Kecanduan Seksual 3

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T378C
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Jarang kita mendengar seorang mencari pertolongan karena bergumul dengan kecanduan seksual. Sebagian karena tidak menyadari itu adalah masalah, sebagian karena hal itu dianggap terlalu pribadi sehingga tabu untuk diutarakan dan didengar. Padahal kecanduan seksual dapat merusak hubungan, menghancurkan pernikahan dan menggerus kehidupan. Mari kita kenali sifat dan siklus kecanduan seksual ini agar dapat merdeka darinya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kita bisa kecanduan pada banyak hal, termasuk terhadap orang lain. Telaga kali ini membahas secara khusus tentang kecanduan seksual. Kecanduan seksual bisa berkenaan langsung dengan orang lain, baik sejenis mau pun lawan jenis, bisa juga berkenaan dengan orang yang kita imajinasikan, pornografi dan fantasi romantik, yang dapat menjadi sangat adiktif bagi wanita.

Jarang kita mendengar seorang mencari pertolongan karena bergumul dengan kecanduan seksual. Sebagian karena orang tidak menyadari itu adalah masalah, sebagian karena kita anggap hal-hal itu terlalu pribadi dan personal sehingga tabu untuk diutarakan dan didengar. Padahal kecanduan seksual dapat merusak hubungan, menghancurkan pernikahan dan menggerus kehidupan. Sangat mungkin kita sedang menjalani kenyataan tersebut saat ini.

Kita adalah orang-orang yang diciptakan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar: kebutuhan untuk dikasihi dan kebutuhan untuk memiliki makna. Sayangnya kebutuhan itu tidak dipuaskan orang tua kita dalam masa tumbuh kembang kita sebagai anak. Malah kita mengalami pengabaian, pelecehan, bertumbuh dengan kebingungan akan identitas jenis kelamin. Kita bergumul dengan kesepian, kecemasan, kebencian pada diri, stres, rasa malu dan rasa takut. Semua itu menyatu membentuk kehidupan emosional yang merindukan penawar rasa sakit. Sementara itu kita tumbuh dalam budaya yang mengajarkan kita untuk menghindari penderitaan dan rasa sakit. Untuk apa susah-susah, kalau ada cara yang mudah. Pada tahun-tahun awal kehidupan, kita sudah mengembangkan pola-pola menghindari rasa sakit.

Di saat memasuki usia remaja, dengan kehadiran masa puber dan kesadaran akan seksualitas kita, kerinduan terdalam kita akan hubungan dan keintiman, yang sesungguhnya baik dan benar, mengalami pembelokan. Kerinduan yang sesungguhnya hanya dapat dipuaskan dalam relasi intim dengan Bapa di Surga dan relasi yang sehat dengan sesama, kita lampiaskan dengan mengejar objek-objek pengganti yang lebih rendah. Berbagai jenis perilaku seksual menjanjikan dan memberikan penawar rasa sakit kita dalam ukuran tertentu. Ketika rasa sakit muncul kembali, kita kembali pada perilaku seksual yang sebelumnya memberikan rasa nyaman.

Pada awalnya seolah sangat memuaskan dan menggairahkan karena memberi ilusi keyakinan bahwa dengan cara ini kita dapat mengendalikan dan mengatur kehidupan emosional. Kita berpuas diri dengan keintiman palsu dengan laki-laki atau perempuan lain atau dengan imajinasi atau fantasi kita. Kita berharap hubungan yang sementara ini akan memenuhi kerinduan yang lebih dalam untuk dikasihi, dikenal dan diterima. Namun, sesungguhnya kita telah masuk dalam penyembahan berhala, di mana kita menciptakan dan menginginkan "berhala" yang dianggap bisa memberikan apa yang kita inginkan. Kita menyembah ilah-ilah palsu dengan cara menyerah kepada kuasa hasrat seksual dan relasional kita. Kita telah menyerahkan diri kepada hawa nafsu; dan keinginan kita, tak pernah dapat dipuaskan.

Pola kegiatan yang berulang-ulang atau kompulsif ini, dengan cepat berubah menjadi kecanduan dan mengakibatkan kita kehilangan kendali dan sulit dihentikan. Kita akhirnya terperangkap dan terpenjara dalam PENJARA KETIDAKPUASAN. Ironis. Semua alternatif pemuasan lainnya menjadi tertutup. Tiap kali rasa sakit muncul, kita secara otomatis bergerak menuju perilaku kecanduan. Hasrat seksual telah membawa kita ke dalam penjara kecanduan ketika kita mencoba memenuhinya dengan cara kita sendiri. Kita merasa seolah-olah pintu penjara telah terkunci dan kunci telah dibuang jauh—sehingga kita terpenjara selamanya dalam penjara buatan kita. Kita merasa harapan untuk bebas telah lenyap dan tidak mungkin bagi kita untuk hidup bebas dari pergumulan dan kecanduan itu. Kita pun berteriak dengan seruan Paulus, "Siapa yang akan menyelamatkan aku dari tubuh celaka ini?"

Kolose 3:5, "Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala". Rancangan Allah agar kita hidup dalam nilai-nilai Allah, membuang yang tidak berasal dari Allah, termasuk hawa nafsu seksual, kenajisan yang semuanya itu identik dengan penyembahan berhala. Ini bukan sekadar isu sosial tetapi isu rohani.

Kita hidup dalam budaya yang menghindari rasa sakit, mencari cara yang mudah. Kecanduan seksual bisa dimulai sejak masa remaja. Perilaku seksual bisa berkaitan dengan fantasi seksual, pornografi. Ketika rasa sakit, rasa kosong itu muncul, hati galau, akhirnya kita kembali pada perilaku seksual yang telah memberikan rasa nyaman. Awalnya masih bisa dikendalikan, tapi sebenarnya sudah terjadi tindak penipuan, kebohongan.

Dimulai dengan ketidaksengajaan, sesekali sampai akhirnya tidak bisa dikendalikan lagi. Mulai mendewakan, meng-ilah-kan, menjadi poros atau pusat hidupnya. Semestinya datang kepada Tuhan dan tidak menyerahkan tubuh dan jiwa kita pada hasrat seksual ini. Pada titik itulah kita masuk ke penjara ketidakpuasan, ketidaknikmatan. Tanpa sadar akhirnya masuk ke dalam kondisi pornografi, fantasi-fantasi romantis, masturbasi.

Hidup dalam kemenduaan, di gereja sebagai aktifis gereja, majelis, hamba Tuhan tapi di kamar pribadinya dia menjadi pribadi yang lain. Ada rasa bersalah, tapi tidak bisa lepas.

BERITA BAIKNYA, kita BUKANNYA TANPA HARAPAN. Kita sesungguhnya diciptakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari kecanduan!

SIFAT KECANDUAN
  1. Toleransi
    Kita membutuhkan dosis yang kian ditambah untuk mempertahankan atau meningkatkan sensasi kesenangannya. Bertambah dosis dan bertambah buruk dan merusak. Dalam hal kecanduan seksual, bermula dari masturbasi dan berkhayal, menjadi kecanduan pornografi yang makin parah, lalu ke film-film dan obrolan mesum melalui telepon atau internet, sampai pada hubungan seks bebas.
  2. Menarik Diri (withdrawal symptoms)
    Perasaan-perasaan tertekan, cemas ketika tak melakukan aktifitas kecanduan itu, menjadi mudah marah, gelisah, sakaw.
  3. Menipu Diri
    Penyangkalan atau memendam: tak melihat diri bermasalah, OK-OK saja. Rasionalisasi: sadar diri kecanduan, tapi mencari-cari alasan membenarkan diri. "Yah, setidaknya 'kan hanya masturbasi dan pornografi, 'kan tidak merugikan orang lain." Menunda : yah ini memang masalah. Saya pasti akan mencari pertolongan, .... Kekalahan yang pasif : kita menyerah akhirnya pada perilaku kecanduan kita karena berulangkali gagal. Merasa Diri Gagal dan Hancur: merasa sama sekali tak ada harga diri dan berantakan. Mulai berfantasi bagaimana kalau mengakhiri hidup saja. Atau pindah kerja, pindah kota.
  4. Distorsi Diri
    Karena sifat kecanduan yang berulang, kita mulai meyakini beberapa pernyataan keliru yang menyimpang tentang diri kita. Saya memang maniak seks; saya pada dasarnya jahat dan cabul, dari turun temurun; Allah tak mungkin bisa mengampuni saya; tak akan ada yang mau terima saya kalau mereka tahu apa yang saya lakukan.
  5. Kesombongan
    Yakin mampu mengatur perilaku kecanduan, "Saya dapat berhenti kapan pun saya inginkan. Saya bisa mengontrol sendiri hal ini. Saya mampu berubah jika saya mau." Keyakinan ini lahir karena tidak memahami sifat dan kuasa dari kecanduan.
  6. Fiksasi (perasaan terikat atau terpusat pada sesuatu secara berlebihan)
    Kita merasa terjerat benar dengan kecanduan seksual. Tiap hari atau jam tanpa memikirkannya, merencanakan atau mengkhayalinya, merampas atau merampok perhatian dan energi kita dari aktivitas-aktivitas sehat lainnya. Seks bukan lagi diterima sebagai anugerah tapi menjadi segala-galanya dalam pengertian yang dangkal dan mekanis.
    Galatia 5:1, "Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan". Kita bicara tentang bentuk keterbelengguan seksual. Itu rancangan iblis dari dunia yang tidak mengenal Allah, rancangan Allah, kita merdeka.
SIKLUS KECANDUAN
Ada siklus kecanduan seksual yaitu :
  1. Pemicu/ Trigger
    Yakni peristiwa atau perasaan yang menyebabkan semacam rasa sakit yang ingin kita hindari. Pemicu bisa berupa rasa tertekan, kecemasan, rasa sakit hati, konflik relasi, pembicaraan yang sulit, rasa tidak nyaman pada umumnya, penolakan, hari yang buruk, sebuah konfrontasi, pikiran yang putus asa, perasaan yang ditinggalkan, kesepian, perasaan buruk lainnya. Pemicu bisa berupa stimulus dari luar seperti: gambar-gambar di pinggir jalan, sampul majalah, 'chatting', berita atau gambar di internet, perjumpaan dengan orang tertentu yang memiliki sifat tertentu, wajah, kepribadian tertentu yang mengingatkan kita akan perilaku cabul di masa lalu.
  2. Preokupasi/ Keterlenaan
    Pikiran kita mengambil alih dan melampaui kendali kita. Di sini kita bergerak aktif ke arah kecanduan. Kita memilih untuk melakukan hal yang telah kita kenal dengan baik yang mampu memberikan kepuasan yang lebih rendah, dengan harapan, kita bisa memperoleh kelegaan. Ada perasan terhanyut, lepas kendali.
  3. Ritualisasi
    Kita mulai merencanakan untuk mencapai sasaran kita. Mungkin meninggalkan kegiatan kita lebih awal, merencanakan di mana bisa sendirian, menutup pintu agar tak ada yang akan mengganggu. Kita berhenti berpikir tentang apa pun yang lain. Kita terfokus pada gerak memuaskan keinginan kita. Terhisap ke dalam dengan tarikan yang kuat dan tak dapat dihentikan. Ibarat permainan kereta luncur ('roller-coaster') kita pelan-pelan sudah mendekati titik tertinggi dan siap turun dengan begitu cepat.
  4. Respons/ Tanggapan (Bertindak)
    Di sini kita bertindak sesuai keinginan kita dan terikat perilaku tersebut. Lampiaskan dorongan yang kita rasakan: pornografi, fantasi, seks bebas atau hal lain yang kita pakai saat itu. Inilah eksekusi dari ritualisasi.
  5. Keputusasaan
    Setelah terpuaskan, kita kemudian segera merasakan rasa bersalah dan keterputusasaan. Begini lagi, begini lagi. Kita menyalahkan diri, menghukum diri. Rasa bersalah dan rasa malu ini dapat juga membawa kita kembali ke langkah pertama siklus, menjadi pemicu/ trigger baru. Muncullah pikiran-pikiran: saya memang tak berharga, tak akan ada yang bisa menolong saya, Allah tak mungkin mengampuni saya. Siklus ini berulang dalam hitungan hari, jam, menit ; mengendalikan dan menggerogoti hidup kita.

KEMERDEKAAN DARI KECANDUAN
Yesus datang untuk membebaskan tawanan. Kitalah tawanan dari kecanduan kita. Segala cara yang kita lakukan tak menghasilkan apa-apa.

Maka jelaslah LANGKAH PERTAMA adalah :
  1. Pengakuan
    Kecanduan makin berkembang dengan subur dalam kegelapan. Selama kita bersikeras menyimpan rahasia, kecanduan akan terus memenjarakan kita. Yohanes 3:20-21, "Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah". Kita harus membawanya dalam terang lewat pengakuan. Berseru pada Roh Kudus untuk memampukan kita dalam mengakui kelemahan dan menghadapi rasa malu. I Yohanes 1:6-7, "Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran. Tetapi jika kita hidup di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa". Sebenarnya relasi kita itu segitiga : ada Allah, ada kita pribadi dan saudara seiman kita. Allah terang, jadi kita adalah anak-anak terang. Praktek saling mengaku dosa kepada sesama saudara seiman merupakan praktek Bapa-Bapa gereja.
  2. Kenali Siklusnya.
    Pada saat kita mengetahui pemicunya, kita hindari pemicu tersebut. Ada tindakan konkret yang harus kita lakukan.
  3. Kembangkan Rencana Konkret.
    Jauhi teman-teman yang dulu, misalnya sama-sama pecandu internet, pembuka situs porno dan lain-lain. Dalam merencanakan sebaiknya kita melibatkan pasangan kita. Dosa paling subur jika kita sendirian.
  4. Rangkul Gaya Hidup Rendah Resiko.
    Batasi jam di depan internet, batasi waktu ketika kita sendirian. Batasi jam kerja, berani berkata "tidak" walaupun itu pelayanan. Kita membutuhkan jadwal hidup yang tidak padat dan membangun relasi yang mendalam dengan orang lain. Godaan seksual karena miskin relasi, baik dengan keluarga maupun dengan Allah dan diri sendiri. Pilihlah film yang aman dari gangguan seksual. Buat jadwal hidup yang lebih sehat, ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk istirahat, ada waktu untuk hal-hal yang serius, ada waktu untuk santai, ada waktu untuk melayani orang lain, ada waktu untuk melayani diri sendiri, ada waktu untuk memberi diri kepada orang lain, ada waktu untuk kita menerima diri kita, ada waktu kita mencurahkan pikiran kepada orang lain, ada waktu dimana kita membangun relasi dengan orang-orang terdekat kita.
  5. Membangun Pertanggungjawaban atau Akuntabilitas.
    Lewat kejujuran kita membangun integritas. Kita boleh gagal tapi kegagalan ini bisa kita ceritakan kepada orang lain supaya kita tidak semakin terpuruk. Kelompok akuntabilitas ini akan semakin efektif jika ada seseorang yang bisa menjadi motor tapi jika kita bukan tipe orang yang bisa memulai, kita bisa mengikuti kegiatan seperti kamp interdenominasi dimana kita bisa bertemu dengan orang yang sekota. Fasilitator atau pemimpin kelompok kita akan menjadi alat Tuhan yang membantu kita menemukan saudara seiman yang membangun komitmen yang sama untuk bertumbuh dalam kelompok akuntabilitas tersebut.
  6. Kembangkan Perhatian Diri.
    Kembangkan waktu untuk diri sendiri, termasuk nutrisi untuk jiwa, kembangkan hobi. Ada 2 sisi, yaitu sisi lain dari pemuridan adalah pemulihan sedangkan sisi lain dari pemulihan adalah pemuridan. Dua sisi ini perlu diperhatikan. Targetnya adalah mengenali hal yang di dalam diri kita. Kita perlu diri yang bertumbuh. Kembangkan kebiasaan dengan memakai bahasa tubuh. Para aktivis gereja atau hamba Tuhan lebih berelasi di level pikiran kognitif, tapi kering dalam hal relasi emosional, pujian yang membangun. Tumbuhkan budaya yang sehat.

Comments

Saya butuh seorang konselor yang bisa dihubungi secara pribadi. Bagaimana caranya ya? Saya butuh bicara secara tertutup.

Terima kasih sudah menghubungi kami. Silakan Anda memberitahukan tinggal di kota mana, supaya kami bisa mengarahkan kepada siapa sebaiknya Anda konseling. Salam : Tim Pengasuh Program Telaga

saya tinggal di Jakarta Selatan dan saya butuh konseloing tertutup.

mohon bantuannya kemana saya bisa diarahkan.

terima kasih

Silakan menghubungi Dep.Konseling STTRI, Jl. Kemang Utara IX no.10, telepon 021-7982819 atau 7990357.

Saya juga membutuhkan konselor yang bisa dihubungi secara pribadi. Bagaimana caranya untuk bisa konseling secara tertutup ?

Setiap konseling diadakan secara tertutup, maksudnya kerahasiaan terjaga. Kalau Anda tidak memberitahukan Anda tinggal di mana, bagaimana kami dapat mengarahkan kepada konselor yang dapat membantu Anda ? Salam : Tim Pengasuh Program Telaga