Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pengaruh Relasi Anak-Orangtua Pada Pernikahan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, apa sebenarnya pengaruh orangtua pada pernikahan anak? Pengaruhnya sampai sejauh mana?
PG : Ternyata memang pengaruhnya besar, Pak Gunawan. Jadi, bagaimanakah orangtua berelasi dengan kita dalam masa pertumbuhan kita nantinya akan memengaruhi bagaimana kita nanti akan berelasi dengan keluarga kita sendiri, dalam hal ini dengan pasangan kita atau dengan anak-anak kita. Bukan saja relasi orangtua anak berdampak pada perkembangan jiwa anak tapi juga nanti akan memengaruhi relasinya dengan keluarganya sendiri. Jadi, kita bisa melihat bahwa di antara semua relasi di dunia ini, mungkin terpenting adalah relasi anak dan orangtua. Maka kita sebagai orangtua perlu hati-hati jangan sampai nanti anak-anak kita mengembangkan pola berelasi yang bermasalah dengan keluarganya gara-gara kita dulu.
GS : Tapi kalau anaknya lebih dari satu ‘kan pengaruh itu terhadap masing-masing anak berbeda, Pak Paul?
PG : Seringkali begitu, Pak Gunawan. Sebab kedekatan anak dengan orangtua juga tidak sama ya. Yang berikut juga ada anak-anak yang lebih terpapar dengan hubungan orangtua yang kurang sehat, ada anak yang tidak terlalu terpapar karena misalnya dia lebih sering keluar banyak kegiatan di luar. Ada anak yang lebih peduli, lebih sensitif perasaannya sehingga lebih mau mendengarkan keluh kesah orangtuanya, ada anak yang lebih cuek tidak mau mendengarkan keluh kesah orangtuanya. Jadi, dampak pada setiap anak memang tidak sama.
GS : Dampak yang terjadi, apa, Pak Paul?
PG : Ada tiga yang akan kita bahas pada kesempatan ini, Pak Gunawan. Dampak pertama berkaitan dengan pemilihan pasangan hidup. Di dalam relasi anak dan orangtua yang positif, besar kemungkinan anak akan memilih pasangan hidup yang menyerupai orangtuanya yang berlawanan jenis. Jadi, anak laki-laki memilih istri yang menyerupai ibunya sedangkan anak perempuan memilih suami yang menyerupai ayahnya. Sebaliknya bila relasi anak dan orangtua negatif, artinya sering konflik, maka besar kemungkinan anak akan memilih pasangan hidup yang tidak menyerupai orangtuanya yang berlawanan jenis. Jadi, si anak perempuan akan memilih suami yang berlawanan dengan papanya. Si anak laki-laki akan memilih istri yang berkebalikan dari mamanya. Nah, ada satu hal yang mesti kita sadari dalam hal pemiilhan pasangan hidup, yaitu kita tidak memilih atau tertarik pada seseorang secara acak atau kebetulan. Sesungguhnya ada dua faktor yang berperan dalam menentukan dengan siapakah kita tertarik, yaitu faktor familiarity atau seberapa asingnya atau tidak asingnya orang itu buat kita dan faktor security atau seberapa amannya orang itu buat kita. Singkat kata kita cenderung memilih pasangan yang buat kita tidak asing lagi serta menciptakan rasa aman dan menjauh dari orang yang asing dan membuat kita terancam.
GS : Iya. Ini karena melihat kehidupan orangtuanya ya?
PG : Betul.
GS : Apalagi kalau orangtuanya itu memprovokasi anaknya. Ada, Pak Paul, misalnya ayah yang berkata kepada anaknya, "Kamu boleh pilih istri seperti apa tapi jangan seperti mamamu." Ada orangtua yang terang-terangan mengatakan begitu karena hubungan mereka memang tidak bagus.
PG : Iya. Kita bisa melihat hubungan orangtua anak langsung memengaruhi pemilihan pasangan hidup anak itu sendiri. Ternyata dari dua faktor yang telah saya sebut tadi, faktor yang lebih kuat menentukan pilihan kita adalah faktor keamanan. Itu sebab jika relasi kita dengan orangtua positif, kita memilih pasangan yang serupa dengan orangtua sebab pilihan itu tidak asing lagi serta memberi rasa aman. Kita sudah kenal sifat-sifat orangtua kita jadi kita memilih yang mirip dengan orangtua kita. Sebaliknya bila relasi kita dengan orangtua negatif, kita memilih yang tidak menyerupai orangtua karena walau asing atau berbeda dari orangtua, kita merasa lebih aman. Jadi, sekali lagi faktor yang lebih berperan nantinya adalah aman. Siapakah orang yang lebih bisa memberikan rasa aman itu yang akan kita pilih.
GS : Ya. Karena ini ‘kan semacam jaminan. Jaminan di dalam pernikahan mereka, yaitu rasa aman itu, Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Kalau sejak awal sudah kelihatan tidak aman ya orang tidak berani menikah dengan orang itu.
PG : Ya. Jadi, dalam memilih pasangan hidup kita harus jeli, Pak Gunawan. Kita mesti melihat orang sejelas-jelasnya dan seutuh mungkin. Salah satu bahaya yang kadang luput diperhatikan adalah kita tidak melihat pasangan secara jelas dan utuh. Maksud saya kita terlalu cepat menyimpulkan bahwa orang itu sepadan dengan kita atas dasar kesamaan atau perbedaan yang kita lihat. Dalam kasus relasi yang positif dengan orangtua, begitu kita melihat bahwa orang itu memunyai kesamaan dengan orangtua, kita langsung memutuskan dia adalah orang yang tepat buat kita. Padahal, dibalik kesamaan ada segudang perbedaan antara orang itu dan orangtua kita ! Perbedaan yang harus diperhatikan karena berpotensi menimbulkan ketegangan. Sama dengan itu dalam kasus relasi yang negatif dengan orangtua, begitu kita melihat orang itu berbeda dari orangtua kita, kita langsung menyimpulkan orang yang tepat untuk kita, padahal di balik perbedaan ada sejumlah kesamaan antara orang itu dan orangtua kita. Kesamaan yang berpotensi menciptakan masalah. Itu sebab kita perlu berhati-hati, kita mesti mengenal pasangan secara jelas dan utuh sebelum menikah.
GS : Iya. Pengertian melihat pasangan secara jelas dan utuh itu seperti apa misalnya, Pak Paul?
PG : Misalkan kita dulu tidak suka dengan ayah kita karena dia pemarah jadi kita mau cari orang yang kebalikannya dari ayah kita, orang yang sabar. Begitu kita ketemu dengan pria yang sabar, aduh kita langsung jatuh hati karena ini berkebalikan dengan ayah kita. Kita langsung jadi dengannya, menikah dengannya. Tidak melihat dengan utuh, tidak ambil waktu untuk memelajarinya. Sudah menikah baru kita sadar, memang dia sabar tapi ternyata dia itu malas. Tidak mau ada usaha, tidak ada inisiatif, maunya semuanya dituntun oleh kita, diatur oleh kita, disediakan oleh kita. Luar biasa malasnya ! Wah, kita baru sadar. Memang sabar yang kita cari ada pada dia tapi di belakang itu ada sejumlah hal-hal lain yang begitu mengganggu kita. Kita akhirnya salah dalam memilih pasangan. Atau, kita suka dengan ibu kita yang ramah, suka bergaul, ini sifat yang kita sukai dan kita punya hubungan yang baik dengan ibu kita. Akhirnya kita memilih pasangan yang seperti ibu kita yang ramah dan senang bergaul. Tapi kita tidak hati-hati. Kita pikir, "Orangnya ramah seperti mama. Orangnya gampang bergaul. Jadian sajalah." Kita tidak hati-hati melihat hal lain-lainnya. Setelah menikah kita baru sadar. ya dia ramah, tapi tidak bertanggung jawab. Maunya keluar, jalan-jalan, shopping, ngerumpi dengan teman-temannya, kita di rumah yang mesti kerjakan semuanya, dia enak-enakan terus di luar. Nah, bahaya ini yang mau saya ingatkan kepada para pendengar kita makanya mesti berhati-hati, jangan karena sama dengan orangtua kita yang positif, langsung kita iyakan. Jangan karena berbeda dengan orangtua kita yang kita anggap negatif, kita langsung iyakan.
GS : Tapi memang untuk melihat secara jelas dan utuh ini tidak mudah, Pak Paul. Karena terlalu banyak aspek di dalam kehidupan seseorang, Pak Paul. Makanya kadang ada calon mempelai yang sudah mempersiapkan segala sesuatunya, justru pada saat-saat terakhir menikah mereka membatalkannya. Bisa terjadi seperti itu. Tapi itu saya rasa masih lebih baik daripada mereka terlanjur masuk ke pernikahan dan baru mengetahui itu.
PG : Betul. Betul. Apalagi kalau sudah punya anak, Pak Gunawan. Itu lebih runyam lagi.
GS : Itu akan berpengaruh pada anak-anaknya juga?
PG : Sudah tentu, Pak Gunawan. Misalkan nanti hubungan mereka buruk, anak-anaknya yang kena.
GS : Iya. Apa dampak lainnya, Pak Paul?
PG : Dampak kedua, pengaruh relasi orangtua-anak pada pernikahan anak berhubungan dengan pengelolaan emosi, Pak Gunawan. Bila kita dibesarkan dalam keluarga dimana pengekspresian emosi diredam, besar kemungkinan kita pun akan berbuat yang sama dalam keluarga kita kelak. Misalkan kalau orangtua melarang kita untuk mengutarakan kekesalan atau kemarahan, besar kemungkinan kita pun akan melarang keluarga kita kelak untuk mengekspresikan rasa kesal atau marah. Sebaliknya kita akan menuntut keluarga untuk menyatakan emosi gembira atau puas. Jadi, tidak bisa tidak apa yang kita alami dengan orangtua kita akan berpengaruh, Pak Gunawan. Ada juga orang yang karena memang tidak tahan dulunya dengan orangtua yang sering bertengkar, jadi mereka ini tidak bisa mendengar suara mulai meninggi. Akhirnya waktu sudah menikah kalau ada perbedaan pendapat dengan pasangannya, pasangannya sedikit saja suaranya agak keras, dia bisa marah sekali. Pasangannya kaget-kaget, "Kenapa kamu harus begitu pada saya?" Mungkin dia berkata, "Kamu ini marah-marah!" pasangannya bilang, "Saya tidak marah, saya hanya bicara sedikit lebih keras." Nah, kenapa reaksinya bisa begitu tak terkendali? Karena dia peka dengan orangtuanya dulu yang sering bertengkar.
GS : Jadi, bagaimana kita harus mengelola emosi ini, Pak Paul?
PG : Saya tidak menganjurkan kita mengumbar perasaan tanpa kendali. Kita perlu menguasai emosi sehingga emosi dapat keluar dengan tepat dan sesuai takaran. Yang tidak seharusnya kita lakukan adalah meredam emosi tertentu sehingga emosi tersebut menghilang dari hidup kita. Masalahnya adalah pembatasan emosi seperti itu membuat kita pincang, makin hari makin kita tidak bersentuhan dengan realitas dan reaksi kita yang sesungguhnya. Sudah tentu emosi itu bukannya lenyap melainkan ditekan ke dalam saja. Sebagai contoh kita tidak nyaman dengan kemarahan jadi kita redam kita pendam. Nah, kemarahan itu tidak kemana-mana, Pak Gunawan. Hanya di dalam saja tidak keluar. Takutnya nanti suatu hari kelak, pasangan kita berbuat sesuatu, bisa keluar dan meledaknya mengerikan. Jadi, kita mesti mengelolanya dengan tepat. Kalau ada masalah kita belajar untuk mengutarakannya dengan tepat, dengan baik-baik, tidak berlebihan, tapi memang kita utarakan, kita tidak simpan.
GS : Tapi memang berbeda antara belajar mengendalikan emosi dan memendam perasaan ya?
PG : Beda, Pak Gunawan. Tujuannya bukan memendam, bukan mengubur, bukan menyapu bersih perasaan atau emosi, tapi mengelolanya. Artinya kita tahu kapan harus mengutarakannya, tahu seberapa banyak atau kuat kita menyatakannya pula dan dengan siapa atau kepada siapa kita mengeluarkan emosi itu, sehingga tepat, tidak sampai kita itu melampiaskannya kepada orang lain.
GS : Apa dampaknya pada hidup pernikahan kita, Pak Paul?
PG : Kalau kita seperti begitu, setelah berkeluarga kita cenderung menetapkan peraturan yang sama dan ini membuat anak serta pasangan menderita. Mereka tidak bebas menjadi diri mereka apa adanya sebab kita mengharuskan mereka untuk hidup sesuai standar yang kita terapkan. Akhirnya relasi kita dengan mereka terhenti dan tidak dapat mendalam. Sama seperti kita, mereka pun tidak bisa mengelola emosi dengan baik dan cenderung bersikap ekstrem. Jika tidak terbendung lagi, luapan emosi pun keluar dengan sangat kuat dan liar. Jadi, jika kita dibesarkan dalam keluarga dimana emosi keluar dengan bebas tanpa rem, kita pun cenderung mengembangkan pola yang sama. Kita sulit mengendalikan emosi. Begitu muncul di permukaan, alhasil bukannya marah tapi malah mengamuk. Biasanya kita menyesali perbuatan kita sesudahnya. Masalahnya adalah kita cenderung mengulangnya lagi, kemarahan yang membara di hati selalu siap meledak kapan saja kita merasa tidak senang.
GS : Ya. Jadi, kita harus belajar bagaimana mengendalikan kemarahan itu tadi. Bagaimana caranya, Pak Paul?
PG : Sebaiknya kita memulai dengan membicarakan mengenai apa yang membuat kita marah. Kita bisa berkata, "Tadi waktu kamu berbuat begini, saya memang tidak menyukainya." Kemudian kita juga menyampaikan harapan atau permintaan kita. Kita bisa berkata, "Yang saya inginkan adalah kamu begini, jangan begitu. Bisa tidak kamu coba lakukan yang saya minta?" Biarkan pasangan memberikan jawaban apakah bisa atau tidak. Misalkan tidak bisa, okey, mungkin ada jalan tengah yang lain yang bisa diusulkan oleh pasangan. Jadi, sebaiknya kita membicarakan apa yang memang mengganjal hati kita.
GS : Ya. Kalau dibicarakan secara terbuka mungkin bisa menjadi jalan keluar ya. Tapi kalau salah satu masih menutup-nutupi masalah ini atau tidak secara jujur mengungkapkan perasaannya, tidak akan tercapai, Pak Paul.
PG : Ya memang perlu kerja keras, perlu kerelaan untuk berubah, untuk tidak selalu mengikuti apa yang kita anggap baik sesuai dengan keinginan kita. Kita mesti saling mendengarkan. Mudah-mudahan dengan kerelaan kita saling mendengarkan dan berubah demi pasangan, kita lebih bisa untuk bertemu di tengah, Pak Gunawan. Yang berkaitan dengan ini juga dalam hal kemesraan atau keintiman, Pak Gunawan. Ada orang yang memang karena tidak terbiasa, orangtua tidak pernah menyatakan kasih sayang atau kehangatan, akhirnya ada yang nanti setelah menikah kehausan, menuntut pasangannya untuk bisa menyediakan kehangatan itu. Kalau tidak, dia marah. Atau ada yang kebalikannya, karena tidak mendapatkannya dari orangtua akhirnya sama sekali tidak bisa intim dengan pasangannya. Justru maunya menjauh, semakin jauh semakin baik, kalau bicara juga bicaranya tentang tugas, tentang keluarga, tentang anak, tapi tidak ada tentang perasaan masing-masing, sedangkan mungkin pasangan membutuhkan itu dari kita. Sekali lagi kita melihat betapa besarnya dampak relasi kita dengan orangtua pada keluarga kita atau pernikahan kita sekarang.
GS : Ini ‘kan karena kebiasaan saja ya, Pak Paul. Sejak kecil mereka tidak terbiasa dalam suasana intim, suasana yang bicara baik-baik, bisanya cuma marah. Sehingga kita sebagai anak hanya mencontoh atau melihat. Ya tahunya cuma itu, caranya mengutarakan perasaan tahunya cuma itu sehingga seperti itulah yang diungkapkan.
PG : Nah, ini soal perasaan, belum lagi kalau kita bicara tentang komunikasi, Pak Gunawan. Misalkan ada orangtua yang tidak harmonis, hubungan dengan anak juga tidak harmonis sering terjadi pertengkaran baik antara satu sama lain maupun dengan anak. Si anak hidup dengan orangtua bertahun-tahun, keluar dari rumah menikah membawa pola komunikasi yang seperti itu, Pak Gunawan. Yaitu apa? Kalau bicara dengan pasangannya dia memang seperti mau cari gara-gara. Selalu bicara yang tidak enak untuk menyerang. Pasangannya tidak sedang menyerang dia pun, dia bisa menemukan beberapa hal yang dia bisa gunakan untuk menyerang pasangannya. Kenapa? Kita pikir-pikir kenapa kayaknya dia senang berkelahi? Karena memang pada masa pertumbuhannya dia tidak mengenal cara berkomunikasi yang lain. Yang dia kenal adalah perkelahian. Setiap kali bicara dengan orangtua, berkelahi. Akhirnya dengan pasangannya juga dia tidak bisa bicara yang lain selain berkelahi. Jadi, memang banyak sekali masalah yang bisa muncul kalau memang kita membawanya dari orangtua kita secara tidak sehat dan kita tidak pernah membereskannya.
GS : Iya. Kalau pasangan itu dikaruniai anak atau anak-anak, apakah ada pengaruhnya juga, Pak Paul?
PG : Biasanya kita akan bawa itu juga, Pak Gunawan. Akhirnya bagaimana kita membesarkan anak kita dipengaruhi oleh bagaimana dulu orangtua kita membesarkan kita. Karena kita cenderung mengadopsi cara orangtua membesarkan kita. Kendati kita tidak menyenanginya tatkala kecil, pada akhirnya kita menerapkan metode yang sama. Sebagai contoh, kalau orangtua menggunakan pukulan maka kita cenderung menerapkan pukulan dalam mendisiplin anak. Sebaliknya kalau orangtua tidak menggunakan pukulan, kita pun cenderung tidak menggunakan pukulan dalam membesarkan anak. Contoh lain, bila orangtua irit memuji, kita pun irit memuji. Sebaliknya kalau orangtua sering memuji, kita pun cenderung memuji anak. Yang lain lagi, jikalau orangtua mengampuni kesalahan maka kita pun cenderung mengampuni kesalahan anak. Sebaliknya bila orangtua sulit mengampuni maka kita pun akan sulit mengampuni kesalahan anak, sebaliknya kita memberikan hukuman yang berat kepada anak. Alhasil anak menjadi takut berbuat salah, memilih berbohong untuk menutupi kesalahannya. Dia tidak mau berterus terang sebab ia tidak mau atau tidak sanggup menanggung akibatnya. Ini adalah contoh-contoh dimana bagaimana kita dibesarkan akhirnya memengaruhi bagaimana kita membesarkan anak.
GS : Tapi sebenarnya ‘kan orangtua ini punya kesempatan untuk belajar. Orangtuanya memang seperti itu tapi dia ‘kan tidak harus melakukan seperti itu. Misalnya saja memukul anak. Mungkin dulu tidak ada masalah, tetapi sekarang ‘kan ada masalah dengan hukum, penganiayaan terhadap anak kalau memukul anak secara berlebihan. Sebenarnya ini suatu proses yang bisa berubah?
PG : Seharusnya, Pak Gunawan. Seharusnya kita bertambah dewasa semakin sering mengevaluasi ya. Apa yang kita nilai baik atau yang kita nilai tidak baik dalam hal orangtua membesarkan kita dulu. Yang baik kita gunakan, yang tidak baik tidak kita gunakan lagi. Tapi kenyataannya harus kita terima, tidak semua orang akan repot-repot memikirkan atau mengevaluasi hal-hal ini, Pak Gunawan. Tidak. Kebanyakan orang di lapangan ya tidak memikirkan yang begini ini. Dia punya anak ya dia akan gunakan cara bagaimana orangtuanya dulu membesarkan dia.
GS : Untuk mengubah diri ini yang enggan dilakukan orang sehingga lebih gampang dia mencontoh saja apa yang dulu dia alami.
PG : Seringkali mereka juga mendasarinya atas diri mereka. Misalkan mereka dipukul dengan keras oleh orangtuanya, tetapi sekarang mereka menjadi orang yang tegar dan bisa bekerja dengan baik. Meskipun dulu ketika disakiti oleh orangtuanya mereka mendendam dan jiwanya terluka, tapi akhirnya ya karena mereka baik-baik saja setelah dewasa, mereka justru berkata, "Apa yang dulu orangtua saya perbuat baik buat saya. Saya menjadi orang yang kuat dan tegar." Nah, mereka juga begitu pada anak-anaknya. Menggunakan metode pemukulan yang keras karena mereka berkata, "Buktinya saya jadi begini baik. Saya mau gunakan cara yang sama pada anak-anak saya."
GS : Padahal kemampuan anak ini belum tentu sama dengan kemampuan dia, Pak Paul.
PG : Betul. Dia juga mungkin lupa bahwa dia tidak apa-apa, tapi mungkin kakak atau adiknya tidak baik-baik saja dan justru jiwanya tertekan gara-gara dulu diperlakukan dengan keras oleh orangtua.
GS : Jadi, harus bagaimana, Pak Paul?
PG : Memang kita harus berkata berbahagialah kita yang dibesarkan di keluarga yang mengerti bagaimana membesarkan anak ya. Kita akhirnya tidak usah bersusah payah, kita tinggal meneruskan apa yang telah diterima dari orangtua kepada anak kita kelak. Sebaliknya sebagian kita yang tidak dibesarkan dalam keluarga yang mengerti bagaimana membesarkan anak mesti berjuang keras untuk mengembangkan metode membesarkan anak yang baru dan lebih baik. Ini tidak mudah, Pak Gunawan. Sebab dorongan untuk melakukan apa yang telah terekam dalam benak begitu kuatnya sehingga kita tidak selalu sanggup mengalahkannya. Jadi, yang mesti kita lakukan adalah ini, Pak Gunawan. Kita harus mengakui kebaikan dan keburukan cara orangtua kita membesarkan anak, yaitu kita. Kita tidak boleh defensif dan membenarkan perlakuan orangtua yang jelas-jelas tidak bijaksana. Yang buruk mesti kita sebut buruk, yang baik kita sebut baik. Kemudian kita belajar baik itu dari pasangan, dari orang lain, dari firman Tuhan, dari ceramah yang kita dengar bagaimana cara membesarkan anak secara positif. Barulah kita bisa mengubah apa yang kita pelajari dulu.
GS : Dasarnya kita mesti menyadari bahwa tidak ada orangtua yang sempurna. Kita pun tidak sempurna sehingga kita pun mau belajar dari kesalahan masa lalu orangtua kita supaya tidak terulang pada kita. Tapi dalam proses belajar itu pun tentu ada kekurangan-kekurangan lagi yang kita alami. Kita berharap itu tidak diteruskan oleh anak-anak kita.
PG : Iya. Kalau kita tidak menyadarinya memang kita akan melestarikannya. Ini mungkin sering kita lihat, akhirnya metode yang salah, cara membesarkan anak yang tidak sehat, itu benar-benar diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya, Pak Gunawan.
GS : Malah bertambah parah karena ditambah-tambahi dan penambahannya itu bukan penambahan yang baik tapi penambahan yang justru memperburuk kondisi keluarga itu.
PG : Misalkan seorang pria yang sewaktu kecil melihat ayahnya tidak baik dan tidak setia kepada ibunya, akhirnya dia tidak suka. Masalahnya ayahnya ini baik padanya ! Kemudian setelah besar dia mengikuti jejak ayahnya - melakukan hal yang dulu dia benci – tidak setia dan sebagainya. Lalu dia punya anak. Dia akan lakukan yang sama. Dia akan baik pada anaknya dan akhirnya si anak akan mencontoh perbuatan si ayah, si anak juga tidak setia. Jadi, cara-cara yang salah itu bisa dilestarikan dari generasi ke generasi.
GS : Dalam hal ini adakah ayat firman Tuhan yang bisa memberikan bimbingan?
PG : Amsal 17:6 mengingatkan, "Mahkota orangtua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka." Bila kita membesarkan anak dengan baik maka setelah mereka dewasa dan memunyai keluarga sendiri, mereka pun cenderung membesarkan anak dengan baik pula. Bagi kita, mereka adalah mahkota yang kita kenakan di kepala. Mereka membuat kita bangga. Sebaliknya jika kita sembarangan membesarkan anak maka setelah anak berkeluarga, mereka pun cenderung bersikap sembarangan dalam membesarkan anak dan memperlakukan pasangan. Alhasil, bukannya bangga dan senang, kita merasa malu dan sedih melihat mereka. Anak-anak pun bersikap sama. Mereka pun malu terhadap kita. Tidak jarang mereka malah menyesali kenyataan bahwa kita adalah orangtuanya. Jadi, betul firman Tuhan yang berkata mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang atau orangtua mereka.
GS : Iya. Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Karena firman Tuhan inilah yang bisa jadi pedoman kita. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pengaruh Relasi Anak-Orangtua Pada Pernikahan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.