Merajut Masa Lalu, Merenda Masa Depan I

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T337A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Sebagaimana kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:
  1. saya tidak bahagia,
  2. saya tidak layak,
  3. saya tidak berfungsi, dan
  4. saya tidak menyerah.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Neal Clark Warren, seorang psikolog Kristen di Amerika, menegaskan bahwa seberapa sehatnya suatu pernikahan sesungguhnya bergantung pada seberapa tidak sehatnya si suami atau si istri itu sendiri.

Martin Berkowitz, seorang pakar pendidikan karakter di Amerika, menyimpulkan dengan tepat, "Cara terbaik menciptakan dunia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain (caring) adalah dengan cara menciptakan manusia yang lebih adil dan lebih mempedulikan satu sama lain." Singkat kata, cara terbaik menciptakan pernikahan yang lebih sehat adalah dengan cara menciptakan pribadi suami dan istri yang lebih sehat pula.

Firman Tuhan pun mengajarkan hal yang sama. Perubahan atau transformasi mesti terjadi pada level pribadi, sebagaimana disarikan dengan indah dalam Roma 12:2, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."

Sebagaimana kita ketahui, siapakah diri kita sekarang merupakan kepanjangan atau produk dari masa lalu yang kita alami. Dan, masa lalu yang buruk berpotensi besar memburukkan pertumbuhan diri, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pernikahan. Itu sebabnya kita mesti menata ulang dan merenda diri secara lebih sehat agar pernikahan menjadi sehat pula. Saya akan membagikan empat langkah untuk membangun pribadi yang sehat, yang saya rangkumkan dalam empat tema:

  1. saya tidak bahagia,
  2. saya tidak layak,
  3. saya tidak berfungsi, dan
  4. saya tidak menyerah.

Ø  SAYA TIDAK BAHAGIA

Berikut akan dijelaskan beberapa ciri relasi yang tidak membahagiakan dan dampaknya pada anak.

Pertama, secara alamiah kita tidak nyaman dengan ketidakbahagiaan dan akan berusaha untuk mengeluarkannya. Masalahnya adalah, bukan saja kita melampiaskan ketidakbahagiaan itu kepada satu sama lain, kita pun melampiaskannya pada anak-anak pula. Jadi, dimulailah sebuah siklus berputar: Karena merasa tidak bahagia, kita melampiaskannya pada satu sama lain. Alhasil baik pasangan maupun anak merasa tidak bahagia karena ditimpakan ketidakbahagian. Mereka pun melemparkan ketidakbahagian itu kepada kita. Begitu seterusnya.

Kedua, akibat perputaran ketidakbahagiaan itu, sebenarnya ketidakbahagiaan bertambah besar dan bertambah kompleks. Ketika suami merasa tidak bahagia dan melemparkan ketidakbahagiannya itu kepada si istri sehingga membuat si istri tidak bahagia. Sewaktu orangtua melemparkan ketidakbahagiaannya kepada anak, tidak bisa tidak, anak akan menyerap dua ketidakbahagiaan—dari ayah dan ibu. Bukan saja bertambah besar, ketidakbahagiaan itu makin bertambah kompleks. Anak akan bingung karena ia melihat dari masing-masing sisi—ayah dan ibu. Ia pun tambah tertekan karena ia tidak melihat solusi dari kemelut masalahnya.

Ketiga, pada akhirnya kita berusaha mencari solusi untuk melenyapkan ketidakbahagiaan. Ada orangtua yang mendapatkan solusinya di luar keluarga—dengan berjudi, bekerja siang dan malam, atau berselingkuh. Ada anak yang mencari solusi dengan berbuat ulah di sekolah atau dalam pergaulan. Sayangnya, ada pula orangtua yang mencari solusi dengan cara memberi tuntutan kepada anak untuk melenyapkan ketidakbagiaannya. Anak yang mendapat tuntutan untuk meringankan beban ketidakbahagiaan orangtua akan terlibat dalam sebuah relasi yang tidak sehat.

Ø  SAYA TIDAK LAYAK

Akibat jeratan siklus ketidakbahagiaan si anak keluar dari rumah dan masuk ke dalam dunia dengan sebuah papan pengumuman: "Saya Tidak Layak." Ia merasa tidak layak untuk bahagia. Singkat kata ia kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi pertumbuhan anak: penghargaan diri (self-esteem). Anak yang tidak memiliki penghargaan diri pada akhirnya beranggapan bahwa ia tidak layak mengalami sesuatu yang baik. Ia ditakdirkan untuk hidup susah dan ia pun meyakini bahwa ia tidak akan mengalami kebahagiaan.

Masalahnya adalah, secara diam-diam ia menyalahkan orang lain sebagai penyebab mengapa ia tidak layak untuk bahagia. Memang pada awalnya ia menyalahkan orangtua sebagai penyebab mengapa ia menjadi seperti itu. Namun setelah ia dewasa dan berada di luar rumah, ia pun mulai mengalihkan pandangannya kepada orang di sekelilingnya.

Sudah tentu pola ini akan dibawanya ke dalam pernikahan. Ia menuntut pasangan untuk membahagiakannya. Tidak bisa tidak, sikap seperti ini akan meletihkan pasangan—dan juga dirinya. Pasangan merasa tidak sanggup lagi menjadi pemasok kebahagiaan dan berusaha mengelak. Masalahnya, begitu mengelak, dengan cepat ia akan menuduh bahwa pasangan sudah tidak mencintainya lagi. Maka dimulailah sebuah siklus baru: ia mengejar pasangan supaya membahagiakannya, pasangan berusaha mengelak dan menjauh, makin menjauh makin ia merasa diri tidak layak, dan makin merasa tidak layak, makin ia memaksa pasangan membuatnya layak dan bahagia.

Ø  SAYA TIDAK BERFUNGSI

Kegagalan akhirnya menjadi bagian hidup si anak yang tak terelakkan lagi. Ia gagal membina pertemanan sehingga pada akhirnya ia cenderung menyendiri. Persahabatan menjadi dangkal dan karena ia menyadari bahwa persahabatan akan berakhir dengan kekecewaan, ia pun menjaga jarak. Ia berteman seaman mungkin dan berusaha memelihara jarak senyaman mungkin.

Pernikahan juga menjadi ajang kegagalannya. Kendati ia lebih banyak menyalahkan pasangan, namun kenyataan pahit berada di pelupuk mata: ia telah gagal membina pernikahan yang harmonis. Pasangan tidak lagi mencintainya, anak tidak dekat dan tidak menghargainya. Semua seakan membalikkan badan dan meninggalkannya. Pada akhirnya ia melihat diri sebagai seorang manusia yang tidak lagi berfungsi.

Pada umumnya kita baru sampai pada tahap ini di usia pertengahan. Pada saat itu anak-anak sudah akil balig dan meninggalkan rumah. Hubungan dengan pasangan telah menjadi begitu renggang sehingga tidak ada lagi perasaan intim yang tersisa. Jika kita masih memunyai pekerjaan, mungkin itu menjadi penghibur tunggal. Namun tetap, di dalam hati kita merasa kosong dan tidak bahagia—sangat tidak bahagia.

Ø  SAYA TIDAK MENYERAH

Tidak peduli berapa pun usia kita, bila kita menyadari bahwa inilah gambaran diri kita, masih ada yang dapat kita lakukan untuk membelokkan arah hidup. Syaratnya satu: "Saya tidak menyerah."

Langkah pertama merajut masa lalu dan merenda masa depan adalah membuka mata lebar-lebar dan melihat apa yang telah terjadi. Cobalah melihat apa adanya tanpa rasa takut menghakimi atau memihak siapa pun. Lihatlah apa yang dilakukan orangtua terhadap satu sama lain dan terhadap kita pula. Jangan tergesa-gesa menganugerahkan pengertian dan jangan buru-buru membasuh tindakan yang salah. Lihatlah apa adanya.

Ketakutan terbesar—yang menjadi penghalang proses pertama ini—adalah ketakutan akan kehilangan satu-satunya yang berharga dalam hidup kita. Ibarat rumah yang terbakar, kita mengais dan berhasil menemukan puing atau sisa peninggalan yang kemudian kita simpan dan jadikan kebanggaan serta identitas diri. Misalkan kita berkata, "Sejelek-jeleknya keluarga saya, mereka tidak akan mengemis belas kasihan." Inilah puing yang kita simpan dan jadikan kebanggaan. Masalahnya adalah, kebanggaan ini akan menghalangi kita untuk melihat apa yang terjadi dengan lebih jernih. Kita tidak lagi dapat melihat kenyataan bahwa ada begitu banyak hal lain yang menyakitkan oleh karena adanya kebanggaan itu. Itu sebabnya menanggalkan kebanggaan tidaklah mudah. Melihat semua apa adanya adalah sukar namun mesti dilakukan.

Ketika kita berhasil melihat apa adanya, barulah kita dapat melihat dampak semua itu pada diri kita. Inilah langkah kedua. Kritikan telah membuat kita kritis dan sukar menerima, baik kelemahan diri sendiri atau orang lain. Keluhan membuat kita tidak mudah—dan mungkin tidak pernah—mempercayai orang lain. Ketidakbahagiaan yang mengendap membuat kita bukan saja tidak bahagia tetapi juga merasa diri tidak layak mengecap kebahagiaan.

Bila kita berhasil mengakui semua itu, barulah kita dapat mulai merajut masa lalu. Dengan kata lain, barulah kita dapat menjahit sebuah diri yang bernama, "Saya." Inilah diri kita yang seutuhnya karena kita berhasil merajut semua potongan yang tadinya tercecer dan terlupakan. Sebelumnya kita belum mempunyai diri yang utuh karena kita membangun konsep siapakah saya di atas satu atau dua puing yang kita banggakan. Baik atau buruk, membanggakan atau memalukan, hitam atau putih, kudus atau kotor, semua dirajut menjadi sebuah baju—sebuah diri—yang bernama, "Saya." Inilah langkah ketiga.

Di dalam kebebasan barulah kita dapat mulai merenda. Inilah langkah keempat dan terakhir. Di atas baju yang kosong kita mulai membubuhkan bordiran—satu demi satu. Kita menyadari apa yang dapat kita lakukan dan apa yang tidak dapat kita lakukan dengan baik. Kita menyadari kebutuhan kita sekaligus tanggung jawab kita untuk memenuhinya. Kita menyadari batas antara diri dan orang lain dan bahwa kita tidak bisa seenaknya masuk ke dalam wilayah orang dan menuntutnya untuk memberi kepada kita sesuatu yang kita inginkan. Di dalam merenda masa depan barulah kita sadar bahwa kita tidak perlu besar dan penting untuk bahagia. Yang membuat bahagia adalah menikmati apa yang telah diberikan Tuhan dan memberikannya kembali kepada Dia. Firman Tuhan berkata, "Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan makanan tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan." (Amsal 28:19)

Ada yang diberikan tanah yang luas, ada yang diberikan tanah yang kecil. Terpenting adalah kita mengerjakan tanah sendiri. Tuhan telah berjanji bahwa apabila kita mengerjakan tanah sendiri, kita akan kenyang. Dengan kata lain, tidak peduli ukuran luasnya, semua tanah yang diberikan Tuhan cukup untuk mengenyangkan kita.

Sebaliknya, bila kita menengok ke kanan dan ke kiri dan mengejar "fantasi" atau barang yang sia-sia, sampai kapan pun kita tidak akan pernah kenyang.

Tanah sendiri, baju sendiri, diri sendiri. Itulah pemberian Tuhan kepada kita. Apa pun yang terjadi di masa lalu, rajutlah semua potongan yang terkoyak menjadi satu pakaian yang pas dan nyaman. Setelah itu mulailah kerjakan. Ibarat tanah, pacullah, berilah air, taburkan pupuk, dan tanamilah. Nikmatilah hasilnya dan berikanlah kembali kepada Tuhan. Inilah yang akan membuat kita berkata, "Saya bahagia."