Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Kecanduan Seksual" bagian ketiga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, kecanduan seksual ini ada siklusnya, ya ?
SK : Ya, ada siklusnya, Pak Hendra.
H : Seperti apa siklusnya, Pak ?
SK : Siklus yang pertama, berawal dari pemicu. Yang dimaksud pemicu adalah peristiwa atau perasaan yang semacam rasa sakit yang ingin kita hindari. Jadi, peristiwa atau perasaan ini bisa berupa rasa tertekan, rasa cemas, rasa sakit hati, bentuk perasaan karena peristiwa konflik relasi, karena menghadapi percakapan-percakapan yang sulit, munculnya rasa tidak aman dan tidak nyaman pada umumnya, mengalami rasa tertolak, terhina, mengalami kondisi bagaikan hari yang buruk, mengalami sebuah perlawanan konfrontasi, pikiran putus asa, perasaan sakit karena merasa ditinggalkan, diabaikan, rasa kesepian dan perasaan buruk lainnya. Jadi hal-hal inilah yang menjadi pemicu dari siklus kecanduan tersebut.
H : Pemicu ini bisa berkaitan dengan faktor dari luar, ya Pak ?
SK : Betul. Jadi pemicu ini bisa berupa stimulus atau pemicu dari luar, seperti gambar-gambar di pinggir jalan, baliho, spanduk, kalau kita berkendara atau berjalan kaki di luar, sampul majalah, 'chatting' dan percakapan-percakapan yang mengarah pada hal tertentu, itu bisa menjadi pemicu. Gambar, berita di internet, cerpen erotik, perjumpaan dengan orang-orang yang memiliki sikap tertentu misalnya sikap yang kesannya genit atau sifat yang kesannya membangkitkan gairah seksual kita atau wajah dan kepribadian orang tertentu yang mengingatkan kita pada tokoh-tokoh dunia percabulan, dunia perzinahan atau pun dengan pengalaman kita yang berkaitan dengan masa lalu dan berkaitan dengan sisi kelam kehidupan seksualitas kita. Ini bisa jadi pemicu. Spektrumnya cukup luas, Pak Hendra, tergantung masing-masing orang.
H : Kesimpulan sementara, pemicu ini bisa ada dua, yang pertama peristiwa atau perasaan yang menimbulkan rasa sakit yang ingin kita hindari, yang kedua, bisa berupa stimulus dari luar seperti yang sudah Bapak jabarkan contoh-contohnya.
SK : Betul.
H : Dari pemicu ini, siklusnya akan naik kemana, Pak ?
SK : Dari pemicu ini, bila dibiarkan, akan masuk tahap kedua yaitu tahap keterlenaan. Maksudnya, pikiran kita mulai mengambil alih dan melampaui kendali kita. Pikiran kita mulai mengambil alih kendali kita. Di sini kita bergerak aktif ke arah kecanduan. Kita memilih untuk melakukan hal yang telah kita kenal dengan baik yang mampu memberikan kepuasan yang lebih rendah dengan harapan kita akan memperoleh kelegaan. Jadi keterlenaan ini seperti orang yang terhanyut. Perasaan dan pikirannya terhanyut, pikiran kita mulai tersambung dengan dorongan seksual. Pada titik yang kedua, kalau pemicu ini kita biarkan, kita akan masuk ke dalam keterlenaan atau keterbiusan. Pikiran kita mulai masuk ke dalam fantasi seksual kita, membayangkan lebih lanjut, mulai muncul perasaan ingin memuaskan hasrat seksual, mulai muncul perasaan yang, "Enak sekali kalau aku masturbasi sekarang. Wah, seandainya ada gambar porno yang kulihat bisa menemaniku di tengah rasa sepi ini… ah, kalau aku bisa berhubungan seks dengan pacarku itu, stresku pasti akan sirna dan aku bisa merasakan kenikmatan dan kedamaian lagi." Inilah tahap yang kedua, Pak Hendra.
H : Di fase yang kedua ini, apakah sudah mulai kehilangan kendali, Pak ?
SK : Sudah, kendalinya mulai diserahkan kepada siklus tadi. Jadi sudah mulai lepas kendali.
H : OK. Jadi ini akan mengantarkan dia masuk ke fase yang ketiga di dalam siklus itu. Apa fase yang ketiga ?
SK : Fase yang ketiga yaitu fase ritualisasi, dari kata ritual atau upacara. Artinya tata urutan pada perilaku seksual itu. Disini kita mulai merencanakan untuk mencapai sasaran kita, pelampiasan, pemuasan hasrat seksual kita. Mungkin kita merencanakan, "Aku mau pulang kerja lebih awal, langsung pulang ke rumah, mengunci diri di kamar, semua dibuat gelap biar disangka tidak ada orang di rumah, nah aku bisa baca majalah pornoku, nonton film itu sambil masturbasi. Nanti aku hubungi pacarku, aku ajak dia makan malam romantis, setelah itu aku bisa berhubungan seks dengan dia." Nah, dia mulai merencanakan. Mungkin merencanakan pulang lebih awal, merencanakan bagaimana bisa sendirian, menutup pintu agar tidak ada yang mengganggu, di sini kita berhenti tentang hal-hal lain dan hanya terfokus pada gerak maju untuk memuaskan hasrat seksual kita. Dari sini kita mulai terhisap oleh tarikan yang kuat dan tidak dapat dihentikan. Ibaratnya seperti "vacuum cleaner", kita tidak bisa meronta atau menghindar lagi, pelan-pelan kita makin lama makin meningkat, percepatan mencapai titik yang tertinggi dan nantinya kita bisa meluncur dengan hasrat seksual kita ini. Inilah tahap ritualisasi itu, Pak Hendra.
H : Terhisap dalam tarikan yang kuat dan tak bisa dihentikan, jadi bolehkah saya menyimpulkan, bahwa kalau sudah masuk ke dalam fase ritual ini sudah nyaris mustahil bagi orang itu untuk keluar dari siklus itu, Pak ?
Sk : Tepat! Jadi sebenarnya kalau mau keluar, hindarilah keterlenaan itu. Kalau mau memotong siklus ini, begitu ada pemicu, langsung, jangan biarkan diri terhanyut, terbius atau terlena ! Arahkan ke arah yang berbeda, banting setir. Ketika orang masuk keterlenaan dan membiarkannya, akhirnya masuk ke ritualisasi, mulai merencanakan dan mulai melakukan aktifitas untuk mewujudkan perilaku seksualnya, ini yang susah. Istilahnya "no turning back", tidak ada titik untuk kembali lagi. Ketika orang masuk ritualisasi, sulitnya bukan main. Kalau sudah naik ke ubun-ubun, hasrat seksual itu harus dilampiskan.
H : Berarti fase ini sangat berbahaya, Pak. Ini mengantarkan dia ke fase berikutnya, yaitu ?
SK : Tahap keempat yaitu tahap tindakan. Di sini kita bertindak sesuai keinginan kita dan terikat dengan perilaku tersebut. Di sini kita melampiaskan dorongan yang kita rasakan yaitu untuk pornografi, fantasi, seks di luar nikah, atau pun hal lain yang kita pakai untuk melepaskan hasrat seksual itu.
H : Jadi ini eksekusi dari ritualisasi itu?
SK : Tepat, ini eksekusinya.
H : Jadi yang sebelumnya merencanakan, sekarang melaksanakan? Setelah dilaksanakan, apakah berhenti, Pak?
SK : Tidak! Akhirnya setelah dilaksanakan, dia akan lega dan puas dengan imajinasinya yang mencapai titik kulminasi, puas dengan orgasme yang dia rasakan nikmat, kemudian mulai turun. Hasrat itu sudah terlampiaskan, masuk ke fase yang menurun, yaitu tahap kelima keputusasaan.
H : Kenapa bisa ada fase keputusasaan, Pak?
SK : Karena muncul rasa bersalah. "Kamu lagi, kamu lagi. Jatuh lagi, jatuh lagi. Gagal lagi…" Mulai menghukum diri, merasa bersalah, merasa malu dan mulai muncul pikiran, "Aku tidak berharga, aku hidup dalam dua dunia. Aku munafik! Aku palsu. Tuhan pasti tidak mau mengampuni aku. Percuma ! Tidak usah berdoa, tidak perlu gereja! Omong kosong dengan kekristenanku, omong kosong dengan status hamba Tuhan-ku. Jatuh lagi, jatuh lagi". Justru kalau dibiarkan, karena dia tertekan dan galau, masuk kembali ke fase pertama yaitu pemicu. "Ya sudahlah ! Sekalian aja lakukan lagi biar stresku ini hilang!" Kembali lagi, mengulang siklus dari awal. Bagaikan lingkaran setan, pilinan yang makin lama makin mendalam sampai akhirnya kehabisan energi, jadi dia merasa gagal, kosong, seperti itu.
H : Jadi rasa gagal dan rasa bersalah ini, kemudian kembali seperti yang tadi Bapak katakan di awal, pemicu itu bisa berasal dari rasa gagal dan rasa bersalah, akhirnya menjadi pemicu lagi. Jadi siklus tanpa akhir, Pak?
SK : Betul, bisa demikian.
H : Bapak sempat singgung dalam sesi sebelumnya, ada orang tertentu yang hati nuraninya bisa mati. Kalau hati nuraninya mati 'kan dia tidak timbul rasa bersalah, Pak?
Sk : Benar. Untuk fase yang kelima ini bisa tidak muncul atau muncul secara ringan. Mungkin karena sudah terbiasa atau dia bebas nilai, tidak punya nilai moral yang kuat, ya dia oke saja. Mungkin ada sediki