Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Tantangan Orangtua Tunggal". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kadang-kadang di dalam perjalanan hidup pernikahan tidak selamanya suami istri bisa hidup berpasangan terus sampai masa tua. Ada yang karena satu dan lain hal harus bercerai, berpisah, juga tidak sedikit yang pasangannya meninggal ketika anak-anaknya masih kecil. Tentu ini menimbulkan permasalahan sendiri. Karena selama si ayah atau ibu itu tidak menikah lagi, dia harus mengurus anak atau bahkan anak-anaknya seorang diri. Sebenarnya tantangan apa saja yang harus dihadapi oleh seorang ayah atau ibu yang harus mengasuh anaknya sendirian ?
PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Tantangan pertama yang mesti dihadapi oleh orangtua tunggal adalah membagi waktu antara kerja dan merawat anak. Orangtua tunggal tetap harus mencari nafkah dan itu berarti ia harus meninggalkan rumah. Masalahnya adalah ia pun diharapkan berada di dalam rumah untuk dapat memerhatikan kebutuhan anak-anaknya. Tidak bisa tidak akan harus ada yang dikorbankan. Karena nafkah harus dicari, biasanya yang dikorbankan adalah waktu bersama anak. Nah, jika itu yang terjadi, orangtua tunggal mesti sedapatnya menggantikan waktu yang terhilang agar interaksi antara anak-orangtua tetap terjaga walau tidak banyak. Saya berikan contoh, misalkan pada akhir pekan pergilah bersama anak-anak untuk berekreasi, atau malam hari sebelum tidur sediakan waktu setidaknya 30 menit untuk bercakap-cakap dan berdoa bersama. Singkat kata, semasa anak kecil, pergunakanlah waktu yang tersisa untuk anak. Untuk sementara kurangilah waktu di luar rumah bahkan untuk pelayanan sekalipun.
GS : Itu berarti setelah pasangan kita meninggal, kita harus mau menyusun ulang kegiatan-kegiatan kita dan prioritas-prioritas kita.
PG : Betul sekali. Tidak bisa tidak, kita harus mengorbankan diri. Sebab bisa jadi ada hal-hal yang biasa kita lakukan dan senang kita lakukan, misalkan kita terlibat di dalam pelayanan musik di gereja atau kita terlibat dalam pelayanan pembesukan/perlawatan, hal-hal seperti itu untuk sementara harus kita korbankan. Dan yang namanya sementara itu sudah tentu tidak cepat, bertahun-tahun sampai anak-anak sudah mulai dewasa.
GS : Iya. Tapi kalau yang meninggal itu adalah suami, tinggal si ibu ya, yang memang kebetulan bukan wanita karir yang meninggalkan rumah tapi tetap di rumah ya, mungkin masalahnya tak seberat jika tinggal si ayah ya ?
PG : Betul. Kalau si ibu bisa bekerja dari rumah atau dia mendapatkan penghasilan yang cukup meskipun tidak usah bekerja di luar rumah, masalah-masalah ini memang sedikit banyak terselesaikan. Tapi pada umumnya yang terjadi adalah kalau suami meninggal dunia, istri tetap harus bekerja. Ini yang sering saya saksikan. Istri yang tadinya tidak aktif di luar rumah, sekarang harus aktif di luar rumah, mendapatkan pekerjaan, menyokong atau mendukung kebutuhan keluarga, pulang ke rumah sudah malam, pasti dia capek. Masalahnya di rumah dia mesti kerja lagi, mesti mengurus anak-anak, masak, siapkan untuk besok. Jadi, itu benar-benar meletihkan. Dia dari pagi sampai malam harus beraktifitas. Maka tadi saya sarankan kalau memungkinkan pada akhir pekan benar-benar tidak ada yang dia lakukan sehingga dia bisa beristirahat dan gunakan waktu untuk bersama-sama dengan anak-anak.
GS : Iya. Apa tantangan yang kedua, Pak Paul ?
PG : Tantangan kedua yang musti dihadapi oleh orangtua tunggal adalah ketidakadaan peran dan sumbangsih yang seharusnya diberikan kepada anak oleh orangtua yang sekarang telah tiada. Jika ibu yang tertinggal, itu berarti ia mesti menjadi ibu dan ayah bagi anak-anak. Dan sebaliknya, jika ayah yang tertinggal, itu berarti ia harus berperan ganda sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak. Sudah tentu tidak mudah menggandakan peran sebab Tuhan menciptakan kita, laki-laki dan perempuan dengan karakteristik khusus yang berguna untuk pertumbuhan anak. Misalkan figur ibu adalah figur pengasuh sedangkan figur ayah adalah figur penegak disiplin di dalam rumah. Menjadi pengasuh sekaligus penegak disiplin tidaklah mudah sebab pada umumnya peran dan karakteristik ini terpisah pada dua pribadi namun tidak bisa tidak ini mesti dilakukan. Jadi, biasanya anak akan, misalnya, marah pada mamanya, kenapa kok galak padahal sebelumnya tidak. Karena ya yang sebelumnya menegakkan disiplin adalah ayah. Tapi sekarang mama juga harus menghukum si anak, memarahi si anak dan kadang juga harus memukul si anak. Tapi besoknya mamanya juga baik, menyayangi dia. Untuk satu kurun, anak tidak terbiasa, Pak Gunawan. Sebab sebelumnya dia terbiasa papa sebagai penegak disiplin, mama sebagai pengasuh. Tapi dengan berjalannya waktu, seharusnya anak terbiasa. Mama yang melembut, yang membelai, tapi juga mama yang bisa memarahi dan mungkin juga memukul dia. Lama-lama dua peran itu ada dalam diri si ibu. Tapi yang mau saya tekankan juga adalah tidak gampang buat si ibu yang ditinggal suami untuk memerankan itu sebab buat dia itu memang bukanlah dirinya. Dia tidak terbiasa memarahi anak dan memukul anak. Tapi sekarang karena tidak ada (suami), dia mesti lakukan. Nah, saya minta memang tetap dilakukan. Jangan sampai kita berkata, "Aduh saya tidak terbiasa, jadi tidak mau." Atau kita ayah yang tertinggal, istri sudah meninggal. Kita tidak bisa berkata, "Saya tidak biasa dekat-dekat dengan anak." Ya tidak bisa, tetap harus dilakukan karena itu dibutuhkan oleh anak.
GS : Disitu kedua belah pihak dituntut untuk belajar lagi tentang perannya masing-masing. Anak juga harus mengenali bahwa sekarang ibunya adalah sekaligus ayahnya.
PG : Betul.
GS : Dan orangtua juga punya peran ganda yang tidak mudah sebab dia tidak pernah mempersiapkan diri untuk itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Ini tidak gampang sehingga kedua belah pihak harus belajar menyesuaikan diri. Orangtua ya perlu belajar, anak juga perlu belajar menerimanya. Tapi saya kira dengan berjalannya waktu seharusnya dua-duanya akan bisa melakukannya.
GS : Tapi itu memang sangat melelahkan. Saya memiliki kenalan seorang istri yang ditinggal suaminya ketika anaknya masih kecil-kecil sekali. Setelah satu tahun sepeninggal suaminya, dia mengeluh. Dai tidak kuat terus menerus seperti ini. Pagi-pagi harus mengantar anaknya sekolah. Dan anaknya bukan hanya satu tapi tiga, Pak Paul ! Ini sangat menguras tenaganya.
PG : Betul. Sangat-sangat capek, Pak Gunawan. Secara fisik capek sekali dan nantinya juga capek secara emosional. Maka ada kecenderungan, karena dia sudah terlalu capek, tidak banyak yang dia lakukan lagi, karena memang sudah tidak ada energi lagi. Pulang malam ya hanya untuk membereskan dan menyiap-nyiapkan lalu tidur. Akhirnya interaksi dengan anak sangat kurang.
GS : Iya. Apalagi tantangannya, Pak Paul ?
PG : Tantangan ketiga yang mesti dihadapi oleh orangtua tunggal adalah menjaga keseimbangan antara memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan anak. Pada akhirnya kebanyakan orangtua tunggal yang bertanggung jawab tidak memunyai waktu untuk diri sendiri. Memang tidak mudah menyeimbangkan hidup dalam kondisi yang tidak ideal. Namun meskipun susah, sedapatnya lakukanlah hal-hal kecil yang bermakna untuk diri sendiri. Seperti membaca buku atau pergi bersama sahabat. Walau tidak sering usahakanlah untuk melakukan penyegaran jiwa sebab jiwa yang lesu tidak dapat menjadi jiwa yang efektif.
GS : Disini menjadi masalah, Pak Paul. Biasanya orangtua mengabaikan dirinya. Dengan dia mengabaikan dirinya, dia sulit mencari pasangan baru. Waktunya sudah habis tersita untuk anak atau anak-anaknya.
PG : Betul. Bukan saja nantinya dia sulit untuk menjalin relasi dengan yang lain, dia kalau terlalu letih juga tidak bisa menjadi orangtua yang efektif. Kita sadari kalau kita terlalu capek, kesabaran kita juga menipis, Pak Gunawan. Akhirnya anak-anak merasa, misalnya mamanya yang harus menjaga, kenapa mamanya marah-marah, kenapa sedikit-sedikit memaki, mengomel. Anaknya tidak bisa terima, mengapa mama sekarang begini, dulu tidak begini. Karena memang sudah terlalu letih. Pulang-pulang energi untuk menahan kesabaran sudah sangat menipis. Jadi, tadi saya katakan, sedapatnya meskipun susah, kita mesti merawat jiwa sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri. Baca buku atau sekali-sekali pergi dengan sahabat, minta tolong seseorang untuk jaga anak dan lain-lain. Kalau bisa paksakan untuk menyegarkan jiwa sebab kalau tidak, di rumahpun tidak bisa efektif.
GS : Iya. Biasanya itu nampak sekali pada penampilannya. Merosot tajam sekali, Pak Paul. Tiba-tiba kelihatan lebih tua atau seperti orang kelelahan sekali.
PG : Betul. Penting sekali untuk menyegarkan jiwa. Jadi, buatlah waktu untuk itu.
GS : Tapi biasanya kalau disarankan, selalu mengatakan, "Ah, buat apa ? Pasangan saya sudah tidak ada dan saya harus mengurus anak yang masih kecil-kecil ini."
PG : Memang tidak gampang dan mungkin sekali waktunya terbatas. Itu betul ya. Tapi sedapat-dapatnyalah saya minta ini dilakukan.
GS : Iya. Hal lain yang menjadi tantangannya apa, Pak Paul ?
PG : Tantangan keempat yang mesti dihadapi orangtua tunggal adalah pengawasan anak. Tidak bisa tidak, kepergian pasangan menimbulkan kekosongan pengawasan anak. Sebagai akibatnya anak pun melihat celah dan cenderung memanfaatkan kekosongan itu. Mereka lebih mudah berbohong karena tidak ada yang melihat apalagi membuktikan mereka berbohong. Mereka pun lebih mudah melakukan perbuatan yang terlarang, sebab pengawasan telah mengendor. Alhasil masalah dengan perilaku anak mudah berkembang. Saya sadar memang tidak selalu ada jalan keluar untuk masalah ini, Pak Gunawan. Dalam kasus tertentu kita masih dapat meminta bantuan orangtua untuk menolong mengawasi anak tapi itu tidak selalu dimungkinkan. Itu sebab langkah terpenting adalah mengajak anak untuk bersekutu dan bercengkrama bersama setiap malam. Lewat interaksi ini, anak merasa lebih dekat dengan kita dan ini membuatnya lebih sungkan untuk melukai kita dan lebih terbukalah dia kepada kita pula. Jadi, hal-hal seperti itu yang kita coba lakukan saja dengan anak-anak kita sebab tidak bisa tidak waktu untuk mengawasi juga akan terbatasi.
GS : Iya. Kalau anaknya sudah agak besar mungkin lebih mudah diberi pengertian ya. Tapi kalau anaknya masih balita agak sulit kita beri penjelasan seperti itu.
PG : Betul. Baiknya adalah atau untungnya adalah anak-anak yang masih kecil itu perilakunya masih wajarlah, kenakalan-kenakalannya masih kenakalan anak-anak, sehingga pengawasan yang dibutuhkan lebih kepada pengawasan fisik. Jangan sampai dia kenapa-kenapa, jangan sampai jatuh. Nah, waktu dia mulai remaja, disini mulai diperlukan pengawasan itu. Misalnya kita bekerja pagi sampai sore atau pagi sampai malam dan tidak ada orang di rumah. Misalnya yang di rumah hanya pembantu dan anak-anak kita. anak-anak tahu bahwa kita tidak akan pulang ke rumah sampai jam 7 malam. Misalkan dia pulang sekolah pukul 2 siang. Nah, lima jam itu dia bisa ke mana-mana. Misal kita tanya, "kamu tadi tidak pulang ya ?" Mereka bisa berkata, "Pulang kok." Jadi, kesempatan untuk berbohong, untuk mengembangkan perilaku nakal atau bermasalah juga terbuka lebar.
GS : Iya. Walaupun sekarang bisa diingatkan lewat telepon, kita tidak bisa mengawasi anak-anak kita 100% ya.
PG : Betul. Tidak bisa disangkal ya bahwa kecenderungan anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua tunggal, terutama kalau orangtua tunggalnya adalah ibu karena tidak ada ayah, anak-anak itu cenderung mengembangkan masalah. Sebab sekali lagi ya tidak ada yang mengawasi dan juga tidak ada figur penegak disiplin. Tapi sebaliknya kalau ayah yang tertinggal, dia yang mengurus anak-anak tanpa ibu lagi. Mungkin dalam hal perilaku bermasalah mungkin bisa diminimkan karena ayah lebih berfungsi sebagai penegak disiplin. Tapi yang akan terhilang adalah kedekatan, asuhan, karena tidak ada lagi ibu. Nah, anak-anak ini bisa jadi mengembangkan kebutuhan-kebutuhan untuk dikasihi dan itu bisa mengembangkan masalah juga. Jadi, tidak bisa disangkal bahwa tantangan ini berat sekali, Pak Gunawan. Karena kondisi orangtua yang tidak bisa berfungsi optimal dan membuka celah munculnya masalah.
GS : Memang seyogyanya bisa seperti itu. Tapi kadang-kadang begini, selama suami istri masih hidup justru si ibu yang berperan mendisiplin anak-anak karena memang anak-anak di bawah pengasuhan ibu. Ketika ibu meninggal, hilanglah fungsi kontrol ini.
PG : Betul sekali. Biasanya memang ayah menjadi penegak disiplin untuk hal-hal yang lebih besar yang memang sangat-sangat penting sekali. Yang sehari-hari biasanya dilakukan oleh ibu. Kenapa ibu lebih banyak menangkap kesalahan anak ya karena ibu lebih sering ada di rumah. Sekarang tidak ada lagi maka itu terhilang.
GS : Nah, buat ayah, agak sulit masuk ke situ, Pak Paul. Memang betul seperti yang Pak Paul katakan, untuk masalah-masalah besar ayah ini masih bisa mengawasi atau memberikan arahan. Tapi justru hal-hal yang kecil setiap hari, dia kehilangan kontrolnya.
PG : Betul. Itu benar-benar membuka celah buat anak untuk melakukan hal-hal yang terlarang.
GS : Akibatnya anak-anaknya menjadi anak yang cukup liar, sulit sekali dikendalikan.
PG : Betul. Sekali lagi ini sesuatu yang tidak bisa diapa-apakan karena ini akibat dari kondisi.
GS : Mula-mula ayahnya mentolerir karena dipikir untuk menghibur anak-anak setelah ibunya meninggal. Tapi lama-kelamaan ini jadi masalah bagi si ayah ini.
PG : Betul.
GS : Adakah tantangan yang lain, Pak Paul?
PG : Tantangan kelima yang mesti dihadapi orangtua tunggal adalah menjaga batas, Pak Gunawan. Ada kecenderungan karena sepi dan letih, kita malah membebani anak dengan beban dan derita yang tengah kita tanggung. Akhirnya kita menumpahkan kesedihan dan kekesalan kita pada anak. Alhasil sejak anak kecil, anak harus memikul beban yang tidak seharusnya berada di pundaknya. Ini dapat menghambat serta mengganggu pertumbuhannya. Itu sebab kita harus menjaga batas yang jelas bahwa kita adalah orangtua dan mereka adalah anak agar kita tidak menciptakan masalah yang baru dalam diri anak. Ingatlah bahwa masalah yang kita tumpahkan pada mereka akan menjadi masalah bagi mereka. Semua kisah penderitaan yang kita bagikan tidak berlalu begitu saja dari kuping kiri ke kuping kanan. Tidak. Sebaliknya, masalah itu akan menyangkut di hati dan kepala anak dan menjadi masalah bagi mereka. Mereka akan pikirkan dan mereka akan terpengaruh oleh keluh kesah yang kita tumpahkan kepada mereka. Jadi kita mesti menjaga batas yang jelas itu, Pak Gunawan. Saya mengerti orangtua tunggal itu manusia, punya batas kemampuan menampung masalah. Jadi kalau tidak ada yang bisa dia tumpahkan ya dia tumpahkan kepada anak-anak. Tapi itu tetap berdampak buruk kepada anak sebetulnya.
GS : Kalau tidak ditumpahkan kepada anak, sebaiknya ditumpahkan kepada siapa, Pak Paul ?
PG : Sebaiknya kalau dia masih ada orangtua, kepada orangtuanya. Atau kepada kakak, adik, saudara sepupu atau kepada kerabatnya. Atau kepada sahabat-sahabat yang sejenis dengan dia. Atau kepada seorang konselor atau hamba Tuhannya. Dengan kata lain, cobalah untuk melindungi anak dari tumpahan keluh kesah, masalah atau derita yang dialami orangtua. Karena anak-anak memang belum siap untuk itu. Jangan sampai akhirnya pertumbuhan anak terhambat dan terhimpit oleh masalah yang diceritakan orangtua kepadanya.
GS : Iya. Tapi biasanya itu keluar secara spontan, Pak Paul. Karena kelelahan atau karena kesepian yang dalam, dia spontan saja. Mungkin menangis lalu anaknya melihat dan bertanya, "Kenapa mama menangis?" otomatis mamanya bercerita tentang kesedihannya.
PG : Memang bisa diceritakan tapi bisa juga tidak diceritakan. Betul kata Pak Gunawan, tidak diceritakan secara langsung pun sebetulnya anak-anak sudah mulai memikul beban orangtuanya karena dia tahu orangtuanya itu sedih, capek dan sebagainya. Apalagi diceritakan langsung. Itu memang membuat masalah atau derita itu dobel pada pundak si anak.
GS : Apa dampaknya kepada anak, Pak Paul ?
PG : Akhirnya kesedihan menjadi tema utama hidupnya, Pak Gunawan. Mudah sedih, mudah sedih. Akhirnya menghadapi apapun dia mudah pecah, mudah retak, karena boleh dikatakan hatinya lebih rapuh daripada hati anak-anak lainnya. Karena sejak kecil sudah diisi dengan genangan-genangan airmata dan kesedihan.
GS : Iya. Tantangan yang lainnya apa ?
PG : Tantangan keenam yang mesti dihadapi oleh orangtua tunggal adalah menjadikan anak sebagai kuda pacunya yang sempurna. Karena hidup susah, orangtua cenderung menuntut anak untuk menjadi anak yang bukan saja baik tetapi juga berprestasi tinggi. Orangtua tunggal sering pula menuntut anak untuk sempurna. Maksudnya tidak pernah melakukan kesalahan. Kadang orangtua tunggal sulit menoleransi kegagalan anak padahal itu adalah hal yang lumrah. Dengan kata lain karena hidup penuh derita akhirnya orangtua tunggal menuntut atau setidaknya mengharapkan anak untuk membuatnya bahagia. Nah, sesungguhnya tanpa dituntut pun banyak anak yang dibesarkan oleh orangtua tunggal sudah mendapatkan tekanan untuk membuat orangtuanya bahagia. Tekanan itu datang dari dalam dirinya sendiri. orangtuanya mungkin tidak mengatakan apa-apa. Mereka ingin membahagiakan orangtuanya karena merasa kasihan. Nah, itu sebab menuntut anak untuk sempurna akan menambah berat beban tuntutan yang dialami anak. Dan itu bukanlah hal yang sehat. Jadi, sedapatnya jangan tambahkan beban yang tidak semestinya ini.
GS : Tetapi kalau mendorong anak atau memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada anak apakah juga akan memengaruhi perkembangan anak ini ?
PG : Kalau memang sesuai dengan usianya ya tidak apa-apa, Pak Gunawan. Misalnya dia berusia 11 atau 12 tahun, sudah bisa mulai membantu mencuci piring, kita berikan tugas itu. Malam, makan, setelah itu tolong cuci piring. Atau tugas-tugas seperti membereskan kamar tidur. Nah, tugas-tugas yang sesuai usia itu baik untuk pertumbuhan anak. Yang saya maksud adalah tuntutan untuk tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun, tuntutan jangan sampai membuat masalah di sekolah, tuntutan untuk selalu memunyai nilai yang baik sehingga nanti bisa melanjutkan sekolah mungkin mendapatkan potongan uang sekolah atau mendapatkan beasiswa. Kadang-kadang itu dibebankan kepada si anak. Ini saya ketahui karena ini diceritakan oleh anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua tunggal. Beban berat sekali. Rasanya benar-benar orangtua mengharapkan si anak membuatnya bahagia dan melupakan kesedihannya di masa lampau.
GS : Iya. Tapi katakan orangtuanya masih lengkap, seringkali beban seperti itu juga ditimpakan kepada anak.
PG : Betul. Sudah tentu itu juga berat. Namun memang agak beda kalau orangtuanya tunggal. Kenapa ? Sebab rasa kasihan itu ada pada anak. Kalau orangtuanya utuh, dua-duanya ada, tidak terlalu kuat rasa kasihannya. Tapi kepada orangtua tunggal, anak merasa kasihan. Jadi, tekanan itu lebih personal dan lebih berat, kalau dia tidak melakukannya, tidak berhasil, dia kecewa.
GS : Iya. Mungkin masih ada tantangan lainnya ?
PG : Tantangan ketujuh yang mesti dihadapi orangtua tunggal adalah godaan untuk hidup tidak kudus. Tidak bisa tidak harus diakui bahwa pernikahan sedikit banyak menutup pintu pencobaan. Orang lebih enggan menggoda kita yang menikah. Begitu kita menjanda, terbukalah pintu pencobaan lebar-lebar. Baik itu pencobaan dari dalam yaitu kesepian dan kebutuhan romantis - atau dari luar – ajakan orang untuk menodai kekudusan. Itu sebab penting bagi orangtua tunggal untuk hidup dekat dengan Tuhan setiap hari agar tidak jatuh ke dalam dosa. Orangtua tunggal juga perlu memelihara relasi rohani dengan satu atau dua orang sahabat. Di dalam persahabatan itu firman Tuhan dibagikan dan firman Tuhan mengingatkan satu sama lain. Juga pertanggungjawaban dapat diberikan kepada satu sama lain. Alhasil, persahabatan ini dapat menjaga kita hidup kudus dan jauh dari dosa. Sudah tentu jangan kita mengabaikan ibadah, saat teduh dengan Tuhan. Sebab Tuhan berbicara dan menguatkan kita melalui pemberitaan firman dan saat teduh dengan-Nya.
GS : Jadi, ini merupakan suatu benteng yang kokoh bagi orangtua tunggal dan anak-anaknya ya. Hubungan yang akrab, relasi yang baik dengan Tuhan ini sangat menolong di dalam perkembangan mereka selanjutnya. Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan sehubungan dengan ini ?
PG : Yesaya 26:3 dan 4 berkata, "Yang hatinya teguh Kau jagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya. Percayalah kepada TUHAN selama-lamanya sebab TUHAN ALLAH adalah Gunung Batu yang Kekal." Orangtua tunggal hanyalah tunggal di mata manusia, Pak Gunawan. Sesungguhnya ia tidak tunggal atau sendirian dalam membesarkan anak-anaknya sebab Tuhan Allah Imanuel senantiasa bersamanya. Jadi, percayalah dan serahkanlah segala tantangan ini kepada Tuhan sebab Dia menjaga dengan damai sejahtera orang yang hatinya teguh tertambat pada Tuhan.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul.
GS : Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Tantangan Orangtua Tunggal". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.