Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana mengatasi anak yang mencuri, kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, karena dilatarbelakangi oleh apa ya, kadang-kadang ada sesuatu barang yang hilang di rumah. Dan setelah kami cari-cari, tanya sana, tanya sini ternyata anak kami yang mengambil, khususnya waktu masih kecil. Dia memang sengaja melakukan itu tetapi yang saya ingin tanyakan, tentu kami orang tua tidak pernah mengajarkan hal seperti itu, tetapi kenapa anak itu melakukan pencurian di dalam rumahnya sendiri, Pak Paul?
PG : Sebetulnya ada kira-kira empat penyebab Pak Gunawan, kenapa anak itu mencuri. Masing-masing tipe ini saya kira adalah tipe anak yang kita perlu pahami supaya kita bisa mengenal kenapa aak kita itu mencuri.
Yang pertama adalah anak mencuri karena dia adalah seseorang yang impulsif. Impulsif berarti yaitu bertindak tanpa pikir panjang dan tindakannya itu muncul dengan seketika. Jadi intinya dia adalah anak yang kurang bisa menguasai dirinya dan keinginannya.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, yang saya katakan mencuri atau yang kita maksudkan mencuri adalah dia mengambil sesuatu barang milik saya atau milik istri saya, tanpa dia bicara lebih dahulu, jadi bukan sekadar meminjam. Kalau meminjam kami bisa mengerti, dia berbicara dulu. Pengertiannya mencuri dalam hal ini seperti itu ya Pak Paul, jadi orang atau anak ini mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
PG : Betul, jadi dia sebetulnya tahu ini bukan miliknya tapi ada dorongan seketika yang membuat ia ingin memilikinya. Jadi walaupun dia sudah tahu barang ini bukan miliknya, namun tetap diamil.
Kenapa tetap diambil, karena tipe yang pertama ini yaitu dia anak yang impulsif.
GS : Apa yang melatarbelakangi sehingga dia mempunyai karakter impulsif?
PG : Sebetulnya sifat impulsif itu sifat yang pada dasarnya muncul sejak lahir. Jadi ada orang-orang yang memang mempunyai sifat impulsif lebih tinggi dibanding yang lainnya. Kita sebetulnyamasing-masing mempunyai sifat impulsif, kalau kita menginginkan sesuatu, kita inginkan itu dengan seketika.
Tapi ada orang-orang tertentu lebih menggebu-gebu keinginannya, nah orang-orang yang seperti ini akan lebih banyak mengalami kesukaran untuk bisa mengontrol keinginannya itu. Anak-anak yang impulsif seperti ini pada umumnya anak-anak yang aktif, anak-anak yang bertenaga, banyak energinya dan anak yang tidak terlalu mudah tunduk pada perintah orang tuanya. Jadi agak keras kepala juga. Namun ya tidak selalu anak-anak ini seperti tadi yang saya gambarkan, pada dasarnya ia adalah impulsif dan dia sukar mengontrol keinginannya sehingga seringkali membuat dia berurusan dengan masalah-masalah yang negatif, jadi pelanggaran-pelanggaran misalnya.
GS : Tapi itu bukan faktor keturunan, Pak Paul?
PG : Impulsifitas itu seringkali diturunkan, jadi orang-orang yang mempunyai ayah, ibu atau salah satu orang tua mereka yang lumayan impulsif. Salah satu dari anak mereka bisa mewariskan sikp itu jadi kalau emosi cepat, emosi mau sesuatu susah sekali dilawannya, kemauannya sangat keras sekali.
IR : Kemudian tipe lain, Pak Paul?
PG : Tipe yang lain adalah anak yang membutuhkan perhatian, Ibu Ida. Anak ini sebetulnya anak yang terlalaikan, terabaikan, dia kurang sekali kasih sayang, kurang sekali mendapatkan interaks dari orang tua, jarang diajak bicara, ataupun kalau diajak bicara hanya dalam hal tugas.
Sudah buat PR belum, tapi selain dari hal itu tidak ada lagi perhatian yang diberikan oleh orang tuanya. Dari latar belakang seperti ini, bisa muncul perilaku mencuri, karena apa? Karena kurangnya aktifitas atau kegiatan, kurangnya interaksi sehingga hidupnya itu lumayan hampa, kurang banyak teman di luar. Akhirnya di sekolah dia melihat temannya mempunyai barang dan diambil, karena apa? Teman-teman jarang mengajak dia bicara, dia sendirian saja. Di rumah jarang diajak bicara, lalu dia melihat ada uang mamanya, dia ambil uang itu, untuk apa? Kebanyakan dia belikan barang-barang sesuai dengan usianya, mainan kecil-kecilan, makanan kecil-kecilan. Tapi sebetulnya bukanlah mainan itu yang mendorong dia mencuri, sebab kalau tidak ada mainan itu juga tidak apa-apa, dia tidak terlalu membutuhkan. Ini salah satu keluhan orang tua yang saya dengar yaitu waktu mendengar mereka mencuri, ternyata anak-anak itu tidak terlalu membutuhkan barang itu, dia suka tapi tidak terlalu membutuhkan.
GS : Hanya sekadar untuk menarik perhatian orang tua atau gurunya?
PG : Dalam kasus yang kedua ini, sebetulnya dia sendiri melakukan itu bukan dengan tujuan menarik perhatian, tapi untuk mengisi kehidupannya yang kosong itu. Sebab hidup yang kosong sangat mresahkan, sangat tidak enak.
Tidak ada yang mengajak bicara, tidak ada yang mengajak main, baik di sekolah maupun di rumah. Akhirnya dia diam-diam sendirian, muncullah pikiran untuk melakukan sesuatu yang sedikit berbeda, yang sedikit menggairahkan, dia mengambil uang atau apa lalu dia belikan mainan lagi atau dibelikan barang tertentu. Jadi dengan dia membeli barang itu, ada aktifitas dan dengan membeli yang dia sukai, makanan yang dia sukai, berarti perasaannya akan jauh lebih senang, lebih tenang, lebih nyaman.
IR : Jadi untuk mencari kepuasan juga, ya Pak Paul?
PG : Ya, kalau kita mau labelkan kepuasan ya boleh, kesenangan sedikitlah. Sebab hidupnya sangat meresahkan, sangat tidak ada apa-apanya.
GS : Berarti anak itu sudah agak lebih besar ya Pak Paul? Bukan balita yang bisa melakukan itu, karena yang bisa menyadari akan kekosongan hidupnya itu paling tidak dia sudah agak besar begitu.
PG : Saya pernah mendapatkan kasus dimana anaknya masih cukup kecil, masih umur 6 tahunan.
GS : Tapi sudah bisa berbuat seperti itu, Pak Paul?
PG : Ya, bisa juga begitu. Jadi dia sendiri tidak harus menyadari bahwa dia membutuhkan perhatian, tapi yang pasti hidupnya itu sangat kurang sekali perhatian.
(2) IR : Apakah memang ada batas-batas umur tertentu Pak Paul, untuk anak yang suka mencuri itu ?
PG : Maksud Ibu Ida mencuri yang bisa ditoleransi ya, batas umurnya sampai umur berapa. Pada dasarnya anak-anak memang cenderung akan mengambil barang yang bukan miliknya. Pada tahap masih kcil di bawah umur misalnya 5 tahun, diantara umur 2-4 tahun, 2-5 tahun paling tua, perilaku tersebut masih kita toleransi dalam pengertian itulah perilaku anak-anak.
Tapi setelah umur 5 tahun dan setelah dia mengetahui apa itu mencuri dan terus melakukannya maka mulailah menjadi masalah, bukan perilaku yang wajar.
GS : Kalau tipe yang lain, yang ketiga Pak Paul?
PG : Tipe ini tipe egosentrik Pak Gunawan, jadi anak-anak ini anak-anak yang tidak menyadari batas miliknya. Maksudnya begini, tadi saya sudah singgung anak-anak itu sebetulnya pada masa kecl cenderung mengambil barang milik orang lain karena dia belum bisa menyadari bahwa barang itu milik orang lain.
Jadi ada batas antara miliknya dengan milik orang lain. Seorang psikolog bernama Curn Albert mendefinisikan diri dari berbagai aspek. Salah satunya adalah yang dia sebut perluasan diri; diri dalam kategori perluasan ini adalah kita dulu sekolah, di mana kita sekarang bekerja, rumah kita di mana, apa mobil kita, apa baju yang sering kita pakai, di mana gereja kita. Dengan kata lain itu adalah perluasan diri, barang-barang yang diidentikkan dengan siapa kita ini. Anak-anak sebetulnya mempunyai konsep itu, pada masa kecil mainan ini mainanku, barang ini barangku. Tapi masalahnya anak-anak kecil belum bisa berkata bahwa barangmu bukan barangku, dia cenderung berkata barangmu barangku. Perlahan-lahan muncullah batas waktu dia ditegur jangan mengambil barang orang lain. Dia barulah membentuk suatu batas atau pagar di mana dia bisa berkata ini barangku dan itu barangmu, dan yang berikut menjadi modal dia untuk mendefinisikan siapa dirinya. Anak-anak yang egosentriknya tinggi sekali, rupanya tidak mengenal batas ini jadi terus dia langgar, dia terjang pagar rumah orang lain. Barang orang lain adalah barangku, jadi mendefinisikan dirinya sangat luas, ini maksudnya adalah egois sekali terlalu egosentrik.
GS : Tapi kalau seperti itu berarti dia tidak menyadari bahwa perbuatannya itu salah ya Pak Paul?
PG : Kebanyakan tahu dia salah, tapi karena tidak ada batasan itu, tetap saja dia langgar. Jadi dia tahu itu salah, tapi memang tidak terlalu mengganggu. Memang ada kasus di mana tidak tahu ia salah, ada juga.
Namun pada umumnya anak-anak itu sebetulnya tahu karena orang tuanya.
GS : Setelah diberitahu secara berulang-ulang Pak Paul, dia tidak mau mengerti karena egonya terlalu luas tadi?
PG : Betul, jadi dia anggap semua miliknya.
GS : Tapi barangnya sendiri tidak boleh diberikan kepada orang lain ?
IR : Kemudian tipe yang keempat, Pak Paul?
PG : Tipe yang keempat adalah anak yang bermasalah, Ibu Ida. Jadi anak yang bermasalah ini biasanya mempunyai kebiasaan mencuri dalam istilah resminya disebut kleptomania. Anak-anak yang kletomanik, anak-anak yang terus mencuri.
Sekali lagi saya akan munculkan suatu istilah yang sedikit asing yaitu kompulsifitas; kompulsif dalam bahasa Inggrisnya compulsive. Kompulsif berarti perilaku itu harus dilakukan olehnya, tidak bisa tidak, dia harus lakukan. Contoh yang lain tentang perilaku kompulsif, ada orang yang harus membersihkan rumahnya setiap hari, kalau tidak, dia merasa tidak puas.
IR : Jadi itu suatu penyakit ya Pak Paul?
PG : Betul, itu suatu gangguan kejiwaan. Kalau dicampur dengan obsesi pikiran-pikiran yang tidak bisa terlepaskan menjadi obsessive compulsive, jadi resminya kita sebut OCD (obsessive compulive disorder) gangguan obsesif dan kompulsif.
Ada juga yang gangguan kompulsifnya saja. Kleptomania seperti itu, jadi dia melihat barang, dia harus mengambil, masalahnya dia tidak butuh. Ditanya kenapa ambil, ya mau ambil, kenapa butuh apa tidak? Tidak butuh, suka sekali tidak? Ya biasa saja. Jadi dia sendiri tidak bisa menguasai tingkah lakunya, sehingga pencurian atau mencuri menjadi bagian dari kompulsifitasnya yang harus dia lakukan. Ini memang yang lebih parah, ini biasa diidap oleh anak-anak remaja, ada sebagian seperti itu yang dibawa terus sampai usia dewasa.
GS : Tapi ada yang mengatakan itu hanya pada barang-barang tertentu Pak Paul, atau semua jenis barang yang bisa dia lakukan?
PG : Kalau kleptomania sebetulnya untuk semua jenis barang.
GS : Jadi bukan barang yang mengkilat?
PG : Tidak harus ya, mungkin saja dia akan membentuk suatu preferensi yang dia sukai, barang-barang tertentu mungkin. Tapi ada juga yang tidak, misalkan dia ke supermarket, jalan-jalan di lrong-lorong banyak barang yang dia inginkan, diambilnya barang itu.
Untuk apa? Sebetulnya tidak dia pikirkan, gunanya untuk apa, tujuannya untuk apa, tidak ada sama sekali. Nah, ini memang dikategorikan anak yang bermasalah.
GS : Kalau ini Pak Paul, akibat pergaulan biasanya dialami oleh anak-anak remaja yang uang sakunya terbatas, lalu mereka berkumpul misalnya bersama-sama ke supermarket. Melihat teman-temannya mencuri, dia didorong oleh teman-temannya untuk mencuri juga.
PG : Betul, dalam kasus ini sebetulnya, dorongan mencuri ini dorongan yang masih lebih ringan karena benar-benar muncul atas dorongan teman, sifat-sifat yang eksternal. Yang tadi kita bahas ebetulnya lebih ke internal, lebih susah diobati.
Yang eksternal lebih mudah sebetulnya.
GS : Kalau dia bisa dipisahkan dengan lingkungan itu, apa bisa teratasi?
(3) GS : Sekarang kalau sifatnya yang internal seperti itu tadi Pak Paul, kita mulai saja misalnya anak itu impulsif lalu bagaimana kalau itu terjadi pada anak kita?
PG : Ada beberapa cara penanganan, Pak Gunawan untuk anak-anak yang bermasalah dengan sifat mencuri ini. Otomatis kita memang perlu menanamkan apa itu salah, apa itu benar, apa yang seharusna tidak dilakukan, yang seharusnya dilakukan, dan apa itu malu.
Sehingga meskipun dorongan impulsifitasnya kuat, dia ingin mengambil tapi mengingat bahwa ini salah, atau mengingat bahwa ini hal yang memalukan. Lama-lama akan cukup mendorong dia untuk tidak melakukan hal itu dan juga diperlukan sanksi sebetulnya. Sanksi-sanksi yang menghukum perbuatannya itu agar dia tahu, bahwa kalau dia melakukan hal ini akan ada sanksinya misalnya dihukum. Mudah-mudahan rasa takut ini akan mendorongnya untuk menghentikan perbuatannya itu.
(4) IR : Pak Paul, tentu ada situasi-situasi di mana situasi itu mendukung seseorang untuk mencuri, Pak Paul?
PG : Ya betul, ada beberapa Ibu Ida. Yang pertama adalah situasi di mana sangat kurang pengawasan terhadap benda-benda berharga di dalam rumah kita itu. Maksud saya, ada rumah yang sangat trbuka semuanya, benda-benda berhargapun dibiarkan berserakan dengan terbuka, tidak ada tempat-tempat yang privat.
Sebetulnya itu tidak bijaksana. Misalkan ada orang yang berkata kami orang yang tidak punya, tidak bisa membeli lemari brankas, ya tidak perlu membeli lemari brankas. Kotak sabunpun tidak apa-apa, asalkan kita tutup dengan baik. Jadi setiap rumah seharusnya mempunyai tempat yang privat, ada tempat yang terbuka di mana anak boleh melihat, boleh ikut masuk ke dalamnya. Namun harus ada tempat-tempat yang privat di mana anak-anak tahu ini milik orang tua dan yang ada dalam lemari itu misalnya adalah barang yang berharga yang tidak boleh saya ambil. Jadi anak-anak belajar mengerti bahwa ini bendaku itu bendamu, ini benda yang kusayangi dan rupanya itu benda yang engkau sayangi, ini benda yang berharga bagiku, itu benda yang berharga bagimu. Mereka harus mempunyai rasa seperti ini tapi caranya bagaimana; caranya dengan menciptakan suasana atau situasi di mana ada tempat-tempat yang privat, yang mereka tidak boleh membukanya dengan sembarangan. Disitulah kita taruh benda-benda berharga.
IR : Tidak mencobai anak, ya Pak Paul?
PG : Betul, pertama tidak mencobai dia, tidak menggoda untuk memiliki benda-benda itu dan yang kedua adalah untuk menanamkan rasa hormat terhadap hak milik orang lain. Ini penting sekali, saa mengetahui ada sebuah keluarga di mana anak-anak bisa mengambil kunci, membuka lemari orang tuanya, itu sebetulnya tidak bijaksana.
GS : Ya mungkin, pikir orang tuanya itu anaknya sendiri, Pak Paul, jadi toleransinya terlalu luas untuk itu.
PG : Betul, tapi akhirnya membuat si anak tidak mengenal batas. Begitu dia keluar rumah dan bergaul dengan orang, dia cenderung menerapkan sistem hidupnya itu kepada orang lain pula. Jadi di akan mengambil barang yang bukan miliknya, dia akan meminjam barang yang bukan miliknya.
Waktu dulu saya kuliah, saya masih ingat, teman sekamar saya suka mengambil makanan saya di lemari es, saya merasa kesal sekali. Karena saya sudah beritahu dia, saya mula-mula diam saja, ia mengambil makanan saya. Akhirnya saya ajak dia bicara baik-baik, saya mengatakan jangan mengambil makanan saya, kalau mau ambil minta izin dulu. Bagi sebagian orang minta izin adalah hal yang baru, sebab bagi mereka tidak apa-apa mengambil barang orang, sebab di rumah dulu ya begitu tidak ada batas sama sekali.
IR : Apa tidak mempunyai perasaan bersalah, ya Pak Paul?
PG : Dalam kasus ini mungkin tidak, jadi anak-anak ini merasa tidak apa-apa mengambil barang orang lain. Mereka mengerti bahwa mereka mengambil barang orang lain tapi mereka biasa saja karen di rumah terbiasa seperti itu.
Nah, situasi ini bisa mendorong anak untuk mencuri karena di rumah tidak ada batas, di luarpun dianggap tidak ada batas dan kalaupun ada batas berarti boleh dilanggar.
GS : Tapi setiap anak atau setiap orang, mulai dari anak-anak itu dibekali hati nurani, sekalipun untuk dia tidak apa-apa, tapi seharusnya hati nuraninya bisa berkata ini keliru.
PG : Ya, ini situasi yang kedua, Pak Gunawan, yaitu ada rumah tangga atau situasi di mana sangat kurang penanaman hati nurani pada diri anak.
GS : Tidak diasah, tidak dilatih untuk mendengarkan suara hati nuraninya.
PG : Betul, kurang diajarkan. Jadi anak-anak ini memang kurang tahu benar salah. Tindakan-tindakan itu akhirnya tidak menimbulkan rasa bersalah. Saya pernah berbicara dengan seorang yang suah dewasa, yang mengaku bahwa waktu kecil ia mengambil uang orang tuanya.
Saya bertanya apakah engkau merasa bersalah? Tidak merasa bersalah sama sekali. Di sini kita melihat hati nuraninya kurang bekerja, karena apa? Kemungkinan besar kurang ditanamkan oleh orang serumah atau oleh orang tuanya.
IR : Pak Paul, apakah perlu kita sebagai orang tua juga mengawasi milik anak-anak kita?
PG : Saya kira itu baik sekali, Ibu Ida. Jadi kita sendiri memang mengawasi apa saja yang dia miliki.
IR : Kadang-kadang, tiba-tiba dia mempunyai sesuatu, asalnya dari mana perlu kita tanya.
PG : Betul sekali, apalagi kalau dia tidak pernah mempunyai tiba-tiba mempunyainya, apalagi barang yang sedikit berharga, kita harus menanyakannya.
GS : Memang saya rasa mencuri itu dalam tingkat tertentu ya Pak Paul, itu menjadi pengalaman banyak orang, sayapun pernah melakukan hal itu dalam skala kecil-kecilan. Sebenarnya ada rasa kepuasan tersendiri, Pak Paul, kalau misalnya orang tua kita tidak mengetahui bahwa barangnya dicuri, itu yang bisa mendorong untuk mengulanginya lagi. Pertama sedikit, uang kecil misalnya Rp. 1.000,00, Rp. 2.000,00 tapi lama-lama bertambah banyak.
PG : Mencuri itu pada dasarnya mempunyai sistem imbalan tersendiri, Pak Gunawan. Imbalan pertama secara psikologis, emosional. Tadi Pak Gunawan sudah singgung yaitu adanya kepuasan karena kia bisa melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, yang menegangkan.
Kita ini sedikit lebih berani dari orang lain. Ada unsur itu juga, waktu kita berhasil melakukan sesuatu yang menegangkan, yang berbahaya dan lolos itu ada kepuasan. Yang berikutnya adalah selain imbalan dalam mencuri, kita bisa memiliki yang dimiliki orang lain, ini juga menimbulkan satu kepuasan. Kita bisa mencicipi yang dimiliki oleh orang lain dan kita merasa senang. Dan yang ketiga adalah kita bisa menikmati hasil curian itu, dengan uang yang kita miliki kita bisa membeli barang-barang yang kita inginkan. Akhirnya ketiga unsur ini menjadi suatu sistem imbalan dalam mencuri. Ini yang membuat akhirnya orang atau anak-anak kecil terus mencuri.
GS : Lagi pula yang saya ingat itu, ayah saya biasanya tidak minta kembali Pak Paul, cuma tanya saja. Saya bilang tadi saya ambil saya belikan ini, ini dan ayah berkata sudah lain kali jangan. Itu membuka peluang untuk lain kali mengambil lagi.
GS : Sebetulnya bagaimana, Pak Paul? Kalau seandainya waktu itu diminta, ya ayah saya meminta untuk mengembalikan, ya sudah habis uangnya.
PG : Yang baik adalah sistem sanksi, ya Pak Gunawan, salah satu sistem sanksi yang bisa diterapkan untuk pencurian adalah bukan saja dia harus mengembalikan, tetapi dia harus juga mengembalian ditambah dengan sanksinya atau hukumannya, ini yang Alkitab katakan.
Jadi misalkan kalau orang kedapatan misalnya mencuri, bukan saja barang itu harus dikembalikan, tapi berkali-kali lipat dikembalikannya. Nah anak yang misalnya mencuri uang kita Rp. 1.000,00 waktu kita bertanya mana uangnya, sudah habis dibelikan sesuatu. Misalkan uang jajannya 1 hari Rp. 300,00 kita katakan, Rp. 1.000,00 itu harus engkau kembalikan dan hukuman atas pencurianmu sekali ini adalah saya tambahkan Rp. 200,00 berarti apa, berarti empat hari tidak dapat uang jajan. Dia harus membayar kembali, ini jauh lebih efektif daripada marah-marah memukuli si anak, jadi itu jauh lebih efektif.
GS : Jadi bentuk pencurian yang dilakukan oleh anak-anak itu bukan sekadar kenakalan atau salah satu bentuk dari kenakalan, Pak Paul?
PG : Ada, jadi anak-anak remaja yang mulai nakal, mulai mencuri karena dia mau membeli rokok atau apa, itu bisa merupakan kenakalan. Tapi sebetulnya kenakalan dalam kasus seperti ini lebih gmpang diobati; yang jauh lebih susah diobati adalah sudah sejak dari kecil tidak ada batas, yang impulsif, yang kleptomania atau yang kurang perhatian, terus hal ini menjadi bagian dalam kehidupannya, itu lebih sulit diobati.
Kalau yang remaja karena nakal-nakal sedikit dengan sanksi, dengan diomeli atau apa mungkin saja bisa berhenti.
GS : Biasanya kita orang tua mengharapkan atau memperkirakan nanti kalau sudah besar, dia sudah bisa membedakan yang boleh dan tidak boleh, maka mencuri itu akan hilang dengan sendirinya, begitu Pak Paul?
PG : Adakalanya hilang sendiri, memang waktu dia mendapatkan perhatian dari temannya di sekolah, keinginan mencuri lebih berkurang. Maksud saya begini, anak-anak yang relatif sehat, sebetulna kurang sekali perhatian di rumah.
Tapi lama-lama di sekolah dia mempunyai banyak teman, teman-teman mengobrol, otomatis pikiran untuk mencurinya akan berkurang karena pergaulannya makin luas, makin banyak teman, main dengan teman, lari ke sana ke sini. Yang justru lebih rawan adalah yang diam tidak ada teman, sendirian, dia perlu aktifitas lalu mencuri barang orang lain.
IR : Apakah ada pencurian yang bisa ditoleransi, Pak Paul?
PG : Mencuri hati, mencuri perhatian. Sebetulnya tidak, jadi setiap pencurian harus kita tanggapi, tidak boleh kita diamkan.
GS : Dan sehubungan dengan itu, apa firman Tuhan yang telah Tuhan sampaikan melalui Alkitab itu?
PG : Di dalam Amsal 22:15 firman Tuhan berkata : "Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya." firman Tuhan memang menekankan ekali disiplin, pembentukan, pengarahan.
Dan tidak ada konsep di Alkitab yang mendukung pandangan bahwa biarkan anak-anak bertumbuh dengan sendirinya secara natural, tidak. Tugas orang tualah untuk mengarahkan anak dan termasuk dalam hal mencuri ini. Saya kira salah satu hal paling pokok yang harus dilakukan orang tua adalah memberikan pengawasan pada anak. Anak yang tidak terawasi dengan baik, cenderung terlibat dalam masalah. Masalahnya pada masa kecil juga akan kecil, bertambah besar masalahnya akan bertambah rumit.
IR : Dan menanamkan kejujuran, ya?
PG : Betul sekali, jadi orang tua harus menanamkan kejujuran.
GS : Tapi justru seringkali dengan alasan apa, anak itu justru melihat orang tuanya mencuri, Pak Paul.
PG : Itu pernah saya lihat, waktu saya masih bekerja di departemen yang mengurus anak-anak yang dianiaya. Ada satu anak remaja yang mencuri, lalu ditangkap polisi dan saya baru tahu bahwa yag suka mencuri adalah mamanya, dia disuruh mamanya mencuri .
Mamanya mengambil barang, dia disuruh menunggu di depan lorong untuk melihat apakah ada orang atau tidak. Ya pantas anaknya mencuri karena mamanya mencuri.
IR : Langsung mencontoh perilaku orang tuanya, Pak Paul?
GS : Demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda, sebuah perbincangan tentang mengatasi perilaku anak yang mencuri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA. Bagi Anda yang berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran pertanyaan dan tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami ucapkan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.