T 602 A "TIGA WAJAH ANAK"
oleh Pdt. Dr. Paul GunadiKata kunci: Anak berkembang secara fisik, berubah secara mental dan rohani, tiga fase perubahan, masa kecil-remaja, masa dewasa, masa paro baya; camkan prinsip tabur tuai, terima kondisi anak apa adanya, didik semasa muda semakin tua semakin kecil harapan untuk berubah
TELAGA 2024
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tiga Wajah Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, perbincangan kita kali ini tentang "Tiga Wajah Anak", sebetulnya apa maksudnya dari "Tiga Wajah Anak" ini?
PG: Yang saya maksud dengan "wajah" disini adalah karakter atau diri anak. Mengapa saya memberikan angka tiga, karena karakter atau diri anak ini seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perkembangannya dan pengalaman hidupnya, Pak Necholas.
ND: Wah, menarik sekali, Pak Paul, sebetulnya pembagian dari tahapan hidup dari seorang anak itu seperti apa, Pak Paul?
PG: Jadi begini, anak-anak yang kita lihat di usia 5 tahun, bukanlah anak yang kita akan kita lihat atau kenal di usia 25 tahun. Anak yang kita lihat dan kenal di usia 25 tahun, bukanlah anak yang kita lihat dan kenal di usia 50 tahun. Berdasarkan pengamatan saya terhadap anak saya sendiri dan anak-anak orang lain serta pembicaraan dengan sesama orang tua, saya meyimpulkan bahwa bukan saja anak berkembang secara fisik, tetapi anak juga berubah secara mental dan rohani. Memang kita akan melihat perubahan-perubahan itu, maka saya menyebutnya "Tiga Wajah Anak".
ND: Jadi ini khususnya untuk orang tua yang sudah cukup lanjut usia, sudah cukup berumur, sehingga sudah bisa mengikuti perkembangan anaknya sejak kecil sampai usia yang sudah dewasa.
PG: Betul, jadi kita akan melihat setidak-tidaknya ada tiga fase, yaitu masa kecil dan remaja; kedua adalah masa dewasa atau pemuda dan yang ketiga adalah masa paro baya. Sudah tentu sebetulnya kita atau anak bisa berubah pada usia berapa pun namun setidaknya ada tiga titik atau tiga fase ini dimana seringkali kita melihat perubahan pada anak.
ND: Tadi Pak Paul sempat sebut anak usia 5 tahun dengan 25 tahun dan 50 tahun, tentunya sangat berbeda. Sebetulnya bagaimana, Pak Paul, perbedaannya?
PG: Coba kita lihat satu per satu, misalnya kita lihat masa kecil dan remaja. Nah, ini adalah masa dimana anak sepenuhnya berada di bawah otoritas orang tua, meski karakter dasar anak sudah tampak pada masa ini, namun karakter anak belum berkembang secara penuh. Anak masih harus tunduk kepada kehendak orang tua, jadi mau tidak mau mesti mengekang diri dan menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak orang tua. Sebagai contoh, anak rajin belajar atau membantu orang tua, karena memang ia dituntut untuk itu. Belum tentu karena memang ia rajin dan suka membantu orang tua. Contoh lain: anak tidak mengamuk, belum tentu karena ia sabar dan murah hati, bisa jadi karena perilaku seperti itu dilarang oleh orang tua. Jadi siapa anak sesungguhnya? Belum terlihat jelas, karena memang belum semuanya berkembang secara maksimal.
ND: Jadi kesannya anak itu melakukan sesuatu hanya karena ia dituntut orang tuanya begitu dan dia hanya ingin menyenangkan orang tuanya.
PG: Betul, atau takut pada orang tua. Sudah tentu ini bukanlah hal yang buruk, Pak Necholas, sebab anak memang harus belajar, harus menyerap nilai-nilai yang baik dari orang tua. Maka tidak salah dan seharusnyalah orang tua menerapkan juga mencoba untuk menanamkan kebiasaan yang baik, nilai-nilai hidup yang baik pada anak. Tapi yang saya mau ingatkan adalah, belum tentu anak menyerap semuanya, meskipun harapan kita anak menyerap semua yang kita tanamkan, yang baik itu. Belum tentu. Ini yang mau kita sebagai orang tua sadari, jangan terkejut kalau nanti kita melihat anak berubah, apa yang terjadi? Bukankah kita telah tanamkan nilai-nilai ini, karena memang pada saat-saat itu, waktu kita tanamkan kebebasannya masih sedikit banyak terbatasi, pilihan-pilihannya tidak seperti dia sudah dewasa, masih harus tunduk pada kehendak kita. Singkat kata, dirinya yang sesungguhnya belum berkembang secara penuh.
ND: Bagaimana Pak Paul dengan tahapan yang berikutnya, ketika dia sudah mulai dewasa?
PG: Pada masa pemuda dewasa peran dan pengaruh orang tua sudah tidak sekuat sebelumnya, namun tetap masih ada dan membayangi anak. Anak masih menjadi tanggungan orang tua atau setidaknya ia masih membutuhkan nasihat serta dukungan orang tua. Pada masa ini, anak biasanya mendapatkan keuntungan sosial dari reputasi orang tua yang baik di masyarakat. Sebaliknya jika reputasi orang tua di masyarakat tidak baik, anak mesti menanggung kerugian sosial, tertekan dan merasa malu. Itu sebab pada masa ini meski anak memunyai ruang gerak yang lebih besar, namun orang tua masih dapat mengekang kebebasannya. Itu sebab diri anak yang sesungguhnya belum sepenuhnya berkembang. Bahkan kalau pun ia memberontak, dia tidak setuju dengan apa yang kita minta misalnya, belum tentu itu mencerminkan siapa dirinya. Bisa jadi itu hanyalah ungkapan rasa tidak sukanya. Saya kembali pada poin yang sebelumnya tadi, pada masa ini mereka memang memetik keuntungan dari reputasi orang tua yang baik. Jadi ini adalah salah satu pendorong/penguat anak untuk mengikuti kita, kita juga mesti menerima kenyataan, bahwa belum tentu ini adalah sungguh-sungguh dirinya. Bisa jadi di usia-usia pemuda ini dia ke gereja, rajin melayani, sebab ia tahu orang tuanya misalnya adalah aktivis di gereja, pengurus atau majelis atau bahkan hamba Tuhan. Itu adalah hal-hal yang dipandang dinilai baik oleh orang dalam masyarakat. Jadi karena dia mau ikut mendukung orang tuanya, menikmati keuntungan sosial itu, maka ia juga ikut pelayanan dan sebagainya, tapi saya mau ingatkan belum tentu ini adalah dirinya yang sesungguhnya, karena masih adanya pengaruh-pengaruh orang tua itu meskipun tidak lagi sekuat waktu ia masih kecil.
ND: Istilahnya anak ini masih ada dibawah bayang-bayang orang tua.
PG: Betul, betul dan juga misalnya ia sayang pada orang tua, jadi ia tidak mau orang tuanya malu, maka ia juga mengekang dirinya, tidak melakukan hal-hal yang sebetulnya ia ingin lakukan. Nah, maka kalau misalnya orang tuanya sudah tua, nanti kita bahas dia sudah lebih dewasa, bisa jadi ia melakukan hal-hal yang bertolak belakang dari apa yang diajarkan oleh orang tuanya dan orang tuanya mungkin terkaget-kaget, mengapa anak saya bisa begini, yaitu dia sebab pada usia remaja pemuda, dia masih dibawah bayang-bayang kita, mungkin ingin menyenangkan hati kita, mau menjaga reputasi kita, akhirnya ia mengikuti apa yang kita minta.
ND: Bagaimana Pak Paul dengan tahapan yang selanjutnya, yaitu ketika anak sudah betul-betul lepas dari orang tua?
PG: Ini adalah fase dimana anak sudah mapan dan terlepas dari bayang-bayang orang tua yang telah berusia lanjut dan melemah. Misalnya anak berusia 50 tahun, berarti orang tuanya sudah berusia 75 atau 80 tahun. Pada fase ini anak berangsur-angsur memegang tampuk otoritas dan mengambil keputusan untuk orang tua, sebab orang tua harus bergantung pada anak. Di fase ini barulah kita dapat melihat siapakah anak yang sesungguhnya. Bila dulu banyak hal, karakter, perilaku muncul akibat keharusan, pengaruh reputasi orang tua. Sekarang di masa paro baya barulah dapat kita lihat apakah hal-hal yang baik itu ada padanya. Di saat ini barulah kita dapat melihat apakah memang anak seorang yang pemurah dan berbaik hati. Misalnya, dulu orang tuanya sakit, orang tua itu tidak minta pun, anak langsung datang untuk menjenguk, pada waktu papa mamanya masih jaya. Papa mamanya masih memberikan dukungan, modal kepada anak. Misalnya perusahaannya menjadi tempat dimana anak itu juga mengembangkan kariernya, tapi ini perusahaan milik orang tuanya, nah dia sekarang sudah berumur 80 tahun, anak sudah memegang tampuk kepemimpinan di perusahaan, dia sudah tidak ada lagi peranan, baru kita lihat siapakah anak. Apakah waktu si ayah atau si ibu sakit, perlu bantuan, apakah anak rela tidak bekerja, meliburkan hari untuk bisa bersama orang tua; berapa besar perhatiannya kepada orang tua? Ini baru terlihat sewaktu anak-anak ini sudah berusia paro baya dan orang tua sudah tua.
ND: Jadi orang tua baru bisa merasakan bagaimana anak ini, sifat aslinya seperti apa?
PG: Betul, betul sekali. Pada masa ini, Pak Necholas, banyak orang tua kecewa pada anak, bukan di masa anak-anak kecil atau remaja atau pemuda dewasa, tapi justru di masa anak sudah berusia paro baya, banyak orang tua yang bertanya-tanya, "Apakah yang terjadi pada anak saya?" Kadang ada yang menyalahkan pasangan anaknya, menantunya sebagai penyebab perubahan pada anak. Misal, anak saya sekarang menjadi kikir, anak saya tidak peduli, itu karena suaminya atau itu karena istrinya. Mungkin anak berubah akibat pengaruh pasangan, tetapi bisa jadi juga bukan. Sebagaimana telah saya uraikan di masa paro baya inilah anak baru berkesempatan menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Ternyata ia tidak berubah, ia hanya belum sempat menunjukkan dirinya, sekarang barulah ia berkesempatan memerlihatkan diri apa adanya.
ND: Tentunya semua orang tua, apalagi orang tua yang sudah lanjut usianya, ingin merasakan perhatian dari anak, memetik hasil pembinaan dari anaknya sejak kecil sampai sudah dewasa. Sebetulnya apa yang harus dilakukan, Pak Paul, supaya kita sebagai orang tua bisa betul-betul memetik hasil yang baik dari anak kita?
PG: Hal pertama yang harus kita camkan adalah, meski prinsip "Tabur Tuai" tidak selalu berlaku, namun pada umumnya prinsip "Tabur Tuai" berlaku. Tidak ada jaminan bahwa apa yang kita tanamkan pada anak serta contohkan melalui kehidupan kita, takkan menghasilkan buah. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. James Dobson, membesarkan anak itu ibarat mengisi balon dengan gas dan kemudian melepaskannya ke udara. Ada balon yang tersangkut di dahan pohon, ada balon yang tersangkut di kawat listrik dan ada balon yang terus membumbung tinggi ke langit. Sebagai orang tua kita hanya dapat mengisi anak dengan hal-hal yang baik dan mengarahkan agar ia dapat terbang tinggi, namun kita tidak dapat memastikannya. Kita mesti melepaskannya. Walau semua ini benar dan kerap terjadi itu betul, tapi pada umumnya bila kita menanamkan hal yang baik serta mencontohkannya dalam hidup sehari-hari maka besar kemungkinan anak akan belajar dan mengikuti teladan yang kita tanamkan. Sebaliknya walau ada anak yang bertumbuh besar dengan akhlak yang baik, meski dibesarkan dalam keluarga yang buruk, namun pada umumnya anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang buruk, akan mengembangkan karakter yang buruk pula. Bila kita ingin melihat anak bertumbuh besar menjadi anak yang pemurah dan berhati baik, kita mesti mengajarkannya dan menjadi contoh bagi anak semasa ia kecil. Jadi jika kita mengakui bahwa memang kita kurang mendidiknya atau menjadi contoh yang baik bagi anak, terimalah kesalahan ini dan pikullah tanggungjawab, jangan salahkan anak atau orang lain.
ND: Peran orang tua disini dalam menciptakan lingkungan keluarga yang baik ini turut serta mengikuti dalam kehidupan anak sejak ia kecil sampai ia sudah dewasa.
PG: Betul sekali, memang kita harus konsisten sejak anak kecil, kita sudah menanamkan lewat perkataan kita maupun lewat perbuatan kita. Saya mau menekankan bahwa apa yang kita coba ajarkan, belum tentu akhirnya menjadi apa yang kita ajarkan. Maksud saya ada orang tua yang mengatakan hal-hal yang baik, mengajarkan hal-hal yang baik, tapi sadar atau tidak sadar, ia memberikan contoh yang tidak baik. Seperti misalnya, ada orang tua yang mengajarkan anak-anak harus ke gereja, harus ikut Tuhan, jangan bergaul dengan orang-orang yang berakhlak buruk dan sebagainya, tapi misalnya orang tua ini luar biasa cinta pada uang. Nanti setelah anak-anak sudah besar, biasanya di saat itulah orang tua baru melihat bahwa ternyata yang menjadi ilah anak saya adalah uang. Kita jangan terkejut sebab besar kemungkin ia belajar dari kita, meskipun kita tidak pernah membuka mulut "Cintailah uang", tidak pernah, tapi karena memang anak bisa menyerap, menangkap inilah sebetulnya nilai hidup kita. Uang itu sangat penting, kita sangat suka dengan uang, akhirnya ini yang anak-anak serap.
ND: Pak Paul, tentunya memang setiap orang tua berusaha dengan baik, tapi di tengah keterbatasan kita sebagai manusia, bisa saja kita tidak memetik hasil yang baik seperti yang tadi Pak Paul katakan. Bagaimana seandainya kita telah lanjut usia, kita menemui anak kita berkarakter tidak baik?
PG: Inilah yang harus kita lakukan, kita harus bukan saja menerima tapi juga berhubungan dengan anak sesuai dengan kondisi anak apa adanya. Bila ia tidak pemurah jangan tuntut dia untuk memberi kepada kita. Jika ia kurang peduli jangan tuntut anak untuk memerhatikan kita. Masa untuk mendidiknya telah berlalu, makin kita marah dan menuntutnya, makin memburuk relasi kita dengannya dan ini yang penting, makin anak mendapat alasan untuk menjauh dari kita. Dia makin bisa berkata, "Papa atau Mama ini bisanya menuntut saja, tidak pernah bisa puas", makin ia beralasan untuk tidak memerhatikan orang tua. Maka kalau anak kita memang tidak begitu memedulikan kita, sudah terimalah, kita tidak usah menuntutnya. Tuhan melihat dan menuntut pertanggungjawaban dari kita semua. Tuhan pun mengasihi kita, sedemikian besar kasih-Nya kepada kita sehingga Ia tidak berhenti mengingatkan dan memberi kita kesempatan untuk bertobat. Itu sebab kepada anak yang hidup berkenan kepada Tuhan, Tuhan akan memberkati. Sebaliknya kepada anak yang hidup tidak berkenan kepada-Nya, Ia menarik berkat. Tuhan panjang sabar, Ia menunggu dan menunggu, namun bila kita tetap mengeraskan hati, akan datang hari perhitungan dimana Ia mendisiplin kita. Jadi serahkan anak kita kepada Tuhan, ini telah saya lihat berkali-kali, Pak Necholas, di hari tua anak-anak itu nantinya akan membayar harga yang mahal. Apa yang mereka perbuat atau tidak perbuat pada orang tuanya atau untuk orang tuanya, nanti akan kembali kepada mereka. Sudah biarkan, lepaskan anak itu kepada Tuhan. Mudah-mudahan nanti waktunya tiba, anak itu bertobat sewaktu Tuhan menegurnya, tapi bila tidak bertobat, di hari tuanya anak harus membayar yang mahal.
ND: Jadi maksud Pak Paul orang tua tidak perlu sampai harus menuntut anak, "Ayo, berubah", tetapi kita cukup menerima itu lalu menyerahkan semua kekhawatiran kita terhadap anak kita ini kedalam tangan Tuhan.
PG: Betul, betul, karena pada masa-masa anak sudah usia 50 tahun dan sebagainya, kalau kita tegur atau apa, 99% hasilnya buruk, dia tidak akan menerimanya, malah semakin marah, semakin menjauh dari kita. Jadi lebih baik serahkan kepada Tuhan, biar Tuhan yang langsung mendidiknya.
ND: Boleh dikatakan bahwa ketika anak sudah mencapai usia paro baya sebetulnya tugas orang tua sudah selesai, dalam arti sudah sulit lagi untuk mengubahnya. Jadi kalau kita mau mendidik anak dengan karakter yang baik, maka sebaiknya kita mulai dari kecil atau pada masa pemuda dan awal dewasa yang ketika ia masih bisa menerima dan berinteraksi dengan baik dengan orang tuanya.
PG: Betul sekali, betul sekali. Bila orang tua tiba-tiba baru sadar di usia tua baru mau menjadi orang tua, repot-repot urus anak, menyuruh anak, mengajar anak menasihati anak, kebanyakan seperti boomerang. Anak-anak yang sudah dewasa, berkata sudah lewat waktunya papa mama, dulu kami tidak melihat itu, tidak mendengar itu, papa mama tidak menjadi teladan untuk kami, sekarang di usia tua baru mau ikut campur, baru mau mengurus kami, justru tambah pahit, tambah tidak mau mendengar kita.
ND: Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan pada masa mereka masih bisa mendengarkan nasihat kita?
PG: Kita mesti berani menyatakan sikap terhadap perbuatannya yang tidak berkenan kepada Tuhan. Jangan sampai ia menyimpulkan bahwa ia bebas berbuat apa saja, sebab kita akan selalu menerimanya. Pada akhirnya kita harus berani kehilangan anak bila kita tidak ingin dia menjadi anak yang terhilang. Makin kita bungkam, makin dalam ia terjerumus dan makin buruk wajah yang akan diperlihatkan di hari tuanya. Sebagai contoh, Pak Necholas, saya ambil dari firman Tuhan mengenai raja Daud. Seharusnya raja Daud bertindak tegas terhadap Amnon, putranya. Sayang itu tidak dilakukannya, ia membiarkan kejahatan Amnon memperkosa Tamar, adiknya sendiri, berlalu tanpa konsekwensi. Nah, kebungkaman Daud membuat Absalom putra Daud yang lain, tapi satu ayah dan satu ibu dengan Tamar, marah lalu membunuh Amnon. Absalom pun dibiarkan tanpa konsekwensi oleh Daud. Pada akhirnya sebagaimana kita ketahui, Absalom bangkit dan berupaya menggulingkan takhta Daud. Wajah anak-anak Daud yang manis dan rupawan akhirnya berubah menjadi wajah yang jahat dan menyeramkan. Firman Tuhan mengajarkan di Amsal 19:18, "Hajarlah anakmu selama ada harapan, tetapi jangan engkau menginginkan kematiannya". Masa dia muda, masa dia masih bisa mendengar kita, itulah saat kita mendisiplin dia, mengajarkan yang benar, menegur yang salah, memberikan disiplin. Makin tua makin mengecil harapan untuk anak berubah, jangan sampai terlambat, di usia tualah baru kita mau tergopoh-gopoh mendidik anak kita.
ND: Dengan demikian, Pak Paul juga memberikan peringatan kepada kita untuk kita memrioritaskan perkembangan anak, karena anak ini bukan menunggu nanti baru kita mencoba memerbaiki, tetapi sejak kecil kita sudah harus mendidik dan mengarahkannya dengan baik.
PG: Betul sekali, betul sekali. Karena pada masa kecil, ketika ia masih bergantung pada kita, dia lebih mendengar kita. Pada masa-masa remaja, pemuda pun karena kita masih memunyai pengaruh meskipun dia sudah lebih dewasa, kita lebih masih bisa memberikan kepadanya disiplin, ketegasan, teguran. Jangan sampai anak mulai hidupnya tidak benar, kita tetap diam-diam saja, anggap tidak apa-apa atau meremehkan perbuatannya yang salah, karena sikap seperti itu membuat anak beranggapan bahwa memang tidak apa-apa, orang tua tidak berkeberatan. Itu yang saya lihat, nanti di masa tua barulah semua itu kembali. Harus bayar harga yang mahal, baik orang tua mesti membayar harga yang mahal, maupun anak itu di usia paro baya, dia juga harus membayar harga yang mahal.
ND: Betul dengan demikian juga sebagai orang tua kita tetap berharap wajah anak dari kecil sampai dewasa ini berubah menjadi hal yang baik, bukan wajah yang dulu sangat lucu, tetapi sekarang menjadi menyeramkan.
PG: Betul, kalau bisa justru ‘trend’nya begitu, anak-anak misalnya nakal, bermasalah, tapi terus kita curahkan perhatian kita kepada anak didiknya dan benar. Perlahan-lahan kita akan memetik buahnya dan nanti di usia dia sudah dewasa atau bahkan sudah paro baya, dia sudah berubah menjadi seorang pribadi yang baik.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul atas pemaparan dan perbincangan kita kali ini. Tentunya materi ini bisa menjadi berkat untuk kita sekalian.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tiga Wajah Anak". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.