T 601 B "GARA-GARA NILA SETITIK, RUSAK SUSU SEBELANGA"
oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kata kunci: Membangun kembali ketika kita sudah melakukan kesalahan, meminta ampun baik kepada Tuhan maupun kepada orang yang telah kita kecewakan, menerima konsekwensi perkataan atau perbuatan kita, jalani hidup sebagai seorang terdakwa, menambahkan kebaikan kedalam hidup kita, perkuat bagian yang menjadi titik kuat dalam relasi kita.
TELAGA 2024
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, perbincangan kita kali ini berbicara tentang "Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga", maksudnya apa ini, Pak Paul ?
PG: Kita mengenal peribahasa yang berbunyi, "Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga", artinya satu kesalahan, satu kekhilafan, satu perkataan menghancurkan sesuatu yang telah kita bangun selama ini. Nah, jadi kita mau menerapkan peribahasa ini kedalam hidup kita. Mungkin yang namanya nila itu dalam hidup kita adalah kesalahan yang kita perbuat, jadi akhirnya menyebabkan kepercayaan orang terhadap kita hancur, mungkin itu pernikahan kita, mungkin juga pekerjaan atau pelayanan kita, gara-gara perbuatan kita, satu perbuatan akhirnya pekerjaan kita, pelayanan kita juga hancur. Pertanyaannya adalah bagaimanakah kita membangun atau menyehatkan kembali susu sebelanga yang telah rusak itu?
ND: Betul, Pak Paul dalam hidup kita tentu kita sering melakukan hal yang kita sesali di kemudian hari, ada satu perkataan atau satu perbuatan kita yang entah kita sengaja atau tidak, kita lakukan, tetapi itu sudah merusak banyak hal. Bagaimana Pak Paul, kita bisa membangun lagi hidup kita ketika kita sudah melakukan kesalahan yang demikian?
PG: Hal pertama yang mesti kita perbuat adalah meminta ampun, baik kepada Tuhan maupun kepada orang yang telah kita kecewakan. Memang kerap kali permohonan maaf keluar dari ketakutan menanggung akibat perbuatan kita. Tidak apa, sebab memang seharusnyalah kita merasa takut kehilangan sesuatu yang selama ini kita miliki atau nikmati, namun terpenting adalah kita meminta maaf, karena kita merasa bersalah dan menyesali perbuatan kita. Secara spesifik kita menyesali perbuatan kita yang telah menyakiti atau mengecewakan Tuhan dan sesama. Melihatnya terluka, sedih dan hancur membuat kita menyesali perbuatan kita. Nah, sewaktu kita meminta maaf jangan kita berkata, bahwa kita tidak berniat melukai hatinya. Ini yang kadang-kadang kita katakan, "Saya tidak berniat melukai hatimu". Kita tidak bisa dan tidak boleh memberi dalih seperti ini, sebab seyogyanyalah kita tahu bahwa perkataan atau perbuatan kita akan melukai atau mengecewakan Tuhan dan sesama. Sudah seharusnyalah kita menyadari bahwa perbuatan atau perkataan kita seperti api akan menjalar dan membakar hati orang, walau pada hakikinya kita tidak bermaksud melukai atau mengecewakannya. Jadi akui kesalahan yang kita perbuat tanpa dalih, tanpa penjelasan-penjelasan untuk membela diri kita. Makin kita berdalih, makin kita memerlihatkan, baik kepada Tuhan maupun sesama bahwa kita belum sungguh-sungguh menyesal.
ND: Karena kesalahan kita ini sudah menimbulkan kerusakan yang sedemikian besar, tentunya kita tidak dapat berharap bahwa ini akan berubah secara instan. Kita harus sabar, terus melakukan kebaikan meskipun tampaknya belum ada hasilnya, meskipun sudah lama sekali kita lakukan.
PG: Betul, kadang kita berat untuk mengaku salah, jadi kita mencoba untuk mengurangi bobot kesalahan itu dengan memberikan penjelasan. Nah, ini yang tidak seharusnya kita lakukan, karena untuk orang yang telah kita lukai, penjelasan-penjelasan itu tidak menolong, tidak membuat dia lebih mengerti. "Oh, mengapa kamu berbuat, karena ini karena itu", karena tetap dampak perbuatan kita sudah telanjur melukainya. Daripada memberi penjelasan, berdalih mengapa begini begitu, lebih baik akui saja bahwa kita telah salah dan bahwa kesalahan kita telah mengecewakan atau melukainya.
ND: Dan pengakuan kita juga bukan karena kita takut menanggung akibatnya, tetapi memang sungguh-sungguh kita merasa bersalah.
PG: Betul, memang selalu ada unsur takut. Kita ini manusia jadi ada rasa takut menanggung akibat kesalahan kita, namun mengapa kita mengakui kesalahan kita bukan karena kita takut akan akibat perbuatan kita, tapi karena kita memang menyesali perbuatan kita. Kita tahu tidak seharusnya kita melakukan ini dan kalau bisa kita mau tarik kembali perkataan itu atau perbuatan kita. Jadi itulah motivasi yang benar mengapa kita mengaku salah.
ND: Ini berarti ketika kita sudah meminta maaf, kita tidak terlepas dari tanggungjawab untuk mengalami akibat dari kesalahan kita itu.
PG: Betul, Pak Necholas, jadi ini adalah hal kedua yang mesti kita perbuat yaitu menerima konsekwensi perkataan atau perbuatan kita bahwa susu sebelanga telah rusak. Kita kehilangan kepercayaannya, kita kehilangan respeknya, kita kehilangan kasihnya dan mungkin kita kehilangan kesempatan untuk memerbaiki relasi atau pekerjaan atau pelayanan yang rusak ini. Satu lagi yang penting adalah kita kehilangan hak untuk mendapatkan kepercayaan, respek, kasih dan kesempatan itu. Oleh karenanya kita tidak boleh menuntut apapun termasuk menuntutnya menerima kita kembali. Permohonan maaf bukanlah tiket untuk mendapatkan kembali kepercayaan, respek, kasih dan kesempatan itu. Jadi sewaktu kita meminta maaf, ini bukanlah seolah-olah tiket supaya orang kembali percaya menerima kita, respek kepada kita dan memberikan kepada kita kesempatan. Tidak, ya, tidak. Jadi kita mesti sadari itu, kita tidak punya hak untuk menuntut itu. Sebaliknya pengampunan, jadi bila orang mengampuni kita, bukanlah bukti pemberian kepercayaan, respek, kasih dan kesempatan itu. Pengampunan adalah keputusan untuk tidak membalas dan menyerahkan hak membalas kepada Tuhan. Pengampunan adalah penerimaan bahwa kita adalah orang berdosa, bahwa orang berdosa melakukan dosa, namun pengampunan bukanlah pemutihan, seolah-olah tidak ada apa-apa dan bahwa relasi ini akan kembali seperti sediakala. Jadi bersiaplah untuk menanggung akibat kesalahan yang kita perbuat.
ND: Ya, betul Pak Paul, kadang kita berasumsi bahwa, "Saya sudah minta maaf, kamu mengapa masih marah?" misalnya. Atau mengapa kamu rasanya belum bisa mengampuni saya?
PG: Betul, kadang ini yang memang ada dalam benak kita, jadi kita minta maaf dan seolah-olah orang yang mendengar kita meminta maaf, nomor satu harus mengampuni kita dan nomor dua setelah mengampuni kita, seolah-olah dia harus bisa melupakan, dia harus bisa putihkan semua sehingga seolah-olah tidak ada lagi bekas perbuatan kita dan tidak ada lagi akibat yang mesti kita tanggung. Tidak ya, kenyataan kita minta maaf, tidak berarti kita akan memeroleh kembali semua kesempatan, kepercayaan, respek dan kasih dari orang. Tidak ya, kenyataan orang memaafkan kita tidak berarti bahwa dia akan sanggup langsung mengembalikan kasihnya kepada kita, kepercayaannya, kesempatannya kepada kita, respeknya kepada kita. Tidak, dia akan perlu waktu untuk bisa memulihkan semua itu dan memang dia tidak bisa menjanjikan kepada kita bahwa dia akan sanggup melakukannya. Jadi waktu kita meminta maaf, kita harus berkata bahwa kita siap untuk memulai sebuah perjalanan bersama yang kita tidak tahu akhirnya, yang kita tidak memiliki kepastian akan seperti apa nantinya semua ini, tapi kita lakukan kewajiban kita waktu kita salah, kita minta maaf. Itu saja.
ND: Berarti jika kita sudah melakukan satu kesalahan yang membuat rusak susu sebelanga ini, meskipun kita sudah mengakui, meminta ampun juga kita bersedia menerima konsekwensi dari perbuatan kita, hidup kita juga tidak bisa menjadi seolah-olah kita tanpa kesalahan, berarti seumur hidup kita, kita terikat dengan apa yang sudah kita perbuat itu, Pak Paul.
PG: Betul, Pak Necholas. Ini adalah hal ketiga yang mesti kita perbuat, yaitu jalani hidup sebagai seorang terdakwa, bukan sebagai orang bebas. Kita tahu di hadapan Tuhan, kita sudah bebas, Tuhan sudah mengampuni kita, Tuhan mengampuni, menerima kita apa adanya, betul itu, tapi dalam hal berelasi dengan orang, kepada orang yang telah kita lukai, biarlah kita tetap hidup sebagai seorang terdakwa, bukan sebagai orang bebas. Mungkin kita merasa lega setelah mengakui perbuatan kita atau sebaliknya perbuatan kita diketahui sehingga kita tidak lagi perlu bersembunyi dan setelah meminta ampun kepada orang yang telah kita lukai, masalahnya adalah dia sekarang harus menanggung derita yang besar dan dalam akibat perbuatan kita. Itu sebab jangan bersikap seolah-olah semua ini adalah masa lalu yang tidak perlu diingat-ingat lagi dan sudah seharusnya ia sekarang melangkah maju ke hari esok yang lebih indah. Sikap kita yang bebas dan lega akan justru lebih menyakiti hati orang yang kita lukai atau kita kecewakan. Jadi jalani hidup dengan prihatin, bukan sebagai orang yang merdeka, melainkan sebagai orang yang bersalah. Ini justru akan lebih dapat menolong orang yang kita lukai untuk sembuh. Makin kita berlaku seolah-olah kita tidak ada apa-apa lagi, sekarang kita sudah sembuh, sekarang kita sudah bebas, kita sudah mengaku bahwa kita bersalah, nah jangan sampai kita bersikap seperti itu karena justru itu akan lebih melukai dan menyulitkan orang yang kita lukai untuk sembuh.
ND: Pak Paul, apa boleh ceritakan salah satu pengalaman Pak Paul dalam menangani orang yang mengalami perbuatan yang dianggap "nila setitik kemudian rusak susu sebelanga"? Apakah itu peristiwa tertentu atau kasus tertentu yang orang tersebut hadapi?
PG: Banyak ya, saya berharap atau berandai tidak banyak, tetapi kenyataannya adalah saya telah melihat banyak. Saya melihat orang yang menghancurkan keluarganya, saya melihat orang yang menghancurkan gereja yang dilayaninya, pelayanan yang dirintisnya dan dibesarkannya. Terlalu banyak buat saya, karena benar-benar hal-hal itu menghancurkan bukan saja dirinya, tapi orang-orang di sekitarnya. Jadi sewaktu seseorang yang ditokohkan, dihormati berbuat kesalahan yang seperti itu dan merusak susu sebelanga, dampaknya luas sekali dan dalam sekali. Berapa banyak orang menjadi tawar kepada Tuhan gara-gara perbuatan segelintir orang yang telah melukai mereka. Jadi kita mesti berhati-hati sekali, Pak Necholas.
ND: Betul, Pak Paul, tentunya sayang sekali karena kita melakukan sesuatu yang menghancurkan banyak hal, bukan hanya diri kita tetapi juga orang lain. Selain ketiga hal yang sudah Pak Paul bagikan, hal apa lagi yang bisa kita kerjakan sekiranya kita merasa bahwa susu yang kita punya ini sudah rusak?
PG: Hal keempat yang mesti kita lakukan adalah menambahkan kebaikan kedalam hidup kita. Kita tidak bisa mengeluarkan nila yang telah tercampur kedalam susu. Dengan kata lain, kita tidak bisa meniadakan atau menghapus apa yang telah terjadi. Perbuatan atau perkataan kita akan selamanya terpateri di benak orang yang telah kita lukai, mengakibatkan kerusakan yang permanen. Jadi satu-satunya hal yang dapat kita ubah adalah diri kita sendiri. Tunjukkan perubahan itu dengan melakukan hal-hal yang baik, yang berkenan kepada Tuhan. Kita harus berdisiplin dan bersikap konsisten dengan perubahan yang baik ini. Jangan meninggalkan kesan bahwa semua ini adalah upaya untuk lepas dari hukuman atau cara untuk memenangkan hati orang yang kita lukai semata. Biarlah orang melihat perubahan diri kita, mungkin ia perlu setahun, mungkin ia perlu 10 tahun untuk kembali percaya kepada kita, biarkan ia berjalan sesuai kesiapannya. Sebaliknya kita pun mesti siap untuk berubah tanpa imbalan. Mungkin kita merasa letih, sebab kita berkata, "Mengapa ia tidak memerhatikan perubahan yang kita tunjukkan?" Mungkin kita marah sebab kita terus diperlakukan sebagai seorang pesakitan. Mungkin kita merasa putus asa, karena semua usaha kita sia-sia dan tidak dihargai sama sekali. Biarkanlah sebab kita tidak dapat memaksanya atau mengubahnya, kita melakukan semua ini untuknya dan untuk Tuhan dan kita tahu bahwa Tuhan melihat.
ND: Karena kesalahan kita ini sudah menimbulkan kerusakan yang sedemikian besar tentunya kita tidak dapat berharap bahwa ini akan berubah secara instan, kita harus sabar, terus melakukan kebaikan meskipun tampaknya belum ada hasilnya. Meskipun sudah lama sekali kita lakukan.
PG: Betul, jadi kita mesti menambah kebaikan dalam hidup kita. Hal-hal yang biasanya tidak kita lakukan, kita lakukan. Hal-hal yang baik, misalnya kita dulu tidak terlalu sering membantu pasangan kita mengurus rumah tangga, sekarang kita terjunkan diri kita didalam mengurus rumah tangga. Mungkin sebelumnya kita tidak terlalu ikut campur mengurus anak, coba tambahkan jam, waktu untuk mengurus anak. Jadi apa pun yang bisa kita tambahkan, hal baik yang bisa kita tambahkan, kita tambahkan. Sudah tentu sebaliknya, hal buruk yang bisa jadi tidak berkaitan dengan perbuatan kita, tapi hal buruk justru mesti kita hilangkan, sebab di mata orang yang telah kita lukai, setiap perbuatan buruk yang kita kerjakan, meskipun bukan pekerjaan buruk yang sama yang telah melukainya, tetap akan bisa seolah-olah menyetrum hidup, luka lama itu. Bisa seolah-olah menghidupkan kembali, membuat luka itu kembali berdarah, meskipun perbuatan yang negatif atau yang buruk itu lain dari apa yang dia telah perbuat, sebelum ia telah melukai hati orang.
ND: Jadi kita jangan lagi menambah keburukan atau hal lain yang menyakiti orang lain.
PG: Betul, jadi kita tidak mau menambah malah kita berusaha mengurangi. Jadi memang kalau orang berkata, "Aduh, mengapa saya yang jadi dituntut, seolah-olah untuk hidup sempurna". Ya, tepat sekali, kalau kita telah bersalah, kita telah melukai orang dengan sebegitu dalamnya, memang kita seolah-olah harus menjadi diri yang jauh lebih baik daripada diri yang sebelumnya. Hanya dengan cara inilah perlahan-lahan luka di hati orang bisa sembuh.
ND: Karena orang lain juga melihat kesungguhan kita dengan tindakan dan perbuatan kita yang sudah diperbaharui dan kita terus melakukan, menambah yang baik.
PG: Betul sekali, betul, Pak Necholas.
ND: Selain dari empat hal yang sudah kita renungkan bersama, hal apa lagi Pak Paul yang bisa kita kerjakan ketika hidup kita sudah sedemikian hancur?
PG: Hal kelima dan terakhir yang mesti kita lakukan adalah bukan saja menerima, bersedia hidup dengan kerusakan yang telah terjadi, tetapi juga memerkuat bagian yang menjadi titik kuat dalam relasi kita. Maksud saya kita harus realistik dengan harapan kita, pulih atau sembuh tidak berarti hilang. Maksud saya sampai kapan pun luka akibat perbuatan kita tetap ada dan kadang akan mengeluarkan darah sampai kapan pun, bagian tertentu relasi kita akan terus menjadi titik rawan. Itu tidak dapat kita ubah, itu sebab biarkan, jangan menyoroti bagian rawan itu dan terus berusaha memerbaikinya. Yang dapat kita lakukan adalah memerkuat bagian lain dari relasi kita yang selama ini menjadi titik kuat relasi kita. Mungkin kita tidak dapat mengembalikan kepercayaan orang terhadap kita, tetapi kita dapat memupuk pelayanan bersama yang selama ini menjadi titik kuat relasi kita. Mungkin kita tidak dapat memulihkan respek orang terhadap kita, tapi kita dapat memerkokoh kesehatian membesarkan anak. Mungkin kita tidak bisa mengembalikan kasih orang kepada kita, tetapi kita dapat memerhatikan kebutuhannya. Besar kemungkinan kekuatan di area lain ini perlahan-lahan akan dapat menguatkan area-area yang telah rusak.
ND: Ini juga berkenaan dengan tadi poin yang sudah kita renungkan, Pak Paul. Menambah kebaikan, disini kita bisa memerkuat hal yang menjadi kelebihan kita untuk memerbaiki kerusakan yang sudah kita buat.
Baik, Pak Paul, boleh bagikan satu ayat yang bisa renungkan bersama sehubungan dengan tema yang kita renungkan ini?
PG: Betul, jadi kita identifikasi kekuatan relasi kita, kekuatan pada hubungan yang selama ini kita bina. Apa itu? Fokuslah pada kekuatan-kekuatan itu, coba perkokoh terus, lakukan terus. Memang bisa jadi orang yang kita lukai tidak lagi mau karena merasa untuk apa? Kamu telah melukai saya, tapi terus saja, terus saja untuk melakukan hal-hal yang bisa dilakukan, karena nantinya perubahan itu terjadi diawali dari perubahan di titik-titik kuat ini. Yang telah rusak, yang telah robek itu akan makan waktu lama untuk bisa kembali utuh, untuk kembali tidak lagi berdarah. Itu perlu waktu lama, jadi fokus pada titik kekuatan relasi kita, bangun terus, pupuk terus, lama-lama ini nanti bisa memberikan kekuatan kepada daerah atau wilayah lain dalam hidup kita, relasi kita yang telah lemah itu.
ND: Baik, Pak Paul. Pak Paul boleh bagikan satu ayat untuk kita renungkan bersama sehubungan dengan tema yang kita renungkan ini?
PG: Amsal 16:7 berkata, "Jikalau Tuhan berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itu pun didamaikannya dengan Dia". Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Itu sebab kita mesti berhati-hati jangan sampai itu terjadi, namun bila itu terjadi, fokuskan upaya dan perhatian pada menyenangkan hati Tuhan, sebab bila Tuhan berkenan maka Ia akan sanggup mendamaikan kita dengan orang yang benci, terluka dan kecewa terhadap kita. Jadi penting sekali, kita jangan sampai kehilangan perspektif. Fokus kita Tuhan, menyenangkan hati Tuhan, memang secara tidak langsung menyenangkan hati orang yang telah kita lukai, tapi fokus utama kita adalah harus Tuhan. Kalau fokus utama kita adalah orang yang telah kita lukai, kita mudah terombang-ombing, kita nanti mudah patah semangat, tapi kalau kita fokus pada Tuhan, kita melakukan ini untuk Tuhan, kita akan bisa tetap kuat karena kita percaya, Dia nanti akan melakukan bagian yang tidak bisa kita kerjakan yaitu mengubah hati orang.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul atas renungan yang sudah disampaikan dan tentunya ini bisa menjadi berkat bagi kita sekalian.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gara-Gara Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.