T 602 B "SEWAKTU ANAK MEMERLIHATKAN KARAKTER YANG BURUK"
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kata kunci: Menghadapi karakter anak yang buruk, akui dan sebut yang buruk itu buruk, akui andil kita dalam pembentukan karakter buruk anak, jangan mundur atau menghindar dari tanggungjawab mengubah karakter anak yang buruk, jangan bereaksi berlebihan dan kita harus konsisten.
TELAGA 2024
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Sewaktu Anak Memerlihatkan Karakter yang Buruk". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, perbincangan kita kali ini tentang "Sewaktu Anak Memerlihatkan Karakter yang Buruk", saya rasa semua orang tua tentunya sudah berusaha supaya anaknya ini berkarakter baik, bisa disiplin tanpa disuruh, menghormati orang tua, rajin beribadah dan sebagainya, tapi dalam kenyataannya orang tua juga seringkali mengeluh, mengapa anak saya sudah diajari yang baik, tapi tetap saja karakternya tidak berubah.
PG: Mazmur 51:7 berkata, "Sesungguhnya dalam kesalahan aku dilahirkan, dalam dosa aku dikandung ibuku". Jadi dari firman ini kita tahu bahwa kita semua memang dikandung dan dilahirkan dalam dosa, namun karena kita diciptakan seturut dengan gambar dan rupa Allah, maka kita pun lahir membawa karakter yang mulia dan indah. Dengan kata lain, kita tidak dilahirkan dalam kekudusan dan itu berarti anak-anak kita pun tidak lahir dalam kekudusan. Tidak heran kadang kita melihat karakter dan perilaku buruk pada anak, bahkan di usianya yang belia. Yang membuat kita bingung, sebab tidak pernah kita mengajarkannya untuk berbuat hal seburuk itu. Jadi kita mau bahas apa yang mesti kita lakukan bila kita melihat karakter anak yang buruk.
ND: Jadi orang tua tidak perlu terkejut seandainya anaknya berkarakter buruk, karena memang dalam dosa kita diperanakkan. Bagaimana strategi yang harus dilakukan oleh orang tua ketika mereka menghadapi karakter buruk dari anak?
PG: Pertama, kita mesti mengakui dan menyebut yang buruk sebagai hal yang buruk, jangan menyangkalinya atau merasionalisasi perbuatannya, seakan-akan bukanlah dirinya yang telah melakukan hal yang buruk itu, kadang kita tidak mau melihat anak kita berkarakter buruk jadi kita salahkan anak lain, pengaruh teman, jangan ya. Ada tiga penyebab mengapa tidak mudah untuk kita mengakui bahwa anak kita memang memunyai karakter yang buruk itu. Pertama, kita tidak ingin melihat anak kita seperti itu. Kita ingin melihatnya sebagai anak yang baik. Sebagai orang tua kita memunyai harapan bahwa anak akan bertumbuh besar menjadi orang yang baik, apalagi kita yang dikenal sebagai orang yang baik. Jadi tidak mudah mengakui bahwa ternyata anak memunyai perangai yang buruk. Kedua, kita tidak ingin mengakuinya sebab kebetulan kita memiliki karakter yang buruk itu atau pernah memunyai karakter yang buruk itu. Kita tidak menyukai karakter buruk yang pernah kita miliki atau kita masih terus bergumul untuk mengatasinya, melihat karakter buruk itu pada anak bukan saja mengingatkan kita akan sisi buruk itu, tapi juga memberikan cermin kepada kita untuk melihat ketidaksempurnaan kita. Jadi setiap kali melihat perangai anak yang buruk itu, kita terganggu, sebab sepertinya kita diingatkan, kita seperti itu pula dan ini sikap, karakter yang tidak kita sukai pada diri kita dan penyebab ketiga mengapa susah mengakuinya? Kita tidak menyukai karakter yang buruk itu, sebab itu mengingatkan kita akan seseorang yang tidak kita sukai. Mungkin orang itu adalah pasangan kita atau sanak saudara atau bahkan orang tua kita sendiri. Jadi sulit untuk kita mengakui bahwa anak kita memunyai karakter yang serupa pula.
ND: Langkah pertama disini adalah mengakui dan tidak menyangkali, bahwa anak kita memang berperilaku buruk.
PG: Betul, jadi misalkan kita melihat anak kita berbohong, akui dia memang berbohong. Misalnya, dia pemberontak, akui memang anak ini berjiwa pemberontak, atau bila ia egois, tidak memedulikan orang, akui memang anak ini egois dan tidak memedulikan orang. Jika anak kita bermulut besar, akui, jika ia kikir juga akui. Nah, mengakui adalah langkah pertama untuk mengatasi masalah. Jadi akui dan katakan kepada anak apa adanya, jangan tutupi untuk membuat kita atau anak merasa lebih baik.
ND: Ya, menarik sekali, Pak Paul, betul kalau kita tidak mengakui bahwa anak kita memang berperilaku buruk, bagaimana kita bisa mengatasinya?
PG: Ya, kita sudah tentu harus juga menjaga batasnya, jangan kita hanya soroti keburukan anak, jangan sebut-sebut memang kamu pembohong, memang kamu apa, tidak! Maksud saya kita akui dan kita katakan dalam pengertian kita mau mengajaknya untuk berubah. Kita mau mendidiknya agar dia tidak lagi berbuat itu, tapi kita mesti katakan apa masalahnya. Namun sekali lagi ini bukannya untuk kita pakai menjadi amunisi yang siap kita tembakkan kepada anak kapan waktu kita sedang kesal kepadanya, jangan begitu juga.
ND: Jadi juga jangan ekstrem yang lain, sedikit-sedikit anak disalahkan atau dianggap berperilaku tidak baik.
PG: Betul, betul. Jangan sampai misalnya, karena dia memang memunyai karakter yang buruk seperti misalnya mertua kita, jangan kita sebut-sebut, "Memang kamu seperti engkong kamu", "Memang kamu seperti emak kamu", atau "kamu seperti papa kamu" atau apa, nah itu jangan, kata-kata yang tidak baik.
ND: Ya, betul, malah menjadi tidak menyelesaikan masalah. Pak Paul, setelah kita mengakui bahwa anak kita memang memunyai karakter yang buruk, langkah selanjutnya bagaimana, Pak Paul?
PG: Kita harus berbesar hati mengakui andil kita didalam pembentukan karakter buruk anak, bila memang kita berandil. Ada karakter buruk yang dibawa anak sejak lahir, tapi ada pula yang dikembangkannya setelah ia lahir. Dengan kata lain, ia belajar atau mungkin ia adalah akibat atau buah dari lingkungan hidup dimana ia dibesarkan misalnya di rumah kita ini. Jika memang kita berandil baik dalam menciptakan karakter buruk itu atau pun dalam menyuburkan perkembangan karakter buruk itu. Nah, kita harus mengakuinya, kita tidak bisa berbicara dengannya dan memintanya untuk berubah jika kita menolak untuk mengakui tanggungjawab kita, apalagi bila kita pun memunyai masalah yang sama dengan cepat ia akan menuduh kita munafik dan membuatnya tambah tidak ingin berubah. Jadi jika kita memunyai masalah yang sama, kita mesti berada di posisi dimana kita berusaha untuk menyelesaikannya dan memerbaiki diri. Bila tidak, anak tidak akan mendengar nasihat kita. Jadi penting kita terbuka, mengakui ketidaksempurnaan kita, sehingga anak-anak tahu bahwa kita otentik, kita bukan orang yang munafik, sebab kemunafikan adalah benar-benar sikap yang makin membuat anak itu tambah pahit dan tambah membenci orang tua.
ND: Berarti disini orang tua juga perlu mengambil waktu untuk merenung, mengevaluasi apa-apa saja yang dia sudah lakukan, atau dia katakan seperti tadi contohnya Pak Paul, supaya orang tua sadar, "O iya, mungkin saya salah disini, mungkin saya keliru melakukan ini" dan hal itu ternyata berdampak buruk terhadap anak.
PG: Betul, betul, misalkan kita saking takut anak kita bergaul salah, kita membatasi pergaulannya. Aduh, tidak banyak teman sehingga anak-anak kita di rumah saja, pulang sekolah harus di rumah. Kita sudah bawa guru les untuk dia les di rumah, akhirnya sudah lulus SMA, anak ini tidak memunyai teman. Di usia-usia harusnya remaja pemuda dia berteman, pergi dengan teman-temannya, dia di rumah dan luar biasa sikapnya, ketusnya, egoisnya, tidak mengerti bagaimana berbicara dengan orang, menyakiti hati orang seenaknya, nah kita marah, kita merasa kesal, kita bereaksi keras sekali, tapi kita lupa, kita berandil besar, kita tidak memberikan dia kesempatan bergaul. Seharusnya dalam pergaulan itulah anak itu belajar membatasi diri, menjaga mulutnya, tidak bertindak semena-mena, tidak egois, sensitif, tenggang rasa dengan orang dalam pergaulan semua itulah dipelajari, tapi karena tidak berkesempatan bergaul, anak kita tidak memunyai kemampuan untuk itu. Nah, kalau memang kita sadari, itu buah perbuatan kita, kita memang harus akui kepada anak. Ini kesalahan kita, namun kita minta agar dia mulai mengubah sikap-sikapnya itu, tapi kita katakan kita berandil besar dalam semua ini.
ND: Apalagi jika anak kita masih dalam usia yang masih bisa dibentuk, dalam arti dia masih remaja, pemuda atau dewasa awal dan masih bisa untuk diberitahu oleh orang tuanya.
PG: Betul sekali, selama masih bisa ya kita akui, kita coba sampaikan agar dia bisa mengubah, nanti kalau sudah lewat waktunya, kita tidak bisa lagi melakukan itu.
ND: Pak Paul, dalam menghadapi anak yang berkarakter buruk, selain kita mengakui bahwa anak kita memang begitu dan kita juga berbesar hati mengakui andil kita, langkah yang lainnya, apa, Pak Paul?
PG: Kita tidak boleh mundur dan menghindar dari tanggungjawab untuk mengubah karakter anak yang buruk itu. Kita kadang melepaskan tanggungjawab, karena kita tidak ingin konflik dengan anak. Kita ingin dinilai sebagai orang tua yang baik di matanya, jadi kita menjaga "image" agar tidak rusak, adakalanya kita juga lepas tangan sebab kita berharap bahwa karakter itu akan lenyap dengan sendirinya, atau untuk tampil rohani kita berdalih, bahwa Tuhan akan menghilangkan karakter yang buruk itu. Seolah-olah tanggungjawab Tuhanlah yang membesarkan anak itu, padahal tanggungjawab itu yang Tuhan berikan kepada kita. Mungkin yang tersulit adalah bila kita memeroleh keuntungan dari karakter anak yang buruk itu. Nah, ini makin susah kita ini berbuat apa-apa, mengubah karakter itu. Sebagai contoh, karena anak pemarah maka sekarang suami tidak bisa berbuat semena-mena terhadap kita seperti dulu. Kemarahan anak membuat suami takut, jadi sekarang ia memerlakukan kita dengan lebih baik, nah disini terletak dilemanya. Kita mahfum bahwa kemarahan anak bukanlah hal yang baik dan berpotensi melukai, menghancurkan orang, tapi kita tidak ingin menegurnya, sebab selama ini kemarahannya justru bermanfaat memberi perlindungan kepada kita dari perlakuan suami yang buruk. Jadi bila kita mengakui bahwa karakter itu buruk, kita mesti turun tangan dan berusaha mengubahnya. Kita tidak bisa lepas tangan.
ND: Wah, dalam contohnya Pak Paul ini, orang tua justru membiarkan anak berkarakter buruk karena dengan karakter buruk itu, orang itu mendapatkan manfaat.
PG: Betul, betul. Ini seringkali terjadi didalam keluarga yang memang bermasalah berat, jadi misalkan sewaktu anak-anak kecil, anak-anak itu menjadi korban pemukulan kekerasan orang tua, bahkan mama mereka pun juga menjadi korban kekerasan ayahnya. Nah, anak-anak ini misalnya setelah besar mengembangkan perangai yang juga keras, tidak bisa terima ditegur, bawaannya mengamuk, berkelahi, akhirnya dengan papanya berkelahi benar-benar secara harfiah, secara jasmaniah berkelahi dengan papanya. Nah, akhirnya papanya jadi berpikir dua kali sebelum ribut dengan anak dan misalnya dulu papanya memaki-maki mama seenak-enaknya, sekarang anaknya begitu mendengar papanya mulai bersuara keras, memaki mama, anak itu juga berteriak memaki si papa. Si papa menjadi diam, nah si mama akhirnya susah, dilema, tegur anak berarti si papa bisa nanti balik lagi menginjak-injak dia. Tidak menegur anak, dia tahu si anak sedang mengembangkan perangai yang sama buruknya dengan si papa. Si mama jadi korban perbuatan si papa yang jahat, nanti si mama akan melihat, menantunya menjadi korban perbuatan anaknya atau suami dari menantunya itu yang jahat. Jadi ini yang seringkali terjadi, Pak Necholas.
ND: Jadi dalam hal seperti ini orang tua seharusnya bisa memilah persoalan keluarganya dengan tanggungjawab mendidik anak, persoalan orang dengan pasangan harus diselesaikan sendiri dan jangan mengorbankan anak.
PG: Betul, jadi seharusnya memang dalam hal ini misalkan si ibu itu tegas berkata kepada anaknya, "Tidak boleh kamu keras, kasar, marah-marah apalagi berkelahi dengan papamu, tidak boleh" dan si ibu itu justru yang mesti mengambil tindakan untuk melawan, untuk membela, untuk melindungi dirinya maupun anaknya dari si ayah itu. Jadi jangan sampai nanti akhirnya berkepanjangan, sebab anak ini pada waktu masih kecil seperti kucing, nanti setelah besar dia akan menjadi macan yang akan mencabik-cabik pasangannya dan anak-anaknya juga.
ND: Dalam hal yang lain, tadi Pak Paul sempat katakan bahwa ada orang tua yang menghindar dari tanggungjawab, karena kita merasa itu akan diurus sendiri oleh Tuhan. Ini juga menarik, kadang-kadang orang tua berpikir nanti besar, dia akan berubah sendiri. Jadi orang tua merasa tidak perlu melakukan apa-apa.
PG: Ini kita sering dengar, Pak Necholas, sebetulnya ini adalah lari dari tanggungjawab, tapi supaya terdengar rohani, memakai nama Tuhan. Tidak, Tuhan memercayakan anak-anak ini kepada kita, berarti kita bertanggungjawab untuk mendidiknya, meskipun kita tahu Tuhan itu akan terlibat dalam hidup anak ini, tapi tidak berarti kita harus lepas tangan, tidak.
ND: Baik, Pak Paul, selain ketiga hal yang sudah disampaikan ini, bagaimana dengan langkah berikutnya?
PG: Masih ada dua lagi, jadi yang berikut adalah kita tidak boleh bereaksi berlebihan. Adakalanya kita panik melihat perangai buruk pada anak dan dalam kepanikan kita menggunakan kata-kata yang menjatuhkannya. Atau menandakan penolakan kita terhadapnya, atau karena kita tidak menyukai karakter buruk itu, akibat pengalaman masa lalu yang mengingatkan kita akan seseorang yang tidak kita sukai, maka sewaktu kita lihat itu pada anak, kita langsung berupaya menghilangkannya dengan cara yang keras dan merusakkan. Sebagai contoh, oleh karena kita pernah haus cinta dan penerimaan, maka kita terjerumus kedalam pergaulan bebas dan mesti menanggung akibat yang memalukan, begitu kita sekarang melihat anak mulai bersolek, wah kita langsung marah, mencaci makinya seakan-akan ia seorang pelacur, jadi jaga reaksi kita, jangan berlebihan dan jangan sampai menghancurkan anak.
ND: Jadi dalam hal ini ketika kita melihat karakter anak yang buruk, kita juga seharusnya punya keyakinan bahwa anak ini bisa berubah dan perubahan itu juga perlu waktu.
PG: Tepat sekali, Pak Necholas, bahwa anak masih dalam proses pembentukan. Kita adalah alat yang Tuhan pakai memroses anak-anak kita, jadi kita mesti bersabar, jangan sampai kita bereaksi berlebihan akibat masa lalu kita, akibat hal-hal yang memang sebetulnya menjadi penyebab kita merasa bersalah atau merasa diri buruk. Kebanyakan itu yang membuat kita bereaksi berlebihan, karena memang melihat anak begitu membuat kita merasa malu, membuat kita merasa diri ini salah. Akhirnya reaksi kita menjadi tanpa dipikir atau direncanakan.
ND: Jadi orang tua langsung panik dan merasa, wah jangan-jangan anak berkarakter buruk, karena dulu saya mengalami hal seperti itu.
PG: Dan kita tergesa-gesa mau membasminya dengan kata-kata atau perbuatan-perbuatan yang berlebihan atau kasar.
ND: Baik, tadi Pak Paul sempat sebutkan bahwa ada satu langkah lagi yang perlu kita lakukan ketika kita menghadapi anak yang berkarakter buruk, apa itu, Pak Paul?
PG: Terakhir ialah kita harus konsisten, Pak Necholas, mengubah karakter anak yang buruk memerlukan waktu yang lama, jadi kita mesti bersabar dan terus melakukannya, meski kita tidak melihat hasilnya. Kita tidak tahu apakah anak akan berubah. Pada akhirnya kita harus menerima kenyataan bahwa begitu karakter terbentuk, maka sukarlah untuk berubah, namun kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berupaya membentuknya, sebab Tuhan pun belum selesai dengannya. Mungkin hari ini tidak, tapi mungkin besok ia akan berubah. Acapkali Tuhan campur tangan dan mengubah kita melalui pengalaman yang Ia hadirkan dalam hidup kita. Pada saat itu terjadi, apa yang kita katakan sebelumnya, nasihat kita, teguran kita dan apa yang anak alami sekarang, keduanya bertemu menjadi sebuah pelajaran yang berdampak besar dalam hidupnya. Di saat itulah anak berubah, nah jadi sekali lagi, konsistenlah, jangan berhenti.
ND: Jadi tentunya perlu waktu yang cukup panjang untuk bisa mengubah sifat atau karakter anak yang buruk ini.
PG: Betul sekali, anak kita memang dia tidak tahu akhirnya. Kita tidak tahu rencana Tuhan dan apa yang akan Tuhan lakukan pada dirinya, kesempatan itu masih ada selama anak itu masih hidup. Jadi kita mesti konsisten.
ND: Pak Paul, apakah boleh memberikan kita sebuah contoh tentang anak yang berperilaku buruk dan bagaimana orang tua bisa menghadapinya?
PG: Saya akan ambil contoh Yusuf di Alkitab, kita tahu Yusuf seorang anak yang baik, bertanggungjawab, patuh kepada orang tua, namun besar kemungkinan ia seorang anak yang angkuh karena perlakuan ayahnya, Yakub. Ia merasa diri istimewa, karena ia diistimewakan oleh Yakub, itu sebab tanpa ragu, ia menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Mimpi yang menunjukkan superioritasnya, yaitu apa. Berkas gandumnya bangkit, tegak berdiri dan berkas gandum saudara-saudaranya mengelilingi dan sujud kepada berkasnya. Mimpi yang kedua, matahari, bulan dan sebelas bintang sujud kepadanya yang menandakan ayah ibu dan saudara-saudaranya sujud kepadanya. Nah, seharusnya Yusuf tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya, karena ia tahu bahwa mereka tidak menyukainya akibat perlakuan istimewa yang diberikan ayahnya kepadanya. Seharusnya Yusuf lebih tenggang rasa dan sensitif dan seharusnya ia tidak perlu menceritakan mimpinya yang kedua, karena tahu betapa marah saudara-saudaranya setelah mendengar mimpinya yang pertama. Namun seperti kita tahu, Yusuf tidak peduli, dia tetap menceritakannya melalui pengalaman buruk yang dialaminya di kemudian hari, kita tahu dia dijual oleh saudara-saudaranya, dia dijadikan budak dan akhirnya dia difitnah, masuk ke penjara, nah barulah Yusuf belajar merendahkan diri dan berserah kepada Tuhan. Singkat kata, pengalaman mengikis karakter yang buruk. Tuhan menghadirkan pengalaman-pengalaman tertentu, kalau kita ini terbuka, bersedia belajar, maka pengalaman itu menjadi pelajaran yang Tuhan nanti gunakan untuk mengikis karakter buruk kita.
ND: Ini menarik sekali, Pak Paul, selama ini kalau kita mendengar kisah tentang Yusuf ini kita selalu belajar dari saudara-saudaranya, kita mengatakan, "Jangan iri seperti saudaranya Yusuf", tetapi disini Pak Paul melihat dari sudut yang lain, bahwa Yusuf ini sebetulnya punya karakter yang buruk, karena dia sengaja menceritakan mimpinya dan membuat orang lain terganggu dengan apa yang dia katakan tersebut.
PG: Sebab seharusnya dia berpikir dan dia bijaksana, dia tahu, saudara-saudaranya itu iri, sebab harus dimengerti juga mengapa mereka iri, sebab papanya mengistimewakan dia. Apa yang Yusuf terima, itu tidak diterima oleh saudara-saudaranya. Baju yang bagus, apa itu yang diberikan oleh ayahnya kepada dia, tidak kepada saudara-saudaranya. Jadi memang Yakub berandil besar sekali dalam masalah ini. Jadi seharusnyalah dia, kita katakan sekarang lebih tahu diri, jangan cerita-cerita mimpi ini, kalau mau cerita kepada papanya saja berdua, tapi dia ceritakan di hadapan saudara-saudaranya. Begitu dengar cerita yang pertama, mereka marah, mereka tidak suka sekali, bukannya tutup mulut, malah dia cerita yang kedua. Membuat mereka bertambah marah lagi, jadi kita lihat disini dia benar-benar tidak peduli, mau marah, tidak suka, tidak peduli. Saya mau tunjukkan bahwa nanti saya akan ada di atas kalian semua. Itu ‘kan arti mimpinya, dia akan berada di atas mereka semua. Nah, akhirnya mereka begitu gelap mata akhirnya menculik dia, menjual dia menjadi seorang budak. Jadi Tuhan memang akhirnya mewujudkan mimpi itu, dia menjadi atasan mereka, tapi dengan cara Tuhan yang benar. Yusuf mungkin berpikir memakai cara dia dulu.
ND: Belajar dari pengalaman Yusuf yang juga diubahkan melalui pengalaman-pengalaman pahit yang dia alami, kita sebagai orang tua seharusnya juga membiarkan anak mengalami pengalaman yang sulit dan kita percaya bahwa pengalaman yang sulit tersebut pada akhirnya juga bisa membantu anak memunyai karakter yang baik.
PG: Setuju sekali, Pak Necholas, jadi kita sendiri kita bisa berkata, bahwa kita menjadi kita apa adanya hari ini, karena pengalaman-pengalaman yang pernah kita lewati, kita bisa berkata gara-gara semua itulah kita belajar lebih rendah hati, kita belajar lebih berserah dan sebagainya.
ND: Terima kasih banyak, Pak Paul atas perbincangan kita pada kesempatan kali ini. Tentunya ini bisa menjadi berkat bagi pendengar sekalian.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Sewaktu Anak Memerlihatkan Karakter yang Buruk". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.