Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Pada kesempatan ini kami akan berbincang-bincang tentang "Dampak Perceraian terhadap Anak." Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kita tentunya menikah dengan harapan bisa langgeng sampai maut memisahkan kita, tetapi fakta di dalam kehidupan ini ada keluarga-keluarga yang terpaksa bercerai. Yang ingin saya tanyakan adalah kalau pada awalnya pernikahan itu begitu mesra, begitu kelihatan cocok satu dengan yang lain sehingga memutuskan untuk menikah, lalu bagaimana prosesnya kenapa sampai mereka tiba pada keputusan harus berpisah Pak Paul?
PG : Sebelum saya menjawab Pak Gunawan, saya ingin menggarisbawahi yang tadi Pak Gunawan sampaikan yaitu meskipun kita ini tidak menginginkan perceraian, tapi faktanya adalah orang bercerai. Jai tujuannya kita menyajikan program ini pada hari ini bukanlah untuk menambahkan rasa bersalah atau memberikan penghakiman pada orang yang sudah bercerai, karena kita di sini juga mengakui bahwa orang yang bercerai adalah kebanyakan orang-orang yang terluka dan orang-orang yang sedih.
Sebab tadi Pak Gunawan sudah sampaikan bahwa kita ini menikah untuk selama-lamanya. Saya rasa jarang sekali ada orang yang berpikiran bahwa dia menikah hanya untuk sementara, untuk bercerai. Dalam konteks seperti itulah sekarang yang harus kita bahas adalah apa dampaknya pada anak-anak, sebab bagaimanapun anak adalah bagian integral dalam rumah tangga itu. Perceraian itu tidak terjadi seketika atau dalam satu hari, biasanya ada beberapa hal atau tahapan yang mendahuluinya. Biasanya kedua orang itu menikah karena menemukan kecocokan, akibatnya mereka bertekad untuk bergabung dalam mahligai pernikahan. Setelah mereka menikah, biasanya yang mulai mereka temukan adalah ketidakcocokan, mereka menyadari bahwa mereka berpikir dulu hal-hal ini bisa langsung diselesaikan dengan mudah tapi ternyata tidak semudah yang mereka duga. Ketidakcocokan juga bisa muncul karena hal-hal yang dulu tidak mereka lihat sekarang kelihatan. Dan kadang kala juga situasi hidup berbeda, hingga pada masa berpacaran sifat atau karakter tertentu tidak muncul, namun sekarang dalam situasi yang berbeda muncullah sifat-sifat yang akhirnya menimbulkan ketidakcocokan itu. Biasanya yang dilakukan setelah kita menemukan ketidakcocokan, kita berusaha untuk mencocokkan diri, jadi itu adalah upaya yang natural, kita berupaya untuk menjelaskan diri kita, menyampaikan keinginan kita dan kita berupaya juga mengoreksi pasangan kita agar pasangan kita bisa menjalankan apa yang kita inginkan. Nah, ini dalam konteks hal-hal yang baik, yang positif. Masalahnya adalah kadang kala kita berhasil, tapi cukup sering pasangan-pasangan itu tidak berhasil mengupayakan penyesuaian tadi.
GS : Penyesuaian itu, menyesuaikan yang tidak cocok Pak Paul?
PG : Betul, akhirnya waktu mereka merasakan kenapa tidak berhasil padahal saya sudah berusaha, saya sudah memberitahukan dia, saya sudah minta, atau saya sudah harapkan dia berubah, tapi ternyaa tidak juga berubah.
Nah, yang berikutnya adalah orang akan merasa gagal, gagal untuk membereskan masalah atau kemelut ini sebab yang akan mereka saksikan adalah masalah yang sama diulang-ulang. Ini memang ditimbulkan oleh sekurang-kurangnya dua penyebab yang pertama memang orang yang bersangkutan tidak mau berubah, sehingga akhirnya tidak terjadi perubahan. Tapi adakalanya persoalan itu bertahan bukan karena kedua belah pihak itu tidak mau berubah, tapi mereka belum memahiri cara untuk menyelesaikan problem. Tidak semua orang itu mengerti bagaimana berkomunikasi dengan baik, menyampaikan isi hati dengan baik dan akhirnya mengerti bagaimana membereskan problem yang ada di antara mereka. Nah, itu mungkin dua sebab yang akhirnya membuat mereka gagal menyelesaikan problem mereka. Masih tetap tidak cocok, reaksinya adalah frustrasi. Frustrasi sekali, kenapa tidak berubah, mengapa sama saja kapan berubahnya. Dalam keadaan frustrasi ini perasaan yang muncul adalah perasaan tidak berdaya. Tidak berdaya dalam pengertian tidak berdaya lagi menguasai, mengontrol pasangan kita, tindakannya itu seolah-olah benar-benar di luar jangkauan kita. Kita sudah beritahu jangan, dia tetap lakukan. Kita bilang tolong, kita tidak dihiraukan. Kita mencoba berbicara dengan lembut, dia berteriak akhirnya kita juga berteriak berharap dia tidak berteriak, tetapi hasilnya sama, tetap saja berteriak. Akhirnya merasa tidak berdaya lagi, merasa ini benar-benar dalam bahasa Inggrisnya uncontrol, tidak bisa dihadapi lagi, tidak bisa diatasi lagi. Saya berbuat apapun tidak membuat perubahan, tidak memberikan dampak sedikitpun. Akhirnya kalau kita sudah sampai pada titik kita biasanya menyerah. Menyerah ya sudah seperti apapun sudah tidak bisa lagi, saya apa-apakan memang ini porsi hidup saya, kenyataannya adalah begini. Biasanya menyerah itu diikuti oleh perasaan masa bodoh, memasabodohkan pasangan kita, tidak menghiraukan dia. Dia mau tegur, dia tidak mau tegur, dia mau sapa, tidak mau sapa, dia mau pulang, dia tidak mau pulang, kita berkata saya tidak peduli lagi. Sebetulnya dalam tahap seperti itu meskipun kita berkata kita tidak peduli lagi, sebetulnya perasaan kita sakit, kita sebetulnya sedang dalam keadaan terluka sekali, rasanya perih sekali. Namun ya sudah terpaksa kita bersikap seperti itu masa bodoh. Rasa sakit inilah yang berkepanjangan, yang sering kali mendorong orang untuk bercerai karena kita sebagai manusia tidak bisa menahan rasa sakit untuk waktu yang terlalu panjang. Atau perceraian muncul pada saat ada orang ketiga. Sudah pasti orang ketiga ini menjadi pendorong, dinamit yang membuat orang itu akhirnya bertekad keluar dari pernikahannya dan akhirnya tertarik dengan orang itu. Tapi kalau tidak ada orang ketiga, biasanya yang menjadi pencetus perceraian itu adalah rasa sakit yang tidak tertahankan lagi.
GS : Tapi bagaimana Pak Paul orang yang sudah bersikap masa bodoh tadi, karena menyerah dia masa bodoh, apakah masih bisa merasakan rasa sakit Pak Paul?
PG : Maksudnya dia terpaksa masa bodoh?
GS : Padahal sebenarnya tidak begitu, dia tetap peduli.
PG : Sebetulnya dia mau peduli, dia tetap menginginkan perubahan kalau bisa terjadi perubahan. Namun setelah berusaha berkali-kali dan mungkin bertahun-tahun, nyatanya tidak ada perubahan, terpksa dia bersikap masa bodoh.
Dalam masa bodoh itu sebetulnya dia tetap terluka, terlukanya tidak harus karena tindakan pasangannya lagi, karena biasanya pada titik masa bodoh ini sudah hampir tidak ada kontak lagi secara emosional atau secara komunikasi. Lukanya karena misalnya dia masih menyaksikan pasangannya melakukan hal yang tidak dia sukai, yang menyakitkan hatinya itu nomor satu. Atau yang kedua luka dalam pengertian karena apa yang dia dambakan, apa yang dia inginkan tidak menjadi kenyataan, yang diharapkan dalam pernikahan ini benar-benar dia sadari pupus, bahwa tidak ada lagi perubahan, dan mungkin tidak ada lagi harapan. Jadi orang waktu hidup dalam pernikahan yang tidak sehat itu, hatinya pasti luka, sakit. Kita pulang ke rumah misalnya, pasangan kita tidak menegur kita, kita makan dia tidak temani, kita ajak berbicara dia menjawab sekata dua kata, ya sekeras-kerasnya hati kita memasabodohkan, menebalkan perasaan tetap hati kita tertusuk. Kalau ini berkepanjangan kita makin hari makin perih, kalau sudah tidak tertahankan akhirnya kita berkata saya mau tinggalkan dia.
IR : Kata merasa dengan rasa sakit itu sebenarnya dalam hati itu masih ada rasa cinta ya Pak Paul?
PG : Ada rasa, bisa dikatakan begitu kadang kala itu yang terjadi Bu Ida. Mereka sebetulnya masih mencintai atau ada yang masih berharap terjadi perubahan. Tapi yang pernah saya saksikan juga mskipun cinta itu boleh dikata hampir tidak ada tetap terluka.
Karena hidup dalam satu naungan rumah terus seperti itu sebetulnya menyakiti hati.
IR : Dan juga mungkin masa lalu yang mesra dulu juga masih terbawa ya Pak Paul?
PG : Bisa jadi mengingatkan dia, dulu tidak seperti ini, dulu orangnya mengasihi saya, dia dulu orang yang penuh perhatian kepada saya kenapa bisa begini berubahnya.
(1) GS : Apakah ada suatu tahapan di mana dia menyalahkan dirinya sendiri Pak Paul, sehingga membuat dia sakit?
PG : Pertanyaan yang baik Pak Gunawan, kita ini adalah manusia yang sering kali mencari penyebab atau apa yang salah. Pada awal-awalnya percekcokan, kecenderungan kita menyalahkan orang lain. Nmun kalau sampai ke titik tidak ada lagi perubahan, pernikahan sudah begitu buruk, ada memang kecenderungan kita mulai menatap diri kita dan akhirnya kita mulai berkata saya juga salah, kenapa saya begini, kenapa sampai begini, mungkin saya terlalu ini, mungkin saya terlalu itu, itu biasanya juga terjadi.
Atau ada yang menyalahkan diri ke titik yang paling awal yaitu kenapa saya menikahi dia.
GS : Nah itu Pak Paul, masalah ketidakcocokan itu sebenarnya harus sudah terselesaikan sebelum mereka itu memutuskan untuk menikah?
PG : Seyogyanya Pak Gunawan, namun saya kira cinta itu luar biasa bertenaganya, begitu bertenaganya sehingga mengaburkan kejernihan pandangan kita. Saya kadang kala memberikan suatu perumpamaankepada orang yang belum menikah, tapi sudah pacaran dan akan menikah.
Perumpamaan saya adalah begini waktu kita sekolah, waktu kita berkuliah terus kita didatangi seseorang yang ingin kost bersama kita, pertanyaan yang pertama muncul adalah kira-kira bisa cocok atau tidak itu yang akan kita tanyakan. Kemudian kita kira dia cocok dengan kita, kita tinggal bersama dengan dia, berkuliah bersama. Setelah kita kuliah (ini dengan sesama jenis) sudah pasti kemudian kita sadari aduh tidak cocok, cara pikir, cara hidupnya, kebiasaannya tidak cocok dengan kita. Yang kita harapkan adalah semester depan dia pindah atau saya pindah. Tapi waktu pacaran ini masalahnya sedikit orang berpikir seperti itu, waktu tidak cocok sering kali yang kita lakukan justru memaksakan, merasionalisasi, mungkin dia lagi begini, mungkin nanti akan lebih beres. Saya kira dia orangnya bukan begitu, sifatnya sebetulnya baik dan sebagainya. Kita merasionalisasi supaya bisa cocok, nah saya rasa kenapa kita begitu, karena sudah terlanjur menyukainya, sehingga kadar suka itu mengaburkan kejernihan pertimbangan kita.
IR : Dan takut kalau berpisah Pak Paul, takut kalau tidak jadi mungkin akan patah hati, dan sakit.
PG : Tepat sekali, jadi sering kali ketakutan untuk sakit itu menghentikan dia untuk melakukan tindakan-tindakan yang sehat dan preventif itu atau untuk putus.
GS : Tapi kalau sudah menikah putus malah lebih sakit lagi.
PG : Sebetulnya begitu, kalau mereka sudah terlanjur menikah pasti akan lebih parah. Saya suka memberikan pertanyaan kepada orang yang berpacaran, mau menikah, yaitu berapa seringnya saudara betengkar? Apakah bertengkar untuk hal yang sama.
Nah itu pertanda kalau bertengkarnya sering dan bertengkarnya menyangkut hal yang sama terus-menerus suatu pertanda bahwa ini bukanlah hubungan yang cocok, sebab orang yang cocok tidak terlalu sering bertengkar, dan orang yang cocok kalaupun bertengkar bisa menemukan titik temunya. Sebab demikianlah juga kita dengan teman-teman sejawat kita, masalahnya adalah karena sering kali terlanjur cinta, kita gagal melihat hal ini.
GS : Yang sering juga terjadi pada waktu pacaran, walaupun sudah melihat secara jujur Pak Paul dan merasa cocok, memang betul cocok sepakat mereka menikah, lalu setelah menikah di awal perjalanan pernikahan terjadi semacam intervensi yang mereka tidak duga sama sekali bahwa akan ada seperti itu. Katakan saja misalnya orang tuanya bergabung di situ dalam rumah itu. Lalu dari situ timbul ketidakcocokan, masalahnya adalah mereka tidak terampil dalam menyelesaikan masalah tadi yang Pak Paul sudah sampaikan. Bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang datang tiba-tiba seperti ini?
PG : Cinta harus kuat karena kalau cinta tidak kuat, ikatan itu mudah sekali untuk putus. Jadi cinta yang kuat memperkuat pasangan itu untuk menghadapi segala macam tantangan. Sebab betul kata ak Gunawan, hidup ini penuh dengan hal-hal yang tidak terduga, mengejutkan kita, kalau tidak kuat dan kejutannya terlalu besar hingga akhirnya menggoyangkan pernikahan mereka itu.
Jadi nomor satu cintanya harus kuat. Maksudnya cinta itu sangat berkaitan sebetulnya dengan kecocokan. Kita cenderung makin mencintai orang yang kita rasa cocok dengan kita, yang jarang bertengkar dengan kita. Kalau kita sering bertengkar, sering tidak cocok, tidak bisa tidak yang akan termakan adalah rasa cinta itu. Kalau memang hubungannya kurang begitu kuat, karena sudah termakan oleh percekcokan oleh ketidakcocokan terus mereka menikah dan ada kejutan orang tua tinggal dengan mereka atau misalnya salah satu dari antara mereka diberhentikan dari pekerjaannya atau anaknya cacat dan sebagainya, biasanya langsung menggoyangkan sendi-sendi pernikahan mereka. Jadi persiapan yang pertama memang kita harus melihat berapa besar cinta kita dan berapa kecilnya ketidakcocokan kita itu, semakin besar ketidakcocokan biasanya makin sulit nantinya. Dan keterampilan memecahkan problem itu harus sudah kita lihat dalam diri orang yang mau menikah, misalnya kalau bertengkar dia banting pintu, dia keluar rumah. Berarti dia itu belum terampil untuk memecahkan problem. Atau kalau ada problem nangis meraung-raung, akhirnya tidak bisa menyelesaikan problem karena pasangannya tidak bisa bicara, habis nangis terus-menerus. Atau ngambek tidak mau bicara selama 3 hari 3 malam. Cara-cara yang tidak sehat itu sudah tentu menghalangi orang untuk menyelesaikan problem. Jadi hal kedua yang perlu dipersiapkan bagi para pasangan yang mau menikah adalah keterampilan untuk menyelesaikan problem. Kalau ada orang yang misalnya menyalahkan orang lain, kalau ada sesuatu yang terjadi, itu juga menandakan dia tidak bisa atau tidak terampil memecahkan problem karena kurang dewasa.
(2) IR : Kalau satu keluarga sudah mengalami ketidakcocokan, kemudian orang tuanya sampai bercerai, bagaimana dampak untuk anak-anaknya Pak Paul?
PG : Ada banyak dampak sebetulnya Bu Ida, kita akan bahas beberapa dulu untuk saat ini, mungkin untuk lainkali kita akan membahas kelanjutannya. Yang pertama adalah dampak pada anak-anak itu saa kategorikan pada masa ketidakharmonisan, belum sampai bercerai namun sudah mulai tidak harmonis.
Apa dampaknya pada si anak, biasanya yang pertama adalah anak mulai menderita kecemasan yang tinggi, ketakutan, cemasnya kenapa? sebab dia mendengar orang tuanya berbicara mengenai perceraian, mereka sudah dengar kata-kata cerai muncul dari kosa kata orang tuanya. Setiap anak takut atau cemas mendengar kata cerai dari mulut orang tuanya. Setiap anak takut berpisah dari orang tua, dan setiap anak takut orang tuanya berpisah dari satu sama lain. Itu dua hal yang sering kali anak cemaskan.
GS : Tapi pernah terjadi begini Pak Paul, dengan perpisahan itu menghindari terjadinya percekcokan di depan anak. Maksud saya misalnya seperti beberapa waktu yang lalu kita bicarakan, si ayah atau si suami itu pergi keluar kota karena pekerjaannya, lama tidak pulang, 'kan juga timbul rasa cemas pada anak itu.
PG : Anak mempunyai kepekaan, jadi waktu anak-anak melihat orang tua serumah tidak bertengkar tapi tidak mesra atau kurang memperhatikan satu sama lain. Kalau kita bertanya pada diri kita sendii kita tahu atau tidak, siapa yang lebih mencintai siapa, papa lebih mencintai mama atau mama lebih mencintai papa.
Saya rasa kita semua bisa menjawab, meskipun orang tua kita tidak pernah memberikan surat pemberitahuan. Tapi kita bisa menjawabnya.
GS : Ya karena sifatnya, perilakunya itu 'kan bisa kelihatan Pak Paul?
PG : Betul, jadi sikap-sikap yang tidak tertulis tapi ditunjukkan kepada anak, biasanya isyarat-isyarat yang anak akan tangkap, bahwa ada yang tidak beres di antara orang tuanya.
GS : Setelah melewati sekian masa, di mana anak itu merasa takut atau cemas, kehilangan dan sebagainya. Apa yang terjadi pada diri anak itu?
PG : Dia akan mulai merasa takut, takut dalam pengertian bukannya saja karena mulai mengantisipasi perceraian, dia mulai takut mengantisipasi pertengkaran. Jadi satu pertengkaran membuat anak brpikir akan muncul pertengkaran yang kedua, pertengkaran yang kedua membuat anak berpikir akan muncul pertengkaran ketiga.
Jadi anak-anak ini mulai hidup dibayang-bayangi oleh pertengkaran orang tua, jangan sampai bertengkar lagi, bertengkar lagi, tapi sering kali yang terjadi adalah justru dia bertengkar nah waktu bertengkar lagi anak makin takut. Aduh tegang tidak enak, nah ketakutannya bukan hanya untuk kali itu mendengar orang tuanya bertengkar, ketakutannya adalah mulai mengantisipasi jangan-jangan besok bertengkar lagi atau kapan mereka akan bertengkar lagi, jadi senantiasa hidup berjaga-jaga dan dalam keadaan was-was itu.
IR : Dan kalau kedua orang tuanya itu sedang bertengkar Pak Paul, memungkinkan anak itu bisa membenci salah satu orang tuanya Pak Paul misalnya si anak itu lebih mencintai ibunya, dia akan benci kepada ayahnya?
PG : Betul sekali Bu Ida, jadi anak misalnya melihat bahwa yang menjadi korban adalah orang yang dikasihinya atau memang dia melihat yang jahat adalah ayahnya atau ibunya timbullah rasa keadila dalam dirinya, di mana dia ingin membela yang dianggap benar dan mulailah dia membenci yang dianggap penjahat atau penjajah dalam rumahnya.
Maka yang timbul adalah kebencian demi kebencian.
GS : Tapi ada juga Pak Paul, saya tadi sempat terkenang pada satu pasangan yang sebenarnya menyeleweng. Ini suami atau ayah, tapi sampai sekarang ini mereka sudah bercerai. Anak-anak itu masih ikut sang ayah karena kekayaan itu ada pada sang ayah itu Pak. Jadi ayah itu mampu menggunakan uangnya itu untuk membuat anak-anaknya dekat pada dia tapi menjauhi ibunya.
PG : Bisa jadi begitu, dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul 3 kategori anak Pak Gunawan. Yang pertama adalah anak-anak yan memberontak yang menjadi masalah di luar, kedua adalah anak-anak yang mengurung diri, menjadi depresi bawaannya sedih, yang ketiga adalah anak-anak yang super baik yang jadi juru selamat rumah tangga.
Nah anak-anak yang super baik ini adalah anak-anak yang sebetulnya menyangkali fakta, mereka tidak mau menerima fakta bahwa orang tuanya bermasalah, merekalah yang melindungi reputasi orang tua dan mengasihi orang tuanya secara membabi buta seolah-olah orang tuanya itu terbaik di dunia ini, tidak ada orang yang boleh mencela orang tuanya. Jadi unsur penyangkalannya kuat sekali, jadi itu bisa juga terjadi Pak Gunawan.
GS : Ya betul, jadi memang mereka lebih menekankan itu, reputasi ayahnya karena ayahnya terkemuka juga sedangkan ibunya tersingkirkan. Tapi ada juga reaksi dari anak itu yang menjadi mudah marah Pak Paul, atau karena mereka mencontoh orang tuanya yang suka marah tiap-tiap hari?
PG : Itu betul sekali Pak Gunawan, salah satu dampaknya adalah anak yang terlalu sering melihat orang tua bertengkar, dia akan sedikit demi sedikit mencontoh perilaku tersebut. Kalau tidak ada esesuaian dia marah, kalau orang tidak melakukan yang ia inginkan dia marah, sebab itu yang dia saksikan.
Namun kemarahan juga bisa muncul karena nomor satu dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan seperti ini atau dia marah karena melihat salah satu pihak itu memang jahat, kurang adil. Yang lainnya lagi adalah karena memang dia harus kehilangan hidup yang tenteram, yang hangat, dia menjadi marah pada orang tuanya kok memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
GS : Apakah ada kecemasan tentang masa depan mereka Pak Paul, jadi mereka punya perasaan, nanti kalau orang tua cerai lalu masa depan mereka bagaimana, ada atau tidak Pak Paul perasaan itu?
PG : Ada sekali, kebanyakan anak-anak takut orang tua bercerai, salah satunya adalah takut masa depan mereka akan hancur. Sebab mereka tahu waktu orang tua cerai pasti berdampak besar terhadap ereka dan tiba-tiba masa depan yang tadinya sudah terbayang akan kabur maka tidak heran kalau anak-anak korban perceraian sering juga menjadi anak-anak yang frustrasi.
Karena sudah merasa hidup itu tidak ada lagi maknanya, masa depan sudah begitu suram buat apa lagi saya hidup baik-baik. Jadi akhirnya hidup jauh lebih sembarangan, semuanya menuruti hasratnya.
IR : Dan kelak kalau anak ini sudah menikah apa ada kecenderungan juga untuk mudah bercerai dengan pasangannya Pak Paul?
PG : Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga yang bermasalah memang sedikit banyak terpengaruh Bu Ida, saya tidak bisa pastikan apakah mereka akan lebih mudah bercerai. Tapi kalau tidak medapat pertolongan, perbaikan dan perubahan dalam hidupnya, kemungkinan problem itu akan dibawanya dalam pernikahan itu sendiri sehingga menjadi masalah lagi nantinya.
GS : Ada juga yang merasa rendah diri Pak Paul?
PG : Betul, ada juga yang akhirnya minder.
GS : Mungkin kita akan lanjutkan pembicaraan ini pada kesempatan yang akan datang Pak Paul, karena masih ada beberapa hal yang harus kita bicarakan khususnya setelah perceraian itu terjadi, namun mungkin untuk mengakhiri sesi ini Pak Paul akan menyampaikan sebagian firman Tuhan.
PG : Saya akan mengulang lagi yang firman Tuhan katakan di Matius 19:6 "Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia." Tuhan memang mlarang orang bercerai dengan alasan-alasan yang sangat jelas, Tuhan mengerti dampaknya begitu berat, baik bagi orang yang bercerai maupun terhadap anak-anak mereka.
Makanya Tuhan meminta agar kita baik-baiklah menjaga pernikahan kita karena dampak perceraian atau pertengkaran atau ketidakharmonisan sangat besar, jadi jagalah baik-baik pernikahan kita.
GS : Saya rasa itulah anjuran Tuhan yang sangat penting untuk kita lakukan.
Dan demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan tentang dampak perceraian pada anak dan kita masih akan melanjutkan pokok pembicaraan ini pada kesempatan yang akan datang, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T42A
- Adakah tahapan di mana orang yang bercerai itu menyalahkan dirinya sendiri?
- Apa dampak perceraian terhadap anak?
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sel, 06/01/2009 - 11:47am
Link permanen
Fitri
TELAGA
Jum, 16/01/2009 - 1:24pm
Link permanen
Perceraian tidak berhubungan
Anonymous (tidak terverifikasi)
Sen, 26/01/2009 - 11:00pm
Link permanen
artikel yang baik..
TELAGA
Kam, 29/01/2009 - 11:52am
Link permanen
Ada beberapa hal yang dapat
Anonymous (tidak terverifikasi)
Rab, 27/05/2009 - 8:15pm
Link permanen
perceraian jangan membawa
Anonymous (tidak terverifikasi)
Min, 16/05/2010 - 11:55am
Link permanen
tuntutan istri utk cerai
golden arwana
Sen, 08/08/2011 - 3:38pm
Link permanen
jangan hancurkan masa depan anakmu yang lucu...
TELAGA
Sen, 12/09/2011 - 1:04pm
Link permanen
Mesti berat memang kita harus
Anonymous (tidak terverifikasi)
Min, 06/06/2010 - 3:45am
Link permanen
Mas Gatot
Andrea
Sab, 01/10/2011 - 10:58am
Link permanen
Suami acuh pada saya dan keluarga...
TELAGA
Sen, 03/10/2011 - 11:13am
Link permanen
Ibu Andrea
hana
Sen, 21/04/2014 - 1:27am
Link permanen
please
TELAGA
Kam, 24/04/2014 - 12:22pm
Link permanen
Sdri. Hana, Terima kasih
TELAGA
Jum, 25/04/2014 - 1:54pm
Link permanen
Dear Hana, Membaca email
kamila
Sab, 31/05/2014 - 10:50pm
Link permanen
Saya juga menemukan masalah
TELAGA
Rab, 04/06/2014 - 3:27pm
Link permanen
Dampak perceraian ortu terhadap anak