Sewaktu Anak Memerlihatkan Karakter yang Buruk

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T602B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Menghadapi karakter anak yang buruk, akui dan sebut yang buruk itu buruk, akui andil kita dalam pembentukan karakter buruk anak, jangan mundur atau menghindar dari tanggungjawab mengubah karakter anak yang buruk, jangan bereaksi berlebihan dan kita harus konsisten.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan
T 602B "Sewaktu Anak Memerlihatkan Karakter Yang Buruk" 
dpo.Pdt.Dr.Paul Gunadi

Satu hal yang mesti kita terima adalah kita dilahirkan dalam dosa, sebagaimana dikatakan di Mazmur 51:7, "Sesungguhnya dalam kesalahan aku diperanakkan, dan dalam dosa aku dikandung ibuku." Namun, karena kita diciptakan seturut dengan "gambar dan rupa" Allah (Kejadian 1:26), maka kita pun lahir membawa karakter yang mulia dan indah. Dengan kata lain, kita tidak dilahirkan dalam kekudusan dan itu berarti, anak-anak kita pun tidak lahir dalam kekudusan. Tidak heran kadang kita melihat karakter dan perilaku buruk pada anak kita, bahkan di usianya yang belia, yang membuat kita bingung sebab tidak pernah kita mengajarkannya untuk berbuat hal seburuk itu. Berikut adalah beberapa masukan menghadapi karakter buruk anak.

Pertama, kita mesti mengakui dan menyebut yang buruk sebagai hal yang buruk. Jangan menyangkalinya atau merasionalisasi perbuatannya seakan-akan bukanlah dirinya yang telah melakukan hal yang buruk itu. Ada tiga penyebab mengapa tidak mudah untuk kita mengakui bahwa anak kita memang memunyai karakter yang buruk itu:

  1. Kita tidak ingin melihat anak kita seperti itu; kita ingin melihatnya sebagai anak yang baik. Sebagai orang tua kita memunyai harapan bahwa anak akan bertumbuh besar menjadi orang yang baik, apalagi kita yang dikenal sebagai orang yang baik.Jadi, tidak mudah untuk mengakui bahwa ternyata anak memunyai perangai buruk.
  2. Kita tidak ingin mengakuinya sebab kebetulan kita memiliki karakter yang buruk itu atau pernah memunyai karakter yang buruk itu. Kita tidak menyukai karakter buruk yang pernah kita miliki atau kita masih terus bergumul untuk mengatasinya. Melihat karakter buruk itu pada anak bukan saja mengingatkan kita akan sisi buruk itu tetapi juga memberikan cermin kepada kita untuk melihat ketidaksempurnaan kita.
  3. Kita tidak menyukai karakter yang buruk itu sebab itu mengingatkan kita akan seseorang yang tidak kita sukai. Mungkin orang itu adalah pasangan kita atau sanak saudara atau bahkan orang tua kita sendiri. Jadi, sulit untuk kita mengakui bahwa anak kita memunyai karakter yang serupa pula. Untuk dapat menghadapi karakter anak yang buruk, kita harus mengakui keberadaan karakter buruk itu. Bila ia mudah berbohong, akuilah. Bila ia berjiwa pemberontak, akuilah. Jika ia egois dan tidak memedulikan orang, akuilah. Jika ia bermulut besar, akuilah. Jika ia kikir, akuilah. Mengakui masalah adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah. Jadi, akui dan katakan kepada anak apa adanya. Jangan tutupi untuk membuat kita—atau anak—merasa lebih baik.

Kedua, kita harus berbesar hati mengakui andil kita di dalam pembentukan karakter buruk anak, bila memang kita berandil. Ada karakter buruk yang dibawa anak sejak lahir tetapi ada pula yang dikembangkannya setelah ia lahir. Dengan kata lain, ia belajar atau mungkin, ia adalah akibat atau buah dari lingkungan hidup dimana ia dibesarkan. Jika memang kita berandil, baik di dalam menciptakan karakter buruk itu ataupun di dalam menyuburkan perkembangan karakter buruk itu, kita harus mengakuinya. Kita tidak bisa berbicara dengannya dan memintanya untuk berubah jika kita menolak untuk mengakui tanggungjawab kita, apalagi bila kita pun memunyai masalah yang sama. Dengan cepat ia akan menuduh kita munafik dan membuatnya tambah tidak ingin berubah.Jadi, jika kita memunyai masalah yang sama, kita mesti berada di posisi di mana kita berusaha untuk menyelesaikannya dan memerbaiki diri. Bila tidak, anak tidak akan mendengar nasihat kita.

Ketiga, kita tidak boleh mundur dan menghindar dari tanggungjawab untuk mengubah karakter anak yang buruk itu. Kadang kita melepaskan tanggung jawab karena kita tidak ingin konflik dengan anak. Kita ingin dinilai sebagai orang tua yang baik di matanya, jadi, kita menjaga image agar tidak rusak. Adakalanya kita lepas tangan sebab kita berharap bahwa karakter itu akan lenyap dengan sendirinya. Atau, untuk tampak rohani, kita berdalih bahwa Tuhan akan menghilangkan karakter buruk itu. Mungkin tersulit adalah bila kita memeroleh keuntungan dari karakter anak yang buruk itu. Sebagai contoh, karena anak pemarah, maka sekarang suami tidak bisa berbuat semena-mena terhadap kita seperti dulu. Kemarahan anak membuatnya takut; jadi, sekarang ia memerlakukan kita dengan lebih baik. Di sinilah letak dilemanya. Kita mafhum bahwa kemarahan anak bukanlah hal yang baik dan berpotensi melukai orang, tetapi kita tidak ingin menegurnya sebab selama ini kemarahannya justru bermanfaat memberi perlindungan kepada kita dari perlakuan suami. Jadi, bila kita mengakui bahwa karakter itu buruk, kita mesti turun tangan dan berusaha mengubahnya.

Keempat, kita tidak boleh bereaksi berlebihan. Adakalanya kita panik melihat perangai buruk pada anak dan di dalam kepanikan kita menggunakan kata-kata yang menjatuhkannya atau menandakan penolakan kita terhadapnya. Atau karena kita tidak menyukai karakter buruk itu akibat pengalaman masa lalu yang mengingatkan kita akan seseorang yang tidak kita sukai, maka sewaktu kita lihat itu pada anak, kita langsung berupaya menghilangkannya dengan cara yang keras dan merusakkan. Sebagai contoh, oleh karena kita pernah haus cinta dan penerimaan, maka kita terjerumus ke dalam pergaulan bebas dan mesti menanggung akibat yang memalukan. Begitu kita melihat anak mulai bersolek, maka kita langsung marah dan mencaci makinya seakan-akan ia seorang pelacur. Jagalah reaksi kita; jangan sampai berlebihan dan malah menghancurkan anak.

Kelima dan terakhir, kita harus konsisten. Mengubah karakter anak yang buruk memerlukan waktu yang lama; jadi, kita mesti bersabar dan terus melakukannya meski kita tidak melihat hasilnya. Kita tidak tahu apakah anak akan berubah; pada akhirnya kita harus menerima kenyataan bahwa begitu karakter terbentuk, maka sukarlah untuk berubah. Namun, kita tidak boleh menyerah; kita harus terus berupaya untuk membentuknya sebab Tuhan pun belum selesai dengannya. Mungkin hari ini tidak, tetapi mungkin besok, ia akan berubah. Acapkali Tuhan campur tangan dan mengubah kita melalui pengalaman yang Ia hadirkan dalam hidup kita. Pada saat itu terjadi, apa yang kita katakan sebelumnya dan apa yang anak alami sekarang, keduanya bertemu menjadi sebuah pelajaran yang berdampak besar dalam hidupnya. Di saat itulah ia berubah. Jadi, konsistenlah; jangan berhenti.

Yusuf seorang anak yang baik, bertanggung-jawab, dan patuh kepada orang tua. Namun besar kemungkinan, ia seorang anak yang angkuh karena perlakuan ayahnya. Ia merasa diri istimewa karena ia diistimewakan oleh Yakub. Itu sebab tanpa ragu, ia menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya, mimpi yang menunjukkan superioritasnya: (a) berkas gandumnya bangkit dan tegak berdiri dan berkas gandum saudara-saudaranya mengelilingi dan sujud kepada berkasnya dan (b) matahari, bulan, dan sebelas bintang sujud kepadanya, yang menandakan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya sujud kepadanya (Kejadian 37:5-11). Seharusnya Yusuf tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya karena ia tahu bahwa mereka tidak menyukainya akibat perlakuan istimewa yang diberikan ayahnya kepadanya. Seharusnya Yusuf lebih tenggang rasa dan sensitif. Dan seharusnya, ia tidak perlu menceritakan mimpinya yang kedua karena tahu, betapa marah saudara-saudaranya setelah mendengar mimpinya yang pertama. Namun, ia tidak peduli; ia tetap menceritakannya. Melalui pengalaman buruk yang dialaminya di kemudian hari barulah Yusuf belajar merendahkan diri dan berserah kepada Tuhan. Pengalaman mengikis karakter buruk.