Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menunda-nunda" bagian kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, mengenai penundaan ini apakah ada siklusnya ?
SK : Ya, memang penundaan itu merupakan sebuah pola yang berulang, Pak Hendra. Jadi memang ada sebuah siklus dan siklus ini mirip kalau kita seperti bermain di sebuah kereta luncur atau bahasa Inggrisnya "Roller Coaster" dan kereta luncurnya adalah kereta luncur emosi. Jadi ada saatnya suasana hati kita naik kemudian turun, naik dan turun sehingga membuat perasaan emosi kita seperti diaduk-aduk ketika kita memasuki atau mengalami siklus penundaan ini.
H : Maksudnya naik turun naik turun itu bagaiman konkretnya, Pak ?
SK : Jadi ada saatnya kita merasa senang ada saatnya kita mungkin merasa galau kemudian tenang lagi, nyaman, galau lagi, bahkan galaunya bisa lebih mendalam lagi, sampai akhirnya kita menghembuskan nafas lega. Naik lagi turun lagi, nah itulah siklus yang bisa terjadi selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan itu dapat bergerak begitu cepat bahkan dalam suatu momen tergantung pada peristiwa apa yang kita alami atau situasi penundaan apa yang sedang kita hadapi dan jalani.
H : Baik, Pak. Dalam kaitan dengan penundaan ini naik turunnya ini seperti apa siklusnya ?
SK : Jadi saya akan jelaskan dalam bentuk beberapa komentar yang muncul ketika kita mengalami penundaan itu. Yang pertama, "Kali ini saya akan mulai lebih awal kali ini. Kalau kemarin-kemarin saya menunda-nunda dan terjerat masalah akibat penundaan, kali ini tidak. Kali ini saya akan mulai lebih awal". Dan memang biasanya pada awalnya ketika begitu menerima tugas misalnya bagi suatu mahasiswa menerima silabus kuliah, bagi seorang bawahan menerima di awal perintah tugas dari atasannya, atau seorang 'entrepreneur' di awal bertemu dalam sebuah tim dan menetapkan sebuah target, biasanya pada bagian awal si pelaku penundaan ini sangat penuh dikuasai oleh harapan-harapan dan ketika suatu pekerjaan diberikan pertama kali akan muncul suatu kemungkinan-kemungkinan, "Kali ini akan saya kerjakan secara sistematis dengan cara yang benar-benar bijaksana" walaupun merasa tidak sanggup atau tidak ingin memulainya saat sekarang, akan tetapi si pelaku penundaan ini sering mempercayai bahwa langkah pertama untuk memulai bagaimana pun akan terjadi secara spontan dan tanpa usaha terencana.
H : Maksudnya spontan tak terencana itu seperti apa, Pak ?
SK : Jadi begini, dia memang berharap, "Ya saya akan mulai lebih awal, saya akan mulai sesegera mungkin. Saya tidak akan mengulangi penundaan-penundaan yang kemarin-kemarin terjadi". Tetapi pada waktu dia punya harapan yang begitu besar dan sangat optimistik ini, tetapi ternyata dia tetap tidak memulai. Kenapa ? Karena dia hanya ingin memulai dalam harapan. Tetapi dalam aksi tidak. Jadi dia berpikir seperti ini, "Tunggulah. Nanti kalau saya tergerak saya akan mulai". Jadi langkah pertama untuk memulai bagaimana pun akan terjadi secara spontan, "Memang sekarang ini ada hal-hal lain yang harus saya kerjakan, memang ini perlu segera dimulai, tapi nanti istri saya menanti, anak-anak menanti, teman-teman saya besok ada kompetisi futsal, hari ini saya harus berlatih. Dimulai nanti ajalah. Pasti nanti ada 'mood'nya, 'feeling'nya pasti akan dapat nanti."
H : Oh, jadi semangatnya yang menggebu-gebu, tapi kapan mulainya masih belum tahu.
SK : Ya, maksudnya karena dia berharap ada suatu yang ajaib. Dia berpikir ada suatu keajaiban bahwa langkah untuk memulai itu akan terjadi secara spontan, harus mulai sekarang. "Wah berlebihan sekali, kenapa harus memaksa, bukankah masih banyak hal mendesak untuk dilakukan, sudah nanti aja, lihat nanti saja".
H : Nah, ini yg menggiring dia masuk ke dalam siklus kedua ini, Pak ?
SK : Ya, karena setelah beberapa saat berlalu dan ternyata sama sekali tidak ada perbedaan, harapan-harapan yang tadi melambung itu mulai berubah menjadi ketakutan. Nah pada fase kedua ini muncul pernyataan, "Saya harus segera memulai, saya harus segera memulai". Dimana kondisi untuk mulai lebih awal sudah berlalu, sudah lewat tiga – empat hari, seminggu atau mungkin sebulan dan ilusi mengerjakan saat ini, hilang. Kecemasan, tekanan, perasaan lebih menguat dan si pelaku penundaan ini mulai merasa terdorong untuk membuat usaha-usaha untuk segera mengerjakan. Tetapi batas akhir waktu pengerjaan tugas, deadline proyek itu belum di depan mata, 'Belanda masih jauh, masih ada harapan'. Bagaimana pun masih ada langit biru, langit cerah, 'Belanda masih jauh'.
H : OK, berarti dia mulai ada kecemasan, ada tekanan. tapi karena dia lihat deadline masih jauh, jadi dia melihat masih ada harapan. Begitu ?
SK : Ya, melambung lagi, naik lagi. Jadi sempat turun cemas, takut, gelisah, tapi dia terhibur dengan pikirannya, "Ya ini harus segera mulai, tapi kok deadline masih 3 - 4 bulan, masih cukup jauh ini." Jadi melambung. Nah, memasuki fase yang ketiga, Pak Hendra. "Apa yang terjadi, seandainya saya tidak memulai ?" Di sini mulai muncul pertanyaan, waktu terus bergulir dan ternyata si penunda ini belum juga memulai. Sikap yang optimistik diganti dengan praduga-praduga, "Jangan-jangan, jangan-jangan. Wah, bagaimana ini ?" Pelaku membayangkan seandainya kalau tidak memulai maka dirinya akan menghadapi konsekuensi yang mengerikan, yang bahkan bisa merusak kehidupan selama-lamanya. Mulai ketakutan, kegalauan, kecemasan muncul lagi. Pada kondisi ini, si pelaku penundaan mulai merasa lumpuh tak berdaya.
H : Bagaimana bisa ?
SK : Ya, karena cemas tadi. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan sampai dia pusing, "Aduh, kalau teringat tugasnya belum selesai, belum mulai dikerjakan, aduh cemas, aduh bagaimana ? Nanti kena penalti ? Aku bisa di PHK? IP-ku bisa jeblok ? Wah, bagaimana ini, nanti pacarku bisa marah-marah, Mertuaku bisa uring-uringan dan tidak menjadikanku menantunya, gara-gara aku belum memulai-memulai, tidak bisa menyelesaikan pada waktunya. Itu pada fase yang ketiga.
H : Jadi dia lumpuh karena membayangkan hal-hal konsekuensi buruk yang akan terjadi kalau dia tidak memulai – mulai, begitu Pak ?
SK : Betul, betul.
H : Akhirnya jadi lumpuh ?
SK : Betul, dalam fase yang ketiga ini ada beberpa pernyataan yang bisa muncul. Yang pertama, "Saya seharusnya memulai lebih awal." Jadi kesimpulan ini mencerminkan, merefleksikan rasa bersalahnya. Yang boleh dikata itulah kawan karib: rasa bersalah. Kawan karib orang yang suka menunda-nunda itu adalah rasa bersalah. Jadi mereka melihat kembali ke masa lalu, flashback ke belakang, "Aduh, waktu telah berlalu sudah tidak bisa aku ulangi lagi, apa yang sudah lewat waktunya tidak bisa aku ambil kembali." Menyesali perilakunya yang membawanya ke tepi tebing yang curam dan mereka menyadari, "Seandainya kalau aku memulai lebih awal, aku dapat mencegah situasi ini." Dan tekanan sekeliling membuatnya merasa tidak punya pilihan lain, kecuali memulai. Jadi fase ke tiga ini ada yang model penyesalan, "Saya seharusnya memulai lebih awal".
H : Jadi peringatan ini masuk sub-fase ketiga, ya Pak. Jadi dia menyesal, katakanlah dia ketakutan, jadi dia mulai timbul penyesalan, begitu Pak. Berarti masih ada sub-fase yang lain ?
SK : Ya, ini juga masih dalam fase ketiga, ada empat pernyataan yang bisa muncul. Yang pertama, "Saya seharusnya mulai lebih awal." Diwarnai dengan penyesalan. Bentuk yang kedua dari fase ketiga ini, "Saya akan mengerjakan apa saja, tetapi ..." ini menjadi benar-benar hal yang lazim bagi penunda di dalam fase ketiga ini untuk sibuk mengerjakan apa saja kecuali tugas yang ia selama ini tetap menghindari. Jadi hal-hal yang selama ini dia abaikan, tiba-tiba menjadi penting misalnya selama ini tidak peduli kamar mandinya dibersihkan atau tidak. Tiba tiba karena dia tanpa sadar mengalami kecemasan karena belum memulai juga tugasnya, tiba-tiba merasa, "Kamar mandiku begitu dekil". dia mengambil sikat, bersihkan dan kosek. "Wah, cat rumahku dekil ya", cat ulang, "Halaman rumahku kok begini ya, aduh buku-bukuku kok berantakan", kemudian diatur. Jadi sibuk mengerjakan apa saja dan dia merasa bahagia. Perasaannya atau emosinya melambung. Roller coaster-nya naik, "Bagaimanapun aku produktif, aku sibuk" sambil berasionalisasi membenarkan diri sendiri, "Setidaknya saya sedang mengerjakan sesuatu" walaupun proyek tugas yang sesungguhnya tidak juga dikerjakan.
H : Jadi pikiran untuk menghibur diri di tengah penyesalan yang pertama itu ?
SK : Iya, jadi kesibukannya itu adalah kesibukan yang semu. Memang sibuk untuk berbagai hal tapi untuk yang satu yang seharusnya dikerjakan tidak juga dijamah dan tidak juga dikerjakan. Jadi kadang aktifitas yang mengalihkan perhatian itu terlihat begitu produktif sampai-sampai dirinya mempercayai bahwa dia sedang membuat kemajuan atas pekerjaan yang seharusnya dikerjakan. Tapi jelas nyata bahwa memang pekerjaan itu tetap belum tersentuh.
H : Unik sekali. Apakah ada sub-fase yang lain lagi ?
SK : Ini bagian kedua, dari fase ketiga. Ini bisa muncul pernyataan yang lain, "Saya tidak bisa menikmati apapun", kebanyakan menunda mencoba mengalihkan perhatiannya pada aktifitas yang menyenangkan dan segera memberi kepuasan misalnya banyak-banyak menonton film, DVD, VCD di rumahnya, apalagi kalau punya 'home theater', atau mungkin ke bioskop, pergi ke temannya, mojok di sana dan di sini, melakukan hal yang menyenangkan tetapi meskipun berusaha keras menikmati hal-hal yang dianggap menyenangkan itu, tapi bayangan pekerjaan yang belum dikerjakan itu selalu hadir bagaikan mimpi buruk di siang bolong. Kenikmatan yang dirasakan itu dengan cepat lenyap dibandingkan rasa bersalah, keprihatinan, bahkan rasa muak "aku makan bakso, makanan yang aku suka tapi terbayang tugas dan tugas, proyek dan proyek, ini mendekati deadline" dan kepalanya rasanya pening.
H : Jadi ini upaya 'refreshing' yang semu juga ?
SK : Ada juga bentuk ke empat dari fase ketiga. "Saya berharap tidak seorang pun mengetahuinya", ini pernyataan yang lain. Jadi ketika waktu berjalan tidak ada satupun terkerjakan mulai merasa malu, "Jangan sampai ada orang lain yang tahu kalau aku ternyata belum melakukan apapun untuk tugasku ini, mau taruh di mana mukaku ini ?" lalu mereka mulai menciptakan cara untuk menutupi ketidak aktifan mereka dan mereka mencoba terlihat sibuk bahkan ketika tidak bekerja, menghadirkan ilusi tentang kemajuan sekali pun belum mengambil langkah pertama. Jadi mulai membuat kebohongan secara terinci untuk membenarkan penundaan mereka dan termasuk menghindari kontak sosial, misalnya contoh buat mahasiswa tentang membuat skripsi, untuk S2 adalah tesis dan S3 adalah disertasi. "Jangan sampai orang tahu, aku sudah dua semester tidak selesai dan bahkan judul skripsi pun belum aku rumuskan maka aku sibuk saja", misalkan proyek kerjaan "proyek kerjaan ini penting karena bagaimana pun saya sudah punya sudah keluarga harus menafkahi keluarga" atau bagi yang lajang, "Saya masih lajang, tapi saya membiayai diri sendiri, harus memberi les ini dan itu" jadi dia mencari perlindungan diri berharap orang tidak tahu dan termasuk yang kedua dia berusaha menarik diri dari kontak sosial. Makanya soal penundaan ini, kadang orang akhirnya merasa malu ketemu orang lain apalagi ditanya tentang proyeknya, "Bagaimana tugas akhirmu, bagaimana buku yang akan kamu terbitkan tahun ini ?" Itu pertanyaan yang menohok harga dirinya dan berpikir lebih baik tidak ketemu orang lain, atau ketemu teman lama atau satu proyek, satu kelompok pelayanan, satu sekolah, satu pekerjaan, dia menghindari mereka supaya tidak sampai ditanyai "progress report"nya.
H : Kalau boleh saya simpulkan fase ketiga ini nampaknya fase tekanan sudah semakin kuat jadi dia semakin merasa terancam oleh bayangan akan konsekuensi buruk karena dia menunda dan dia belum memulai. Ini menggiring dia ke fase keempat.
SK : Pada fase keempat muncul pernyataan, "masih ada waktu". Jadi meskipun ada rasa bersalah, malu tetapi si pelaku penundaan ini tetap berharap bagaimana pun masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaanku ini. Jadi mereka berharap berusaha untuk tetap optimis, sambil menunggu datangnya keajaiban. Keajaibannya yaitu penangguhan sanksi yang sebenarnya langka terjadi, "Saya berharap dosen saya berbaik hati misalnya memberi waktu seminggu lagi" atau atasannya berkata, "Saya berikan perpanjangan satu bulan karena saya juga sibuk ada proyek baru ke luar negeri". Jadi mulai muncul pikiran magis atau pikiran keajaiban yang sebenarnya memang sulit dan langka untuk terjadi.
H : Saya mulai melihat kaitannya dengan ilustrasi "roller coaster". Jadi ketika mulai ada ketakutan dia berada di bawah tiba-tiba muncul pikiran yang melambungkan dia ke atas, "Masih ada waktu".
SK : Betul. Jadi ada pikiran yang magis ini, berharap ada keajaiban yang tidak ada realitasnya.
H : Apakah fase kelima yang membuat dia turun lagi, Pak ?
SK : Betul turun lagi. Ada pernyataan, "Ada yang salah pada diri saya, bagaimana ini" jadi pada fase kelima ini si pelaku merasa putus asa, ide baiknya atau cemerlangnya tentang memulai lebih awal ternyata tidak terwujud juga, ada rasa malu, rasa bersalah, rasa menderita dan itu tidak menambah kebaikan apa-apa. "Iman" atas keajaiban di fase itu juga tidak mengubah apa-apa karena itu hanya ide magis yang tidak ada dasarnya dan kemudian kekhawatiran tentang penyelesaian tugas, diganti oleh rasa takut yang lebih besar lagi dan ada sesuatu yang salah dengan diri saya. Jadi pelaku di sini merasa ada hal mendasar yang dia tidak miliki sebagaimana yang dimiliki oleh orang lain, orang lain punya disiplin dan motivasi diri yang baik, dia orangnya cerdas, dia punya faktor keberuntungan dan itu semua tidak ada dalam diri saya, "Ada yang salah dengan diriku ini". Mengasihi diri sendiri.
H : Akhirnya dia tiba pada fase mengasihani diri sendiri, fase kelima. Sesungguhnya siklus ini ada berapa fase ?
SK : Yang terakhir ada enam. Tapi enam ini masih ada pecahan-pecahannya. Yang terakhir ini adalah kerjakan atau tidak kerjakan. Jadi sudah kepepet. Pada fase terakhir ini si penunda mengambil keputusan untuk meneruskan sampai ke akhir sekali pun pahit atau meninggalkan kapal yang sudah semakin tenggelam. Jadi mereka akhirnya memilih salah satu dari dua jalur ini. Yang pertama jalur tidak mengerjakan tugas. Jalur yang kedua mengerjakan sekali pun dengan akhir yang pahit. Saya jelaskan jalur yang pertama, tidak mengerjakan sama sekali, muncul pikiran begini, "Saya tidak dapat mengerjakan, jadi tekanan sudah tidak tertanggungkan lagi, waktu semakin singkat dan benar-benar mustahil bagiku untuk menyelesaikan dalam menit atau jam tersisa ini" karena telah mencapai tingkat yang tidak dapat ditoleransi maka yang dibutuhkan terlihat di bawah kemampuannya, muncul pikiran, "Aku tidak tahan lagi" akhirnya si penunda memandang bahwa penderitaan akibat berusaha menyelesaikan tugas atau pekerjaan itu menjadi terlalu berat untuk ditanggungnya dan dia pun menyerah.
H : Ini pilihan pertama adalah menyerah.
SK : Dan masih ada kelanjutan yang terakhir, akhirnya muncul pertanyaan kenapa merasa terganggu ? Pernyataan ini menggambarkan pada tahap akhir permainan ini atau kereta luncur emosi ini, beberapa penunda memandang semua yang terabaikan untuk dikerjakan dan mereka memutuskan telah begitu terlambatnya untuk melepaskannya saat ini, usaha-usaha yang sekarang dibuat tidak akan membuat perbedaan dalam hasil akhir. Tidak ada manfaatnya untuk berusaha keras karena terlambat, nasi sudah menjadi bubur, di sinilah penunda merasa galau dan kacau balau. Jadi mereka tidak mengerjakan apa pun lagi sehingga mereka menyerah.
H : Ini kelanjutan dari dia turun naik lagi dan dia berusaha menghibur diri.
SK : Dia berusaha menetralkan, "Ya sudahlah apa boleh buat, kenapa harus dibuat stres maka terima saja nasib" itu jalur yang pertama. Jalur yang kedua adalah mengerjakan tapi dengan akhir yang pahit. Muncul pernyataan begini, "Saya tidak bisa menunggu terlalu lama lagi" jadi sekarang tekanan menjadi begitu besar sehingga tidak dapat menunggu lagi, batas akhir sudah dekat dan rasa tidak berdaya telah menjadi begitu menyakitkan sehingga akhirnya akibat yang buruk akan muncul kalau dia tidak mengerjakan apa-apa. Maka seperti seorang pesakitan pada barisan kematian akhirnya dia menyerahkan diri pada nasib yang tidak bisa dimulai dan benar-benar akhirnya memulai, jadi sudah kepepet/terdesak mungkin tinggal sehari, paper harus dikumpulkan atau tinggal sehari proyek sudah harus dilaporkan, sehingga daripada tidak berbuat apa-apa maka memulai sesuatu. Muncul pikiran yang kedua, setelah dia lakukan muncul pernyataan begini, "Ternyata tidak susah dan kenapa saya tidak mengerjakan lebih awal" jadi memang proyek dikerjakan dan dia terkejut ternyata tidak semenakutkan dan tidak sesusah seburuk yang dia kira, biarpun terasa sulit atau membosankan akhirnya pekerjaan itu berhasil diselesaikan dan lega bahkan beberapa kali terasa ada kenikmatan di dalam merampungkan pekerjaan itu dan mereka terkesima pada tahap ini. Jadi dalam ketidakmengertian ini para penunda seringkali merasa sedikit menyesal atas semua penderitaan yang sebetulnya tidak perlu mereka tanggung. "Sebetulnya aku bisa menikmati pekerjaan ini, kalau aku kerjakan aku bisa menikmati dan aku bisa kerjakan dengan lebih mudah, lantas kenapa aku tidak segera mengerjakan yang kemarin itu ?"
H : Sebenarnya yang jalur kedua ini dia mengerjakan, tapi dia sudah tahu hasilnya tidak akan maksimal atau hasilnya akan berakhir pahit dan timbul dua pikiran, pikiran yang pertama dia pasrah dengan hasilnya dan yang kedua dia terkejut ternyata dia bisa.
SK : Iya, bagian yang ketiga adalah yang penting kerjakan saja. Akhir sudah di depan mata, begitu penunda memutuskan untuk merampungkan pekerjaan sepertinya tidak ada waktu tersisa. Begitu susah mengejar target untuk selesai maka tidak ada waktu untuk merencanakan atau merevisi apa yang sudah dikerjakan dan fokusnya bukan lagi pada seberapa baik bisa mengerjakan tapi apakah bisa rampung atau tidak, kwalitas tidak dipedulikan yang penting selesai.
H : Akhirnya targetnya hanya selesai saja.
SK : Yang penting selesai dan mengumpulkan tugas dan ada laporan yang diserahkan.
H : Intinya tidak nol.
SK : Kemudian masih ada lagi yang terakhir fase yang ketujuh.
H : Ternyata belum berakhir di fase keenam ?
SK : Belum, ada fase yang ketujuh yaitu "Saya tidak akan pernah menunda-nunda lagi" jadi ketika tugas ditinggalkan atau dikerjakan tapi sekadar selesai, akhirnya si penunda bisa menghela nafas, "Akhirnya lega meskipun letih, benar-benar siksaan yang berat", setelah akhir yang panjang bisa beristirahat, menikmati hidup dan pikiran untuk mengulangi kembali proses yang seperti kemarin itu membuat muak. Tapi itu juga membuat pelaku penundaan bertekad untuk "Aku tidak akan lagi terjebak dalam siklus semacam ini dan lain waktu akan memulai lebih awal dan lebih terorganisir, lebih setia jadwal dan kecemasan akan aku kontrol sampai tiba berikutnya. Jadi siklus penundaan ini berakhir dengan satu janji yang bersungguh-sungguh untuk meninggalkan perilaku ini selamanya, akan tetapi sekalipun bersungguh hati kebanyakan para pelaku penundaan mendapatkan diri mereka mengulangi lagi siklus ini lagi dan lagi.
H : Terimakasih untuk penjelasan mengenai siklus yang sangat menarik ini. Secara singkat saja apa firman Tuhan yang akan bapak ingin sampaikan untuk menutup sesi kita kali ini ?
SK : Saya bacakan dari Amsal 6:10, "Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi untuk tinggal berbaring, maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata." Kata sebentar lagi terus diulangi dalam ayat 10 dan akibatnya muncullah dampak yang begitu besar, kemiskinan, kekurangan, kehancuran, kegagalan. Jadi memang penundaan itu tipis sekali. Kata sebentar lagi ternyata tidak begitu ringan tampaknya dan ini perlu kita waspadai. Jangan bermain-main dengan siklus penundaan ini.
H : Terima kasih Pak Sindu, para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menunda-nunda" bagian kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melaui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.