Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idayanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan. Pada hari ini kami bersama dengan Ibu Esther Tjahja seorang sarjana psikologi alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang saat ini menjadi staf psikologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Dan juga sebagaimana biasanya juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi bersama-sama dengan kami akan berbincang-bincang mengenai suatu topik yaitu menjadi sahabat buat anak. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Ibu Esther, sebagai anak sering kali membutuhkan sahabat dan sering kali kita juga orang tua tidak bisa atau tidak terbiasa mungkin ya, menjadi sahabat bagi anak kita sendiri. Kita lebih mudah bersahabat dengan orang yang sebaya dengan kita, tetapi anak yang di rumah dan begitu dekat dengan kita kehilangan atau tidak mempunyai seorang sahabat. Tentunya akan lebih baik kalau orang tua bisa menjadi sahabat buat anak-anaknya. Tetapi masalahnya bagaimana atau dari mana kita itu sebagai orang tua memulainya, Bu Esther?
ET : Memulai untuk menjadi sahabat, yang pertama saya pikir sebagai orang tua tentunya orang tua harus terlebih dahulu mempunyai sikap yang benar terhadap anaknya. Siapa anak saya ini sesungguhya, maksudnya apakah anak itu hanya sebagai pelanjut keturunan atau marga saja supaya tidak sampai hilang.
Apalagi kalau itu hanya misalnya anak laki satu-satunya, atau justru ada sesuatu yang lebih dari sekadar penyambung keturunan.
PG : Nah saya berprinsip, Pak Gunawan, bahwa anak itu bukan penyambung keturunan semata, sebab misalkan kalau kita baca dari kitab Ulangan 11:18,19 dikatakan di sini: "Tetapi amu harus menaruh perkataan-Ku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu.
Kamu harus mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu. Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu dan apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun." Jadi di sini kita melihat Tuhan meminta kita untuk mewariskan iman kita kepada anak, jadi anak adalah pewaris iman kita. Seharusnya itu adalah sikap yang harus dimiliki oleh orang tua. Jangan sampai melihat anak hanya penyambung keturunan belaka dan juga penting supaya kita menyadari bahwa anak itu bukanlah beban. Karena adakalanya anak itu dilihat sebagai beban yang menyebabkan pengeluaran bertambah besar. Misalnya karena ada anak saya tidak bisa melanjutkan sekolah, karena ada anak saya harus berhenti bekerja, karena ada anak saya tidak bisa lagi pergi ke kafe, pergi dengan istri ke kafe karena harus bersama dengan anak pada malam hari. Nah adakalanya sebagian dari kita melihat anak justru sebagai beban, itu keliru sekali, sebab bisa kita baca juga di kitab
Ulangan 7:12-13 dikatakan di sini "Dan akan terjadi karena kamu mendengarkan peraturan-peraturan itu serta melakukannya dengan setia maka terhadap engkau Tuhan Allahmu akan memegang perjanjian dan kasihnya yang diikrarkan dengan sumpah kepada nenek moyangmu. Dia akan mengasihi engkau, memberkati engkau dan membuat engkau banyak, dia akan memberkati buah kandunganmu dan hasil bumimu dan sebagainya." Jadi Tuhan berkata kalau kita mendengarkan firman Tuhan, menaati perintahNya, Dia akan memberkati buah kandungan kita dan ini jelas berkat untuk anak-anak kita. Jadi justru mempunyai anak merupakan berkat buat orang Israel saat itu, justru Tuhan memberikan anak sebagai tanda Dia memberkati anak-anaknya, Dia memberkati kita sebagai orang tua. Jadi sikap yang benar adalah sebagaimana yang disinggung oleh Ibu Ester tadi, yaitu menghargai anak sebagai pemberian Tuhan, pewaris iman kita dan berkat yang Tuhan berikan kepada kita.
GS : Dalam hal ini Pak Paul, sering kali orang tua menjaga jarak, justru dengan anaknya supaya bisa melakukan amanat tadi. Dia tidak mau anaknya kurang ajar kepada dia, ada kekhawatiran seperti itu sebenarnya, bagaimana sikap seperti itu Pak Paul?
PG : Adakalanya orang tua memang takut kalau-kalau saya ini tidak dihormati oleh anak, jadi menjaga jarak atau justru bersikap lebih otoriter kepada anak, saya kira sikap-sikap seperti itu tida perlu.
Wibawa orang tua diperoleh bukan dari sikap menjauhkan diri dari anak, justru anak yang merasakan orang tuanya dekat dengan dia akan lebih bisa menghormati orang tuanya. Justru orang tua yang terlalu jauh menjadi orang tua yang mungkin sekali ditakuti, tapi belum tentu dihormati sebab anak menghormati orang tua yang dekat dengan dia dan yang akrab dengan dia.
GS : Sebenarnya apakah memang ada kebutuhan untuk mempunyai sahabat dalam diri seorang anak, Pak Paul?
PG : Saya kira seorang anak mempunyai kerinduan untuk dekat dengan orang tua dan mau sekali orang tua itu menjadi sahabatnya. Saya masih ingat waktu saya masih SMP, SMA, saya mempunyai teman, tdak banyak.
Ada teman saya yang cerita bahwa mereka itu dengan orang tuanya sangat akrab dan dekat sekali, misalnya bisa bergurau dan sebagainya. Saya kira itu adalah suatu kebanggaan tersendiri karena bisa bermain bersama-sama. Kebetulan saya juga cukup akrab dengan orang tua, misalnya bisa bergurau dengan ayah saya. Beliau kebetulan dulu tubuhnya cukup gemuk, jadi kadang-kadang saya suka bergurau memegang perutnya dan sebagainya. Jadi hal-hal seperti itu membuahkan rasa dekat dan menghormatinya, justru kalau dia terlalu berjaga-jaga saya kira reaksi saya tidak hormat kepadanya.
IR : Jadi kita perlu masuk dalam dunia anak ya Pak Paul, menerima kesukaannya atau kelemahannya?
PG : Betul sekali, jadi memang untuk menjadi sahabat anak saya kira perlu sekali seseorang itu memasuki dunia anak. Nah mungkin di sini Bu Esther, bisa memberikan masukan kepada kita, karena measuki dunia anak terutama anak-anak yang kecil, saya kira cukup susah.
Mungkin sedikit lebih mudah dengan yang beranjak dewasa atau remaja, Ibu Esther bisa memberikan masukan kepada kita semua.
ET : Saya rasa pertama kita harus pahami tahap perkembangannya dulu, dengan kita tahu dia usia berapa dan kemampuan berpikir seperti apa, baru bisa kita masuk begitu. Masalahnya kadang-kadang kta sebagai orang tua suka lupa bahwa kita ini sudah sekian langkah di depan anak kita.
Kadang-kadang kita menuntut dia untuk sepertinya berjalan sejajar dengan kita. Kalau kita punya pola pikir yang seperti itu, artinya kita tidak masuk ke dalam dunianya. Pernah ada orang tua yang mengeluh seperti ini "aduh Bu, anak saya ini sama sekali tidak bertanggung jawab, tidak bisa disiplin" dan keluhan-keluhan seperti itu langsung saya tanya ya "anaknya usia berapa tahun Bu?" 3½ tahun. Jadi saya langsung berpikir kenapa ibu ini tidak berpikir, masa anak kecil sudah mengerti yang namanya tanggung jawab. Kadang-kadang kita ini mempunyai label yang sama, tuntutan yang sama seperti kita. Jadi yang pertama-tama untuk masuk ke dunianya ini adalah kita pahami tahapan perkembangannya dan pola pemikirannya. Kalau memang anak masih tahunya yang konkret, lalu kita menyuruh dia memberikan ilustrasi atau kita menjelaskan kepada dia sesuatu dengan cara yang abstrak seperti "Nak, papa mama ingin jadi sahabatmu", sahabat itu apa, jadi mereka belum mengerti. Jadi dengan kita memahami pola pemikirannya, kita juga bisa menggunakan bahasa yang memang dipahami oleh anak-anak seusianya.
GS : Dan memahami pola pikirnya itu tentu saja kita harus banyak terlibat dengan dia, karena tidak mungkin kalau waktu kita sangat singkat bisa langsung mengerti pola pikirnya.
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi memang memberikan bukan saja pengertian kita namun waktu adalah hal yang penting. Satu hal lagi yang kadang-kadang kita juga lupakan ya, tadi sudah disinggun oleh Ibu Esther.
Karena kita ini sudah cukup melangkah lebih dulu dan kita lupa tentang masa kecil kita, akhirnya kita mengabaikan sudut pandangnya, perasaannya, dan situasinya yang membuat dia bereaksi seperti itu. Misalkan bagi anak-anak tidak diajak main adalah hal yang sangat mengganggu, menyedihkan, membuat dia terbuang. Ya untuk kita sekarang tidak ada yang main memang tidak merasakan seperti itu. Tapi bukankah sama kalau misalnya kita ini di tempat kerja merasa bahwa teman-teman itu membuat klik dan kita itu tidak dimasukkan dalam klik mereka, ada yang main basket, ada pertandingan apa, semua main kita tidak diundang. Ada pesta semua diundang tapi kita tidak diundang, bukankah kita juga merasa disisihkan, nah anak-anak juga mempunyai perasaan yang sama, perasaan yang namanya tersisihkan, terbuang. Anak-anak akan bereaksi terhadap situasi-situasi seperti itu, jangan sampai kita sebagai orang tua berkata kepada anak-anak kita masak begitu saja kamu sudah marah, sedih, cengeng. Tidak apa-apa teman-teman kamu tidak ada yang mengajak kamu bermain, kamu bisa main sendiri, jangan hiraukan teman-teman yang tidak mengajak kamu main, kamu bisa ciptakan permainan sendiri. Bagi saya itu adalah kalimat atau perkataan yang tidak realistik, sebab kitapun dalam keadaan kita sekarang kalau tersisihkan akan merasa sedih, terbuang, nah anak memang situasinya berbeda tapi perasaannya tetap sama. Jadi saya mau mengingatkan kita semua sebagai orang tua untuk berbuat kepada anak seperti yang kita kehendaki orang berbuat kepada kita pula, ini yang disebut atau prinsip hukum emas yang terambil dari
Matius 7:12 yang kalau saya boleh bacakan berbunyi "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu perbuatlah demikian juga kepada mereka, itulah isi hukum taurat dan kitab para nabi." Jadi mengertilah bahwa anak-anak mempunyai perasaan-perasaan seperti kita, meskipun situasinya berbeda dan komunikasikan pengertian kita itu kepada mereka.
GS : Di ayat tadi yang Pak Paul bacakan itu, penekanannya adalah perbuatan dari orang dan juga kita melakukan apa yang orang mau lakukan pada kita. Nah perbuatan apa yang seharusnya cocok atau yang tepat kita lakukan terhadap anak itu?
PG : Saya kira kalau kita dalam situasi seperti itu, kita tidak mau orang malah memarahi atau mempermalukan kita atau melecehkan kita. Misalkan kita diajak ke pesta oleh teman-teman, tetapi tidk diajak pertandingan basket.
Kita pasti merasa sedih dan kita tidak ingin orang menyudutkan kita. Masak begitu saja kamu sedih, kamu ciptakan permainan sendiri, kita pasti tidak mau orang begitu kepada kita. Kita mau orang berbuat kepada kita seperti apa? Menerima kita, mengerti perasaan kita yang tersisihkan. Nah perbuatlah hal yang sama kepada anak-anak kita. Yang mereka butuhkan adalah pengertian bukan penyudutan atau pelecehan.
IR : Kalau kita sebagai orang tua, Pak Paul, peran apa yang harus kita berikan pada anak-anak kita ?
PG : Saya kira yang pertama seperti yang Ibu Ida sudah singgung yaitu kita perlu menerima kelemahan anak kita sendiri. Anak mempunyai kelemahannya, tidak semua yang dia miliki adalah kekuatanny, artinya jangan kita ini melecehkannya karena kelemahannya, justru kalau kita melecehkannya dia tidak merasakan kita sahabatnya, sebab kita pun tidak mau bersahabat dengan orang yang melecehkan kelemahan kita.
Misalkan sebagai anak remaja dia memang kurang begitu bisa bergaul, agak sedikit malu, nah yang penting adalah kita memberitahukan anak kita engkau perlu berusaha dan kalau dia sudah berusaha dan memang sifatnya pendiam kita harus menerima itu juga. Jangan malahan mencerca dia, mengata-ngatai dia karena dia di rumah, tidak pergi. Jadi boleh dorong dia, tapi jangan mencecar dan menghina kelemahannya, anak akan merasa ditolak oleh orang tua yang justru seolah-olah melecehkan kelemahannya. Mungkin dalam hal ini, Ibu Esther, juga bisa memberi masukan ya, apa yang bisa orang tua lakukan dalam hal menerima kelemahan anak yang lebih kecil?
ET : Yang pasti orang tua harus bisa melihat dari sisi anak. Saya jadi teringat pada sebuah ilustrasi tentang seorang anak yang mengatakan dia sedang menggambar mama, tapi ketika dilihat yang trlukis dalam gambar adalah kaki yang panjang dengan rok saja.
Lalu orang yang lain memprotesnya, kamu bilang menggambar mama ini cuma kakinya, lalu dia katakan memang hanya segitu yang dia lihat. Memang jarak pandangannya hanya segitu, jadi itulah yang dia gambar. Kita sebagai orang tua memang perlu tahu bahwa memang cara dia melihat hanya seperti itu. Jadi untuk bisa melihat kelemahan, kita juga perlu lihat juga kelemahan itu apakah memang sungguh-sungguh kelemahan si anak dalam arti memang dia belum bisa atau kelemahan dalam arti orang tua yang berambisi, anak saya untuk melakukan ini tetapi kenapa belum bisa begitu.
GS : Memang untuk anak-anak saya rasa yang penting itu adalah peragaan dari tindakan kita yang mereka bisa terima. Jadi kalau kita cuma bicara itu rasanya akan sulit mereka itu menjadi sahabat kita, karena persahabatan adalah sesuatu yang abstrak sekali Pak Paul, tapi tindakan-tindakan nyata apa yang bisa dilakukan oleh orang tua?
PG : Yang bisa dilakukan orang tua adalah kita ini bersama dia menikmati kesukaannya. Kadangkala orang tua merasa canggung untuk bermain bersama dengan anak dan menikmati kesukaan anak, tapi unuk menjadi sahabat anak kita harus belajar menikmati kesukaannya.
Sebagai contoh, kalau misalkan setiap kali anak kita mendengar lagu-lagu modern yang dinyanyikan oleh misalnya Backstreet boys atau Bon Jovi atau yang sekarang lagi populer adalah Westlife, kita berkata lagu macam apa ini, kita marahi dia, nah sulit bagi anak merasa bahwa kita ini sahabatnya. Jadi saya kira orang tua tidak begitu memahami hal ini, sering orang tua berkata saya ingin menjadi sahabat anak saya, sering mengeluhkan kenapa anak-anak tidak mau dekat dengan saya, tidak mau terbuka cerita apa adanya kepada saya. Tapi di pihak yang lain orang tua tidak membangun jembatan, malah membakar jembatan-jembatan itu dengan mencela-cela, memarah-marahi misalnya selera si anak. Nah saya kira kita perlu menikmatinya bersama dia, kita bisa berkata lagu ini nadanya enak atau kata-katanya bagus, sehingga waktu satu kali kita mendengar lagunya yang kurang bagus dan kita berkomentar si anak bisa menerima. Sebaliknya kalau semua lagunya kita cela kebetulan ada yang kurang bagus dan kita akhirnya mau mengoreksinya, dia juga terlanjur membangun persepsi bahwa orang tuanya memang tidak suka pada semua lagu saya, dan dia pasti tidak akan lagi mengindahkan koreksi kita. Nah mungkin pada usia lebih kecil, Ibu Esther juga bisa memberikan masukan di mana orang tua juga bisa turut menikmati kesukaan anak.
ET : Saya sering mendengar banyak orang tua mengatakan, "aduh saya sudah tidak bisa main dengan anak saya karena memang menghabiskan waktu", tetapi mereka tidak menyadari bahwa sebenanya justru dengan berusaha bermain dengan anak umur segitu itulah mereka benar-benar menjadi sahabat dan selain menjadi sahabat sebenarnya itu membantu di dalam proses belajar mereka.
Jadi kadang-kadang orang tua enggan untuk berfantasi, main masak-masakan, main boneka, sementara memang buat anak-anak itulah teman-teman yang memang dunianya. Tapi kalau orang tua bisa meluangkan sedikit waktu untuk bisa bermain bersama mereka, ikut terjun di dalam fantasinya itu akan sangat berarti buat anak, juga sampai dalam tahap berikutnya.
GS : Saya rasa justru dalam pendekatan-pendekatan seperti itu, kita tahu kapan dia sangat membutuhkan kita, Pak Paul dan justru pada saat-saat dia membutuhkan kita ada di sana, persahabatan itu akan terjalin.
PG : Betul sekali Pak Gunawan jadi persahabatan tidak dibentuk pada usia misalkan anak itu sudah berusia 11 tahun, tidak. Persahabatan itu dibentuk melewati proses waktu dan harus dimulainya dai bawah.
Dari umur sedini mungkin dan waktu kita berhasil membangunnya tahap demi tahap, kita mulai memetik hasil atau buahnya nanti di kemudian hari pada waktu anak-anak remaja. Jadi orang tua yang berpikiran mau menjadi sahabat anak setelah anak itu berusia 16 tahun sering kali tidak mendapatkannya, karena memang sudah lewat waktunya. Satu hal Pak Gunawan, yang ingin saya tekankan untuk menjadi sahabat anak, kita harus memainkan 2 peran. Di satu pihak kita memang sahabat, seolah-olah selevel, di pihak yang lain kita jangan sampai melupakan status kita sebagai orang tua, jadi itupun kita harus pertahankan. Nah maksudnya apa, jadilah orang tua dalam pengertian yang pertama kita harus memberikan cinta kasih kepada anak, kita tidak boleh melupakan bahwa tugas kita adalah mengasihi mereka, memperhatikan dan mengkomunikasikan cinta kita kepada mereka. Kita juga jangan melupakan tugas kita mendisiplin mereka, kadang-kadang ada orang tua yang merasa, saya dekat dengan anak, bersahabat dengan anak sampai tidak mendisiplin anak sewaktu anak berbuat salah. Saya kira ini kesalahan, jadi penting orang tua berfungsi sebagai orang tua yang mendisiplin anak-anak. Kenyataannya adalah anak yang tidak menerima disiplin dari orang tua justru makin kurang respek pada orang tua, orang tua yang dihormati anak adalah orang tua yang mengasihi anak dan juga mendisiplin anak. Nah sudah tentu tadi Pak Gunawan sudah singgung, orang tua perlu menjadi contoh yang hidup, panutan yang baik, teladan yang bisa dicontoh oleh anak-anak. Kalau orang tua hanya bisa memberikan instruksi, tapi tidak bisa menyatakan kebenaran itu dalam kehidupannya, dia juga kehilangan wibawa dan akhirnya anak tidak bisa lagi menghormati mereka. Sewaktu anak tidak lagi menghormati orang tua, dia tidak bisa membuat orang tua sebagai sahabatnya. Anak-anak perlu menghormati orang tua baru bisa menjadikan orang tua itu sahabatnya. Saya mungkin bisa mendapatkan masukan dari Bu Esther tentang hal ini.
ET : Banyak orang tua suka mengeluh begini, "aduh anak saya itu keras kepala, kalau sudah melakukan kesalahan disuruh mengaku atau disuruh minta maaf itu susah sekali". Terus ketika dselidiki, ditanya, kita bicara lebih jauh, memang orang tua tidak pernah memberikan contoh seperti itu.
Kadang-kadang orang tua menganggap masa orang tua harus meminta maaf kepada anak, tapi sebenarnya itu adalah nilai yang begitu tinggi yang dapat diajarkan pada anak. Kita bisa berbuat salah dan perlu meminta maaf sekalipun orang tua kepada anak dan juga dalam hal yang tidak sebenarnya kadang-kadang. Kalau di kota besar seperti di Jakarta banyak orang yang menggunakan kalimat yang penting kwalitas daripada kwantitas, jadi walaupun jumlah pertemuan saya dengan anak sedikit yang penting mutunya. Tapi kalau kita mau melihat lebih jauh, itu suatu yang mustahil. Mana mungkin ada kwalitas waktu yang baik tanpa adanya jumlah waktu yang dihabiskan bersama dengan anak, terlebih kalau kita memang mau menunjukkan cinta kasih, disiplin dan contoh kehidupan itu tadi.
GS : Memang seperti Ibu Esther katakan, seperti dikatakan orang yang penting kwalitasnya bukan kwantitasnya. Tapi nyatanya orang yang berkata begitu justru memberi makanan anaknya cukup banyak, Pak Paul, tidak pernah cuma diberikan makanan pokok yang bergizi cuma satu sendok begitu, ternyata agak dualisme orang itu. Tetapi kalau kita betul-betul berpegang pada prinsip yang tadi Pak Paul dan Ibu Esther sudah katakan, ternyata tidak perlu orang tua itu merasa takut untuk dekat atau bahkan menjadi sahabat anaknya lalu dikurangajari oleh anaknya. Buktinya Tuhan Yesus sendiri tidak segan-segan berkata kepada muridNya: "Kamu adalah sahabatku, kamu bukan hamba tapi sahabat", itu sesuatu yang luar biasa, Pak Paul.
PG : Saya kira Tuhan Yesus melambangkan keakraban sekaligus wibawa. Keakraban, Dia dekat hidup bersama dengan muridNya. Wibawa karena dia tidak segan-segan menegur pada waktu murid-muridNya beruat hal yang salah.
Nah, selain dari Dia bisa menegur Dia juga hidup sesuai dengan teguran itu, sehingga Dia itu mewakili atau melambangkan integritasnya yang sempurna. Jadi orang tua yang bisa menegur, tetapi tidak hidup sesuai dengan tegurannya, dia justru akan kehilangan wibawa. Jadi sekali lagi kalau kita boleh simpulkan, orang tua yang menjadi sahabat anak adalah orang tua yang dekat dengan anak namun sekaligus juga bisa menegur dan mendisiplin anak serta hidup sesuai dengan tegurannya itu. Sebagai penutup Pak Gunawan, saya ingat ceritanya Dr. James Dobson, dia sangat menghormati ayahnya dan dia menganggap ayahnya adalah sahabatnya. Nah kenapa dia menganggap ayahnya sebagai sahabatnya, ayahnya itu berbuat banyak untuknya, ayahnya adalah penasihatnya buat dia, kalau ada masalah atau apa dia harus menelpon ayahnya dan bertukar pikiran. Jadi unsur orang tua berbuat untuk anak itu hal yang penting. Di zaman sekarang saya kira ini tantangan buat kita, karena orang tua sering kali mendelegasikan tugas kepada orang lain untuk mengurus anak. Sehingga waktu anak besar anak kehilangan memori ingatan kapan orang tua berbuat sesuatu untuknya, berbuat hal yang baik untuknya. Kapan dia bisa mengenang Ibu memasak buat saya, kapan dia bisa mengenang ayah mengantar saya untuk pergi ke sekolah atau yang lain-lainnya. Nah memori ini adalah memori yang akan membentuk perasaan-perasaan yang positif dari anak terhadap orang tua, sehingga dapat menjadikan orang tua mereka sebagai sahabat.
GS : Kalau kita sebagai orang tua tidak menghendaki anak kita bersahabat dengan orang yang tidak kita senangi sebenarnya peran orang tua besar sekali, Pak Paul untuk bisa menjadi sahabat buat mereka.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Ibu Esther Tjahja dan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menjadi sahabat buat anak. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.END_DATA