Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T601B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Membangun kembali ketika kita sudah melakukan kesalahan, meminta ampun baik kepada Tuhan maupun kepada orang yang telah kita kecewakan, menerima konsekwensi perkataan atau perbuatan kita, jalani hidup sebagai seorang terdakwa, menambahkan kebaikan kedalam hidup kita, perkuat bagian yang menjadi titik kuat dalam relasi kita.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan
T 601B "Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga" 
dpo.Pdt.Dr.Paul Gunadi

Kita mengenal peribahasa yang berbunyi, "Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga." Satu kesalahan, satu kekhilafan, satu perkataan, menghancurkan sesuatu yang telah kita bangun selama ini.
Mungkin itu kepercayaan orang terhadap kita; mungkin itu pernikahan kita, mungkin itu pekerjaan atau pelayanan kita.
Pertanyaannya adalah, "Bagaimanakah kita membangun atau menyehatkan kembali susu sebelanga yang telah rusak itu?"

Hal pertama yang mesti kita perbuat adalah meminta ampun, baik kepada Tuhan maupun kepada orang, yang telah kita kecewakan. Memang kerap kali permohonan maaf keluar dari ketakutan menanggung akibat perbuatan kita. Tidak apa, sebab memang seharusnyalah kita merasa takut kehilangan sesuatu yang selama ini kita miliki atau nikmati. Namun terpenting adalah kita meminta maaf karena kita merasa bersalah dan menyesali perbuatan kita. Secara spesifik, kita menyesali perbuatan kita yang telah menyakiti atau mengecewakan Tuhan dan sesama. Melihatnya terluka, sedih dan hancur, membuat kita menyesali perbuatan kita. Sewaktu meminta maaf, jangan kita berkata bahwa kita tidak berniat melukai hatinya. Kita tidak bisa dan tidak boleh memberi dalih ini sebab seyogianyalah kita tahu bahwa perkataan atau perbuatan kita akan melukai atau mengecewakan Tuhan dan sesama. Sudah seharusnyalah kita menyadari bahwa perbuatan atau perkataan kita, seperti api, akan menjalar dan membakar hati orang, walau pada hakikinya, kita tidak bermaksud melukai atau mengecewakannya. Jadi, akui kesalahan yang kita perbuat—tanpa dalih! Makin kita berdalih, makin kita memerlihatkan, baik kepada Tuhan maupun sesama, bahwa kita belum sungguh-sungguh menyesal.

Hal kedua yang mesti kita perbuat adalah menerima konsekuensi perkataan atau perbuatan kita: bahwa susu sebelanga telah rusak! Kita kehilangan kepercayaannya, kita kehilangan respeknya, kita kehilangan kasihnya, dan mungkin, kita kehilangan kesempatan untuk memerbaiki relasi atau pekerjaan atau pelayanan yang rusak ini. Satu lagi yang penting adalah kita kehilangan hak untuk mendapatkan kepercayaan, respek, kasih dan kesempatan itu. Oleh karenanya kita tidak boleh menuntut apa pun, termasuk menuntutnya menerima kita kembali. Permohonan maaf bukanlah tiket untuk mendapatkan kembali kepercayaan, respek, kasih dan kesempatan itu. Sebaliknya, pengampunan bukanlah bukti pemberian kepercayaan, respek, kasih dan kesempatan itu. Pengampunan adalah keputusan untuk tidak membalas dan menyerahkan hak membalas kepada Tuhan. Pengampunan adalah penerimaan bahwa kita adalah orang berdosa dan bahwa orang berdosa melakukan dosa. Namun, pengampunan bukanlah pemutihan seolah-olah tidak ada apa-apa dan bahwa relasi ini akan kembali seperti sediakala. Jadi, bersiaplah untuk menanggung akibat kesalahan yang kita perbuat.

Hal yang ketiga yang mesti kita perbuat adalah jalani hidup sebagai seorang terdakwa, bukan sebagai seorang bebas. Mungkin kita merasa lega setelah mengakui perbuatan kita—atau sebaliknya, perbuatan kita diketahui sehingga kita tidak lagi perlu bersembunyi—dan setelah meminta ampun kepada orang yang telah kita lukai. Masalahnya adalah dia sekarang harus menanggung derita yang besar dan dalam akibat perbuatan kita. Itu sebab jangan bersikap seolah-olah semua ini adalah masa lalu yang tak perlu diingat-ingat lagi dan sudah seharusnya ia sekarang melangkah maju ke hari esok yang lebih indah.Sikap kita yang bebas dan lega akan justru lebih menyakiti hati orang yang kita kecewakan. Jadi, jalani hidup dengan prihatin; bukan sebagai seorang yang merdeka, melainkan sebagai seorang yang bersalah.

Hal keempat yang mesti kita lakukan adalah menambahkan kebaikan ke dalam hidup kita. Kita tidak bisa mengeluarkan nila yang telah tercampur ke dalam susu; dengan kata lain, kita tidak bisa meniadakan atau menghapus apa yang telah terjadi. Perbuatan atau perkataan kita akan selamanya terpateri di benak orang yang kita lukai, mengakibatkan kerusakan yang permanen. Jadi, satu-satunya hal yang dapat kita ubah adalah diri kita sendiri.Tunjukkan perubahan itu dengan melakukan hal-hal yang baik, yang berkenan kepada Tuhan. Kita harus berdisiplin dan bersikap konsisten dengan perubahan yang baik ini; jangan meninggalkan kesan bahwa semua ini adalah upaya untuk lepas dari hukuman atau cara memenangkan hati yang terluka semata. Biarlah orang melihat perubahan diri kita; mungkin ia perlu setahun, mungkin ia perlu sepuluh tahun untuk kembali percaya kepada kita; biarkan ia berjalan sesuai kesiapannya. Sebaliknya, kita pun mesti siap untuk berubah tanpa imbalan. Mungkin kita merasa letih sebab ia tidak memerhatikan perubahan yang kita tunjukkan. Mungkin kita marah sebab kita terus diperlakukan sebagai seorang pesakitan. Mungkin kita merasa putus asa karena semua usaha kita sia-sia dan tidak dihargai sama sekali. Biarkanlah, sebab kita tidak dapat memaksanya atau mengubahnya; kita melakukan semua ini untuknya DAN Tuhan. Dan kita tahu, Tuhan melihat.

Hal kelima dan terakhir yang mesti kita lakukan adalah bukan saja menerima bersedia hidup dengan kerusakan yang telah terjadi tetapi juga memerkuat bagian yang menjadi titik kuat relasi kita. Maksud saya, kita harus realistik dengan harapan kita; pulih atau sembuh tidak berarti hilang. Sampai kapan pun luka akibat perbuatan kita tetap ada dan kadang, akan mengeluarkan darah. Sampai kapan pun bagian tertentu relasi kita akan terus menjadi titik rawan; itu tidak dapat kita ubah. Itu sebab biarkan; jangan menyoroti bagian rawan itu dan terus berusaha memerbaikinya. Yang dapat kita lakukan adalah memerkuat bagian lain dari relasi kita yang selama ini menjadi titik kuat relasi kita. Mungkin kita tidak dapat mengembalikan kepercayaan orang terhadap kita, tetapi kita dapat memupuk pelayanan bersama yang selama ini menjadi titik kuat relasi kita. Mungkin kita tidak dapat memulihkan respek orang terhadap kita, tetapi kita dapat memerkokoh kesehatian membesarkan anak. Mungkin kita tidak bisa mengembalikan kasih orang kepada kita tetapi kita dapat memerhatikan kebutuhannya. Besar kemungkinan, kekuatan di area lain ini perlahan-lahan akan dapat menguatkan area-area yang telah rusak.

Amsal 16:7 berkata, "Jikalau TUHAN berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itu pun didamaikan-Nya dengan dia." Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Itu sebab kita mesti berhati-hati, jangan sampai itu terjadi. Namun bila itu telah terjadi, fokuskan upaya dan perhatian pada menyenangkan hati Tuhan. Sebab bila Tuhan berkenan, maka Ia akan sanggup mendamaikan kita dengan orang yang benci, terluka dan kecewa terhadap kita.