Tiga Wajah Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T602A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Anak berkembang secara fisik, berubah secara mental dan rohani, tiga fase perubahan, masa kecil – remaja, masa dewasa, masa paro baya, camkan prinsip tabur tuai, terima kondisi anak apa adanya, didik semasa muda, semakin tua semakin kecil harapan untuk berubah.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan
T 602A "Tiga Wajah Anak" 
dpo.Pdt.Dr.Paul Gunadi

Mungkin kita bertanya-tanya, "Apakah maksudnya tiga wajah anak?" Yang saya maksud dengan "wajah" di sini adalah karakter atau diri anak yang berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangannya dan pengalaman hidupnya. Berdasarkan pengamatan saya terhadap anak sendiri dan anak orang lain, serta pembicaraan dengan sesama orang tua, saya menyimpulkan bahwa bukan saja anak berkembang secara fisik, tetapi anak juga berubah secara mental dan rohani. Anak yang kita lihat dan kenal di usia 5 tahun bukanlah anak yang kita lihat dan kenal di usia 25 tahun. Anak yang kita lihat dan kenal di usia 25 tahun, bukanlah anak yang kita lihat dan kenal di usia 50 tahun.

Meski anak bisa berubah pada usia berapa pun, namun setidaknya ada tiga titik atau fase di mana kita bisa melihat perubahan anak secara jelas. Pertama adalah masa kecil-remaja, kedua adalah masa dewasa, dan ketiga adalah masa paro-baya. Mari kita cermati satu per satu.

Masa kecil-remaja adalah masa di mana anak sepenuhnya berada di bawah otoritas orang tua.
Meski karakter dasar anak sudah tampak pada masa ini, namun karakter anak belum berkembang secara penuh. Anak masih harus tunduk pada kehendak orang tua; jadi, mau tidak mau, ia mesti mengerem diri dan menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak orang tua. Sebagai contoh, anak rajin belajar atau membantu orang tua karena memang ia dituntut untuk itu, belum tentu karena memang ia rajin dan suka membantu orang tua. Contoh lain, anak tidak mengamuk atau marah, belum tentu karena ia sabar dan murah hati; bisa jadi karena perilaku seperti itu dilarang oleh orang tua. Jadi, siapa anak sesungguhnya belum dapat terlihat jelas karena belum semua berkembang bebas.

Masa kedua adalah masa pemuda-dewasa.
Pada masa ini peran dan pengaruh orang tua sudah tidak sekuat sebelumnya namun tetap masih ada dan membayangi anak. Anak masih menjadi tanggungan orang tua atau setidaknya, ia masih membutuhkan nasihat serta dukungan orang tua. Pada masa ini anak mendapat keuntungan sosial dari reputasi orang tua yang baik di masyarakat. (Sebaliknya, jika reputasi orang tua di masyarakat tidak baik, anak mesti menanggung kerugian sosial; ia akan tertekan dan merasa malu). Itu sebab pada masa ini meski anak memunyai ruang gerak yang lebih besar, namun orang tua masih dapat mengekang kebebasannya. Itu sebab diri anak yang sesungguhnya belum sepenuhnya berkembang. Bahkan, kalaupun ia memberontak, belum tentu itu mencerminkan siapa dirinya; bisa jadi, itu hanyalah ungkapan rasa tidak sukanya.

Masa ketiga adalah masa paro-baya.
Ini adalah fase di mana anak sudah mapan dan terlepas dari bayang-bayang orang tua yang telah berusia lanjut dan melemah. Pada fase ini anak berangsur-angsur memegang tampuk otoritas dan mengambil keputusan buat orang tua, sebab orang tua harus bergantung pada anak. Di fase ini barulah kita dapat melihat dan mengenal siapakah anak yang sesungguhnya. Bila dulu banyak hal muncul akibat keharusan dan pengaruh orang tua, sekarang di masa paro-baya, barulah dapat kita lihat apakah hal-hal yang baik itu ada padanya. Di saat ini barulah kita dapat melihat apakah memang anak adalah seorang yang pemurah dan berhati baik. Banyak orang tua kecewa pada anak, bukan di masa anak kecil-remaja atau pemuda-dewasa, tetapi di masa anak berusia paro-baya. Banyak yang bertanya-tanya, "Apakah yang terjadi pada anak saya?" Banyak yang menyalahkan pasangan anak sebagai penyebab perubahan pada anak, misal anak menjadi kikir atau tidak peduli. Mungkin anak berubah akibat pengaruh pasangan; tetapi bisa jadi bukan. Sebagaimana telah saya uraikan, di masa paro-baya inilah anak baru berkesempatan menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Ternyata ia tidak berubah; ia hanya belum sempat menunjukkan dirinya. Sekarang barulah ia berkesempatan memerlihatkan diri apa adanya. Jadi, sekarang apakah yang mesti kita perbuat? Hal pertama yang mesti kita camkan adalah meski prinsip tabur-tuai tidak selalu berlaku namun pada umumnya prinsip tabur-tuai berlaku. Tidak ada jaminan bahwa apa yang kita tanamkan pada anak serta contohkan melalui kehidupan kita, akan menghasilkan buah. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. James Dobson, membesarkan anak ibarat mengisi balon dengan gas dan melepaskannya ke udara. Ada balon yang tersangkut di dahan pohon, ada balon yang tersangkut di kawat listrik, dan ada balon yang terus membumbung tinggi ke langit. Sebagai orang tua kita hanya dapat mengisi anak dengan hal-hal yang baik dan mengarahkan agar ia dapat terbang tinggi. Namun, kita tidak dapat memastikannya; kita mesti melepaskannya. Walaupun semua ini benar dan kerap terjadi, tetapi pada umumnya bila kita menanamkan hal yang baik serta mencontohkannya dalam hidup sehari-hari, maka besar kemungkinan anak akan belajar dan mengikuti teladan yang kita tanamkan. Sebaliknya, walau ada anak yang bertumbuh besar dengan akhlak yang baik meski dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang buruk, namun pada umumnya, anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang buruk akan mengembangkan karakter yang buruk pula. Jadi, bila kita ingin melihat anak bertumbuh besar menjadi anak yang pemurah dan berhati baik, kita mesti mengajarkannya dan menjadi contoh bagi anak semasa ia kecil. Jadi, jika kita mengakui bahwa memang kita kurang mendidiknya atau menjadi contoh yang baik bagi anak, terimalah kesalahan ini dan pikullah tanggung-jawab. Jangan salahkan anak atau orang lain.

Hal kedua yang mesti kita camkan adalah pada akhirnya kita harus, bukan saja menerima, tetapi juga berhubungan dengan anak sesuai dengan kondisi anak apa adanya. Bila ia tidak pemurah, jangan tuntut dia untuk memberi kepada kita. Jika ia kurang peduli, jangan tuntut anak untuk memerhatikan kita. Masa untuk mendidiknya telah berlalu; makin kita marah dan menuntutnya, makin memburuk relasi kita dengannya; dan, makin ia mendapat alasan untuk menjauh dari kita. Tuhan melihat dan menuntut pertanggungjawaban dari kita semua. Tuhan pun mengasihi kita, sedemikian besar kasih-Nya kepada kita sehingga Ia tidak berhenti mengingatkan dan memberi kita kesempatan untuk bertobat. Itu sebab kepada anak yang hidup berkenan kepada Tuhan, Ia akan memberkati; sebaliknya, kepada anak yang hidup tidak berkenan kepada-Nya, Ia menarik berkat. Tuhan panjang sabar; Ia menunggu dan menunggu. Namun, bila kita tetap mengeraskan hati, akan datang Hari Perhitungan di mana Ia mendisiplin kita. Jadi, serahkan anak kita kepada Tuhan.

Terakhir, meski kita tidak bisa berbuat banyak terhadap anak di saat ia sudah berusia paro-baya, kita dapat dan seharusnya berbuat banyak di masa mudanya. Kita mesti berani menyatakan sikap terhadap perbuatannya yang tidak berkenan kepada Tuhan. Jangan sampai ia menyimpulkan bahwa ia bebas berbuat apa saja sebab kita akan selalu menerimanya. Pada akhirnya, kita harus berani kehilangan anak bila kita tidak ingin dia menjadi anak yang terhilang. Makin kita bungkam, makin dalam ia terjerumus, dan makin buruk "wajah" yang akan diperlihatkan di hari tuanya.

Seyogianya Raja Daud bertindak tegas terhadap Amnon, putranya; sayang, itu tidak dilakukannya. Ia membiarkan kejahatan Amnon memperkosa Tamar, adiknya sendiri, berlalu tanpa konsekuensi. Kebungkaman Daud membuat Absalom, putra Daud yang lain, marah dan membunuh Amnon. Ia pun dibiarkan tanpa konsekuensi. Pada akhirnya, sebagaimana kita ketahui, Absalom bangkit dan berupaya menggulingkan takhta Daud. Wajah anak-anak Daud yang manis dan rupawan akhirnya berubah menjadi wajah yang jahat dan menyeramkan. Firman Tuhan mengajarkan, "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya" (Amsal 19:18). Makin tua, makin mengecil harapan untuk anak berubah; jadi, didiklah anak semasa ia muda.