk mengajak orang memahami hati dan perasaan kita. Ketika kita menyebut, "aku dan perasaan", sebenarnya itu ruang kita, wilayah suci kita dan ketika kita mengijinkan kita membuka diri, kita mengajak orang memahami perasaan kita, itu adalah jalan membangun komunikasi dari hati ke hati.
H : Tapi percakapan seperti ini tidak mungkin 100% subjeknya hanya "aku". Ada saatnya kita memunculkan "kamu", Pak ?
SK : Ya. Kata "kamu" memang perlu dikemukakan, namun bukan dalam konteks menyerang atau menzolimi atau menindas orang itu. Kata "kamu" lebih kita kaitkan kepada perilakunya. Tapi perasaan yang kita alami itu perlu diekspos. Jangan mengkambinghitamkan dia atas perasaan kita. "Kamu membuat aku marah. Kamulah yang membuat aku sulit tidur." Jadi kita menyerahkan tanggung jawab atas perasaan kita kepada orang lain. Itu sebenarnya menjadi satu bentuk beban, penyerangan. Memang secara fakta dia menjadi penyebab, tetapi jangan lupa perasaan yang muncul itu ada di wilayah kita. Kalau kita ungkapkan kita merasa sedih, marah, terganggu, sebenarnya kita sedang bertanggung jawab atas perasaan kita, kita tidak sedang membebankan atau mengkambinghitamkan dia. Yang kita salahkan adalah perilaku dia. Perasaan kita adalah tanggung jawab kita, yang tidak kita lemparkan kepadanya. Ketika kita membuka perasaan itu, kita akan menolong orang itu memahami kita dan dia pun akan membuka hatinya juga. Kalau boleh kita bagi level komunikasi, level yang paling permukaan adalah level pikiran-pikiran atau dunia ide yang dikatakan impersonal, bersifat objektif, faktual.
H : Tidak menyentuh perasaan ?
SK : Betul. Level komunikasi yang lebih dalam bukan di sini, tetapi di level perasaan atau emosi. Lebih 'suci', maksudnya level yang lebih pribadi. Ketika kita bisa mengekspos perasaan dan berkomunikasi dari hati ke hati, inilah komunikasi yang lebih murni dan membuat orang nyaman daan membuat orang tampil apa adanya, saling menerima. Penghargaan bisa muncul di level ini.
H : Menarik sekali. Selain kita membahasakan dengan kata ganti orang pertama "Aku" sebagai wujud tanggung jawab kita, apa lagi yang harus diperhatikan ?
SK : Nada suara. Nada suara itu penting selain pilihan kata, cara mengungkapkan. Pengucapan dengan nada tinggi akan membuat orang terkaget-kaget dan merasa terserang. Sedapat-dapatnya kita setel nada suara pada nada yang sejuk. Kita kondisikan volume suara kita, tempo suara pada tempo yang membuat orang nyaman mendengarkannya. Benar-benar distorsi dan hal-hal yang bisa membiaskan pengertian orang itu kita singkirkan. Sedapat-dapatnya orang hanya menerima isi yang membangun dirinya, bahwa dia bersalah dalam hal ini dan dia perlu mengubah tingkah laku yang ini, membentuk kebiasaan baru yang ini. Jadi bungkus teguran itu senyaman mungkin. Ibaratnya dibungkus, dipilin, diberi perlindungan, diberi spons, diberi rasa yang manis dan menyenangkan, diberi aroma yang harum, supaya orang nyaman menerima teguran itu, kita perlu mengkondisikannya. Inilah seni relasi, seni komunikasi.
H : Apakah harus selalu seperti itu, Pak ?
SK : Tentu tidak selalu demikian. Ada kondisi tertentu kita perlu nada tinggi, kata-kata yang keras. Tapi hanya saat-saat tertentu, bukan seluruhnya. Karena ada kalanya, jangan lupa bahwa kita dalam prinsip mengefektifkan teguran itu. Nada yang tinggi bisa jadi cara teguran yang efektif di saat-saat tertentu. Namun jika memakai nada tinggi itu menjadi gaya kita dalam menegur, mewarnai seluruh proses peneguran kita, itu akan membuat orang memunyai daya tolak yang tinggi, akhirnya orang akan lebih terfokus pada perasaannya yang tidak nyaman kepada nada yang tinggi dan pilihan kata yang tidak bijak, sehingga lupa dan melalaikan berita positif yang kita sampaikan. Jadi jangan lupa, komunikasi bukan sekadar apa yang aku utarakan, tapi yang terutama apa yang orang terima.
H : Yang bisa saya simpulkan yaitu lebih gampang menegur dengan nada yang marah-marah dan membabi buta, tanpa belajar pun bisa. Tapi kita sebenarnya perlu belajar seni menegur, belajar untuk menyejukkan, belajar bagaimana cara menyampaikan teguran sehingga bisa diterima orang, belajar memperhatikan situasi, belajar memperhatikan kondisi waktu yang tepat, apakah seperti itu ?
SK : Betul.
H : Ada lagi yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Berikutnya, seperti yang saya kemukakan di bagian yang sebelumnya, teguran yang efektif itu hampir selalu merupakan dialog bukan monolog. Jadi, sedapat-dapatnya kita perlu mendengarkan sudut pandang orang tersebut minimal sebanyak yang kita sampaikan.
H : Seperti apa itu, Pak ?
SK : Kita bicara 5 menit, ijinkan orang itu untuk bicara 5 menit juga. Kalau kita berani bicara 10 menit, kita juga ijinkan orang itu bicara 10 menit. Ini akan membuat proses penyampaian teguran itu jauh lebih efektif.
H : Ini tidak mudah, pak.
SK : Ya. Jangan lupa, kita hanya menerima sebagian kebenaran atau fakta yang terjadi. Kita perlu klarifikasi. "Kamu tahu tidak, kamu yang menyebabkan hal ini terjadi?" Itu akan membuat orang itu terheran-heran, "Bapak tahu tidak fakta yang sesungguhnya ? Bapak mendengar sepihak dari orang itu dan orang itu tidak hadir, dia hanya mendengar dari orang lain. Kenapa Bapak tidak menanyai saya dulu apa yang sebenarnya terjadi ?" "Ini fitnah, Pak. Saya tidak terima. Mari kita klarifikasi. Kita panggil saksi!" Kalau ternyata kita yang keliru apa kita tidak malu ? Makanya lebih baik kita memiliki semangat mendengar lebih dulu. Misalnya kita bicara dengan staf bagian kebersihan, "Kemarin saya kok melihat ruang kantor berantakan. Ada apa yang terjadi ?" Kita bisa saja langsung menyalahkannya, tapi kita memilih untuk bertanya lebih dulu. "Oh, begini Pak, kemarin ada kejadian seperti ini…" "Kalau seperti itu, semestinya apa yang kamu lakukan ?" "Ya Pak, saya salah, semestinya saya begini…" "Itu baik, saya setuju, memang itu cara yang lebih tepat. Saya salut kamu berani mengakui kesalahanmu. Itu bagus sekali. Silakan memperbaikinya ya." Nah, kita 'kan tidak perlu menyebutkan kesalahannya, dia sudah mengakui. Karena kita berdialog. Kita berbicara dengan sejuk, tidak menghakimi, bersikap memahami lebih dulu daripada minta dipahami, sehingga orang merasa sungkan dan mengaku salah, dia tidak defensif dan akhirnya teguran itu efektif. Bahkan bukan kita yang menegur, dia yang mengaku salah. Bukahkah itu jauh lebih indah ?
H : Ada kemungkinan teguran itu bersifat nonverbal ?
SK : Benar, Pak Hendra. Ada kalanya lewat nada yang tinggi, ekspresi masam, mata membelalak, wajah yang kurang menyenangkan, sebenarnya kita sudah menegur. Mendiamkan, tidak mau memandang mata, menghindari memandang wajahnya atau menghindari bertatapan mata, sebenarnya itu bahasa nonverbal atau bahasa tubuh kita sudah menyatakan kita marah dan kita menegur. Jadi kita perlu menyadari, mungkin kita sudah menegur lebih dulu dengan bahasa tubuh kita. Penting, bahwa teguran lewat bahasa tubuh lebih sulit diterima dan jarang sekali efektif serta cenderung membahayakan hubungan daripada teguran yang nyata yang diungkapkan dengan jelas dan lugas.
H : Jadi dialog tetap yang terpenting, ya ?
Sk : Ya, jadi perlu diungkapkan dengan kata-kata daripada hanya mendiamkan dia padahal bahasa tubuh kita sudah menunjukkan rasa tidak suka dan merasa kecewa dengan dia. Itu sangat menyakitkan dan membuat orang itu balik marah kepada kita. "Kenapa sih diam saja ? Kamu 'kan bisa bicara langsung, bisa menegur saya. Itu jauh lebih baik daripada mendiamkan saya dan matamu seperti itu, seolah-olah saya orang yang paling bersalah." Jauh lebih baik kita ungkapkan dengan perkataan verbal.
H : Terkait dengan kata-kata verbal dan dialog, bagaimana dengan faktor budaya, Pak?
SK : Benar. Budaya itu turut mempengaruhi. Keterampilan menegur dan kesiapan menerima teguran itu banyak dipengaruhi oleh budaya. Maka dalam hal ini kita perlu mempelajari bagaimana cara menegur yang efektif untuk budaya tertentu dimana kita berada. Kalau kita berasal dari budaya yang berbeda, perlu kita tanyakan orang dari budaya itu, bagaimana menegur yang sesuai dengan budaya mereka, apa yang perlu kita hindari ketika menegur orang tersebut. Jadi pengenalan lintas budaya itu penting, komunikasi lintas budaya bukan hal yang bisa kita hindari bila kita hidup bersama lingkungan kita.
H : Jadi penting untuk mengenali budaya setempat dimana kita berada, ya Pak?
SK : Ya.
H : Ketika kita menegur kita berharap orang itu melakukan perbaikan, ada perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Bagaimana cara kita menilainya, Pak? Langsung saat itu juga atau bagaimana ?
SK : Memang secara alami kita ingin hasil yang cepat, perubahan perilaku yang segera atau segera minta maaf. Perlu kita sadari pada umumnya termasuk kita juga, manusia lebih mudah memberi respons yang buruk terhadap teguran yang kita terima, tapi mungkin setelah itu kita bisa menyesal dan berubah. Jadi dalam hal ini, kita jangan menilai keefektifan suatu teguran dengan melihat perilaku perubahan jangka pendek. Tapi lihatlah dari perspektif perubahan tingkah laku dalam jangka panjang.
H : Maksudnya, Pak ?
Sk : Kita perlu bersabar. Jadi jangan "Aduh, sia-sia aku memberi masukan dan teguran, dia kok tidak berubah-berubah. Kemarin sudah ditegur seperti itu, tetap saja dia tidak berubah." Nah, jangan langsung patah arang, putus asa, dan mengatakan sia-sia. Tapi beri ruang. Kadang orang membutuhkan proses yang lebih panjang. Karena sebaik apa pun kita menegur, ada orang yang oversensitive karena penghargaan diri yang buruk, dibesarkan dalam keluarga yang suka mengecam dia, dibesarkan oleh orang tua yang kurang menghargai dia, sehingga dia tumbuh dengan perasaan minder dan rentan merasa terluka. Sehingga sehalus apapun teguran dan masukan kita, dia sangat mudah tersinggung. Nah dia butuh waktu untuk memproses kemarahan dan sikap defensif itu sampai dia mau berubah. Jadi kita perlu memberi ruang pada kondisi seperti ini.
H : Artinya kita realistis dan tidak mudah merasa gagal kalau teguran kita sepertinya tidak membawa perubahan ?
SK : Ya. Tanggung jawab utama bukan berada di pundak kita. minimal kita sudah berusaha menyampaikan dengan cara yang baik dan bisa dipertanggung jawabkan, selanjutnya adalah bagian orang tersebut. Bagian kita setelah menegur adalah menaburi dengan kebaikan. Berbaik dengan dia, menyapa dia, menghormati dia, memberi sesuatu yang menunjukkan perhatian kita, sehingga dia tahu bahwa, kita sebetulnya peduli dan bukannya membenci atau menghukum saya. Kalaupun bicara dengan kata-kata yang lugas dan tajam, kita bermaksud membangun dia. Kalau dia melihat sikap dan tingkah laku kita setelah menegur pun kita tetap baik, hangat dan menghormati dia, maka orang itu akan lebih mudah mengurai sikap defensifnya dan dia lebih mau memproses teguran yang sudah kita sampaikan sebelumnya.
H : Kalau boleh saya tambahkan, kita harus belajar seni menegur ini, apapun hasilnya jangan mudah putus asa. Kita tidak boleh memilih pasif tidak mau menegur hanya karena takut gagal atau tidak dianggap.
SK : Betul, Pak Hendra.
H : Terakhir, apa pesan firman Tuhan yang ingin Bapak sampaikan ?
SK : Saya bacakan dalam Amsal 27:5, "Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi." Firman Tuhan dengan tegas menyatakan bahwa lebih baik berterus terang dalam bahasa kasih, menegur dalam kasih dan kebenaran, dari pada kita menyebut diri mengasihi tapi tidak pernah mengekspresikan hal yang bisa membangun orang itu.
H : Terima kasih untuk percakapan yang sangat menarik ini, Pak Sindu, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Seni Menegur" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.